Seventeenth Note: My First Tattoo That He Picked

Love can make foolish one. And I’m go through in it. So if someone ask me, what if it’s him?

Well, everything can be discussed by doing well, right?

—Semenanjung Biru

*

Kalau mencium mulut kucing dihitung ke dalam kategori ciuman pertama, maka Cemot—kucing persia mix lokal—peliharaannya adalah yang pertama kali mendapatkan ciuman pertamanya.

Tapi jika bukan, maka kejadian malam itu adalah pengalaman pertamanya mencium atau dicium seseorang. Sumpah demi Tuhan, Biru tidak pernah mengira jika Hito adalah orangnya. Dia tidak pernah menyangka akan memberikan ciuman pertamanya kepada teman sekaligus sahabat kecilnya. Meski harus Biru akui kalau jantungnya berdebar bukan main. Tapi ini sangat sulit untuk dipercaya! Pipinya terasa kebas karena terus-terusan menahan senyum karena malu, senang dan kesal, semuanya campur aduk! Bahkan tidak jarang muncul perasaan aneh di perutnya. Untuk pertama kalinya pula Biru merasakan perasaan kupu-kupu berterbangan di perut. Membuat kakinya lemas dan tenaganya terkuras.

Padahal itu hanya ciuman. Hito hanya mengecup bibirnya sekilas dan mengecup keningnya sebelum akhirnya mengatakan kalimat yang membuat dunianya bergetar.

Bukan! Bukan ‘I love you. I fall for you’ seperti cerita romansa picisan yang menjamur di luar sana. Melainkan kalimat; ‘Jangan pergi lagi, Blauw.’

Tapi entah kenapa dampaknya terasa sampai sekarang. Biru mau menghilang saja rasanya. Bahkan kalau memang akal sehatnya masih berjalan normal, seharusnya dia marah dan protes pada cowok itu yang sudah lancang menciumnya. Tapi kenapa tubuhnya tidak sejalan dengan otaknya?! Siapapun tolong Biru!

“Oh shit! Kau tidak apa-apa, Blauw?”

Ada polisi tidur barusan, dan Hito tidak sempat mengambil rem. Beruntung mereka tidak kenapa-kenapa. Hal tersebut sejenak membuat Biru tersadar dari lamunannya. Mereka sedang naik motor listrik menuju pusat kota. Cewek itu membetulkan sejenak posisi duduknya di jok belakang, berpegangan dengan ujung jaket Hito, lalu mengangguk.

“Ya. Aku tidak apa-apa.”

Hito tiba-tiba meraih tangan Biru dan menariknya untuk melingkar di pinggangnya. “Pegangan yang erat, Blauw.”

Biru memejamkan matanya sembari mengigit bibir bawahnya. Sial. Perasaan aneh ini muncul kembali tanpa permisi. Pipinya lagi-lagi kembali panas, dan dia tidak bisa melakukan apapun selain menikmati sensasinya.

Kemarin, tiba-tiba banget Biru dapat WhatsApp dari Tante Lita. Beliau bilang ingin ajak dia makan bakso. Kebetulan Siera sedang berada di Groningen, masih banyak urusan di kampusnya mengingat anak pertamanya itu sedang memasuki tahun akhir kuliah untuk gelar sarjananya. Makanya, dia ajak Biru saja biar ramai.

Biru mau menolak juga gimana gitu rasanya. Belum lagi dia sudah menganggap Tante Lita sebagai orang tuanya selama dia di Belanda. Alhasil beres kelas di jam 11 siang, dia langsung cabut ke stasiun untuk bisa sampai ke Amersfoort. Tapi karena dia datang terlalu siang, sedangkan Tante Lita masih bekerja, alhasil di sinilah dia berada. Terjebak oleh seorang cowok berusia 21 tahun yang sudah menunggunya di stasiun sentral bersama motor listriknya yang bewarna hitam.

Seperti biasa cowok itu menyambutnya dengan senyum sumringahnya, memakaikannya helm dan menyuruhnya naik dan duduk di jok belakang. Sembari menunggu Tante Lita yang katanya akan ketemuan di restoran Jiwa Jawa pukul 4 sore, dia diajak untuk keliling-keliling Amersfoort. Hitung-hitung sebagai wisata masa lalu saat mereka saat masih kecil dulu.

Amersfoort sendiri adalah salah satu kota tua yang masih berdiri di Belanda. Dibuktikan dengan adanya bangunan-bangunan dari abad ke-15 seperti gerbang air dan darat—penduduk sekitar menyebutnya Koppelport—di beberapa titik dekat kanal. Sama seperti Utrecht atau Amsterdam, rupanya di Amersfoort juga terdapat banyak kanal dan tak jarang juga dibuka tur untuk wisatawan menyusuri kanal dengan perahu beserta tour guide-nya.

Jika Hito mengajaknya naik perahu lagi, Biru tanpa berpikir panjang akan menolaknya mentah-mentah!

“Itu sekolah kita, Blauw!”

Motor yang dikendarai Hito melambat, cowok itu berhenti sejenak di depan gedung sekolah yang sudah banyak mengalami perubahan. Terlihat anak-anak murid yang sedang menjalani kelas olahraga di lapangan, bahkan suara mereka sampai terdengar samar-samar di posisinya.

“Keponakanku ada yang sekolah di sana. Katanya, sekarang mereka punya kolam renang.”

“Oh ya?”

“Iya!” Hito mengangguk antusias. “Kau ingat Miss Coppen? Wali kelas kita di kelas satu.”

Biru mengernyit. Dia lupa-lupa ingat.

Sadar dengan responnya, Hito langsung menoleh. “Guru yang pernah menghukum kita menyapu parkiran!”

Seketika di detik itu, terlintas memori masa lalu di mana Biru pernah tidak sengaja melempar sepatu ke arah Hito di lorong kelas. Niat sasarannya adalah kepala cowok itu yang telah mengejek gambarannya jelek, tapi alih-alih sepatu itu malah melayang ke lemari kaca. Alhasil, mereka dimarahi oleh wali kelas dan kepala sekolah, lalu berakhir dihukum.

“Oh iya, aku ingat! Kita dihukum karena kau yang mengejekku!” protes Biru.

Hito terkekeh. “Suruh siapa melempar sepatu?”

Biru berdecak. “Ada apa memangnya dengan Miss Coppen?” alihnya.

“Dia meninggal dunia karena Covid di tahun 2020.”

Cewek itu terdiam, sebelum akhirnya
mengucapkan bela sungkawa sejenak dalam gumam. Dua tahun ke belakang itu memang masa-masa penuh suram. Mama kena PHK, Bapak sepi orderan. Bahkan dia masih ingat ketika pagi-pagi harus direpotkan untuk membeli tabung gas oksigen karena Arin yang terkena Covid.

“Kau pernah terkena Covid, Blauw?” tanya Hito.

Cowok itu kembali melajukan motornya. Kini mereka berjalan menuju jalan yang agak lebih kecil. Di ujung sana terlihat menara yang tinggi menjulang. Itu menara Bunda Maria (Onze Lieve Vrouwetoren), menara gereja terbesar ketiga di Belanda. Melihatnya, mengingatkan Biru dengan Dom Tower yang ada di kota Utrecht.

Biru menggeleng. “Puji Tuhan, tidak pernah. Kau sendiri?”

Hito juga menggeleng. “Tidak juga. Tapi aku mati kebosanan di rumah, Blauw! Semua jadwal pertandingan dibatalkan. Kota benar-benar ditutup. Amersfoort sudah persis seperti kota mati!” sahutnya. “Apa di Jakarta juga begitu?”

Well, tidak separah seperti yang kau bilang. Normalnya, Jakarta itu dari dulu memang selalu sesak. Macet di mana-mana. Tapi sejak lock down, di sana jadi sedikit lebih renggang dari lalu lintas serta kegiatan orang-orang di tempat umum,” jelas Biru. Tak lama dia kembali menambahkan, “Memang sih, masih ada kegiatan, tapi tidak banyak.”

“Oh, begitu.” Hito mengangguk-angguk. “Biar kutebak, pasti kau bahagia sekali ketika pandemi berlangsung, bukan?”

Mendengarnya, entah kenapa Biru terkekeh. “Kamu sangat mengenalku, huh? Tentu saja!”

Hito lagi-lagi terkekeh. Tak sadar mereka telah melewati menara gereja tersebut. Berlanjut masuk ke dalam kawasan alun-alun yang cukup ramai karena terdapat deretan toko, kafe dan restoran di sepanjang jalan.

“Blauw.”

“Hm?”

“Pernah ada niatan ingin membuat tato?”

* * *

Tidak. Jawabannya sama sekali tidak ada. Biru justru bingung sama orang yang senang merusak kulitnya dengan menatonya. Malah, kesan pertama Biru ketika melihat orang yang bertato adalah aneh. Meski dia hidup di zaman modern, di mana tato bukanlah hal tabu lagi, dia justru menentangnya. Pikirnya, orang-orang yang bertato adalah kriminal.

Tapi anehnya, persepsi tersebut hancur tak bersisa ketika dirinya bertemu dengan Hito versi dewasa. Cowok itu punya banyak tato, menyebar di lengan kirinya. Citra buruk tentang tato dalam dirinya seketika langsung berubah begitu saja ketika orang itu adalah Hito.

Ibaratnya; apapun itu—kalau Hito orangnya—semua bisa dibicarakan baik-baik.

Sekarang Biru paham dengan pepatah dalam kalimat; orang akan bodoh ketika sedang jatuh cinta. Karena nyatanya, Biru memang sedang mengalaminya.

Kepalanya mungkin terbentur, atau mungkin efek dari pesona seorang Mees Hilgers memang tidak bisa dia pungkiri.

Untuk ke sekian kalinya, Biru harus mengakui kalau dia memang menyukai Hito. Dia jatuh cinta dengan segala tentangnya yang selalu membuat Biru merasa dirinya juga spesial seperti orang-orang. Pernah ada beberapa momen di mana Hito membuatnya merasa diprioritaskan, tidak seperti teman-temannya yang terkadang ada karena ada sesuatu yang mereka inginkan darinya.

Hito berbeda. Dia benar-benar sahabatnya. Cowok itu benar-benar tulus melakukan semuanya untuknya.

Sepertinya, Biru jatuh cinta.

Meski Biru menolak mentah-mentah perasaan itu, dengan dalih; apa itu cinta? Dia saja bahkan tidak mengerti apa maksud dari kata tersebut.

Tapi jika arti dari kata cinta itu adalah sahabat ... Mungkinkah itu nyata adanya?

“Bagaimana? Tato pilihanku tidak begitu buruk, kan?”

Biru tersentak. Hampir semenit dia menatap tato kecil berbentuk paduan dari 3 simbol (matahari, bulan dan laut) yang terukir di lengan kirinya. Lengan yang tidak terdapat luka bakar. Cewek itu mendongak, tersenyum menatap Hito yang duduk di kursi tato, di mana lengan kirinya dia taruh di sandaran lengan. Sekarang giliran cowok itu untuk ditato.

Ini memang terkesan mendadak. Sangat mendadak sekali. Cowok itu tiba-tiba berniat menambah tato di lengan kirinya, mengisi ruang di kulit lengannya yang katanya masih ada tempat untuk beberapa tato di sana. Lalu secara impulsif mengajak Biru untuk membuat tato pertamanya.

Jelas, Biru awalnya menolak. Tapi saat melihat salah satu customer perempuan yang membuat tato di lengan, dengan gambaran berupa garis abstrak membetuk bunga mawar, hal tersebut cukup menggoyahkan pendiriannya. Dia sedikit fomo. Apa lagi ketika Hito yang menawarkannya.

Seperti perkataannya barusan. Orang akan bodoh ketika sedang jatuh cinta.

Dan akhirnya dia menyetujui tawaran Hito. Membiarkan cowok itu yang memilih desain tato—karena spesial, ini adalah tato pertamanya.

Dan pilihannya itu tidak buruk. Justru Biru suka.

“Yeah. Tidak buruk. Aku suka. Bagaimana dengan pilihanku?” Biru bertanya balik, melihat ke arah lengan kirinya. Di mana tatto artist sedang menusukkan jarum tinta di sana. Membentuk beberapa bunga kembang sepatu yang sengaja dibentuk agar menyatu dengan tato lamanya.

Sebenarnya, tidak ada alasan kenapa kembang sepatu sebagai pilihannya. Selain yang Biru tahu kalau bunga itu melambangkan kebahagiaan dan keramahan dalam budaya Hawai. Dua kata itu benar-benar mencerminkan Hito sekali. Keramahannya membawakan dirinya kebahagiaan. Biru harap cowok itu tidak akan berubah, tetap menjadi Hito yang murah senyum dan ramah, selalu membawakan kebahagiaan untuk orang-orang di sekitarnya, meskipun Biru tahu dunia begitu kejam.

“Aku suka.” Hito membalas senyumannya dengan tersenyum tak kalah manis.

Ya Tuhan. Kenapa bisa hanya karena senyum seseorang seperti Hito, bisa membuat hati Biru berdebar?!

*

Rupanya, restoran Jiwa Jawa ini sudah cukup terkenal di Amersfoort. Menjadi salah satu langganan orang Indonesia yang rindu dengan masakan Tanah Air. Mereka menyediakan beberapa menu autentik seperti bakso, sate ayam, sate kambing dan juga nasi goreng.

Kalau kata Tante Lita, bakso di sini juaranya. Sama persis seperti yang dijual di restoran di Indonesia sana. Biru iya-iya saja. Toh, dia ditraktir oleh wanita itu. Jadi dia manut-manut saja dan memesan seperti yang dipesan olehnya.

Mereka bertiga di sana, duduk di salah satu meja di sudut ruangan. Berbicara banyak hal menggunakan 3 bahasa sekaligus. Kebetulan Tante Lita sudah sedikit lupa bagaimana berbicara berbahasa Indonesia, sehingga sedikit-sedikit harus dicampur menggunakan bahasa Inggris atau Belanda. Dari yang Biru tahu, beliau ini memang sudah tinggal sangat lama di negeri kincir angin sejak remaja sampai akhirnya menikah dan memiliki anak. Tidak heran lidahnya sedikit kaku ketika berbicara dengan bahasa ibunya.

“Ayolah, jangan berbicara campur-campur seperti itu! Aku tidak paham!”

Hito menggaruk telinganya. Lantaran tidak paham seutuhnya percakapan di antara Biru dan Mamanya.

“Salahmu sendiri gak bisa ngomong bahasa Indonesia!” sembur Biru.

Tante Lita tertawa. “Padahal waktu kecil dia ngerti loh kalau Tante ngomong bahasa indo!”

“Mama!” protes Hito. Cowok itu benar-benar clueless dengan percakapan tersebut. Yang dia mengerti hanya kata Indonesia dan tante. Soalnya kata Tante sendiri memiliki arti yang sama dalam bahasa Belanda.

Biru maupun Tante Lita tertawa, bersamaan dengan makanan mereka yang akhirnya tersaji di meja. Melihat semangkuk bakso yang mengepulkan sedikit asap tersebut, lengkap dengan sayur, mie, bihun dan kwetiau di dalamnya berhasil membuat perut Biru langsung kelaparan. Nyaris sudah 4 bulan dia tidak makan bakso. Melihat begini saja dia langsung kegirangan.

Mereka berdoa terlebih dahulu, sebelum akhirnya mencicipi makanannya.

“Enak?” tanya Hito. Cowok itu menoleh ke arahnya, menunggu reaksinya.

Cewek itu langsung mengangguk antusias. “Enak! Makasih ya, Tante. Udah ajak sama traktir Biru.”

Tante Lita terkekeh. “It’s okay, Ru. Jangan sungkan kalau sama Tante!” ucapnya sembari melambaikan tangannya.

Sejenak mereka sibuk dengan makanan mereka masing-masing. Hingga tiba-tiba Tante Lita berceletuk kepada Hito yang kebetulan duduk di samping Biru.

“Oh ya, Mees. Waktu aku pergi kunjungan ke Zwolle, aku bertemu dengan Louisa.”

Nama itu tiba-tiba disebut. Baik Hito maupun Biru mendengarnya. Cowok itu batal menyuap potongan daging bakso ke mulutnya, alih-alih menatap Mamanya. Sedangkan Biru memilih untuk diam dan pura-pura sibuk dengan makanannya.

‘Louisa? Siapa Louisa?’ batin Biru.

“Ya, lalu kenapa?” tanya Hito. Tiba-tiba suasana di sekitar mereka terasa sedikit aneh.

“Kami hanya saling menyapa. Dia juga menanyakan kabarmu.” Tante Lita meneguk sejenak air putih di gelasnya. “Kalian masih bersama, bukan?”

Tiba-tiba raut wajah Hito yang tadinya riang, seketika berubah. Biru menyadarinya meski hanya melihatnya dengan mata faset.

“Jangan bahas dia sekarang, Ma.”

* * *

Bohong kalau Biru tidak kepikiran dengan percakapan antara Hito dan Tante Lita di restoran Jiwa Jawa barusan. Selama perjalanan Hito mengantarnya pulang ke Utrecht, Biru hanya diam menatap jalanan. Dan entah kenapa nama itu terus menerus terlintas di kepalanya.

Louisa.

Dia merasa tidak asing dengan nama itu. Kalau tidak salah, ada username bernama Louisa Erdem yang mem-follow dirinya di Instagram. Namun sampai sekarang, belum Biru berikan konfirmasi akun tersebut untuk mengikutinya. Jika memang Louisa yang mereka maksud dalam percakapan tersebut adalah Louisa Erdem, apakah jangan-jangan ...

“Kau tahu, aku tidak ada jadwal sampai tanggal 18 Desember. Kau ada waktu luang?”

Biru mengernyit. Tersadar dari lamunannya, dan menoleh ke arah Hito yang fokus mengemudi. “Memangnya kau mau apa?” tanyanya.

Hito mengendikkan bahunya. “Entahlah. Kita ke Belgia? Atau ke Jerman? Atau ke luar kota yang belum pernah kau kunjungi?”

Cewek itu makin mengernyit. “Hah?” tanyanya.

Entah kenapa tiba-tiba suasana hatinya menjadi berantakan karena memikirkan siapa Louisa. Sedangkan Biru saja sepertinya tidak punya hak sama sekali untuk bertanya ataupun protes.

“Kau bilang, Januari nanti kau akan kembali pulang ke Indonesia. Kau hanya punya waktu sekitar 2 bulan lagi di sini.”

“...”

“Mungkin bisa saja bagiku untuk menyusulmu ke sana suatu hari nanti. Tapi itu akan sulit karena jadwalku yang padat. Dan sepertinya aku akan memperpanjang kontrakku dengan Twente sampai tahun 2025 nanti.”

“Kenapa?”

“Maksudmu?” Hito bertanya balik. Alisnya mengkerut.

Biru menghela napas. “Maksudku, kenapa kau harus repot-repot?”

“Tentu saja! Karena kita akan berpisah, Blauw! Aku masih berharap semoga kau akan melanjutkan karir dan pendidikanmu di sini. Dekat denganku.”

Cewek itu kini terdiam. Kembali dibuat bingung dengan kondisi yang menimpanya sekarang. Apa sebenarnya yang dimaksud oleh Hito? Siapapun tolong kasih tahu Biru!

“Kenapa?” lagi-lagi pertanyaan itu yang kembali keluar dari mulutnya.

Hito menghela napas, mencoba untuk bersabar. “Apa yang harus ditanyakan lagi, Blauw? Aku sudah pernah bilang waktu itu, bukan?”

“...”

“Aku tidak ingin kau pergi lagi.”

Biru tiba-tiba terkekeh sarkas. Sebisa mungkin dia menggunakan otaknya kali ini. Meskipun Hito adalah sahabatnya, tapi nyatanya, tidak ada seseorang yang berani mencium sahabatnya. “Kau tahu? Kalimatmu barusan terdengar seperti omongan pria brengsek pada umumnya!”

“Apa? Tidak! Bukan itu maksudku, Blauw!” bantah Hito. “Aku benar-benar tidak ingin kau pergi! Kita pernah kehilangan satu sama lain. Tidak ada kabar apapun, kita kehilangan kontak satu sama lain. Aku pikir kau hanya kepingan masa kecilku yang bahagia, tapi nyatanya aku bertemu lagi denganmu. Itu sesuatu yang patut aku syukuri, Blauw!”

“...”

“Aku bersyukur bertemu lagi denganmu. Dan aku tidak ingin kita berpisah dalam keadaan yang tidak mengenakkan seperti dulu.” Hito terdiam sejenak. Mobil yang dia kendarai berhasil keluar dari jalan tol dan berbelok ke arah jalan raya. “Kalau kau ingat, waktu itu kita bertengkar, sebelum akhirnya kau jarang masuk sekolah dan tiba-tiba pindah ke Indonesia tanpa aku ketahui. Aku merasa kehilangan Blauw!”

“...”

“Jadi tolong ... Meskipun kita harus berpisah karena jarak, setidaknya kita masih bisa berhubungan dengan baik.”

Biru meneguk ludahnya sejenak. Perasaan aneh di hatinya tiba-tiba hilang begitu saja. Cewek itu kembali membuang muka, memilih untuk melihat jalanan di samping jendela saja. Dia tidak ingin melanjutkan percakapan ini meski hatinya terus penasaran apa maksud dan tujuan cowok itu?

Apa maksud dari ciumannya malam itu? Itu adalah pertanyaan terbesar di kepala Biru saat ini.

Tak terasa 10 menit berlalu, akhirnya mobil Hito sampai di pelataran parkir gedung flatnya. Biru tanpa ba-bi-bu segera melepas sabuk pengaman dan mengenakan tasnya. “Terima kasih untuk hari ini. Semoga harimu menyenangkan,” katanya.

“Tunggu, Blauw!” Hito menahan tangan Biru yang hendak membuka pintu mobil. Cowok itu tiba-tiba memberikan sebuah salep kemasan kecil di tangannya. “Gunakan salep itu di tatomu, agar tidak infeksi.”

“... Oke.”

“Terima kasih juga untuk hari ini, Blauw. Aku mencintaimu.”

“Hah?!”

Rasanya Biru ingin mengorek kupingnya sampai bersih karena tidak yakin dengan kalimat cowok itu beberapa detik yang lalu. Apa dia bilang?!

“Aku bilang begitu.”

“Bilang apa?!”

Hito menyeringai. “Tidak ada pengulangan, Blauw.” Cowok itu mengacak-acak rambut panjangnya yang terurai sembari terkekeh geli. “Masuk sana, istirahat yang cukup. Aku akan kabari lagi tentang rencana kita pergi ke Belgia.”

Dasar sinting!

* * *

Note:

Menyala 🚩🚩🚩‼️

Gimana? Kurang red flag? Bentar, masih panjang, belum semuanya. Wkwkwk.

Mau nanya, menurut kalian penyampaian latar-nya udah oke belum?

Terus juga mohon maaf banget kalau ada kesalahan unsur dalam cerita ini seperti; budaya, agama dan segala komponen yang aku ketik. Aku gak pernah ke Belanda atau negara Eropa lainnya, even aku juga gak punya kenalan orang sana. Aku bukan umat Katolik, dan aku juga bukan mahasiswa jurusan PGSD ataupun jurusan ilmu sosial. Kalian bisa komen kalau misal ada keliruan di cerita ini, aku terbuka dengan itu.

Terima kasih sudah mau membaca, jangan lupa tinggalkan jejak.

Anyway, selamat tahun baru Imlek bagi yang merayakan. Selamat liburan juga!

Sincerely, Nanda.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top