Seventh Note: The Dutch Aren't Going Dutch

Oh God! What the hell you think you’re doing?! You shouldn’t have to do it!

What the fuck!?!

—Semenanjung Biru

*

Bukan tanpa alasan. Sven mengajak Biru dalam kegiatan volunteer itu karena menurutnya, dia mungkin bisa mengenal cewek itu lebih dekat. Di awal kali pertama mereka bertemu, Sven tidak terlalu notice kehadirannya karena aura temannya—Eka—lebih dominan. Pribadinya yang introvert terkadang membuatnya seperti bayangan, dan keberadaannya tidak disadari oleh orang-orang. Tapi makin mengenal cewek itu, Sven merasa ada hal menarik di dalam dunianya yang tidak sembarangan orang bisa masuk.

Dan segala hal tentangnya, nyaris dalam 1 bulan ini, Sven tidak berhasil menyimpulkannya dengan rampung. Cewek itu cuek, tapi peduli. Dia malas, tapi cerdas. Dia tidak banyak bicara, tapi pengamat yang handal. Penampilannya tidak begitu menarik, tapi sikapnya tersebut justru berhasil menarik perhatian Sven. Harus cowok itu akui, dia penasaran dengan Biru.

Di saat teman-temannya justru penasaran dengan Eka, mahasiswa pertukaran pelajar yang dari awal datang berpenampilan sangat menarik; tubuhnya tinggi semampai, kulitnya terlihat sangat eksotis, rambutnya hitam berkilau, dengan wajah yang cantik rupawan. Semua jatuh cinta padanya. Bahkan Sven juga sempat kagum dengannya.

Tapi Biru? Dia terlalu biasa untuk bersanding dengan Eka. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, kulitnya tidak se-eksotis temanya, wajahnya tidak terlalu banyak menggunakan riasan. Bahkan jangan kaget jika melihat cewek itu datang ke kelas hanya mengenakan celana tidur dan jaket. Bahkan jangan berharap kalau cewek itu mau datang ke tempat hiburan atau minimal pesta, di saat menurutnya bantal dan selimut lebih menarik baginya.

Memang sesuatu yang aneh. Dan sialnya, Sven suka yang aneh-aneh.

Well, aku minta maaf jika bahasa Belandaku kurang baik. Aku masih belajar, mohon bantuannya.”

Siang itu, Sven dapat kabar dari ketua panitia penyelenggara acara amalan di yayasan panti asuhan Jummy untuk melakukan rapat perdana di salah satu kafe dekat distrik Lombok. Total para volunteer ada 7 orang termasuk Sven dan Biru. Cewek itu barusan mengkonfirmasi kalau dia bukan seorang native, tapi harus Sven acungi jempol kalau kemampuan bahasa Belanda cewek itu meningkat begitu pesat.

“Oh, tenang saja. Itu tidak masalah,” ucap Richardo, si ketua panitia.

Mereka mendiskusikan segala hal. Mulai dari masalah dan tujuan yang dihadapi oleh anak-anak, rencana kegiatan, materi bahan ajar, kegiatan ice breaking dan doorprize, serta yang terakhir pembagian tugas.

Sven dan Biru kedapatan menjadi tenaga pengajar, karena basic mereka juga adalah mahasiswa pendidikan. Dilihat, Biru sedari tadi sibuk mencatat berapa poin penting yang dijelaskan oleh Richardo di buku catatannya. Sesekali dia bertanya beberapa hal yang menurutnya kurang jelas. Padahal awalnya cewek itu yang paling tidak bersemangat dengan acara ini. Tapi rupanya Sven salah besar. Biru adalah wujud nyata dari seorang introvert. Mereka memang membenci orang dan keramaian, tapi bukan berarti mereka tidak bisa beradaptasi.

Rapat dan diskusi dihentikan sejenak, dan mereka memesan makanan dan minuman.

Biru hanya memesan kopi, cewek itu terlihat sibuk mengetik sesuatu di ponselnya. Sven tahu ini tidak sopan, namun cowok itu penasaran, diam-diam melirik ponselnya yang ternyata sedang chatting-an dengan kontak bernama Hito. Seingat Sven, Hito itu nama panggilan si bocah Hilgers pemain bola klub FC Twente, yang katanya adalah teman masa kecilnya. Sejenak Sven jadi teringat dengan foto dan video yang Biru upload di story Instagram-nya beberapa hari yang lalu. Cewek itu tidak memberikan keterangan lokasi. Tapi dilihat dari tempatnya, cowok itu bisa menebak dia pergi ke Enschede.

Dengan siapa Biru pergi kalau bukan dengan Hilgers?

Entah kenapa Sven tiba-tiba tersenyum kecut. Sedikit tidak terima jika Biru lebih memilih pergi keluar Utrecht dan mengunjungi kota monoton seperti Enschede.

Setengah jam berlalu dan rapat serta diskusi tersebut selesai. Tanpa pernah Sven duga, Biru tiba-tiba pamit pulang duluan. Itu cukup mengejutkan baginya. Mereka datang bersama, bahkan mobil Sven masih terparkir di depan kafe. Bukankah seharusnya mereka juga pulang bersama? Atau dia ada kegiatan lain setelah ini?

“Aku pamit duluan ya teman-teman. Terima kasih atas diskusinya,” pamitnya. Mengenakan tasnya dan menyampirkan jaketnya di lengan. Cewek itu kemudian menoleh ke arah Sven. “Sven, terima kasih atas tumpangannya. Aku ada janji dengan teman setelah ini.”

Melihat wajah Biru yang memelas, tentu saja itu menjadi kelemahan bagi Sven. Cowok itu seperti biasa hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya. “Tidak apa-apa, Biwu. Hati-hati.”

Biru menepuk pundak Sven. Melemparkan senyum kepada orang-orang di meja sebelum akhirnya keluar dari kafe. Rupanya seseorang sudah menunggu di luar. Seorang pria yang dari perawakannya saja Sven tahu itu adalah temannya.

Untuk pertama kalinya, cowok itu melihat sosok si pemain bek tengah tersebut secara langsung. Hilgers terlihat tersenyum lebar kala mendapati sosok Biru mendekat, mereka berpelukan sebentar sebelum akhirnya berjalan pergi menjauhi kafe.

Sven mendengkus, menghabiskan kopinya dalam sekali teguk. Jangankan dia, seorang Hilgers pun tertarik pada Biru. Sebagai seorang laki-laki, Sven tahu jenis tatapan macam apa yang diberikan oleh Hilgers pada cewek itu barusan.

Sial.

* * *

Ini adalah rencana yang sangat dadakan. Biru tidak merencanakan pertemuan mereka hari itu. Tapi beberapa jam yang lalu saat Biru tengah menuju kafe tempat pertemuan rapat perdana sesama volunteer, Hito tiba-tiba mengirimkannya pesan. Awalnya dia mengira cowok itu hanya mengirim foto atau video random seperti biasanya. Tapi ternyata tidak.

Hito
|Kau ingat dulu kita pernah bermain di kanal sungai Eem depan rumah?

|Tidak.

|Dulu kita pernah bermain di sana.
|Kita mencuri perahu Paman Terry, tetangga rumah nomor 17, kau ingat?

|Yeah, aku tahu siapa dia.

|Kita mendayung hingga tersasar entah ke mana.
|Sampai Mama kita kompak memanggil polisi setempat.

|OH IYA! AKU INGAT!
|Kau sangat sok tahu sekali waktu itu!
|Aku sampai menangis sesenggukan!
|Dasar nakal!

|Kita berdua sama-sama nakal waktu itu, Blauw.

|Aku tidak nakal!
|Hanya terpengaruh saja olehmu.

|Di tempatmu banyak kanal kan?
|Ayo naik perahu di sana!

|Tidak. Terima kasih.

|😁😁😁
|Kutebak kau pasti belum pernah mencobanya.

|Tidak mau. Terima kasih.

|Kau tidak seru! Hidup hanya sekali, Blauw!

|Semua manusia hanya hidup sekali, bodoh!

|Kita hanya bermain di kanal.
|Bagaimana jika aku nanti mengajakmu naik gunung? Itu lebih melelahkan.

Jika ada seseorang yang tengil dan keras kepala, maka Hito orangnya. Chat tersebut terus merembet hingga akhirnya Biru menyerah dan mengiyakan ajakannya.

|Ini hari terakhir aku libur, Blauw.
|Besok hingga akhir pekan, aku akan disibukan kembali dengan latihan hingga pekan berikutnya untuk pertandingan selanjutnya.
|Bahkan setelah itu, aku juga harus bergabung dengan tim Oranje untuk bertanding dengan Belgia.

|Memangnya kau tidak punya teman?

|Kau kan temanku.

|Maksudku yang lain? Atau pacar?
|Tidak mungkin kau tidak punya pacar!

Untuk chat terakhir, Biru refleks mengetiknya tanpa berpikir panjang. Maksudnya, ayolah! Seorang Hito? Manusia 70 miliyar yang mungkin dia terkenal untuk sebagian orang. Dia tampan, mapan, tidak mungkin tidak memiliki pacar, bukan? Biru tidak enak jika dirinya sering menghabiskan waktu dengannya sedangkan temannya itu mungkin punya pacar di luar sana.

|Tidak tuh.
|Daan dan teman-temanku yang lain sibuk dengan urusannya.
|Lagi pula aku ingin bertemu denganmu lagi.

|Tapi aku tidak mau bertemu denganmu.

|Jahat sekali 😢

Baiklah, Biru akui ketikannya barusan terlalu kasar. Buru-buru dia langsung mengetik balasan.

|Baiklah. Tapi aku ada rapat dulu.

|Rapat apa? Kau ikut organisasi?

|Yang benar saja!
|Aku ikut acara volunteer.

|Waw, itu keren!
|Baiklah kalau begitu, semoga rapatnya lancar
|Sore aku ke sana. Bagaimana?

|Oke. Nanti aku kirim lokasinya.

|See you there, Blauw.

Dan itu adalah alasan bagaimana Biru bisa berakhir di atas perahu kayak di mana Hito duduk di belakangnya. Mereka menyewa benda tersebut selama 45 menit untuk menyusuri kanal tua di pusat kota Utrecht.

Utrecht sendiri adalah kota yang terletak di tengah-tengah Belanda, menjadikannya sebagai pusat transportasi dan komunikasi yang sibuk. Berbeda dengan Amsterdam si ibu kota negara yang justru berada di bagian paling timur Belanda. Meskipun kanal di Utrecht tidak sebanyak yang ada di Amsterdam, namun yang menjadikannya spesial adalah terdapat dermaga bawah tanah, tepatnya di pinggiran sepanjang sisi kanal yang terdapat deretan kafe dan restoran. Sepanjang musim semi sampai awal-awal musim gugur, tempat tersebut tidak pernah sepi. Contohnya seperti sekarang.

Banyak orang-orang yang bersinggah di pinggir kanal. Beberapa perahu banyak yang berlalu-lalang di kanal, termasuk perahu yang dinaiki Biru dan Hito. Cewek itu sedari tadi tidak bisa berhenti menggerutu karena temannya itu selalu membuat pergerakan yang tiba-tiba, membuat perahu mereka tidak stabil. Biru takut jatuh, lagipun siapa yang mau tercebur ke air saat suhu sekitar menyentuh angka 17 derajat Celcius? Itu sangat dingin bagi Biru si cewek tropis.

“HITO!!”

Itu teriakannya yang kesekian kali, kala cowok itu bukannya mengayuh dayungnya dengan benar, justru dia malah menggerak-gerakkan tubuhnya ke kanan dan kiri membuat jantung Biru nyaris mau copot. Sialnya, Hito bukannya berhenti bergerak dia malah makin menjadi. Tawanya pun menggelegar saat mendapati respon Biru yang menurutnya lucu. Bahkan mereka cukup menarik perhatian orang-orang, dan itu semakin membuat Biru jengkel.

“Hito, sumpah lu nyebelin banget!!” gerutu Biru. Dia menoleh ke belakang, memukul-mukul kaki cowok itu agar temannya tahu rasa. “Diam! Jangan terlalu banyak bergerak! Nanti kita bisa jatuh!”

“Iya, iya!” balas Hito, yang sayangnya itu hanya angin semata.

“HITOO!!!”

* * *

Biru kapok. Biru tidak mau lagi naik perahu bersama Hito untuk yang ketiga kalinya. Pengalaman pertama waktu kecil saja mereka nyaris jadi anak hilang di muara. Yang kedua mereka nyaris memalukan diri mereka sendiri karena hampir tercebur di tengah-tengah kanal yang ramai oleh para pengunjung. Kalau bisa, setelah ini Biru tidak mau lagi jalan sama Hito. Bisa cepat tua lama-lama karena emosi terus.

“Ini.”

Biru terdiam kala Hito memberikan sebungkus lolipop padanya. Wajah cowok itu sedikit memelas, sepertinya merasa bersalah karena menghancurkan mood-nya sedari tadi. Cewek itu mendengkus, memilih untuk melihat menu yang ada di meja saja.

Hito menghela napas, alhasil menaruh lolipop tersebut di samping tangan Biru. Tak lama dia memanggil salah satu pelayan untuk memesan makanan. “Pesanlah, aku yang traktir,” ucapnya.

Hal tersebut berhasil membuat Biru menoleh dengan dahi yang mengernyit. “Apa?”

“Biar aku yang traktir. Apa ada yang salah dari ucapanku?” tanyanya.

Biru terkekeh sarkas. Satu fakta unik orang Belanda yang dia ketahui dari Jasmijn, yaitu istilah ‘Going Dutch’.

Orang-orang di sini pasti selalu melakukan split bill apapun hubungannya dengan berlandaskan rasa adil. Entah sahabat, rekan, cewek atau cowok, bahkan pacar sekalipun—mereka terkenal sangat transparan soal biaya. Mungkin terkesan kurang sopan bagi sebagian orang. Sebab di tempat asal Biru, ada istilah man is a provider. Jika cowok yang mengajak jalan duluan, maka dia yang bayar. Sayangnya, itu tidak berlaku di Belanda. Kedua belah pihak membayar biaya mereka masing-masing.

“Tidak ada.” Biru menggeleng. “Hanya saja ... Ini tidak seperti orang Belanda pada umumnya.”

Kini gantian, Hito yang mengernyit. “Apa maksudmu ini tentang Tikkie?”

“Ya.”

Tikke itu sejenis aplikasi untuk split bill.

“Lupakan Tikkie. Itu tidak berlaku untukku. Aku orang yang royal, asalkan kau tahu.”

Sedetik kemudian Biru tertawa, bersamaan dengan seorang pelayan yang datang, siap mencatat pesanan mereka.

So, the Dutch aren’t Going Dutch, huh?” sindir Biru setelah pelayan tersebut mencatat pesanan mereka dan pergi.

Hito hanya mengangkat bahunya tak acuh. “I’m a half, Blauw,” balasnya. “Tidak semua orang Belanda itu pelit.”

“Oke, aku percaya.”

Mereka terdiam. Biru membuang pandangannya pada kanal di samping restoran yang dipenuhi oleh angsa. Hito juga ikut memandang ke arah yang sama. Hingga akhirnya cowok itu yang pertama kali membuka pembicaraan. “Apa kau akan kembali?” tanyanya.

Biru memicingkan matanya, bingung. “Kembali ke mana?” tanyanya.

“Ke sini. Ke Netherland.” Hito menoleh, menatap cewek itu lekat-lekat. “Setelah program pertukaran pelajar yang katamu berakhir di bulan Januari, apa kau ada niatan untuk kembali?”

“...”

“Mungkin kau bisa melanjutkan S2, atau memulai karirmu di sini. Itu bukan ide yang buruk, bukan?” tanyanya.

“Entahlah. Aku belum ada pikiran untuk itu.” Biru menyandarkan punggungnya di kursi. Tatapannya mencoba untuk melihat ke manapun asalkan bukan wajah Hito. “Kau tahu, sulit untuk memulai hidup baru di tempat baru. Apa lagi di negara orang.”

“Ada aku. Aku siap membantu kalau kau mau.”

“Tidak semudah itu, Hito. Aku orang yang memegang prinsip hidup tanpa rencana.”

Hito terdiam, mencerna kalimatnya barusan, hingga kemudian terkekeh. “Prinsip macam apa itu, Blauw? Hidup tanpa rencana itu sama saja seperti kegagalan!”

“Aku percaya takdir Tuhan,” ucap Biru percaya diri. “Aku lelah untuk terus berencana. Biarkan saja Tuhan yang mengatur.”

“...”

“Kenapa?” tanya Biru. Cewek itu mendapati temannya yang justru terdiam. “Aku hanya percaya Tuhan tidak tidur, Hito. Dia tahu apa yang terbaik untuk umatnya.”

Cowok itu mengangguk. “Kau benar, Tuhan tidak pernah tidur. Tapi yang kutahu, Tuhan sangat menghargai seseorang yang bekerja keras.”

“...”

“Mazmur ayat dua,” lanjut cowok itu. “Apabila engkau memakan hasil jerih payah tanganmu, berbahagialah engkau dan baiklah keadaanmu.”

Biru terdiam. Lidahnya kelu. Tatapannya benar-benar terkunci pada mata indah tersebut.

“Atau dalam kata lain, usaha tidak akan mengkhianati hasil,” jelas cowok itu sekali lagi.

“...”

“Blauw?” Hito memanggilnya, lantaran kini gantian, cewek itu yang terdiam.

Biru refleks mengerjapkan matanya. “Ya?”

“Kau baik-baik saja?” tanyanya.

Pertanyaan itu dia balas dengan anggukan.

“Kau masih sering ke gereja, kan? Sekali-kali datanglah ke Gereja milik Pamanku di Amersfoort. Kita lakukan Misa bersama.”

Biru meneguk ludahnya. Tapi tak lama dia kembali mengangguk sebagai jawaban. Di benaknya dia berkata; ‘sudah berapa lama gue gak ke gereja? 

Tidak ada satupun orang yang peduli padanya akan hal tersebut, pun dirinya sendiri.

Makanan pun tak lama datang ke meja, mereka makan dalam diam. Pun tak lama setelah itu mereka pulang. Hito menyempatkan diri mengantar Biru kembali ke flat. Sebelum cewek itu benar-benar turun dari mobil, dia kembali mengatakannya. “Blauw, aku minta maaf.”

“Untuk apa?” tanya Biru. Cewek itu melepas sabuk pengaman. Dan menyampirkan ranselnya di bahu.

“Tentang di kanal barusan. Aku hanya bercanda,” jelas Hito. “Jangan marah denganku. Aku tidak ingin kau kapok jalan lagi bersamaku.”

Biru terkekeh. Dia menoyor pelan bahu Hito. “Iya, aku maafkan. Santai saja,” ucapnya. Lalu membuka pintu mobil dan turun dari sana.

Hito tiba-tiba ikut turun. “Hey, Blauw! Kau lupa sesuatu!” ucapnya. Menahan langkah Biru yang hendak menjauh.

“Apa?” tanya Biru.

Cowok itu memperlihatkan gantungan kunci boneka Doraemon yang seharusnya benda itu tergantung di resleting tasnya. Refleks Biru mengecek tasnya yang memang tidak ada gantungan tersebut di sana. Alhasil, dia kembali mendekat, berniat mengambil balik gantungan kunci miliknya itu dari tangan Hito. Namun seketika, Hito menjauhkan tangannya. Mengangkatnya tinggi-tinggi hingga sulit untuk dijangkau olehnya.

“Hey, apa maksudmu?! Kembalikan!” protesnya. Menjinjit setinggi mungkin.

Hito tersenyum jahil. Hingga tanpa pernah Biru duga, cowok itu tiba-tiba mengambil kesempatan untuk mengecup kening cewek itu dengan cepat. Biru seketika terbelalak, tubuhnya membeku, kaget bukan main. Berbanding terbalik dengan Hito yang justru tergelak.

Beberapa detik cewek itu terdiam, mencoba untuk mencerna situasi ini, hingga akhirnya dia berteriak cukup kencang. “HITOOO!!!”

* * *

Note:

Hito lu gue tandain!

Sven sedang mengetik ...

Awokwokwok. Double up di malem Jumat. Semoga masih ada yang mantengin.

Sekian, jangan lupa apa? Yup, yasinan. Eh, maksudnya vote dan komen.

Sincerely, Nanda.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top