Twelfth Note: Hilgers The Driving Teacher
Now I admit it. I love your hugging. I want it forever. I need it so much.
Please?
—Semenanjung Biru
*
Arin
|Gak tau diri banget sih, lu?
|Mentang-mentang sekarang ada di Belanda, lu tinggalin semua yang ada di sini!
|Egois tau gak sih lu?
|Ngaca ya. Egois ngomong egois.
|Tolol.
Biru belum pernah bercerita banyak tentang Arin, adik tirinya yang berbeda 2 tahun dengannya. Kalau di film Cinderella si adik dirundung oleh ibu dan kakak tiri. Maka di kisahnya, Biru dirundung oleh ayah dan adik tirinya. Kalau orang-orang lebih banyak bercerita tentang bagaimana kelakukan ibu tiri, maka Biru akan bercerita tentang kelakuan ayah tirinya.
Pernah suatu ketika, Mama ada perkejaan ke luar kota. Biru ditinggal sendirian bersama Bapak dan Arin di rumah selama seminggu. Dan itu, adalah hari-hari terberatnya dalam hidup. Uang jajan pemberian Mama yang seharusnya dia gunakan untuk satu minggu ke depan ludes begitu saja oleh Arin. Rumah mereka mendadak seperti kapal pecah lantaran tiap malam teman-teman Bapak datang untuk berkumpul sembari minum minuman keras. Pekerjaan rumah yang seharusnya dikerjakan berdua bersama Arin, justru semua dilimpahkan kepadanya seorang diri.
Arin sudah persis seperti tuan putri. Jika Biru memberontak, dia akan dibentak, bahkan sampai dipukuli oleh Bapak. Ternyata, tidak Papanya, tidak ayah tirinya, mereka sama-sama memperlakukan Biru dengan tidak baik.
Itu juga menjadi salah satu alasan mengapa Biru memilih untuk tidak mau menikah. Iya. Cewek itu tidak mau menikah. Dia tidak mau seperti Mama. Dia takut akan mendapatkan seorang suami seperti Papa. Tidak apa-apa jika harus menua sendirian, dari pada menderita seperti Mama.
“Kau tidak pernah cerita kalau ayah dan ibumu telah bercerai, Blauw.”
Hito duduk di sebelahnya, tidak sengaja melihat layar ponselnya yang terdapat chat dari Arin. Biru segera mematikan ponselnya, kembali fokus mendengar Imam di altar yang sedang membacakan doa pembuka. Ini masih sesi Ritus pembuka, tapi cowok itu sudah berisik dan mengajaknya bicara. Benar kata Siera, Hito harusnya bergabung bersama pamannya yang sekali lihat saja, orang akan tahu seberapa galak dirinya.
“Kau sendiri yang tidak bertanya,” jawab Biru.
“Tapi waktu itu aku bertanya kabar ayahmu. Kau bilang dia baik-baik saja!”
“Itu pertanyaan yang berbeda—lebih baik kau diam!” sahut Biru.
Hito tetap kekeuh. “Tapi tetap saja kau—Ouch!” Cowok itu batal melanjutkan kalimatnya kala kupingnya tiba-tiba ditarik oleh Tante Lita yang duduk di belakang. Seketika Hito langsung bungkam, kembali menegakkan punggungnya.
Biru sebisa mungkin menahan tawanya. Cewek itu tidak mau merusak acara Misa ini, karena ini Misa pertamanya setelah sekian lama. Keluarganya bukan Katolik yang taat, bahkan Biru sudah lupa kapan terakhir kali dia merayakan natal dan paskah, lantaran tidak pernah ke gereja selama bertahun-tahun. Ternyata, bukan hanya Islam KTP saja yang ada, Katolik KTP pun juga ada. Biru contohnya.
Sebenarnya, bukan tanpa alasan mengapa Hito tiba-tiba bertanya demikian. Sebab saat Biru datang ke Amersfoort karena ajakan Tante Lita untuk melakukan Misa bersama, rupanya banyak orang-orang yang masih biru kenal. Kebanyakan di antara mereka itu masih satu keluarga dengan Hito. Sekedar info, dulu Biru dan keluarganya sudah dianggap keluarga juga oleh mereka.
Makanya, mereka bertanya-tanya tentangnya yang sudah lama pergi meninggalkan Belanda. Termasuk tentang Mama-Papa.
Misa akhirnya selesai dua jam kemudian. Beberapa jemaat langsung meninggalkan gereja, beberapa ada juga yang datang ke halaman samping yang telah tersedia meja dan kursi untuk acara kumpul-kumpul keluarga besar orang-orang Manado yang ada di Amersfoort. Kebetulan, yang Biru tahu dari Hito, kalau gereja ini akhirnya dibeli oleh keluarga besar mereka. Itu sebabnya, mayoritas jemaat yang datang adalah orang-orang Indonesia atau blasteran seperti Hito dan Siera.
“Ikut aku, Blauw!”
Niat Biru yang tadinya ingin duduk di kursi samping Siera, langsung batal kala Hito lebih dulu menariknya.
“Hey, ada apa?” tanya Biru. Cewek itu dibawa ke parkiran.
Hito menatapnya lekat-lekat. “Percakapan kita belum selesai. Tentang ayah dan ibumu. Kenapa mereka bercerai?” tanyanya.
Biru menghela napas sejenak. Hito terlihat khawatir, ada kerutan di alis dan dahinya, mata indah itu menatapnya begitu dalam. Biru nyaris tenggelam di sana jika dia tidak segera sadar kalau mereka masih berdiri di parkiran.
“Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, Hito. Mereka bercerai karena itu satu-satunya pilihan yang terbaik. Aku ikut Mama, dan sejak saat itu, aku tidak pernah tahu bagaimana kabar Papa.”
“...”
Cewek itu menyempatkan diri untuk tersenyum. “Itu sebabnya aku bilang, kabar Papa mungkin lebih baik dari yang kukira.”
Hito mengernyit. “Dari yang kukira? Apa maksudmu?” tanyanya.
“Aku melihat Papa. Di Utrecht. Dia terlihat baik-baik saja. Sangat baik malah.”
“Apakah kalian—”
“Tidak. Aku tidak menghampirinya. Aku hanya melihatnya ... Dari kejauhan.” Biru tidak kuat ditatap seperti itu oleh Hito. Sejenis tatapan iba yang kalau terus-terusan berlangsung, mungkin pertahanan terkuat Biru akan luruh detik itu juga. Alhasil, cewek itu menunduk. Tanpa sadar menyentuh lengan kanannya yang kebetulan dia mengenakan dress berlengan panjang.
Hito meneguk ludahnya. Tubuhnya bergerak sendiri. Dia mendekat, memeluk Biru, dan menariknya ke dalam dekapannya. Cowok itu mengusap kepala sahabatnya tersebut, sebari berucap, “It’s okay, Blauw. You are safe now. You always safe with me.”
Tidak butuh waktu lama bagi Hito untuk berhasil menghancurkan pertahanan Biru. Gadis itu menangis. Perlahan, dengan gerakan yang ragu-ragu, dia membalas pelukannya, melingkarkan tangannya di punggung Hito. Sungguh. Pelukan ini berbeda. Ini pelukannya yang tanpa Biru sadari, dia amat merindukannya. Pelukan di mana selalu dia dapat ketika kabur dari rasa takut.
Pelukan itu tidak pernah lagi Biru dapat ketika pergi meninggalkan Amersfoort untuk selama-lamanya.
Jauh di lubuk hatinya, Biru berucap; ‘Sebenarnya, kalau gue boleh jujur ... Gue kangen banget sama lu, Hito.’
* * *
13 tahun yang lalu.
Sore itu, Hito tergesa-gesa turun dari tangga. Dia tidak menghiraukan Mamanya yang bertanya; ‘mau ke mana?’. Alih-alih keluar rumah, menuju rumah sebelah yang pintunya tertutup rapat. Bocah itu tidak lantas langsung menekan bel, lantaran tidak melihat adanya sepeda berwarna biru muda di sana. Alhasil, Hito kembali ke rumahnya, menyambar sepedanya dan mengayuhnya cepat ke taman yang berlokasi 700 meter dari rumah.
Sesampainya di sana, bocah itu melompat turun, membiarkan sepedanya terpental dan menabrak jungkat-jungkit. Sementara dia berlari tergesa-gesa menghampiri seorang gadis kecil yang sedang duduk di ayunan seorang diri.
Napas Hito cukup berderu. Sejenak, dia mengatur napasnya dahulu, sebelum akhirnya berbicara. “Aku sudah bilang, bukan? Jika ayahmu pulang, datang saja ke rumahku!”
“...”
“Kau sama seperti Siera! Keras kepala!” gerutunya, bersungut-sungut. “Sekarang, sedang apa kau di sini? Kau bahkan tidak menggunakan jaket!” lanjutnya. Mendapati tubuh kurus sahabatnya itu hanya berlapis celana pendek dan kaus tipis.
Buru-buru Hito melepas jaket parka yang melilit tubuhnya, dan memakaikannya ke punggung Biru. Bocah itu masih di posisinya, menunduk sembari memegang lutut. Perlahan, bocah laki-laki itu berjongkok, mensejajarkan tubuhnya dengan posisi Biru. Tangannya pun terulur, menyampirkan rambut hitam panjangnya yang menutupi wajahnya.
Sebisa mungkin Hito menahan dirinya untuk tidak terkejut saat melihat wajah Biru yang sembab, dan terdapat memar merah di pipi kirinya. Sudut bibirnya pun terluka, cukup menyimpulkan tragedi apa yang barusan menimpanya.
Dasar pria brengsek! Jika Hito bertubuh tinggi dan besar seperti Papanya, dia sudah lama telah menghajar ayahnya Biru hingga babak belur! Sama seperti pria itu yang sudah membuat putrinya menderita seperti ini.
“Tolong, jangan katakan kepada siapapun ...” Biru kembali menangis.
Hito menghela napas kasar. Meraih tangannya dan mengajaknya untuk berdiri. Setelahnya bocah itu memeluknya, mengusap punggung Biru dengan tulus, tak lupa mengecup singkat keningnya. Sesuatu hal yang sering dia lakukan kala mendapati gadis itu menangis.
“Ayo, kita pulang. Di sini dingin.”
Biru menggeleng. “Aku takut pulang.”
“Pulang ke rumahku!” Hito melepas pelukannya. Membantu gadis kecil itu untuk mengenakan jaketnya dengan benar. “Aku kan sudah bilang, datang saja ke rumahku setiap ayahmu pulang. Kau akan terus diperlakukan seperti ini, Blauw!”
Gadis itu kembali menunduk. “Sampai kapan kau akan terus baik kepada ku seperti ini, Hito?”
“Pertanyaan bodoh macam apa itu? Tentu saja sampai kapanpun!”
“...”
Hito mengambil sepeda milik Biru yang tergeletak begitu saja, dan menurunkan standarnya. Kemudian dia mengambil sepedanya sendiri. “Ayo! Kau masih bisa mengendarai sepedamu kan?”
Biru mengangguk. Menaiki sepedanya, dan mengayuhnya mengekori Hito kembali menuju ke jalan Scheltussingel.
*
Masa sekarang.
Tidak ada yang memberi tahu Hito jika mengajarkan seseorang mengemudi itu sungguh sangat menegangkan. Padahal AC sudah dinyalakan, bahkan Hito yakin di luar sana sudah cukup dingin, tapi cowok itu tidak bisa berhenti tegang dan berkeringat dingin.
“Kau jangan panik begitu! Kalau kau panik, aku juga ikut panik!” ujar Biru yang tengah memegang setir kemudi dengan tangan dan punggung yang kaku.
Bukan hanya Hito saja yang tegang, Biru apa lagi. Dia menyesal mengiyakan tawaran Hito yang mau mengajarkannya mengemudi. Walau jalanan tempat latihan itu tergolong sepi, namun tetap saja, ini pengalaman pertama Biru menginjak pedal gas.
“Aku tidak akan panik, kalau kau menginjak gas dan rem dengan benar!” sahut Hito. Tangannya bergerak, membantu Biru mengatur setir kemudi yang agak miring. “Lihat, kau saja sangat payah dalam mengatur setir kemudi!” lanjutnya.
“Aku kan, masih belajar!” Biru mengerucutkan bibirnya, membela dirinya walau itu tidak terlalu membantu. “Kalau begitu, lebih baik tidak jadi deh! Aku takut mobilmu kenapa-kenapa!”
Hito melotot. “Apa maksudmu? Lakukan apa yang sudah kau lakukan! Aku tidak suka orang yang mudah menyerah!” protesnya.
Cowok itu kemudian menyalakan lampu hazard, meminta Biru untuk berhenti sejenak, mengganti tuas kemudi ke mode netral, dan menarik rem tangan.
“Baiklah, Semenayung—”
“—Semenanjung!”
“Apapun itu namamu!” Hito mendengkus. “Kita mulai dari awal lagi. P untuk parkir, R digunakan untuk berjalan mundur, N untuk netral—digunakan saat kau berhenti, D untuk berjalan maju. Dan untuk L—sama seperti D—namun digunakan untuk jalanan menanjak atau turunan yang curam! Kau paham?”
Biru mengangguk.
“Di bawah sana, ada dua pedal. Kiri untuk rem, kanan untuk gas. Aku sarankan untuk gunakan satu kaki saja, agar kau tidak kebingungan saat kondisi mendadak!”
Cewek itu mengernyit. “Bukankah biasanya ada 3 pedal?”
“Itu untuk mobil kopling. Sekarang, sudah jarang ada mobil yang berkopling,” jawab Hito. “Lagipula, aku akan lebih kesulitan mengajarkanmu mobil kopling dari pada matic!”
“Kau ikhlas mengajarkanku atau tidak?” Biru kembali mengerucutkan bibirnya.
“Ikhlas! Sekarang tutup mulutmu, dan jalankan mobilnya!” ucap Hito. Membetulkan posisi duduknya sejenak. “Turunkan dulu rem tangannya!”
Biru pun mengikuti semua instruksi yang Hito berikan. Mobil perlahan berjalan. Cewek itu sebisa mungkin untuk tetap tenang, menginjak pedal gas sepelan, dan sehati-hati mungkin. Jujur, situasi di dalam mobil kembali tegang. Hito kembali ngomel-ngomel, membantu mengarahkan setir kemudi.
“Fokus, Blauw! Ikuti jalannya dengan benar—Awas! Ya Tuhan! Kau nyaris menyerempet trotoar!”
“Maaf,” cicit Biru.
“Lakukan sekali lagi!”
Akhirnya, latihan mengemudi itu hanya berlangsung selama 30 menit. Hito sudah frustasi duluan. Cowok itu langsung mengambil alih kemudi dan meminta Biru untuk menjadi princess passenger saja. Karena Biru orangnya tahu diri, alhasil menurut tanpa banyak bicara, lalu bertukar posisi.
“Berikan ponselmu!” pinta Hito.
“Untuk apa?” tanyanya.
“Berikan saja sudah, jangan banyak bicara!” katanya. Biru pun menurut, membuka tasnya dan memberikan ponselnya.
Cowok itu tahu kunci ponsel sahabatnya. Maka dari itu, dia dengan seenak jidat membuka AppStore dan mengunduh suatu aplikasi mengemudi di sana. Belum sempat bagi Biru untuk bertanya, dia lebih dulu berbicara, “Sebelum kau menggunakan setir kemudi yang asli, lebih baik kau gunakan yang palsu. Latihan di game tersebut! Kalau kau sudah mahir dalam waktu seminggu, baru ku bolehkan kau memegang setir yang asli!”
“Memangnya itu ampuh?” tanya Biru tidak yakin.
“Jadi kau meragukan gurumu ini, huh?”
Biru memutar bola matanya jengah. “Baiklah, baiklah! Terserah kau saja!”
* * *
Ternyata Biru tidak menyepelekan tugas sekaligus tips dari Hito. Jika sedang senggang, dia akan bermain game mengemudi tersebut. Walau di awal-awal dia noob banget, alias nabrak terus, tapi di hari ketiga, dia mulai bisa menguasai permainan.
Beberapa teman-temannya saja bahkan dibuat heran, lantaran Biru yang lebih sering baca threads twitter atau scrolling TikTok, mendadak jadi suka main game. Walaupun itu bukan sejenis game online seperti Mobile Legend atau sejenisnya. Tapi ini adalah sesuatu yang baru darinya.
“Kau tidak memesan makanan?”
Suara Sven cukup mendistraksi fokus Biru. Cewek itu hanya menjawab dengan gelengan kepala.
“Kenapa tidak pesan? Kau tidak lapar?” tanya Sven lagi.
Biru kembali menggeleng. “Aku bawa bekal.”
Mata Sven langsung tertuju pada kotak makan bewarna biru muda di samping buku catatan milik Biru.
“Kau masak? Masak apa?” tanya Sven sekali lagi.
“Nasi goreng.”
Kali ini Sven terdiam. Cowok itu menatap Biru lekat-lekat, meneliti wajahnya yang penuh ekspresi saat menatap layar ponselnya. Akhir-akhir ini, cewek itu jadi lebih sering bermain ponsel. Walau itu tidak menghalangi kegiatan akademiknya, tapi entah kenapa itu terkesan cukup random dan tiba-tiba sekali.
“Mau tukar makanan?” tawar Sven. Cowok itu ingin mencoba masakan Biru.
Biru menoleh sejenak, bersamaan dengan mobil di layarnya yang menabrak pembatas jalan. Cewek itu menghela napas, akhirnya menyudahi permainannya dan menaruh ponselnya di meja. “Nasi goreng untuk seporsi sup dan sandwich? Kau yakin?” tanyanya, menatap nampan milik Sven yang terlihat lebih bergizi dan cukup fancy baginya.
Maklum, akhir bulan. Uang tabungan Biru semakin cekak. Dia harus berhemat hingga uang saku dari Kemendikbud cair di awal bulan nanti.
“Kenapa tidak? Aku ingin mencoba masakanmu.”
Sebenarnya bukan masalah makanannya yang ingin ditukar, tapi Biru takut nasi goreng buatannya terlalu asin dan pedas untuk ukuran lidah bule seperti Sven. Kalau Sven ini Hito sih, tidak masalah. Sahabatnya itu sudah kenal sambal dari kecil.
“Aku tidak yakin kau akan menyukainya.”
“Aku pasti akan menyukainya.” Sven tetap kekeuh. Akhirnya Biru pun mengiyakan. Mereka bertukar makanan.
Beruntung, Sven terlihat baik-baik saja setelah memakan beberapa suap nasi gorengnya. Mereka makan dalam diam. Hingga tak lama, beberapa teman-temannya yang lain pun datang, ikut bergabung dan duduk bersama mereka.
“Kulihat kalian berduaan terus sejak kemarin. Kalian sedang pendekatan,ya?” tanya Jasmijn, iseng menggoda mereka.
Eka tertawa kecil, cewek itu duduk di samping Sven. Matanya tak sengaja melihat kotak makan berisi nasi goreng milik Biru yang kini sedang disantap oleh cowok itu.
“Tidak, kok!” bantah Biru. Menyendokkan krim sup tersebut ke mulutnya, tidak memperdulikan kalimat Jasmijn barusan.
Jasmijn terkekeh. “Baiklah, lupakan! Ngomong-ngomong Biton dan USC mengadakan acara festival. Tersedia untuk seluruh mahasiswa maupun umum.”
Biru mengernyit. Setahunya, Biton dan USC (Utrechtse Studenten Corps) adalah sejenis organisasi mahasiswa di UU yang bergerak di bidang kultural, sosial dan olahraga.
“Festival apa?” tanya Sven.
“Utrecht Bockbier Festival.” Jasmijn membuka ponselnya, menunjukkan sebuah poster pada Sven. “Tahun ini mereka mengadakannya di UU. Pimpinan Biton dan USC periode ini bukan main-main!”
“Kapan?” tanya Biru.
“15-16 November.”
“Memangnya kau yakin akan ikut?” Tiba-tiba Eka ikut menimbrung, tatapannya langsung tertuju pada Biru.
Biru langsung mengatupkan mulutnya. Menatap cewek yang duduk berhadap-hadapan dengannya itu dengan tatapan yang sulit diartikan. “Aku hanya bertanya, Eka. Santai saja. Ikut atau tidak, lihat saja nanti,” katanya sembari mengangkat bahunya tak acuh.
Eka tersenyum miring. “Aku juga hanya bertanya. Barangkali kau tiba-tiba datang bersama temanmu itu?”
“Teman siapa?” tanya Biru, mengerutkan keningnya.
“Temanmu yang pemain bola itu. Siapa lagi?” balas Eka.
“Oh.” Biru hanya tersenyum miring. Lebih tepatnya tidak mengerti apa maksud pertanyaan Eka barusan. “Memangnya kenapa kalau Hito datang ke acara tersebut?” tanyanya balik.
Kini semua mata di meja tertuju pada Eka. Seketika cewek itu gelagapan tidak jelas, dengan membetulkan poni tipisnya. “Tidak apa-apa, aku hanya bertanya, Biru.”
Tch. Dasar aneh.
* * *
Note:
Huhu😢 gimana menurut kalian? Akhir-akhir ini cerita yang aku buat itu sedang flop-flop-nya. Views serta voment-nya menurun drastis hingga berpengaruh ke peringkat cerita. Entah aku salah pemasaran, atau emang ceritanya aja yang gak laku. Hiks.
Kebetulan sih, aku emang AFK banget di sosmed, dan gak mungkin juga promosi di platform tersebut. Takutnya malah kena banned 🙃
Tapi harapan terbesar aku adalah ingin menamatkan cerita ini. Aamiin.
See you soon!
Sincerely, Nanda.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top