Sixteenth Note: He Kissed Me and He Really Did
He bought me a cup of Bisschopswijn, took me for a walk to the park, and then without me ever expecting it, he kissed me.
He fucking kissed me! He really did!
—Semenanjung Biru
*
Eka itu percaya kalau setiap seseorang pasti memiliki masanya untuk bersinar. Sama seperti bunga yang butuh waktu untuk kuncup dan bersemi indah di taman. Itulah prinsip yang selalu dipegang olehnya hingga sekarang. Percaya atau tidak, kebanyakan orang tidak pernah mengira kalau dulunya Eka adalah anak yang tidak percaya diri.
Dulu sewaktu masih sekolah, kulitnya gelap, tubuhnya tinggi besar, membuat dirinya terkadang menjadi pusat perhatian bukan karena sosoknya yang indah untuk dilihat, tapi justru sebaliknya. Tak jarang teman-temannya mengejeknya dengan sebutan-sebutan tak senonoh. Hal tersebut membuatnya terkadang gelisah ketika berada di keramaian. Ingin sekali dia menghilang ketika dipaksa untuk berada di tengah-tengah banyak orang.
Hingga ketika dunia mulai berubah. Lock down. Wabah virus Corona mulai menyebar ke seluruh dunia. Sekolah tatap muka dihentikan sementara selama 2 minggu. Tapi alih-alih berubah dan berlanjut hingga 2 tahun lamanya.
Dua tahun. Waktu yang sangat cukup baginya untuk berubah. Yang sebelumnya namanya adalah Gentari, kini dirinya justru memilih untuk mengenalkan dirinya sebagai Eka. Nama tengahnya. Sebab dulu, bukannya dipanggil Gentari, alih-alih teman-temannya justru memplesetkannya menjadi ‘Gentong’.
Representasi dari tubuhnya yang besar jika dibandingkan dengan teman-teman seusianya.
Tapi siapa yang menyangka jika kehidupan itu terus berputar. 2 tahun adalah waktu yang cukup bagi seorang Gentari berubah menjadi Eka. Cewek cantik berpenampilan eksotis yang dapat mematahkan standar kecantikan orang-orang Indonesia pada umumnya.
Saat perkuliahan semester 4 mulai diterapkan kelas tatap muka, semuanya terasa mimpi. Teman-temannya yang dia kenal secara daring begitu antusias saat bertemu dengannya secara langsung. Tak sedikit di antara mereka yang memujinya.
“Eh, lu tinggi banget sumpah. Body goals parah!”
“Ternyata lu lebih cakep dilihat langsung daripada di Zoom Meet, ya!”
“Masyaallah, meuni geulis pisan maneh teh, Eka!”
Ya, banyak sekali pujian yang dia dapat. Dan itu hanyalah beberapa dari sekian kalimat-kalimat indah yang tidak pernah Eka dapatkan dahulu. Sekarang, sosok Gentari sudah tidak ada. Sosok itu sudah hilang, mati oleh banyaknya penolakan yang didapat dari lingkungan sosialnya di masa lalu. Sekarang, yang ada hanya Eka. Eka Julia.
Tapi keadaan entah kenapa berubah ketika dirinya bertemu dengan cewek bernama Biru. Harus Eka akui, dia tidak pernah menyangka bisa berteman dengan orang sepertinya. Biru pendiam, tidak banyak bicara. Gaya dan penampilannya monoton, terkesan membosankan dan tidak berselera. Beberapa momen terkadang dirinya terlihat cuek dan tidak peduli dengan sekitar, namun terkadang diam-diam memperhatikan tanpa berisik dan tanpa butuh pengakuan.
Melihat Biru, Eka seperti melihat Gentari, sosok dirinya yang telah lama hilang. Biru adalah wujud nyata seorang Gentari apabila dirinya bertahan lebih lama lagi. Biru adalah Gentari yang tidak lemah. Meski di beberapa waktu, Eka cukup sering mendapati cewek itu terpojok, dan berakhir kikuk lalu meminta maaf (walau Eka tahu itu bukan salahnya). Atau ketika mendapati Biru yang mencoba melawan, namun kembali terpojok oleh lawan bicaranya yang mendominasi, lalu cewek itu kembali berakhir kicep dan mundur sembari meminta maaf kembali.
Dari respon cewek itu, membuat Eka benar-benar seperti melihat Gentari. Dan sialnya, Eka tidak suka hal itu.
Seharusnya Gentari itu hilang. Tidak ada orang seperti Gentari yang masih bisa terus bertahan di gejolaknya lingkungan yang menuntut untuk selalu sempurna. Kenapa Gentari di dalam diri Biru masih bertahan?
Gentari seharusnya menangis ketika ada seseorang yang mengkritik pedas dirinya. Gentari seharusnya menyerah ketika orang-orang tidak ada yang mendukungnya. Seharusnya tidak ada seorang pun yang mau bertahan untuk seseorang seperti Gentari. Apa yang sebenarnya dilakukan oleh Biru? Kenapa Eka sangat sulit untuk mengerti tentangnya?
“Tersisa satu kesempatan lagi. Kalau gagal, maka uangmu hangus. Tidak ada hadiah yang bisa kau dapat.”
Seorang penjaga stand permainan lempar bola itu berhasil membuyarkan lamunan Eka. Dia dibuat melamun sejenak sembari memperhatikan interaksi Biru dan Hito. Untuk pertama kalinya, cewek itu melihat ekspresi lain yang tidak pernah Biru berikan kepada siapapun.
Kehadiran Hito benar-benar seperti warna baru yang memancing keluar aura Biru yang selama ini tidak pernah cewek itu tunjukkan. Untuk pertama kalinya pula, Eka melihat teman sekamarnya itu tertawa terbahak-bahak. Lagi-lagi sesuatu yang tidak pernah dia bayangkan akan terjadi
Eka mengepalkan tangannya. Menatap Biru yang kembali berargumentasi dengan si pesepak bola keturunan Manado tersebut.
“Sudah berikan saja bolanya padaku!” Hito sedari tadi mencoba untuk merebut bola pingpong tersebut dari tangan Biru.
“Aku bisa melakukannya sendiri! Kau lebih baik diam!” jawab Biru.
“3 Euro mu akan hilang begitu saja! Sudah, percayakan saja padaku! Lagi pula aku ini sudah bersahabat dengan segala jenis bola, kau tahu itu?”
Akhirnya Biru mengalah, memberikan bolanya pada Hito. Walla! benar saja, bola itu dilempar olehnya dengan mudah dan berhasil mengenai target. Biru sempat dibuat tidak percaya, sebelum akhirnya penjaga stand memberikan boneka berbentuk kepala dari salah satu karakter film Pixar, Monster Inc—Mike Wazowski—padanya.
“Kan? Aku sudah bilang, aku ini ahlinya!” ucap Hito sembari menepuk-nepuk tangannya.
“Ya, terserah kau saja!”
Mereka tadinya bertujuh, namun Jasmijn, Ruth dan Simon berpisah dan akan janjian di venue sebelum konser dimulai. Kini menyisakan mereka berempat. Eka, Biru, Hito dan Sven.
“Itu hanya sekedar boneka. Apa spesialnya?” Terdengar suara Sven yang bergumam di sampingnya.
Sayangnya hal tersebut justru terdengar sampai ke telinga Hito. Cowok itu seketika menatapnya sembari menaikkan salah alisnya. Tidak terima. “Maaf? Apa maksudmu, Bung?” tanyanya.
“Itu hanya boneka. Berhentilah bersikap seperti kau baru saja memberikan berlian untuknya!”
Wah. Lagi-lagi ini sesuatu yang baru pertama kali Eka lihat. Sven. Cowok yang terkenal tenang itu tiba-tiba berubah jadi agak sedikit agresif sejak kehadiran Hito. Apakah cowok itu tertarik pada Biru?
Lagi?
Bagaimana bisa Biru—yang mengingatkannya dengan Gentari—justru bisa memikat seorang seperti Sven?!
“Tch, bilang saja kau tidak bisa melakukannya, Pirang!” balas Hito, yang kemudian pinggangnya langsung disikut oleh Biru.
“Hey, hentikan! Sven itu hanya bergurau!” ucap Biru menengahi. Hito hanya melengos, tidak ingin ribut.
Sven menyeringai. “Aku tidak bergurau, Biwu. Aku bahkan bisa memberikanmu lebih dari pada itu.”
Hito kembali menatap Sven. Kali ini tatapannya lebih tajam. Mereka saling tatap, dan entah kenapa itu berhasil membuat atmosfer di sekitar terasa aneh.
Eka mengernyit. Apa-apaan ini? Cinta segitiga?
Yang benar saja! Seorang Biru (Gentari) bisa melakukannya? Ini sesuatu yang benar-benar berada di luar logikanya. Gila!
* * *
Sven benar-benar muak. Kalau saja dia dibolehkan untuk mendepak cowok bernama Mees Hilgers itu keluar dari area festival, dia sudah sedari tadi melakukannya. Tapi mau tahu apa yang lebih menyebalkan? Saat dia tidak bisa bereaksi apapun ketika mendapati respon Biru justru senang-senang saja ketika mendapati teman masa kecilnya itu bertingkah menyebalkan.
Dia tahu, Hilgers itu sudah ada di hidup Biru jauh sebelum Sven bertemu dengannya. Bahkan Biru sendiri bilang kalau mereka sudah bersahabat sejak kecil. Tapi ayolah, tidak ada persahabatan yang langgeng antara laki-laki dan perempuan! Meski Sven tidak ingin mengakuinya, dia merasa tersaingi.
Mereka (Sven dan Biru) sering bertemu setiap harinya di kampus. Tapi entah kenapa sosok Hilgers selalu terasa di antara mereka. Dibandingkan menyetujui ajakan Sven menikmati hari libur di Sabtu dan Minggu, Biru entah kenapa selalu menolak dan berakhir pergi seorang diri ke Amersfoort dengan dalih melakukan Misa bersama keluarga besar Hito dan berkumpul dengan sesama orang Indonesia.
Padahal bisa saja Biru melakukan itu dengannya di Utrecht. Banyak kok, komunitas orang-orang Indonesia di sini. Bahkan Utrecht masuk nominasi 5 besar daerah yang paling banyak dihuni oleh orang asli Indonesia maupun keturunannya.
Ketika Sven bertanya apakah ada hubungan spesial di antara mereka, Biru dengan mantap hanya menjawab jika dia dan Hilgers hanya bersahabat seperti pada umumnya.
“Sepertinya Biru itu tipe orang yang pemilih, ya?”
Di keramaian konser yang tengah berlangsung, Eka tiba-tiba berbicara di samping telinganya. Sven menoleh sebentar, yang kemudian tatapannya justru tertuju pada Biru dan Hilgers yang terlihat sedang menikmati musik yang dibawa Bradley Simpson, vokalis The Vamps di atas panggung sana.
“Apa katamu?” tanya Sven. Kembali menoleh kepada Eka.
“Biru. Dia orang yang pemilih dalam berteman. Bukankah begitu?”
Sven terdiam. Membiarkan suara vokalis tersebut beserta instrumen musik yang terdengar keras dari speaker mengisi indra pendengarannya selama beberapa detik. Bahkan cowok itu menelaah sejenak lirik lagu yang entah kenapa cukup terngiang di kepalanya.
She lets me down, then gets me high.
Oh, I don’t know why she’s just my type.
She’s bad advice, I don’t think twice.
Oh, I don’t know why she’s what I like
But I, I, I love it. I, I, I love it.
Love the way she plays with my head.
She lets me down, then gets me high.
Oh, I don’t know why she’s just my type.
Pria itu tersenyum penuh arti. Lalu membalas perkataan Eka barusan dengan mendekatkan wajahnya ke telinga cewek itu.
“Bukankah kita memang harus memilih dalam berteman?” balasnya, justru malah bertanya balik.
“Iya, maksudku—”
“Hey, orang seperti Biwu itu cukup pandai untuk mengetahui mana teman yang munafik dan mana yang bukan.” Sven menyeringai. “Lebih baik kau diam dan jangan banyak bertingkah!”
Sven pun menjauh, bertepatan dengan Biru yang tiba-tiba mengajaknya untuk mendekat dan bergabung dalam videonya yang sedang dia rekam.
Baiklah, persetan dengan kehadiran Hilgers tersebut. Dia hanya orang biasa yang tidak cukup membuatnya merasa ciut untuk mendapatkan hati seorang Biru.
* * *
Konser itu selesai pada pukul 6 sore. Hito menyempatkan dahulu untuk makan malam bersama teman-temannya Biru, sebelum akhirnya kembali ke Amersfoort.
Festivalnya menyenangkan, dia harus akui itu. Setidaknya itu lebih baik baginya untuk mengisi waktu libur di bulan November sebelum nantinya kembali sibuk dengan jadwal pertandingan yang cukup padat di bulan Desember. Biru pun seperti biasa, dia menggemaskan dengan omelannya yang terkadang membuat Hito merasa candu untuk mendengarkannya.
Tch. Seharusnya tadi dia minum yang banyak saja sehingga ada alasan baginya untuk bermalam di Utrecht. Dia masih belum mau pulang, dan masih banyak pula hal yang ingin dia bahas bersama Biru. Meski terkadang dia kurang suka dengan kehadiran temannya yang berambut pirang itu. Siapa itu namanya? Hito tidak ingat.
Drrt drrt drrt!
Louisa ❤️ is calling ...
Hito mendengkus ketika mengecek layar ponselnya. Tidak. Dia tidak langsung mengangkat panggilan tersebut. Membiarkannya berakhir begitu saja. Hingga kemudian muncul pesan darinya.
Louisa ❤️
|Kau bilang kau pulang ke Amersfoort.
|Aku ke rumahmu, dan kau tidak ada di sana.
|Ibumu bilang kau pergi ke Utrecht.
|Kau menemuinya lagi?
|Angkat teleponku!
Ponselnya kembali bergetar. Akhirnya terpaksa Hito melipirkan sejenak mobilnya ke pinggir jalan, mengangkat panggilan tersebut. Sepersekian detik panggilan itu tersambung, di ujung sana Louisa lebih dulu berbicara.
“Kau ingin bertingkah seperti ini sampai kapan, huh?!” tanyanya.
Hito menghela napas. Mengusap kepalanya frustasi. “Louisa, hentikan. Hubungan kita sudah selesai.”
“Tidak! Sampai kau memberi tahuku apa yang membuatmu tidak mau bertahan dalam hubungan ini?!” balas Louisa. Suaranya terdengar bergetar. Hito tahu cewek itu sudah berada di ambang rasa kesalnya. Tapi cowok itu bisa apa?
“Kau tahu, sesuatu pasti ada masanya. Kau dan aku hanya bisa sampai di sini saja. Kuharap kau mengerti itu!”
“Itu alasan sampah yang pernah aku dengar!” umpat Louisa.
“Louisa, dengar—”
“Apa karena gadis itu?! Kau semakin berubah ketika bertemu dengannya!”
Hito lagi-lagi menghela napas. Menyenderkan punggungnya sejenak sebelum akhirnya mengatakan. “Ya. Lalu kau mau apa?”
“Kau!” Kalimat Louisa sedikit tersendat, bahkan tak lama suara isakan tangis pun mulai terdengar. “Kenapa kau melakukan ini padaku?!” tanyanya.
Kali ini, Hito terdiam. Cukup lama terjadi hening di sambungan telepon tersebut. “Aku minta maaf Louisa,” ucapnya. “Aku dan dia hanya bersahabat. Aku tidak bisa dikekang. Aku minta maaf.”
Louisa tidak mengatakan apa-apa lagi, sebab panggilan tersebut langsung terputus. Hito melempar ponselnya ke kursi samping kemudi, mengusap wajahnya dengan kasar. Cukup lama dia terdiam merenung sebelum akhirnya ponselnya kembali bergetar. Tadinya, dia mengira itu dari Louisa. Namun perkiraannya salah, sebab yang menelepon adalah Biru.
Bagaikan standar ganda, cowok mengangkat panggilan tersebut.
“Kau meninggalkan dompetmu di restoran! Bagaimana bisa kau jadi pelupa seperti ini, hah?!” cerocos Biru tanpa salam pembuka, bahkan cewek itu tidak memberikan kesempatan baginya untuk sekedar mengucapkan kata ‘halo’.
Hito meringis. Tiba-tiba saja suasana hatinya berubah drastis. “Maaf, Blauw. Hmm ... Bagaimana jika kau tunggu aku sebentar. Aku putar balik dulu.”
“Ya memang harusnya seperti itu, bodoh! Cepat kemari, aku tidak ingin menunggu lama!”
Cowok itu terkekeh. “Oke, tunggu sebentar. Kau ingin menitip sesuatu?”
“Hah?”
“Menitip sesuatu. Mungkin kau ingin cokelat hangat atau—”
“Hentikan omong kosongmu, kau hanya akan mengambil dompetmu!” potong Biru. “Aku tunggu kau di depan SPAR dekat gedung flat-ku.”
Panggilan pun akhirnya terputus. Hito tertawa, tiba-tiba saja membayangkan bagaimana wajah Biru yang sedang menahan jengkel. Akhirnya tanpa berpikir panjang, dia memutar arah. Kembali ke Utrecht, meskipun sebenarnya dia nyaris saja sampai di Amersfoort. Dan tidak sampai setengah jam, dirinya sampai di gedung flatnya. Rupanya sahabatnya itu sudah menunggu di depan minimarket sembari memainkan ponselnya.
Hito turun dari mobil, dan masuk ke dalam minimarket tanpa disadari oleh Biru. Lima menit kemudian, cowok itu akhirnya keluar dengan dua cup minuman bisschopswijn—sejenis anggur non-alkohol dengan tambahan rempah-rempah yang dapat menghangatkan tubuh—di tangannya.
Hito menarik kursi, mengambil duduk di hadapannya tanpa mengatakan apa-apa. Sejenak cewek itu mendongak, atensi yang tadinya tertuju pada layar ponselnya, kini tertuju cowok itu. Dia terlihat sedikit terkejut dengan kehadiran Hito yang tiba-tiba.
“Loh?” Biru menoleh sejenak ke arah parkiran, mendapati mobilnya yang sudah terparkir manis di sana. “Sejak kapan kau sampai?” Alih-alih dia malah bertanya.
“Sejak tadi,” bohongnya. Lalu memberikan minuman tersebut padanya.
“Apa ini?”
“Bisschopswijn. Sejenis anggur. Tenang saja, tidak ada kandungan alkohol di dalamnya. Aku sedang tidak ingin mengajakmu mabuk.”
Biru menatapnya sinis. “Siapa juga yang mau mabuk denganmu?” katanya, tapi tetap menerima minuman tersebut.
Hito tersenyum. Mereka meneguk minumannya sejenak, sebelum akhirnya Biru memberikan dompetnya yang tertinggal saat makan malam di salah satu restoran bersama teman-temannya tadi.
“Lain kali jangan teledor! Untung tadi Sven menyadarinya. Kalau tidak, sudah lenyap dompetmu! Utrecht tidak seaman seperti Enschede atau Amersfoort, banyak orang aneh di sini, asal kau tahu!”
“Baiklah, Nona. Aku mengerti.” Hito memberikan hormat sebentar seraya mengedipkan sebelah matanya. Lalu tak lama dia berdiri, tiba-tiba mengulurkan salah satu tangannya pada Biru. Belum sempat bagi cewek itu untuk bertanya, Hito lebih dulu berbicara, “Ayo jalan-jalan sebentar. Sembari menghabiskan minumannya.”
Hito kira, Biru akan menolak. Tapi ternyata tidak. Cewek itu ajaibnya justru menerima uluran tangannya dan berjalan beriringan di trotoar menuju taman terdekat. Udara di sekitar memang cukup dingin, tapi entah kenapa malam itu, Hito tidak begitu merasakannya. Entah karena efek bisschopswijn atau karena ada kehadiran Biru di sampingnya.
Cowok itu berdeham. Hendak memulai percakapan. “Kalau aku boleh tahu, seperti apa hubunganmu dengan si rusa kutub itu, Blauw?”
Rusa kutub adalah panggilan sekaligus ejekan darinya untuk Sven. Sebab namanya sama persis seperti rusa yang ada di film Frozen.
“Berhenti memanggilnya begitu! Nama dia Sven.”
Hito mengendikkan bahunya. “Dia juga meledekku mirip Mike Wazowski! Bisa-bisanya wajah tampan ini disamakan dengan monster hijau jelek berbetuk bulat dan bermata satu itu!”
Biru tertawa pelan. “Tapi kau memang mirip!”
“Itu tidak lucu, Blauw!” dengkus Hito.
“Hahaha! Maaf, maaf,” katanya. “Aku dan Sven memiliki jadwal kelas yang sama. Itu sebabnya kami jadi akrab. Tapi aku tidak hanya akrab dengannya saja kok, aku juga terkadang satu kelas dengan Jasmijn, Simon ataupun Eka.” Biru menjelaskan. “Oh ya, ngomong-ngomong kau tidak segera pulang? Waktu sudah semakin larut, loh!”
“Jadi kau mengusirku?” tanya Hito.
“Iya. Aku mengusirmu.” Biru memutar bola matanya jengah.
Respon Hito hanya mengangkat bahunya tak acuh. “Tidak apa-apa. Aku tidak mengantuk dan aku tidak mabuk.”
Biru mendengkus. Sedangkan Hito menatapnya lekat-lekat. Merasa ditatap, cewek itu mendongak dan menatapnya.
“Apa?”
“Pipimu sekarang sedikit chubby, ya?” katanya, tiba-tiba saja tangannya mencubit pipi sahabatnya itu dengan pelan.
Cewek itu meringis, melotot tajam sebagai protes. Tapi respon Hito hanya terkekeh. Bukannya membuang muka atau sedikit menjauh, mereka justru saling berhadap-hadapan, tatapan mereka saling terkunci. Tidak tahu apa yang ada di pikiran Hito, tapi sejenak dia merasa ingin berada di situasi ini lebih lama lagi.
Hito juga sebenarnya tidak tahu sejak kapan tepatnya? Ini terbilang sangat cepat, tapi dia tidak bisa denial jika dirinya ingin hubungan ini lebih dari sekedar sahabat.
Dia tahu dia brengsek. Dia telah melukai perasaan Louisa. Tapi kehadiran Biru tidak mungkin dia abaikan begitu saja. Cewek itu adalah potongan puzzle yang telah hilang cukup lama dalam hidupnya, dan kini dia hadir tanpa pernah Hito duga. Dia tidak ingin kehilangannya itu lagi. Hito tidak ingin kehilangan Biru lagi. Sungguh
Tepat beberapa detik setelahnya, cowok itu mengikis jarak. Meraih pinggang dan tengkuk Biru, dan mendaratkan bibirnya tepat pada bibir ranum tersebut. Cowok itu sadar kalau dia benar-benar brengsek.
Dia telah berani mencium bibir sahabatnya sendiri.
* * *
Note:
Duaar Nmax 🔥🔥
Tebak, cerita ini sampe berapa bab?
Gue paling gak bisa buat karakter yang disakiti oleh orang ketiga. Mending karakter utamanya aja yang jadi orang ketiga awokawok😁
Dari awal gue emang udah niatin si Hito jadi cowok red flag. Semoga aja Biru sadar yaa.
Terima kasih. Jejak kalian bisa nge-boost mood aku buat nulis.
Sincerely, Nanda.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top