I. Namaku Adira

Senin, 15 Januari 2018
Adira

Langkahku berhenti sejenak di depan dinding seng panjang. Ada bangunan di belakang dinding tipis ini yang terbengkalai semenjak kami datang ke kota ini satu setengah tahun lalu. Sudah lama, aku penasaran ingin mengintip ke dalamnya dan mencari jalan pintas. Karena secara nalar, kalau aku bisa melewatinya, lalu berjalan sebentar di jalanan RW sebelah, hanya butuh 20 menit untukku tiba di rumah.

Kalau dipikir-pikir lagi, jalanan yang membuat rumahku jauh dari sekolah adalah jalurnya yang memutar. Mending ambil jalan pintas, 'kan?

Rasanya itu tidak salah. Toh, aku hanya ingin sampai rumah lebih cepat. Lagi pula, sudah mau senja dan jalanan di belakangku bisa dikatakan ramai lancar. Jadi kalau ada apa-apa, setidaknya aku bisa berlari ke jalan raya lagi dan berteriak.

Tadinya aku mau mencak-mencak di depan ayah saat beliau menempatkanku di sekolah yang jauh dari rumah. Pasalnya, aku tidak menyukai sekolah. Ditambah lagi, ayah tidak membolehkan anak gadis bontotnya ini mengendarai sepeda motor dengan alasan belum cukup dewasa. Padahal umurku selangkah lagi menuju legal.

Namaku Adira, siswi SMA yang diberi label 'pemalas' oleh para guru dan teman. Itu sudah cukup menggambarkan diriku seutuhnya. Karena ketimbang mengerjakan soal IPA-IPA-an anak SMA, aku lebih memilih bermain criminal case di pojok belakang kelas—mejaku.

Sepatu hitam milikku kembali menendang-nendang kerikil besar, menggiringnya mengikut, lantas menghilang dan kuganti kerikil yang baru. Semakin jauh langkahku menuntun, pemandangan yang terlihat hanyalah rumput-rumput liar tinggi-tinggi menjulang hingga pinggang. Pepohonan tumbuh di sepanjang jalan aspal, memberi rasa sejuk sejenak.

Baiklah, kesempatan ini tidak akan datang dua kali. Kepalaku celingukan kanan kiri, mencari celah yang dapat kulewati.

"Kayaknya waktu itu aku lihat ... nah!" gumamku mendekati ilalang tinggi, salah satu lembar seng karatan itu terbuka. Lebih tepatnya keropos lantaran pengaruh oksigen dan air.

Tidak ada yang melihat dari sudut ini, tertutupi tanaman. Baguslah! Dengan begini aku tidak akan diteriaki "maling" oleh warga setempat.

Begitu kepalaku melongok masuk, yang kudapati adalah lapangan luas retak-retak. Rerumputan liar tumbuh pada celah-celah aspal. Sesuai dugaan, tempat ini memang rumah sakit tua terbengkalai. Mataku jelalatan meneliti sekilas dengan rahang nyaris jatuh mengangga.

Dua gedung besar menjulang di hadapan. Cat pada permukaannya mulai pudar, sewarna awan mendung kehijauan. Satu-dua bagian ditumbuhi lumut dan karak, sebagian ada yang sudah keropos catnya. Jendela-jendela itu ditutupi koran, dari luar tampak berdebu menambah kesan horor tempat ini.

Peduli amat lah. Lagi pula aku tidak mau repot-repot masuk ke dalam sana. Tujuanku hanyalah mencari jalan pintas, demi tiba lebih awal di rumah. Kalau ada orang yang lihat, mungkin aku bakal dikatai orang gila yang ketawa-ketawa sendiri sambil bersenandung riang, "Rebahan, aku datang!"

Samar-samar, kudengar suara lain di sela bising knalpot dan mesin kendaraan. Meski tertutup bebunyian daun dan kicau burung, dapat kupastikan telingaku ini tidak salah mendengar.

Secuil rasa takut mulai timbul kala bulu kuduk berdiri. Pernah kudengar rumor aneh-aneh tentang kawasan ini dari Bara—teman sekelas yang pernah naksir padaku. Lalu memori mengingat kalimat, bahwa semua film horor bermula saat seseorang penasaran dengan sebuah tempat atau benda.

Eh tetapi, ini kan bukan film. Lagian, matahari masih tampak sekarang. Tidak akan ada kuntilanak yang akan mengejar sambil kayang sore-sore begini.

Kakiku menuntun kembali berjalan lebih jauh ke dalam kawasan rumah sakit, lalu terpaksa menepi ke sisi pepohonan, memasuki hutan kecil di sebelah kanan demi menghindari terik matahari pukul tiga sore. Dari tempatku berjalan, bisa kulihat ujung-ujung dinding bata di dalam hutan mini.

Seperti tebakanku, ujung hutan kecil ini adalah pagar besi yang ditanam pada dinding bata, dan pagar ini pastilah mengitari sisi terluar rumah sakit. Kalau aku mengikutinya sampai ke bagian belakang, harusnya bisa kutemui celah pintu dan keluar dari sana, berjalan sedikit melewati hutan lain, menembus ke RW di sebelah rumahku, lalu keluar lewat jalan tikus.

Kenyataannya tidak semudah itu. Saat netra ini mendapat secercah harapan kala melihat pintu keluar, pendengaranku turut menangkap suara lain dari dalam gedung usang tak jauh dariku.

Sialnya aku menoleh, bahkan berhenti tepat saat seorang gadis seusiaku menggedor paksa pintu ganda, lantas menghambur keluar dan langsung bersujud di tanah tanpa tahu kiblat. Pakaiannya serba toska, kecuali bagian depannya yang memiliki bercak merah pekat.

Pikiranku mulai berkelana tak jelas. Apa yang gadis itu lakukan di sini? Penampilannya sekilas menyeramkan, seperti seorang pasien sakit jiwa yang melarikan diri dari psikiater.

Tenggorokanku nyaris tercekat kala seorang pria dengan jas putih diam-diam berjalan di lorong gelap di belakangnya. Entah apa yang dia bawa, tetapi detik itu pula sang gadis luluh lantah di aspal.

Satu celah dalam hatiku menyerukan padanya untuk cepat bangkit dan berlari dari pria itu. Namun, yang kulakukan hanya meringsut mundur, takut-takut kalau salah satu dari mereka bisa melihatku dari tempatnya.

Pria itu sempat berbisik pada sang gadis, aku tak dapat mendengarkan. Seringainya meyakinkanku bahwa gadis itu tidak baik-baik saja. Begitu pula ekspresi ketakutan sang gadis.

"Tidak ... TIDAK! TOLONG!" jeritnya. "SIAPA PUN TOLONG AKU DICULIK!" Saat itu kupikir dia melihatku, tetapi kerah blusnya keburu dicekal, menyeretnya masuk kembali ke dalam gedung.

Bagaimana bisa ada orang di dalam rumah sakit terbengkalai?!

~('-' 800 words '-')~
I/E/U

Apdet karna diteror :v lebih serem ketimbang kasusnya keknya shshsh.

Yo! :3 part selanjutnya saya apdet tanggal
22 Mei 2021 :3

Papai ✨💃🏻

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top