Sixth Note: He and His Weird Dream
Damn it. I tell you about my dream, but you didn’t even tell me yours. Can you tell what is it? So I can pray for you like you pray for me.
Well, gotta say that, you still a person who have a warm heart, Buddy!
—Semenanjung Biru
*
Mama 2
|Kamu maunya apa sih, Biru?!
|Maaf Ma, WhatsApp Biru kereset.
|Chat Mama yang ini tenggelam. Biru udah sampe di Belanda. Semuanya aman.
|Mama gak usah khawatir.
|Anak setan kamu!
Biru tersenyum nanar melihat balasan tersebut. Ditutupnya aplikasi WhatsApp, dan menaruh ponselnya di saku sebelum akhirnya turun dari trem yang berhenti di halte dekat stasiun. Cewek itu men-tap OV-chipkaart miliknya sebelum masuk ke peron kereta jenis intercity agar sampai ke tempat tujuan lebih cepat.
Dia duduk di samping jendela. Kembali membuka ponselnya untuk mengambil beberapa foto langit di pagi hari. Setelahnya, dia mengirim pesan pada seseorang.
Hito
|Aku sudah di kereta.
|Kau sudah bangun belum?
Tidak ada balasan dari Hito. Terakhir cowok itu online pukul 12 malam, kali terakhir mereka chatting-an.
Keputusan Biru akhirnya memilih untuk menghabiskan hari ini ke kota Enschede, alih-alih menolak ajakan Sven. Pikir Biru, dia bisa saja ke Museum Sentral atau ke manapun selama masih di Utrecht kapan saja. Toh, dia tinggal di sana hingga awal tahun nanti. Hito awalnya akan menawarkan diri menjemputnya langsung ke Utrecht, tapi Biru cukup tahu diri jika itu menempuh jarak yang cukup jauh, sekitar 1,5 jam perjalanan. Lebih baik dia naik kereta saja, dan temannya itu bisa jemput dia di stasiun.
Akhirnya beberapa menit kemudian, bersamaan dengan kereta yang mulai berjalan, muncul pesan balasan dari Hito.
|Aku bukan pemalas, Blauw.
|Iya, aku percaya kok.
|Jam berapa keretanya sampai?
|Jam sepuluh mungkin.
|Oke, telepon aku kalau sudah sampai.
|Aku akan menjemputmu.
Send a picture.
|Kau sudah sarapan, Blauw?
|Sudah.
|Sarapan apa?
|Indomie.
|Tuhan! Makanan apa itu?
|Itu tidak sehat, kau tahu??
|Siapa yang peduli?
|Selama enak dan bisa ditelan, akan aku makan.
|Tentu saja aku peduli!
|Kalau kau makan mie instan, dampaknya mungkin tidak akan terasa sekarang, tapi nanti setelah kau berusia 40-50 tahun!
Baiklah. Tidak ada yang tahu kalau Hito tiba-tiba bisa berubah jadi mentor kesehatan seperti ini. “Tch, bawel!” gerutu Biru. Segera dia ketik balasan untuknya.
|Iya iya!
Send a video.
Hito dan segala kerandoman-nya. Cowok itu seperti biasa, dalam satu hari minimal mengirim 2 atau maksimal 5 video padanya. Lihat saja galeri Biru, isinya muka Hito semua. Itu pun beberapa sudah dia hapus. Sengaja masih cewek itu simpan, karena dia tipikal orang yang senang menyimpan banyak kenangan. Jangankan foto, chatroom WhatsApp dari kurir paket tahun 2018 saja tidak pernah dia hapus.
Dilihat video itu hanya video singkat berdurasi 7 detik. Isinya berupa wajah cowok itu yang terlihat masih baru banget bangun tidur, yang kemudian mengatakan; “No, no, no! Do not eat Indomie again!”, dilanjut dengan cowok itu yang menyengir lebar—yang sudah menjadi ciri khasnya.
|Noted, Sir!
|😁😁😁
Biru akhirnya menyudahi chat tersebut. Menaruh ponselnya di meja samping sembari menatap ke luar jendela. Sejenak cewek itu terdiam, malihat rumah-rumah penduduk berbentuk otentik yang melintas dengan cepat. Saat itu pula, tiba-tiba di kepalanya muncul wajah Hito di video barusan. Tatapannya, senyumannya, sama persis seperti Hito versi 8 tahun yang dia kenal. Biru seketika tersadar, cowok itu memiliki mata yang indah. Cokelat terang, yang ketika ditatap membuat siapapun yang melihat akan merasa hangat dan nyaman.
Jika Sven memiliki warna mata seperti hutan di tengah musim panas. Maka milik Hito seperti hutan di musim gugur yang daun-daunnya mulai menguning dan mengcokelat, saling berpadu membuat warna gradasi yang indah.
Benar. Tatapan cowok itu sangat indah. Kenapa Biru baru sadar sekarang?
* * *
Enschede adalah kota yang terletak di Belanda Timur. Salah satu kota terbesar di provinsi Overijssel setelah Zwolle yang merupakan ibu kota dari provinsi tersebut. Dari yang sempat Biru cari tahu di Google, daerah itu berbatasan langsung dengan Jerman.
Tepat pada pukul 10.15, kereta yang ditumpangi Biru berhenti di stasiun utama. Langit terlihat begitu cerah meski masih terdapat sedikit awan. Suhu pun menunjukkan sekitar 18 derajat—masa transisi dari musim panas ke gugur—membuatnya mengenakan jaket yang agak tebal.
Tidak sulit untuk mendapati kehadiran Hito di depan stasiun. Dari posturnya saja, temannya itu mudah untuk dikenali. Cowok itu mengenakan jaket tebal berwarna hitam, wajahnya terlihat berseri, tersenyum lebar menunjukkan deretan giginya sembari melambaikan tangannya ketika menyadari kehadiran cewek itu dari pintu keluar. Biru berjalan sedikit tergesa-gesa setelah men-tap kartu, menghampiri Hito yang merentangkan tangannya, seakan-akan memberikan gestur untuk memeluknya.
Biru awalnya hendak menghindar, tapi cowok itu lebih licik dengan bergerak lebih cepat dan menarik tubuhnya untuk dia dekap. Hito sialan.
“Aku merindukanmu, Blauw!” ucapnya. Memeluk erat tubuhnya dan membiarkan pipinya bersentuhan dengan kepala Biru.
“Iya, iya! Lepaskan aku!” Biru mendorong cowok itu agar menjauh, beruntung pelukan tersebut akhirnya terlepas.
“Bagaimana kabarmu?” tanyanya antusias.
“Baik,” jawab Biru ala kadarnya. Cewek itu tidak bertanya balik, sebab dilihat-lihat sepertinya mood cowok itu sedang sangat bagus.
Mereka akhirnya jalan ke tempat penyewaan sepeda yang ada di dekat stasiun. Seperti kebanyakan kota di Belanda, kebanyakan orang akan lebih menggunakan sepeda atau transportasi umum sebagai akomodasi alternatif mereka daripada kendaraan pribadi, apalagi di tempat seperti ini. Biru jarang melihat banyak kendaraan di jalanan, pun hanya ada 2 atau 3 orang yang sesekali terlihat menyusuri trotoar. Hal tersebut membuat Biru berasumsi jika Enschede adalah kota yang tentram, jauh dari suasana hiruk pikuk dunia.
Setelah menyewa sepeda untuk mereka pakai seharian, Biru diajak ke salah satu tempat bernama Oude Markt, Alun-alun kota yang terdapat banyak restoran, kafe, bar, toko-toko dan masih banyak lagi yang berderet dalam satu kawasan yang sangat luas. Kalau bisa diibaratkan, Oude Markt adalah Blok M atau Braga-nya Enschede versi raksasa yang super bersih.
Di sana tidak terlalu ramai, beberapa toko dan gerai-gerai di sekitar baru bersiap-siap untuk dibuka, mungkin karena waktu masih menunjukkan sekitar pukul 10 lewat. Namun beberapa aktivitas orang-orang mulai terlihat.
Biru menggowes sepedanya di belakang Hito. Cowok itu memandu di depan. Mereka sudah sekitar 15 menit melaju dengan santai. Bahkan cewek itu menyempatkan diri untuk merekam perjalan mereka dan menyorot keadaan sekitar yang mereka lalui.
“Kau sedang apa?” tanya Hito. Cowok itu tiba-tiba melipir dan berhenti tepat di salah satu bangunan cukup besar yang Biru tebak adalah kantor atau mungkin sejenis gereja.
Cewek itu refleks berhenti merekam, ikut berhenti di samping Hito. “Merekam. Kenapa?” tanya Biru.
“Berikan ponselmu.”
Biru mengernyit, “Untuk apa? Aku tidak merekam kau dari belakang, kok!”
Hito terdiam. Tiba-tiba saja tertawa, saat melihat wajah serius milik Biru. “Aku tidak masalah kalau kau mau merekamku! Tapi bukan itu maksudku!”
“Ya terus mau ngapain? Mau apa kau dengan ponselku?” tanya Biru, refleks sedikit menggunakan bahasa Indonesia di awal kalimatnya barusan.
“Biar aku yang merekam!” jawabnya, memberikan tangannya, meminta ponsel Biru.
Cewek itu mengerjapkan matanya sejenak, sebelum akhirnya memberikan ponselnya meski pikirannya cukup was-was takut cowok itu iseng atau semacamnya.
“Hello everyone! This is Mees, or Hito, or, Victor, or whatever you like to call. I’m here with my bestie—Blauw do you wanna say something?” tanya Hito, dia mengarahkan ponsel tersebut ke arah Biru, memperlihatkan wajahnya di layar yang siapapun melihat akan tahu jika dia tengah memberikan tatapan ‘Judging this people so hard’ pada Hito tanpa cewek itu sadari.
“Okay, there’s nothing to say from Blauw. I guess she’s a little bit mad. She’s always mad, actually.” Hito mengangkat bahunya tak acuh, yang seketika langsung dibalas dengan decakan dari Biru.
“Aku tidak marah! Jangan sembarangan kalau bicara!” kesalnya.
Hito terkekeh. Masih merekam. “So guys, now we are in Oude Markt in Enschede. It’s like the first place you have to visit when you’re come to Enschede. Blauw, what do you think about this place?”
Baiklah, sekarang cowok itu tiba-tiba berubah menjadi vloger dadakan. Biru tersenyum masam. “It’s good.”
Dan akhirnya Hito malah keterusan, sampai mereka melipir ke salah satu taman bernama Volkspark. Beruntung memori ponsel cewek itu banyak, sehingga tidak menggangu kegiatan absurd cowok itu yang sekarang sedang mengajak bicara seekor angsa di danau.
Ya Tuhan! Dia mengira tingkah aneh Hito akan hilang ketika sudah tumbuh dewasa, tapi nyatanya cowok itu masih orang yang sama. Tidak ada yang berubah! Hito seperti tidak kehabisan energi. Biru saja capek melihatnya yang tidak bisa diam barang semenit saja.
Alhasil karena lelah akibat energi sosialnya diserap oleh kerandoman seorang Hito, dan juga lelah karena sudah setengah jam keliling alun-alun dengan sepeda, membuatnya beristirahat di salah satu kursi seraya meneguk air mineral yang dia beli di salah satu minimarket barusan.
Mees ikut duduk di sampingnya. Untuk pertama kalinya Biru mengucap syukur di hari ini karena cowok itu bisa diam sebentar.
“Kau lelah?” tanyanya retoris.
Biru menatapnya sinis. “Tidak. Aku mengantuk!” jawabnya sarkas, yang tak lama membuat cowok itu tertawa terbahak-bahak.
“Oke, oke. Aku minta maaf. Kita istirahat dulu di sini.” Mees akhirnya memberikan kembali ponsel Biru. Cowok itu kemudian menyandarkan punggungnya, melemaskan sejenak otot-otot di tubuhnya.
Hening. Mereka saling diam. Biru sibuk membalas pesan dari grup-grup di mata kuliahnya, sedangkan Hito sibuk memejamkan matanya dan menikmati udara di sekitar.
“Blauw.” Tiba-tiba Hito memanggilnya.
“Apa?” sahut Biru tanpa menoleh.
Hito membuka matanya, menoleh ke arah Biru, menatap wajah cewek itu dari samping. “Aku lupa nama lengkapmu.”
Biru mengernyit. “Parah sekali! Aku saja tahu nama lengkapmu!” sahutnya. Padahal aslinya kalau Biru tidak sempat searching siapa nama asli cowok itu, dia juga tidak akan ingat siapa Hito sebenarnya.
Cowok itu meringis. “Aku lupa-lupa ingat. Aku hanya takut salah mengucapkannya.”
“Coba sebutkan namaku,” pinta Biru. Kini mereka saling tatap.
Hito menegakkan punggungnya kembali seraya berdeham. “Se ... Semananyung ... Samananyung Biru? Apa aku benar?”
Refleks, Biru tertawa mendengar logat Hito yang mengucapkan namanya. “Bukan! Tapi Se-me-nan-jung Biru!”
“Iya itu maksudku, maaf,” ucap Hito. Dia menyengir lebar seraya menggaruk belakang kepalanya.
“Sudahlah, tidak masalah. Ayo kita cari makan. Aku lapar.”
* * *
Ini seperti deja vu. Ingatan Biru akan masa kecilnya bersama Hito terus menguar. Dia kadang dibuat terdiam kala melihat punggung lebar itu di depannya. Teringat ketika dulu cowok itu selalu memimpin jalan di depan. Tak jarang Biru kewalahan menyusul temannya itu yang sengaja menggowes sepedanya dengan cepat untuk menjahilinya. Terakhir yang Biru ingat dia pernah terjatuh, dan Hito langsung merasa bersalah. Sejak saat itu, dia selalu memastikan jarak bersepeda di antara mereka tidak terlalu jauh, agar Biru tidak merasa tertinggal.
Seperti sekarang. Cowok itu sebenarnya bisa saja menggowes dengan cepat, mengingat dia adalah seorang atlet. Napasnya saja tidak terdengar sama sekali. Berbeda dengan biru yang mulai kelelahan karena 15 menit mengayuh sepeda dari alun-alun menuju desa Lonneker. Desa kecil yang terdapat kincir angin raksasa yang masih beroperasi hingga sekarang.
Mereka harus sedikit kecewa saat jam operasional tour masuk ke dalam kincir angin hanya ada di hari Minggu dan Selasa. Sedangkan sekarang adalah hari Senin. Akhirnya sesampainya di sana mereka hanya foto-foto dan duduk di rerumputan yang luas.
“Katakan padaku, Blauw. Seperti apa Indonesia itu?”
Tiba-tiba Hito yang sedang merebahkan tubuhnya di rumput bertanya. Biru menoleh, menatap cowok itu yang masih terpejam, melipat tangannya ke belakang kepala—menjadikannya bantalan.
Barusan dia bertanya Indonesia seperti apa?
“Kenapa kau bertanya itu padaku? Bukankah Indonesia itu negara ibumu?” Biru bertanya balik.
“Memang. Mama masih berkewarganegaraan Indonesia. Di awal tahun, dia baru saja mendirikan yayasan panti asuhan dan menjadi donatur tetap di sana, di Sulawesi.”
“Waw, Tante Lita hebat sekali,” gumamnya.
Hito membuka matanya dalam sekejap, mendapati cewek itu yang tertangkap basah sedang menatapnya. Panik, Biru langsung membuang muka. “Sayangnya aku belum pernah datang ke sana. Hanya Mama dan Siera. Aku terlalu disibukkan oleh jadwal Twente yang padat.”
“Aku juga belum pernah mengunjungi daerah Sulawesi,” balas Biru. Cewek itu membetulkan helai rambut yang menghalangi jidatnya. “Mereka bilang di sana banyak surga yang tersembunyi.”
Kini, Hito bangkit dan mengubah posisinya menjadi duduk menghadap Biru. “Kau belum pernah ke Sulawesi?”
Biru menggeleng. “Indonesia itu luas, Hito. Butuh berhari-hari bahkan berminggu-minggu untuk sampai ke suatu daerah di luar pulau menggunakan mobil dan kapal laut. Tiket pesawat pun terkadang terlalu mahal,” jelasnya. Terdiam sejenak untuk menghela napas. “Tapi suatu saat aku akan mengelilingi seluruh tempat yang ada di Indonesia. Mengisi masa mudaku dengan pengalaman-pengalaman yang menakjubkan.”
Hito tersenyum. “Jadi itu mimpi barumu?” tanyanya.
Cewek itu menoleh, tatapannya terjatuh pada manik indah milik Hito yang sedari tadi memperhatikannya dengan antusias. “Mungkin.”
“Kalau begitu aku doakan kau bisa mewujudkannya.”
Tanpa sadar, Biru tersenyum kecil. “Terima kasih.”
Cowok itu ikut tersenyum, mengalihkan pandangannya ke lain arah sembari menarik napas sejenak. “Kau tahu, Blauw? Beberapa hari yang lalu, ada seorang agen sepak bola yang menghubungiku. Dia memberikanku tawaran bermain untuk Timnas Indonesia.”
“... A—apa?” Biru mengerutkan keningnya. “Timnas Indonesia? Bukannya kau berkewarganegaraan Belanda?”
“Dulu aku berkewarganegaraan ganda, Blauw. Di usiaku yang ke-21 aku akhirnya memilih salah satunya. Tentu aku pilih Belanda.”
“Kenapa?” Biru refleks bertanya begitu. Tiba-tiba tersadar dan langsung menggeleng. “Ma—maksudku bukan begitu!”
Hito terkekeh. Lucu juga melihat ekspresi panik cewek itu. “Alasannya simpel. Aku lahir dan besar di Belanda. Keluarga besarku rata-rata semua ada di sini, baik dari pihak Papa atau Mama. Bahkan Mamaku saja sudah lama sekali tinggal di sini. Itu sebabnya aku memilih Belanda.”
“... Jadi kau menolak tawaran tersebut?” tanya Biru.
“Entahlah. Kebetulan aku dipanggil Timnas Belanda untuk bermain di unit usia 21. Aku berpikir untuk menunda dulu tawaran tersebut.” Hito menarik asal ilalang liar di rumput, tangannya iseng memainkannya. “Ini kesempatanku untuk dapat bergabung dengan Tim Oranje, Blauw. Itu adalah suatu kehormatan seorang atlet untuk bisa mewakili negaranya.”
Biru mengangguk paham. Tatapan mereka kembali beradu. “Aku mengerti. Kau hebat, Hito.”
“Benarkah?”
“Aku ingat kau pernah bilang ingin menjadi pesepak bola. Sekarang mimpi itu sudah terwujud.” Biru menyampirkan helaian rambutnya yang berantakan akibat tertiup angin sepoi-sepoi.
Hito mengangguk-angguk, tatapannya masih setia tertuju pada Biru. “Yeah, salah satu impian masa kecilku sudah terwujud.”
“Salah satu? Kau ada yang lain?” tanya Biru.
Cowok itu mengangguk. “Aku ingin naik kereta Santa Claus!”
Baiklah. Rupanya Biru terlalu banyak berharap pada seorang Hito untuk serius. Mendengar penuturannya, cewek itu spontan memukul paha cowok itu. Tiba-tiba teringat masa kecil mereka di mana cowok itu bercerita pernah melihat Santa Claus, dan berkeinginan untuk bertemu kembali dan naik keretanya. Jelas untuk Biru versi sekarang, itu hanya sekedar bualan anak-anak semata. Dia yakin saat itu Hito tidak bisa membedakan mana kejadian asli dan mana yang mimpi.
“Dasar idiot!” ketus Biru.
Pembicaraan mereka pun berakhir dengan suara tawa Hito yang terbahak-bahak.
“Aku hanya bercanda, Blauw! Jangan marah!”
* * *
Note:
Sejauh ini gimana ceritanya temen-temen? Semoga gak ngebosenin ya. Soalnya lagi coba buat alur yang santai-santai tapi membantai, wkwkwk.
Dan semoga juga karakter Hito klop di kalian. Agak susah buat cowok clingy ternyata bess!
Anyway, maaf ya kalau jarang ngasih foto, padahal si Hito sering pap ke biru begitu. Soalnya gue jarang Nemu foto selfie dia waktu belum punya janggut. Soalnya latar waktunya tahun 2022. Muehehe. Jadi kalian bayangin aja yaa.
Sekian dan terima kasih.
Sincerely, Nanda.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top