Prelude

“Cepatlah, pecundang!”

Sore itu, selepas hujan lebat yang membasahi kota, mereka memutuskan untuk kembali menggowes sepeda setelah berteduh di depan toko alat tulis selama 30 menit. Meski beberapa tetes air hujan masih kerap turun, mereka memaksakan diri untuk terus lanjut pulang ke rumah masing-masing. Matahari sudah semakin tenggelam, keduanya harap-harap cemas, takut orang tua mereka di rumah marah dan mengomel-ngomel.

“Tunggu aku!”

Biru merasa ini tidak adil. Temannya itu lebih dulu mencuri start, meninggalkan dirinya yang harus menaruh barang belanjaannya di keranjang terlebih dahulu. Sekarang, dia tertinggal 10 meter di belakang bocah laki-laki yang tertawa renyah di depan sana.

“Siapa yang sampai lebih dulu dialah pemenangnya!” ucap si bocah laki-laki itu sekali lagi.

“Kau tidak adil! Ini tidak lucu!” balas Biru, mengayuh sepedanya lebih cepat, mencoba untuk menyusul Hito, teman baiknya sejak mereka masih duduk di pre-school.

Hito masih tertawa. Bahkan dia masih sempat-sempatnya menjulurkan lidahnya untuk meledek Biru yang kesulitan mengejar. Hingga saat di belokan pertama, terdengar suara besi terjatuh bersamaan dengan suara orang kesakitan. Bocah laki-laki itu tersentak, menoleh sejenak dan mendapati jika Biru terjatuh. Cepat-cepat Hito menarik rem dan memutar arah mendekati temannya yang sedang meringis kesakitan.

“Blauw! Kau baik-baik saja?!” Hito turun dari sepeda, membantu Biru berdiri, lalu memposisikan kembali posisi sepeda anak itu.

Biru mendengkus. Beruntung dia menggunakan pakaian serba panjang, sehingga lutut atau sikutnya tidak terluka. Tapi karena kondisi jalanan yang basah, membuat tubuh bagian sebelah kirinya jadi ikutan basah. “Kau menyebalkan! Aku sudah bilang padamu untuk menungguku!” kesal bocah perempuan tersebut sembari mengusap pakaiannya yang kotor.

Het spijt me*. Maaf.” Hito tiba-tiba merasa bersalah. Padahal barusan temannya itu baru saja mengucapkan sepatah kalimat menggunakan bahasa Belanda dengan lancar.

Sudah menjadi rahasia umum, 4 tahun lebih tinggal di Belanda, Biru masih kesulitan beradaptasi dengan bahasa setempat. Beruntung bocah itu sekolah di sekolah dengan kurikulum internasional yang di mana sehari-hari menggunakan bahasa Inggris. Hito selaku teman sekelas sekaligus tetangganya, kerap kali menjadi translator dan mentor bahasa Belanda dadakan untuknya.

Biru mendengkus. Menepis tangan Hito dan meraih stang sepedanya untuk dia tuntun. Lutut sebelah kirinya sakit, bahkan dia berjalan sedikit terseok-seok, membuatnya memutuskan untuk berjalan saja sampai ke rumah.

“Hey, kau marah?” tanya Hito retoris. Bocah itu segera menuntun sepedanya dan menyusul biru, berjalan bersampingan dengannya. “Look, I’m sorry!

“...”

“Hujan masih deras, kita harus bergegas!” ucap Hito sekali lagi, wajahnya cemberut lantaran temannya tidak memberikan reaksi apa-apa selain bibir yang mengerucut.

“Lakukan saja sendiri! Aku akan berjalan saja!” balas Biru, kembali mencebik.

Hito memperhatikan jalan Biru yang sedikit aneh. Membuatnya kembali merasa bersalah. “Tch! Baiklah, aku juga akan berjalan!” putusnya, tetap berjalan di sampingnya.

“...”

“...”

“Pfftt!”

“Pfftt!”

Secepat membalikkan telapak tangan, suasana hati mereka tiba-tiba berubah. Secepat itu pula mereka kembali tertawa, menertawakan satu sama lain. Hito menertawakan penampilan temannya yang kacau, Biru menertawakan ekspresi bersalah Hito yang aneh.

“Kamu jelek!” ledek Biru.

“Kamu jelek lagi!” balas Hito.

Mereka kembali tertawa, hingga akhirnya mereka terpisah karena berbelok di rumah mereka masing-masing.

* * *

Ini aneh. Ada apa dengan Hito?

Bocah itu tanpa angin, tanpa hujan, menukar kursinya dengan Gio. Temannya itu kini duduk di kursi belakang bersama Nichole. Saat Biru bertanya, bocah itu hanya mengendikkan bahunya tidak acuh.

Ini sudah 3 bulan sejak Hito memutuskan bergabung dalam klub sepak bola di sekolah. Mereka jadi jarang bermain sejak saat itu. Bahkan sekedar pulang bersama pun sudah tidak pernah. Biru jadi penasaran, apakah dia membuat kesalahan, sehingga dia tidak lagi berbicara padanya? Atau karena dia malu berteman dengannya?

Sebab dulu saat masih TK, Biru kerap kali dijahili oleh teman-teman di kelasnya, karena dirinya sedikit berbeda. Bocah itu dulu pendiam, hanya akan berbicara dengan aksen Inggris yang aneh dan kaku. Terkadang sering menangis karena dikatai jelek sebab wajahnya yang aneh, tidak terlihat seperti wajah orang asia kebanyakan yang putih dan sipit. Kulitnya sawo matang, rambutnya hitam bergelombang, matanya besar dengan iris cokelat gelap. Saat itu teman-temannya yang lain kompak menyebutnya gadis kopi.

Namun dibandingkan itu semua, ada alasan lain mengapa teman-teman di kelas menjauhinya. Ada luka bakar yang menjalar di sekujur lengan kanannya. Orang-orang yang melihatnya langsung merasa jijik, mungkin itu sebabnya Biru menjadi sasaran empuk korban bullying waktu itu. Tapi hal tersebut tidak terjadi pada Hito. Bocah itu teman pertamanya. Orang pertama yang mengajaknya berbicara dan menghabiskan bekal bersama. Di saat yang lain menjauhinya, meledeknya dan memanggilnya gadis kopi, Hito justru memanggilnya Blauw. Bahasa Belanda dari Biru, namanya.

Itu sebabnya, bocah itu benar-benar nyaman bermain dengan Hito. Dia memperlakukannya seperti orang normal pada umumnya. Bahkan saat Biru sama sekali tidak bisa bahasa Belanda, Hito tipis-tipis mengajarinya kalimat-kalimat sederhana.

Makanya, saat melihat respon dan sikap Hito yang mendadak berubah, Biru jadi bertanya-tanya. Ada apa dengannya? Kalau seandainya Biru ada salah, setidaknya bocah itu bisa katakan langsung padanya.

“Hito!”

Hari itu, sekolah dibubarkan lebih awal. Semua kegiatan ditiadakan, termasuk kegiatan klub-klub ekstrakurikuler. Biru akhirnya memberanikan diri untuk menghampiri Hito, dan mengajaknya pulang bersama. Tapi di luar ekspektasi, Hito menatapnya tidak suka, terlebih saat teman-teman satu gengnya—didominasi oleh anak-anak klub sepak bola—menatapnya keheranan.

“Woaw, kurasa kau tidak bisa ikut dengan kami,” komen salah satu temannya, disusul oleh suara tawa yang lain. Entah menertawakan Hito atau Biru.

Hito sendiri terlihat tidak suka akan kehadirannya. Tiba-tiba saja bocah itu mendekat dan menarik kasar tangan Biru ke samping pos keamanan dekat gerbang sekolah. Biru mengernyit kala cekalan tangan bocah itu sangat kencang, pergelangan tangannya jadi sedikit sakit.

“Lupakan saja, Biru. Kau mengacaukan segalanya!” ucapnya, sembari menghentakkan tangannya. Bocah itu menukik alisnya kesal.

“Mengacaukan? Apa maksudmu? Aku hanya—”

“Hanya apa? Mereka menertawakan aku!” potongnya. “Dan itu karena kau!”

Biru kembali mengernyit. Apa maksudnya? Kenapa dia disalahkan?

“Berhenti memanggilku! Berhenti menemuiku! Aku benci itu! Aku tidak ingin bermain denganmu lagi!” lanjut Hito.

Kenapa? Dia salah apa?

“Pergi sana, dan jangan pernah kembali!” ucap Hito sekali lagi, menjadi ultimatum percakapan singkat mereka. Bocah laki-laki itu tak lama melengos, pergi meninggalkannya yang masih terdiam di tempat.

Biru menatap punggung Hito yang semakin menjauh. Suasana hatinya mendadak buruk. Dia ingin menangis, namun dia lebih takut dilihat aneh oleh banyak orang.

Akhirnya hari itu dia pulang sendiri lagi.

* * *

Sepertinya, Hito terlalu kasar pada Biru.

Sejak kejadian di hari itu, Biru jadi benar-benar pendiam dan terlihat murung di kelas. Bahkan selama beberapa hari bocah itu tidak masuk sekolah. Rumah mereka terlihat gelap dan kosong. Wali kelas pun beberapa kali bertanya tentang Biru padanya—karena mereka tetanggaan.

Ingin sekali Hito mengetuk pintu rumahnya untuk melihat apakah dia baik-baik saja, atau sekedar mengetuk dinding kamarnya yang bersebelahan dengan kamar Biru. Biasanya jika di antara mereka tidak bisa tidur, mereka akan mengirim ketukan satu sama lain sekedar untuk bersenang-senang.

Tahun ajaran akan segera selesai. Biru semakin jarang terlihat hadir di sekolah. Kursinya lebih sering kosong. Hito jadi khawatir. Bocah itu tahu, Biru bukan tipikal anak yang suka bolos, dia suka belajar, dia suka membaca dan menghitung. Jika sampai berhari-hari dia absen tanpa keterangan seperti ini, apakah ada sesuatu yang terjadi padanya? Apakah Papanya kembali memarahinya seperti waktu itu?

Hito sedikit banyak tahu bagaimana kondisi keluarga Biru. Papanya memiliki tempramen yang buruk, kerap kali memukul Biru bahkan di depan Hito sekalipun—saat gadis itu tidak sengaja mengajak Hito main ke rumahnya bersamaan dengan kejadian di mana Mama-Papanya sedang berargumentasi cukup tegang. Hito khawatir pria itu memukuli Biru hingga sakit dan tidak dapat hadir ke sekolah.

Akhirnya, karena hatinya yang gundah, malam itu, tepat saat salju pertama muncul di awal bulan Desember, Hito memberanikan diri mengetuk pintu rumah Biru yang berada tepat di samping rumahnya. Dia bahkan nekat mengambil jatah cokelat milik Siera—kakanya—di kulkas untuk diberikan pada Biru sebagai tanda permintaan maaf.

Tapi aksinya itu batal saat gerak-geriknya diketahui oleh Mama. “Kamu mau ke mana?” tanyanya. “Itu cokelat Siera. Kalau kakakmu tahu kau mengambilnya, dia akan marah!” lanjutnya.

Dengan gugup, Hito menjawab. “Aku ... Aku mau ke rumah Biru. Aku sudah lama tidak bermain dengannya.”

Mama mengernyit. “Biru dan keluarganya sudah pindah sejak seminggu yang lalu. Bukankah Mama sudah memberitahumu?”

“Pindah?! Pindah ke mana? Mama tidak memberi tahu aku!” panik Hito.

Mama menepuk dahi. “Ya Tuhan, Mama lupa. Sepertinya yang Mama beri tahu itu Siera.”

Hito benar-benar kaget. Bagaimana dia tidak tahu tentang hal ini. Biru, Blauw, sahabatnya sudah pindah tanpa diketahui olehnya!

“Mama kenapa tidak memberi tahu aku?!” ucap Hito berteriak. Melempar cokelat yang ada di tangannya dan berlari kabur ke kamar sembari menangis.

Sejak saat itu, Biru benar-benar pergi. Hito tidak pernah lagi bisa bermain dengannya.

* * *

Note:

Setelah pusing, meriang, dan jatuh bangun menentukan alur, latar dan tokoh, akhirnya Blue Note resmi rilis di akun Nortonclassic ini.

Sebelumnya udah pernah rilis satu bab, namun kembali ditarik karena tidak yakin dengan alurnya yang kurasa sedikit aneh.

Jadi sekarang Bagaimana menurut kalian?

Aku tidak pernah percaya dengan cinta pandangan pertama. Tapi kemudian, aku melihatmu tersenyum.” —Nortonclassic.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top