Third Note: What A Perfect Family

I hate my dad. I hate my mom. I hate my sister. I hate my family. Even I hate myself. But if someday, God give me some chance to love someone, I would like to try to love you.

Would you be mind?

—Semenanjung Biru

*

Biru menyesalinya keputusannya.

Seharusnya dia tolak dengan ramah ajakan Hito barusan. Lihat, sekarang dia bingung harus bawa apa ke rumah teman masa kecilnya itu. Tidak mungkin dia hanya bawa diri saja, bukan? Cukup lama dia berpikir—sembari Googling—kira-kira buah tangan apa yang cocok untuk dia bawa?

Cokelat? Bunga? Atau anggur?—yang benar saja! Apa itu tidak berlebihan?

Alhasil malam itu dia keluar seorang diri untuk membeli kue. Sederhana saja, tidak perlu yang mewah-mewah. Hito bilang mamanya tidak suka makanan manis, jadi dia membeli boterkoek, sejenis kue mentega yang tidak terlalu manis.

Esok harinya, mendadak Risa dan yang lain mengajaknya untuk mengunjungi kastil De Haar, salah satu tempat wisata terkenal di Utrecht. Lagi-lagi Biru merasa menyesali keputusannya. Ingin sekali cewek itu membatalkan janjinya pada Hito, tapi hatinya urung saat cowok itu sudah lebih dulu mengirim foto sedang otw menjemputnya.

“Sori banget guys, gue gak bisa ikut.” Biru dengan berat hati menolak ajakan mereka yang sedang siap-siap di ruang tengah.

“Loh? Kenapa?” tanya Gwen, cewek itu sibuk nyatok rambutnya di depan cermin. Risa dan Eka ikut menoleh menatapnya.

“Gue ada janji ketemuan sama temen.”

“Siapa? Nanti kayak kemaren lagi, nggak jadi ketemuan.” Eka langsung menyambar. “Mending ikut kita aja udah! Gue ajak Jasmijn, Jansen sama Sven biar rame!”

Biru juga maunya begitu. Tapi Hito sebentar lagi sampai, tidak mungkin cewek itu membatalkannya begitu saja, dia tidak enak sama Tante Lita. “Gue gak enak tolaknya. Anaknya sebentar lagi sampe.”

“Temen yang waktu itu dateng kemari, bukan? Si tukang donat itu?” tanya Risa.

Tukang donat. Cowok seharga nyaris 70 miliyar itu disamain sama tukang donat? Tapi ya sudahlah, mereka juga tidak kenal siapa Mees Hilgers. Di antara mereka berempat tidak ada yang mengerti tentang dunia sepak bola. Dia sendiri saja mulai sedikit-sedikit mencari info tentang olahraga itu karena Hito.

“Iya itu,” jawab Biru. Cewek itu segera mengambil flatshoes dari rak sepatu. Bersamaan pula dengan ponselnya yang berdering. “Gue pergi dulu ya, hati-hati kalian semuaa!” ucapnya pamitan.

Saat menuruni tangga, dia baru mengangkat panggilan dari Hito. “Halo?”

“Blauw, Aku sudah ada di parkiran.”

“Oke, tunggu sebentar. I’m on my way.”

Sesampainya turun dan tiba di pelataran parkir, atensi Biru langsung tertuju pada seorang cowok mengenakan celana training hitam, kaus putih polos dan juga kacamata hitam yang bertengger di wajahnya. Gayanya sudah persis seperti juragan tanah—bersandar di samping mobil sembari memasukkan satu tangannya ke saku. Biru nyaris terkekeh kala cowok itu mendapati kehadirannya dan tersenyum lebar, menampilkan deretan giginya yang rapih. Sejenak cewek itu harus mengakui pendapat Eka waktu itu. Hito memang cakep. Padahal waktu kecil dia biasa-biasa saja, loh!

A yo, what’s up!” Hito memberikan tangannya, tiba-tiba menarik Biru untuk melakukan high five berserta pelukan singkat. Kalau saja Biru tidak bisa mengontrol ekspresinya, dia akan memekik detik itu juga.

“Ya. What’s up.” Biru tersenyum canggung.

Beruntung Hito mampu mencairkan suasana dengan mempersilahkannya masuk dan duduk di samping setir kemudi. “Apa kabar, Biru?” tanya cowok itu, dia melepas kaca matanya dan mengenakan sabuk pengaman.

“Baik,” balas Biru.

Cewek itu seperti biasa tidak banyak bicara. Bahkan sampai mobil melaju pun dia hanya sibuk melihat jalanan atau mengecek ponselnya. Hingga akhirnya Hito yang pertama kali membuka pembicaraan.

“Kenapa jadi hening seperti ini?” ujarnya.

Biru menoleh sekilas mengangkat bahunya sejenak sembari mengatakan, “Berbicaralah kalau begitu.”

“Kau kuliah di jurusan apa?” tanya Hito spontan.

“Pendidikan sekolah dasar.”

“Itu keren. Kau akan menjadi guru rupanya.”

Biru meringis. Kurang yakin dengan ucapan cowok itu. Menjadi guru? Itu terdengar mungkin-mungkin saja. Tapi ada beberapa hal yang membuat cewek itu perlu berpikir beberapa kali secara realistis. “Nah, aku tidak yakin.”

Hito mengernyit. “Kenapa? Kau bilang kau ingin menjadi guru, ingat?”

Emang iya? Kok, dia tidak ingat pernah ngomong begitu sama cowok itu dulu. “Tidak. Aku tidak pernah bilang begitu.”

“Saat kita masih kecil, Blauw! Kau mengatakan kepada semua orang di kelas bahwa kau akan menjadi guru hebat yang mengajar semua anak di seluruh dunia.”

Biru terkekeh sarkas. Entah omongan cowok itu yang mengada-ada, atau memang kapasitas otaknya saja yang terlalu kecil sampai hal seperti itu tidak tersimpan di kepalanya. “Itu hanya omong kosong.”

Hito memutar bola matanya. Lalu tiba-tiba mengacak-acak rambutnya yang terurai hingga menjadi sedikit berantakan. Biru jelas tidak terima, dia segera menyingkirkan tangan cowok itu dengan wajah yang memberengut. “Hey, hentikan! Itu tidak lucu!” kesalnya yang justru malah membuat Hito tertawa.

* * *

Ada beberapa hal yang tidak bisa Biru pahami di dunia ini. Salah satunya adalah hubungan antara Mama-Papa. Sejak kecil, Biru selalu bertanya-tanya apakah suami-istri seperti mereka adalah hal yang normal? Apakah perlakuan orang tua yang mereka lakukan padanya juga hal yang normal?

Sebenarnya, Biru itu bingung. Seperti apa bentuk keluarga yang sesungguhnya? Seperti apa rasanya merasakan kasih sayang yang sempurna dari mereka secara utuh?

Papa ringan tangan, kadang Mama menggila dan tak sadar jika Biru juga adalah seorang anak. Tahun 2010 adalah waktu yang berat baginya. Tinggal di luar negeri, dengan kondisi keluarga yang sedang tidak benar-benar kondusif. Mereka mendadak pindah pun juga karena itu. Lebih tepatnya, dia diseret pulang oleh Mama dan pergi—dari rumah di Scheltussingel—meninggalkan Papanya yang saat itu nyaris membunuh mereka berdua.

Punggung, kaki, dan tangannya adalah saksi bisu betapa sadisnya pria iblis tersebut yang sampai sekarang tidak pernah dia temui lagi sejak kejadian itu. Biru tidak paham bagaimana Mamanya bisa bercerai, namun wanita itu bilang Papa benar-benar tidak akan datang lagi dan mereka resmi bercerai di tahun 2012. Dua tahun setelah kejadian pulang mendadaknya itu.

Selama ini Biru dan Mama berjuang mati-matian untuk bertahan. Bertahan sebentar lagi, sebentar lagi, sebentar lagi, hingga akhirnya mereka tidak bisa lagi bertahan.

Melihat keluarga Hilgers, Biru dibuat banyak melamun. Di sini, cewek itu dapat melihat sosok seorang ayah yang mengayomi, berwibawa dan siap menjadi pelindung bagi keluarganya. Di sini, Biru juga dapat melihat sosok seorang ibu yang memastikan anak-anaknya baik-baik saja, kasih tulusnya mengalir dengan deras, membuatnya menjadi pilihan utama bagi anak dan suaminya untuk pulang padanya. Biru juga melihat sosok kakak pertama yang sempurna dalam diri Siera, sesuatu yang tidak bisa dia lakukan untuk adiknya. Bukannya menyayangi seorang adik, alih-alih Biru justru membencinya setengah mati.

“Kau melamun lagi.”

Lamunan Biru buyar saat Hito tiba-tiba muncul dan duduk di sampingnya. Cewek itu menegakkan punggungnya dan menggeser sedikit tubuhnya agar menciptakan jarak di antara mereka.

“Apa apa, hm?” tanyanya.

“Tidak. Tidak ada apa-apa.” Biru menjawab ala kadarnya.

Sayangnya, Hito tahu cewek itu sedang berbohong. Sejenak arah matanya tidak sengaja melihat ke arah tangan Biru yang hanya mengenakan kaus hitam berlengan pendek. Luka bakar itu masih tercetak jelas di sana. Sedikit banyak cowok itu tahu kisah kelam seperti apa di balik luka tersebut. Banyak pertanyaan yang ingin sekali Hito tanyakan. Apakah Biru baik-baik saja? Apakah hidupnya lebih baik dibandingkan dulu? Apakah cewek itu membencinya?

“Bagaimana kabar keluargamu?” tanya Hito.

Biru mengernyit, entah kenapa ada setitik rasa baginya untuk waspada. Baginya, siapapun yang menanyakan tentang keluarga adalah ancaman untuk mentalnya. “Mereka baik-baik saja.”

Bohong. Cewek itu meremas tangannya, dia juga memalingkan wajahnya. Ciri khas yang masih Hito ingat setiap kali temannya itu berbohong.

“Kurasa tidak. Kau berbohong.” Hito menggeleng.

Baiklah, ini mulai tidak enak. Biru berdiri dari duduknya, berbalik menatap Hito lekat-lekat. “Maaf. Kita tidak begitu dekat untuk membicarakan tentang keluargaku. Mamaku baik-baik saja. Aku punya saudara perempuan sekarang. Kami bahagia.”

“Bagaimana dengan ayahmu?” tanya Hito sekali lagi, dan itu adalah pertanyaan telak.

Butuh beberapa detik bagi Biru untuk menjawabnya. “Dia baik-baik saja. Lebih baik dari yang kukira.”

Ada rasa sakit yang diperlihatkan pada iris cokelat gelap miliknya. Senyum itu terlihat sama persis setiap kali Hito melihatnya di taman dengan wajah sembab akibat dipukuli oleh ayahnya. Rasanya Hito ingin lagi bertanya; bagaimana kabarnya, bagaimana hidupnya, bagaimana hari-harinya berjalan saat jauh darinya? Cewek itu adalah teman dan sahabat pertamanya. Ada perasaan khusus yang tidak pernah bisa hilang meski sudah bertahun-tahun berlalu untuk menandakan jika cowok itu khawatir.

Bertemu dengannya kembali setelah 12 tahun berpisah, itu seperti sebuah keajaiban. Hito merasa masih punya salah dengannya, setelah tersadar jika mereka berpisah dalam keadaan bertengkar.

‘Pergi sana, dan jangan pernah kembali lagi!’

Itu adalah kalimat terakhir yang dilontarkannya sebelum cewek itu benar-benar menjauh, kemudian pergi pulang ke Indonesia tanpa pernah kembali lagi.

“Ikut aku!” Hito ikut berdiri. Meraih tangan Biru dan mengajaknya keluar rumah.

“Ke mana?” tanyanya. Cukup kaget saat cowok itu secara impulsif menarik tangannya.

“De Bakkerijhoek. Aku traktir kau stroopwafel. Itu favoritmu, bukan?”

Biru mendengkus, menahan kakinya dan menarik tangannya agar terlepas dari cowok itu. “Tunggu, Hito! Mamamu masak banyak, setidaknya hargai dia dengan tidak beli makanan di luar!” ucapnya. “Kalau aku tidak salah, bukan kah kau seorang atlet? Kau tidak makan gula.”

Hito memutar bola matanya. “Itu bukan intinya, Blauw. Dan perlu kau ketahui, Oma Doortje tidak hanya menjual waffle. Aku bisa saja membeli sepotong roti tawar di sana!” jelasnya. “Jadi, apa masalahnya?” lanjutnya

“Kau aneh.”

“Aku tahu. Ayo!”

* * *

Cukup mengejutkan.

Nama Hito disebut oleh Jansen dan Sven saat mereka sedang makan siang di kantin. Kali ini mereka hanya bertiga, Jasmijn dan Eka masih ada kelas. Sedangkan Biru bergabung dengan teman-teman yang lain, yang masih satu jurusan dan satu kelas di beberapa mata kuliah berikutnya. Cewek itu memakan sandwich-nya dalam diam sembari menatap Sven yang terlihat menggebu-gebu berbicara dengan bahasa Belanda bercampur Inggris.

Tidak begitu banyak yang bisa Biru tangkap tentang maksud ucapannya. Yang jelas, Hito akan bermain untuk timnas Belanda. Itu sangat keren. Haruskah dia bertanya langsung ke orangnya?

Ah tidak. Untuk apa? Itu ide yang buruk.

Drrt drrt drrt!

Hito
|Aku lupa mengabari, aku sudah sampai di Enschede.
Send a video

Biru nyaris menjatuhkan ponselnya karena terkejut. Pria itu tiba-tiba sekali mengirimkannya kabar, bahkan mengirim sebuah video. Padahal cewek itu tidak bertanya.

Dibuka video tersebut, hanya video berdurasi 5 detik yang menampilkan sebuah lapangan, ada beberapa orang—yang Biru tebak adalah teman-temannya—berpakaian jersey hitam di sekitar.

|Oke

|Aku dan yang lain akan segera latihan.

|Semoga beruntung.

|Kau sedang apa biru?

Waw. Cowok itu bertanya; dia sedang apa? Kenapa pertanyaan simpel itu membuat Biru terdiam? Tapi tak lama senyumnya muncul tanpa dia sadari. Cewek itu memutuskan untuk mengikuti alurnya saja. Dia mengirim foto tangannya yang sedang memegang sandwich, dan mengetik beberapa kalimat.

Send a picture
|Makan siang.

|Ini terlalu sore untuk dikatakan makan siang, kau tahu?

|Tidak masalah. Aku bukan atlet.

|Terserah kau jasa, Blauw😒😒
|Aku akan menghubungimu lagi nanti.

Pesan singkat itu berakhir. Tidak Biru balas dan hanya sekedar membacanya saja. Cowok itu akan menghubunginya lagi.

Seketika, pertanyaan muncul di kepalanya. Kapan?

Ah, sial. Ada apa dengan Biru?

“Biwu,” panggil Sven. Mereka sekarang sedang berjalan ke kelas berikutnya setelah meninggalkan teman-teman mereka di kantin.

“Ya?”

“Kau tidak pernah menceritakan tentang tempat tinggalmu di Indonesia,” ucapnya.

“Benarkah?” Biru menaikkan salah satu alis. “Kukira kau sudah tahu itu dari Eka.”

Bukan tanpa alasan, cewek itu berkata demikian karena mereka pernah pergi berdua saja ke Amsterdam seminggu yang lalu. Bahkan Risa dan Gwen membuat kesimpulan jika mereka sedang PDKT.

“Dia hanya menceritakan tentang dirinya.” Sven mengangkat bahunya acuh.

“Oh.” Biru dibuat kepikiran dengan kalimat cowok itu barusan tentang Eka. “Aku tinggal di Jakarta.”

Sven mengangguk-angguk. “Sayang sekali kemarin kau tidak bisa ikut. Padahal seru sekali.”

Ah iya, semalam Biru hanya bisa gigit jari saat melihat story teman-temannya di kastil De Haar. Apapun itu, dia bertekad akan datang ke sana bagaimanapun caranya. Dia juga ingin mengisi stories Instagram-nya dengan tempat-tempat yang bagus.

“Kau ke mana waktu itu?” tanya Sven.

“Ke rumah teman.” Biru menjawabnya dengan singkat.

Hening. Sven tidak lagi bertanya. Dan Biru cukup bersyukur, sebab dia tidak ingin kembali mengingat kejadian memalukan di toko roti milik Oma Doortje kemarin. Hito tidak sengaja menumpahkan kopinya ke celananya. Terpaksa dia harus meminjam celana milik Siera, yang sekarang ada di keranjang cuciannya. Dia bingung, kapan harus mengembalikan celana itu ke Amersfoort secepatnya.

“Lusa ada seminar dari fakultas humaniora. Kau mau ikut?” tanya Sven, saat mereka akhirnya berbelok ke dalam kelas.

“Tentang apa?”

“Entahlah, aku lupa. Pasti tidak jauh tentang budaya dan sejarah.”

Itu menarik. Kenapa tidak?

“Kau mau ikut? Kalau kau mau, aku bisa mendaftarkannya sekarang?” ucap Sven.

Biru mengangguk antusias. “Tentu, kalau kau tidak keberatan.”

Sven tersenyum. “Nice!”

Drrt drrt drrt!

Ponselnya kembali bergetar. Itu pasti dari Hito! Senyum lebar Biru mendadak luntur saat mendapati pesan masuk tersebut bukanlah dari Hito.

+62xxxxxxxxxxx
|Biru ini Mama.
|Kok, WA Mama kamu blok?

* * *

Note:

Would you be mind?

Atau

Would you be mine?

Azeek. Maapkeun 🙏

Fyi, sebenarnya dari prelude sampai bab ini awalnya percakapannya pakai bahasa Inggris. Tapi setelah gue pikir-pikir, agak sulit menemukan karakter Hito kalau pake Bahasa Inggris 😞, beda sama karakter sebelah. Gak tau kenapa? Padahal mereka sama2 half, bahkan kali ini latarnya di Belanda langsung pula. Huft.

Makanya ada beberapa kalimat yang terkesan seperti hasil translate—karena emang aku translate. Males aku ubah satu-satu ke Indonesia-nya lagi, biasalah, author ini magernya emang akut banget.

Mungkin segini dulu ya chapter 3. Terima kasih sudah mau membaca. Mohon banget buat tinggalkan jejak berupa vote atau komen.

Barangkali kalau rame bisa update cepet✌️

Sincerely, Nanda.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top