Tenth Note: Being Ignored, Sometimes I Hate It

There are four people in this friendship. But it feels like there are only three of them. Not us.

Worst. But this really happened in my life.

—Semenanjung Biru

*

Hari kedua sekaligus hari terakhir mereka dalam kegiatan amal di panti asuhan Jummy.

Teruntuk hari ini, Biru terlihat lebih lepas. Dia tidak lagi canggung untuk berinteraksi dengan anak-anak. Walau bahasa Belandanya tidak begitu lancar, namun untuk berkomunikasi (khususnya dengan anak-anak) masih cukup untuk dimengerti.

Waktu rapat beberapa hari yang lalu, Biru sempat memberikan ide untuk membuat kerajinan tangan dari kulit kacang sebagai tujuan sosialisasi terkait sampah dan daur ulang. Rupanya ide tersebut diterima dengan baik. Lantaran anak-anak terlihat antusias, bahkan para suster pun ikut berpatisipasi.

Ketika kegiatan itu dimulai, Biru duduk bersama Sofie dan kawan-kawannya. Ikut membuat kerajinan tangan berbentuk bunga matahari. Ternyata, satu hal yang tidak pernah Biru duga, dia bisa akrab dengan anak kecil.

Bukan tanpa alasan, tapi sejak Mama menikah lagi saat Biru masih kelas 5 SD, dia langsung memiliki adik sambung yang usianya 2 tahun lebih muda darinya. Bukannya mencoba untuk mendramatisir keadaan, namun beradaptasi dari kondisi yang sebelumnya di atas, mendadak jatuh ke bawah, cukup membuat Biru si anak yang serba ada ini sedikit kesulitan.

Sekedar membeli sepatu baru setiap 6 bulan sekali saja dia sudah tidak bisa. Jangankan sepatu, seragam dan tasnya saja kalau belum rusak, tidak akan pernah dibelikan yang baru.

Kasarnya, Biru dan Mama jatuh miskin sejak pindah dari Belanda. Kondisi itu semakin buruk saat Mama-Papa resmi bercerai. Bukannya memperbaiki keadaan ekonomi, Mama malah makin memperburuknya dengan membawa seorang pria duda anak satu ke dalam keluarga mereka. Ada Mama, Bapak, Biru dan Arin.

Kalau ditanya apakah hidup Biru semakin baik dengan kehadiran mereka? Jawabannya tidak.

Hidup Biru malah semakin berantakan. Apa yang seharusnya milik Biru, kini dia harus berbagi dengan Arin—adik sambungnya yang sangat dia benci. Sejak saat itu, Biru benci sesuatu yang mengusik, sesuatu yang berisik, dan sesuatu yang menuntutnya untuk terus mengalah. Dan itu terasa ketika keluarga sambungnya itu hadir. Kalau ada yang bertanya siapa orang yang ingin Biru musnahkan di dunia ini, maka jawabannya adalah Arin dan Bapak. Mereka seperti parasit di kehidupan Mama dan juga Biru.

Andai jika Biru menceritakan dia diterima program pertukaran pelajar ke Belanda, mungkin Arin dan Bapak tidak akan terima dan menghasut Mama untuk menghalau Biru.

Padahal selama hampir 10 tahun hidup bersama, Mama lah yang bertugas menjadi tulang punggung keluarga. Tapi entah kenapa, hasil jerih payah Mama lebih banyak dihabiskan oleh ayah-anak sialan yang tidak tahu diri itu.

Makanya, kesempatan pertukaran pelajar yang mendadak ini—walau ada beberapa hal yang membuatnya ragu—memberikan Biru rasa tenang dari kondisi rumah yang memuakkan selama 6 bulan ke depan. Setidaknya 6 bulan berharga itu akan dia gunakan sebaik mungkin untuk mengembalikan dirinya sebagai manusia yang sehat mental.

“Skak!”

Biru mendengkus, menatap bidak catur di hadapannya ini. Posisi mentri lawan mengarah pada raja dalam posisi menyerong. Biru seketika kehabisan akal. Posisinya benar-benar tergencat. Apabila rajanya bergeser ke kanan, dia akan mati oleh kuda milik Sven. Bila ke kiri akan mati oleh benteng cowok itu yang sudah berjaga di daerah kekuasaan Biru. Jika dia maju atau menghalangi jalan menteri sialan tersebut dengan gajah miliknya, itu sama saja seperti memperlambat kematian.

Intinya dia kena skak. Dia kalah tanpa harus dijelaskan.

“Baiklah aku kalah!” ucap Biru. Cewek itu menurunkan kakinya yang terlipat di atas kursi sembari mengacak-acak rambutnya.

Tawa Sven tak lama terdengar begitu renyah. Dia menang permainan catur tersebut untuk yang ketiga kalinya malam ini. Biru akui, dia hebat. Apa yang harus diekspektasikan saat cowok itu dulunya juara olimpiade catur saat masih sekolah? Cowok itu benar-benar jenius.

“Kau cukup hebat kok,” ujar Sven sembari merapihkan kembali bidak catur ke posisi semula.

Ngomong-ngomong, acara amal tersebut selesai pukul 4 sore tadi. Dilanjut dengan sesi evaluasi serta beres-beres properti di satu jam setelahnya. Habis itu mereka pun bubar.

Awalnya Biru ingin segera pulang saja. Berinteraksi dengan banyak orang dari pagi hingga sore itu cukup menguras energi. Tapi sepertinya Sven tidak membiarkan cewek itu pergi begitu saja di saat besok mereka tidak ada kelas apapun. Cowok itu mengajaknya ke salah satu kafe yang buka hingga dini hari. Jangan bertanya kenapa Biru mengiyakan ajakannya. Dia sendiri pun juga tidak tahu.

Menu yang ditawarkan beragam, mulai dari non alkohol hingga alkohol. Karena tahu Biru orangnya sangat introvert akut, Sven menariknya ke sisi lain kafe di lantai tiga yang tidak terlalu ramai. Di sana juga kebetulan menyediakan beberapa permainan seperti Uno, catur, puzzle dan masih banyak lagi. Pengunjung pun rata-rata adalah remaja dan anak kuliahan seperti mereka yang menikmati akhir pekan sebelum bergelut dengan hari Senin besok.

Biru menghabiskan sejenak jus jeruknya. Menyegarkan tenggorokannya yang seret karena terlalu lelah berpikir untuk memenangkan permainan catur barusan 3 kali berturut-turut—walau ujung-ujungnya tetap kalah.

“Jadi kita mulai saja hukumannya?” tanya Sven.

Hukuman yang dimaksud adalah; barang siapa yang kalah, maka mereka harus menjawab 7 pertanyaan singkat dari si pemenang.

Biru mengangkat bahunya tak acuh. “Well, aku tidak punya pilihan. Katakanlah.”

Sven tersenyum penuh kemenangan. Dia sedikit mencondongkan tubuhnya ke meja, menatap Biru lekat-lekat. “Baiklah, kumulai dari yang simpel saja dulu. Apa yang kau suka?”

“Kucing.” Yang pertama kali muncul di pikirannya adalah hewan tersebut.

“Pantai atau gunung?”

“Pantai.”

“Manis atau pedas?”

“Manis.”

“Iron Man atau Captain Amerika?”

Biru spontan tertawa. “Pertanyaan macam apa itu?” katanya. Sven hanya mengangkat bahu sebagai respon. Alhasil, cewek itu membalas, “Iron Man.”

Winter or summer?” tanyanya.

Pertanyaan itu agak sulit untuk dijawab. Sudah lama Biru tidak merasakan musim dingin. Bahkan dari keempat musim di Eropa, Biru menyukai semuanya. Namun setelah dipikir-pikir ... “Musim dingin. Tidak ada salju di Indonesia.”

“Apa yang kau tidak suka?”

Pertanyaan kedua itu cukup lama dijawab oleh Biru. Dia menggaruk kepalanya sejenak, sebelum akhirnya mengatakan, “Entahlah. Diabaikan ... Mungkin?”

Cowok itu terdiam selama beberapa detik, cukup terkejut dengan jawaban Biru barusan. “Terakhir kali kau menangis karena apa?” lanjutnya, kembali bertanya untuk pertanyaan terakhir.

“...”

Melihat respon Biru yang mendadak termenung, Sven tiba-tiba merasa tidak enak. “Umm ... Maaf, untuk pertanyaan itu ... Well, kalau kau tidak berkenan untuk menjawabnya, tidak apa-apa. Lupakan saja.”

Biru tersenyum masam. “Tidak apa-apa,” sahutnya. “Hmm, biar kuingat-ingat, terakhir aku menangis karena ... Merindukan rumah. Hahaha.”

* * *

Kutu Beras
|Blauw, aku sudah kembali ke Belanda.
Send a picture.
|Aku bawa banyak oleh-oleh. Tenang saja, aku sudah siapkan khusus untukmu.
|Besok aku pulang sebentar ke Amersfoort.
|Aku juga akan mengunjungimu ke Utrecht.

|Bisakah kau berhenti mengirim pesan?

|Tidak bisa.
|Aku akan terus mengirimkanmu pesan!
|Setiap hari!

|Orang gila!

|Orang gila ini adalah sahabatmu😉

Itu adalah pesan Hito kemarin malam. Tidak Biru balas lagi hingga paginya. Sepertinya, mau Biru tolak bagaimanapun caranya, Hito terlalu keras kepala untuk ditolak. Pasti besok tanpa diminta pun dia akan datang ke Utrecht dengan sendirinya.

Paginya, Biru bangun seperti biasa. Meski tidak ada jadwal kelas di hari senin, dia ada rencana mencari beberapa referensi di perpustakaan kampus untuk menyusun artikel studi kasus individu yang dikumpulkan minggu depan. Kalau bisa, hari ini semuanya harus sudah selesai. Sehingga tugas-tugas yang lain pun tidak menumpuk dan semangatnya tidak keburu hilang entah ke mana.

“Eh? Lu ada kelas, Ru?” tanya Risa, saat Biru muncul dari balik pintu kamar dengan penampilan yang sudah rapih. Temannya itu sedang sarapan di meja makan.

“Enggak. Gue mau nugas di perpus.”

“Anjay, anak rajin!” Risa menyengir lebar.

Biru pun mengambil mangkok dan sendok. Menuang sereal dan susu, lalu bergabung duduk di meja makan bersama Risa.

Semenit kemudian, baru beberapa suap sereal tersebut masuk ke dalam mulutnya, Eka dan Gwen sama-sama muncul ke ruang tengah.

“Ris, lu sama Gwen nanti ketemuan di fakultas gue aja, ya?” Eka menaruh tasnya di sofa, dan mengisi botol minumnya di kran dapur.

Mendengar kalimat Eka, Biru mengernyit. Ketemuan? Mereka mau ke mana?

“Lu beres kelas jam berapa emangnya?” tanya Gwen. Cewek itu sudah mengambil jatah serealnya dan duduk di samping Biru. “Eh, Biru? Ada kelas tambahan bukan?” lanjutnya, baru menyadari akan keberadaan Biru di sana.

Biru belum sempat menjawab, kala Eka lebih dulu berbicara. “Jam 3-an. Nanti gue dateng bareng Lucas sama Simon. Mereka yang pegang tiketnya.”

Wait, kalian mau ke mana?” tanya Biru. Ikut menimbrung di tengah-tengah percakapan mereka.

“Konser band Daughter di Ekko.”

Oh. Biru terdiam. Tangannya batal menyendoki sereal di mangkuknya. Kok dia enggak diajak?

“Hoalah. Sama siapa aja?” tanya Biru. Mencoba untuk tidak terbawa suasana.

“Ramean. Gue, Risa, Eka, Lucas, Simon, Jasmijn. Jansen katanya bakal nyusul sih. Iya, kan Ka?” jawab Gwen.

Eka mengangguk. Cewek itu ikut duduk di meja makan sebelah Risa. “Heu-eum. Tadinya kita mau ngajak lu, Ru. Tapi tiketnya gak cukup. Lagian juga kayaknya lu gak suka acaranya. Lu kan introvert.” Eka tertawa pelan. “Gak apa-apa kan, Ru?” lanjutnya bertanya.

“I—iya, gak apa-apa kok. Gue juga gak tau sih band apa itu.” Biru sebisa mungkin untuk memasang poker face. Hingga akhirnya kegiatan sarapan mereka pun selesai.

Rasanya Biru mau batal ke perpus saja saat itu karena mood-nya mendadak hancur. Padahal itu hanya konser biasa. Biru juga bukan tipikal orang yang suka datang ke acara penuh keramaian tersebut. Tapi kenapa rasanya tidak enak ya? Mereka pergi tanpa bilang-bilang padanya.

Tapi karena sudah kepalang gengsi, dan bersikap seperti tidak terjadi apa-apa, dia memutuskan untuk tetap ke kampus. Mereka berempat berencana pergi ke kampus bersama—itupun kalau tebakan Biru benar.

Suasana semakin terasa runyam saat mereka bertiga malah asik berbicara hal yang tidak Biru mengerti. Mereka bertiga berjalan beriringan menuruni tangga utama gedung flat, meninggalkan Biru di belakang sendirian. Cewek itu hanya menyimak pembicaraan mereka yang tidak jauh tentang; tugas kuliah, cowok tampan fakultas sebelah, atau kafe dan restoran enak yang worth it untuk dikunjungi.

Biru nyaris berdecak kesal saat matanya menangkap mobil Audi hitam yang terparkir di parkiran. Belum sempat Biru bereaksi, mobil itu sudah memberikan klakson. Tiga temannya di depan tidak begitu menanggapi karena pembicaraan mereka sepertinya terlihat lebih seru.

Alhasil, tanpa disadari oleh mereka, Biru menghampiri mobil tersebut. Jendela mobil pun tak lama terbuka saat cewek itu mendekat.

“Hai, apa kabar, Blauw?”

“Apa yang kau lakukan, Hito?!” tanya Biru sedikit tertahan, tanpa membalas sapaannya barusan.

Hito tersenyum lebar. Seperti biasa menunjukkan deretan giginya yang putih dan rapi. “Kau pernah bilang kalau hari Senin kau tidak ada kelas. Jadi ini waktu yang tempat bagiku untuk mengunjungimu.”

Biru menghela napas. Dia tidak ingin mood-nya benar-benar hancur karena kehadiran Hito. Cewek itu juga masih ingat dengan hadiah boneka Doraemon yang cowok itu beri lusa kemarin. Alhasil, Biru menggerakkan kepalanya ke samping. Memberikan isyarat untuk keluar dan ikut dengannya.

Cowok itu berseru pelan. Menutup kembali jendela, mengenakan beaninya dan mencabut kunci mobil sebelum akhirnya berjalan beriringan dengan Biru.

“Bagaimana acara volunteer-mu? Aku lihat video-videomu di Instagram. Itu terlihat menyenangkan!”

“Ya. Itu menyenangkan,” jawab Biru. Ngomong-ngomong dia jadi teringat dengan Sofie.

Mereka sudah tertinggal jauh dengan Eka dan yang lain. Lihat, bahkan mereka saja tidak sadar kalau Biru sudah tidak membersamainya di belakang. Menyebalkan.

“Bagaimana pertandinganmu?” Biru balas bertanya. “Aku menonton bersama dengan orang-orang di restoran.”

“Benarkah?!”

“Iya.”

Well, Hito mulai menunjukkan skin keduanya selain usil dan jahil. Yaitu cerewet.

“Kau tahu, Blauw? Aku di sana ...”

Yap, Hito mulai bercerita panjang lebar mengenai pengalamannya bergabung bersama tim Oranje sepanjang mereka berjalan menuju kampus.

* * *

Hito senang sekali hari ini. Walau langit di luar terlihat mendung, namun suasana hatinya tidak demikian.

Cowok itu mengambil asal salah satu buku di perpustakaan, dan duduk berhadap-hadapan dengan Biru yang terlihat sedang sibuk dengan laptopnya. Satu jam pertama, Hito fokus membaca. 30 menit kemudian dia beralih fokus ke ponselnya, membalas pesan-pesan dari teman-temannya, atau mengecek akun Instagramnya yang sejak kemarin ramai dikunjungi oleh orang-orang Indonesia, karena debutnya di Timnas Belanda. Lalu tepat di pukul 11 siang, Hito mulai bosan.

Dilihat, Biru masih sibuk dengan kegiatannya. Sesekali cewek itu membolak-balikkan lembaran buku di hadapannya, membacanya selama beberapa menit—seperti mencari kepingan puzzle—sebelum akhirnya kembali mengetik. Usil, sengaja Hito dorong layar monitor laptopnya hingga sedikit tertekuk. Cewek itu refleks berhenti mengetik, meliriknya dengan galak, lalu menegakkan kembali layar laptopnya.

Belum puas, Hito melakukannya lagi. Kali ini agak parah, sampai laptopnya nyaris tertutup.

“Hito!” kesal Biru. Cewek itu langsung memukul tangan Hito, sembari menatap tajam dirinya. “Diam!”

Hito seperti biasa hanya nyengir dan cengengesan. “Biarkan aku membantumu, Blauw.”

Biru kembali meliriknya dengan menaikkan salah satu alisnya. “Tidak usah macam-macam!”

“Biar aku yang mengetik, Blauw. Kau dikte-kan saja apa yang ingin kau ketik.” Hito berdiri dari duduknya, membetulkan kembali kursinya dan mengambil duduk di samping Biru. Tanpa menunggu responnya, cowok itu menarik laptop Biru ke hadapannya, “Ayo, katakan!”

Dasar. Tidak dulu dan tidak sekarang, cowok itu memang suka semaunya!

Biru mendengkus. Lebih tepatnya malas untuk berdebat dan marah-marah. Akhirnya membuka lembar berikutnya pada buku yang sedang dia pegang. Mengucapkan beberapa penggal kalimat kutipan sekaligus memparafrase-nya, berikut dengan opini-opini pribadi yang bersangkutan dengan 3 kutipan sebelumnya yang sudah dia ketik. Hito melakukan tugasnya dengan cekatan, satu hal yang masih bisa Biru syukuri dari seorang petakilan sepertinya.

Di sisi lain, seseorang muncul dari balik pintu perpustakaan. Pandangannya menyapu ke seluruh ruangan, begitu pula dengan kakinya yang mulai berjalan dari satu rak ke rak lainnya serta melihat deretan meja yang beberapa ditempati oleh mahasiswa. Detik itu atensinya langsung tertuju pada seorang cewek yang dia kenal tengah membaca di sana. Senyumnya merekah bersamaan dengannya yang berjalan menghampirinya.

“Biwu, kau ada urusan apa di sini?” tanyanya sembari menyapa.

Rupanya, yang menoleh bukan hanya cewek itu, namun orang yang di sebelahnya pun juga menoleh, menatapnya dengan tatapan bingung.

“Sven?”

Sven terkejut menyadari Biru tidak sendirian di sana. Dia bersama cowok yang sialnya, Sven tahu betul siapa dia. Mereka berdua (Sven dan Hito) saling tatap-tatapan.

“Siapa dia?” tanya Hito.

Biru agak sedikit canggung. Dia tidak enak mengajak orang yang bukan mahasiswa UU masuk ke perpustakaan, walau sebenarnya tempat ini juga bisa terbuka untuk umum.

“Sven! I—ini temanku Sven.” Biru menoleh sejenak pada Hito, lalu tak lama kembali menatap Sven. “Ini Hito—maksudku Mees. Temanku.”

Hito berdiri sejenak, memberikan tangannya untuk mengajaknya bersalaman. Sven pun menyambutnya walau ada tatapan kurang suka dari raut wajahnya.

“Kau sendiri ada apa ke mari? Mengerjakan tugas juga?” tanya Biru mencoba untuk mencairkan suasana.

Sven menjawab dengan senyuman. Tidak. Dia datang karena melihat story WhatsApp Biru sejam yang lalu. Cewek itu sedang berada di perpustakaan kampus. Itu sebabnya secara impulsif dia datang ke sana. Tapi ternyata ada seseorang yang tidak pernah dia duga akan datang setiba-tiba ini.

“Ayo lanjutkan, Blauw. Kalau kau bicara terus, tugasmu tidak akan selesai!” ucap Hito.

Biru melirik galak ke arahnya. “Siapa yang bicara terus? Aku kan hanya bertanya!” senggahnya.

Sven sedikit mengernyit. Si pesepak bola itu memanggil cewek itu Blauw? Apa itu panggilan darinya? Sama seperti Biru yang memanggilnya Hito?

Sebenarnya sedekat apa hubungan mereka?

* * *

Note:

Hummm ... Ada yang pernah kayak biru? Nggak pernah diajak gitu 😞

Sumpah ya, awal2 kuliah aku mengalaminyaaa. Kukira aku gak pernah bisa klop sama orang-orang. Taunya emang mereka gak sefrekuensi aja. Wkwkwk. 2 tahun pertama kuliah itu benar-benar adalah fase seleksi alam. Musuh dari musuh adalah sahabat. Wkwkwk, malah curcol.

Terima kasih sudah membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak.

Sincerely, Nanda.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top