Ninth Note: His First Debut In Oranje

He was said, that every single child needs a hug and kiss. So he always did to me, make sure that I’m loved. But then we’re growing up now, I’m fucking already 20 years old.

But, can I always act like a five when I’m with you? So I can get that treat from you. It’s heart warming.

—Semenanjung Biru

*

Biru penasaran, apa yang membuat orang-orang menyukai anak kecil? Mereka berisik, sulit diatur, dan terkadang nakal membuat kepala pusing melihat kelakuannya. Biru tahu acara volunteer nanti akan menjadi dua hari yang sangat berat untuknya. Dia secara sadar harus berhadapan dengan anak-anak berusia 5-7 tahun untuk memberikan sosialisasi tentang menjalani aktivitas di era new normal akibat pandemi Covid-19 yang terjadi selama dua tahun ke belakang. Sesuai dengan rencana, mereka akan praktek mencuci tangan dengan benar yang nantinya akan dilanjut oleh makan siang bersama.

Dikarenakan bahasa Belanda Biru yang masih sedikit tersendat, dia hanya menjadi asisten Sven yang berbicara di depan. Sebisa mungkin dia memasang wajah yang ramah tiap kali ada anak yang mengajaknya berbicara.

Sebenarnya acaranya seru, anak-anak di panti asuhan sedikit melenceng dari ekspektasinya yang negatif. Mereka anak-anak yang sopan. Mungkin berisik, tapi mereka murah senyum. Membuat Biru refleks ikut tersenyum kala satu atau dua anak menoleh padanya.

Selepas makan siang selesai, acara dilanjutkan dengan lomba perkelompok. Khusus di hari pertama ini, agenda mereka mayoritas diisi oleh acara fun-time bersama para warga panti asuhan. Tak terasa di akhir kegiatan, seorang anak perempuan mendekat dan memberikan Biru pin bergambar Mickey Mouse, yang entah anak itu dapat dari mana.

“Untukku?” tanya Biru.

Gadis kecil berambut cokelat itu mengangguk. Wajahnya berseri, terlihat sempurna dengan adanya freckles di sekitar pipi dan hidung, serta iris mata berwarna biru langit. Sejenak, Biru ingin sekali punya warna mata seindah itu.

“Iya. Ini untukmu, Biwu.”

Oh. Tidak ada yang menyangka jika namanya akan terdengar seimut ini saat gadis itu memanggilnya.

“Terima kasih, Sofie.” Biru iseng mengelus kepalanya, yang beruntung gadis itu terkekeh dan berlari meninggalkan aula menyusul teman-temannya yang lebih dulu keluar. Sekarang, di aula tersebut hanya terisa para panitia dan volunteer yang sedang merapihkan barang-barang.

Biru memasukkan pin tersebut ke saku celana sebelum akhirnya ikut bergabung membatu yang lain.

“Bagaimana, hm? Tidak buruk, bukan?” Sven muncul, berjalan di sampingnya yang sedang membawa beberapa kotak hadiah doorprize yang akan ditaruh di gudang untuk hari terakhir besok.

“Yeah, tidak terlalu membuatku pusing,” jawab Biru. Menaruh kardus  yang dia pegang di atas tumpukan kotak lainnya.

Sven memperhatikannya sejenak. Tiba-tiba tangannya terangkat, mengambil beberapa kertas confetti yang tersangkut di rambutnya.

“Ada apa?” tanya Biru, mengusap kasar kepalanya, membuat tangan Sven kembali menjauh.

“Bukan apa-apa,” jawabnya. “Ayo kembali ke aula. Akan ada evaluasi untuk hari ini.”

Biru mengangguk, mengekori cowok itu dan duduk melingkar bersama yang lain. Mereka mendengar arahan, kritik dan saran untuk memperbaiki jalannya acara besok. Syukur, tidak ada kritik yang begitu fatal atas kinerja Biru hari ini.

Setelah itu pun mereka pamit, meninggalkan panti asuhan dan bertolak ke salah satu restoran Italia untuk makan malam. Ricardo, selaku ketua panitia yang traktir mereka atas kesuksesan di hari pertama acara. Restoran itu sangat ramai, terdapat layar proyektor cukup besar di pojok ruangan. Bahkan sebagian pengunjung kompak mengenakan pakaian jersey bewarna oren. Biru hendak bertanya pada Sven, tapi Ricardo lebih dulu berucap.

“Ah, pas sekali! Sekarang jadwal pertandingan Belanda melawan Belgia!” ucapnya, menepuk tangannya antusias. “Rupanya di sini menggelegar acara nonton bersama!”

Sven seketika menoleh ke arah Biru. Menyadarinya, cewek itu balas menoleh.

“Apa?” tanya Biru.

“Temanmu akan tampil.”

Biru tidak merespon apa-apa. Dia kembali fokus dengan pastanya yang masih banyak di piring. Entah bagaimana, cewek itu tiba-tiba teringat dengan pesan yang kemarin Hito kirim padanya.

Kutu Beras
Send a picture
|Blauw, aku dan tim Oranje sudah tiba di Belgia.
|Bagaimana harimu?
|Semangat untuk acara volunteer-nya besok!

Nyaris seminggu, Biru tidak lagi membalas pesan dari Hito. Cewek itu hanya akan meng-scroll room chat tersebut—yang berisikan banyak pesan, foto, video dan stiker darinya—ketika dia sedang gabut. Satupun pesannya belum Biru balas. Toh, tidak masalah jika cowok itu menjauh, setidaknya hidupnya bisa tenang. Celana milik Siera sudah dia kirim ke Amersfoort lewat paket beserta earphone Hito yang tertinggal di tasnya. Jadi, tidak ada alasan bagi Biru untuk bertemu dengannya lagi.

Karena kejadian ini, Biru jadi teringat kalau di tanggal 24 September, timnas Belanda U-21 akan melakukan pertandingan uji coba melawan Belgia. Entah karena apa, tiba-tiba orang-orang di mejanya, maupun para pengunjung restoran lainnya tidak ada yang berniat meninggalkan tempat tersebut kala pertandingan tak lama dimulai.

Biru seketika seperti terjebak. Sven pun terlihat antusias menonton pertandingan tersebut. Cewek itu ingin segera pamit, tapi tidak enak kala Ricardo—si sponsor acara makan malam itu—saja belum tampak ada hilal ingin meninggalkan restoran. Alhasil, Biru sebisa mungkin menyamankan dirinya sendiri untuk duduk dan menonton pertandingan bola yang sungguh dia tidak mengerti selain istilah gol dan tendangan penalti.

Terakhir dia antusias menonton bola karena penasaran seperti apa Hito dan pekerjaannya. Ah, kalau dipikir-pikir, dia cukup bodoh waktu itu.

Baiklah, mari kita lihat. Sebagus apa timnas dari negara mantan kolonialisme ini.

* * *

Dua jam berlalu.

Hasil akhir adalah 2-1 untuk Belanda. Euforia kemenangan langsung menyelimuti seisi restoran malam itu.

Hito muncul dan bermain di menit ke 46. Kalau dari info komentator yang Biru berhasil dengar, pertandingan ini adalah debut pertamanya di Timnas. Saat melihatnya muncul di layar proyektor, Biru melupakan sekejap masalahnya dengan cowok itu. Dia teringat beberapa kalimat maaf yang cowok itu berikan sejak beberapa hari yang lalu.

Mungkin saja cowok itu tidak sengaja, atau mungkin respon Biru yang terlalu lebay.

Sejenak dia teringat masa kecilnya ketika sering bermain dengannya dulu. Saat mereka bermain bola kasti dengan anak-anak yang ada di lapangan umum dekat rumahnya. Saat itu, Biru yang kebagian kesempatan untuk memukul bola. Di kesempatan pertama, dia gagal. Di kesempatan kedua, tubuhnya terhuyung karena kesulitan mengontrol tongkat yang menurutnya cukup berat.

Dari posisi pos 1, Hito berteriak memanggilnya. “BLAUW!! JUST HIT THE BALL ALREADY!!” 

Biru bersungut-sungut. Membetulkan sejenak pakaiannya yang penuh debu dan tanah kering, kembali mengambil ancang-ancang untuk memukul bola di kesempatan terakhir.

Tepat saat bola itu dilempar, Biru mengerahkan seluruh tenaganya, yang ternyata tongkat tersebut berhasil mengenai bola. Lantas sepersekian detik berikutnya, bocah itu mengangkat benda tersebut ke udara membuat bola terpantul ke atas. Di detik berikutnya dia melempar tongkat ke sembarang arah dan berlari ke titik yang dijadikan pos 1.

Biru berhasil sampai di pos 1 dengan selamat. Napasnya terengah-engah, namun senyumnya melebar kala melihat Hito yang kini ada di pos 2, memberikan dua jempol padanya—mengapresiasi aksinya barusan.

Pemukul selanjutnya beraksi, tepat saat bola berhasil ditangkis, tim Biru berlari ke pos selanjutnya. Bocah itu ngos-ngosan berlari untuk sampai ke pos 2, namun aksinya gagal kala tim lawan datang menghadangnya. Kakinya tersandung, entah sengaja atau tidak, yang jelas Biru terjatuh terjerembap ke tanah.

“BLAUW!” Hito kembali berteriak. Bocah itu bukannya berlari hingga ke pos 4, alih-alih berbalik menghampiri Biru.

Tidak tahu apa yang harus dilakukan, Biru detik itu langsung menangis. Bibir, rahang, tangan dan lututnya terasa sakit akibat tergores tanah kering bercampur kerikil. Hito datang tak lama kemudian, bocah itu mendorong anak dari tim lawan yang membuat temannya itu terjatuh. Lalu berjongkok membantu Biru untuk duduk.

Dilihat, penampilan temannya itu cukup mengenaskan. Rahang dan telapak tangannya tergores, lututnya terluka. Hito benar-benar panik, apalagi saat melihat tangis Biru yang semakin menjadi. Alhasil, saat itu juga, bocah itu membantu Biru untuk duduk di kursi pinggir lapangan. Ada beberapa orang dewasa yang menghampiri mereka dan memberikan air mineral serta tisu basah untuk membersihkan luka-luka di tubuhnya.

“Sudah, itu tidak perlu! Itu sakit, tahu!” protes Biru saat Hito mencoba mengelap kotoran yang ada di lututnya.

Tapi Hito tidak menghiraukannya. Menahan kaki Biru, dan mengusap luka tersebut tanpa perasaan. Alhasil, tangis Biru kembali kencang.

“Sudahlah, jangan cengeng! Kalau tidak dibersihkan nanti jadi sarang kuman!” ucap Hito. Bocah laki-laki itu berdiri, membuang tisu kotor tersebut ke tempat sampah dan mengusap kepala Biru dengan lembut. Mencoba menenangkannya.

“Ini semua—hiks—ini karena semua salahmu!” ujar Biru.

“Kenapa jadi salahku? Tadi kau berlari tidak lihat-lihat hingga terjatuh!” balas Hito.

“Tapi andai kita bermain masak-masakan atau main PS saja! Pasti aku tidak akan terjatuh seperti ini!” sahut Biru tidak terima.

Hito terdiam. Merasa ada benarnya juga ucapan temannya itu. Alhasil dia mendekat, memeluk Biru dan mengusap punggungnya untuk menenangkannya. Di rumah, dia selalu membuat Siera menangis karena kejahilannya. Biasanya kalau sudah seperti itu, Mama selalu meminta Hito untuk meminta maaf, memeluk dan mencium pipi Siera. Dan dia melakukan itu juga pada Biru.

Buktinya hal tersebut berhasil membuat Biru terdiam, berhenti menangis, namun wajahnya justru merah seperti tomat.

“Kenapa?” tanya Hito.

“Apa yang kau lakukan barusan?” balas Biru.

“Aku menciummu. Kenapa? Bukankah anak kecil suka dicium agar berhenti menangis?”

Pertanyaan tersebut justru malah membuat Biru semakin bungkam.

Hito justru semakin bingung. “Kenapa responmu seperti itu? Ayolah, memangnya ayah atau ibumu tidak pernah menciummu?”

Itu pertanyaan sensitif. Biru memang sudah berhenti menangis, tapi alih-alih menggeleng untuk membalas pertanyaan Hito. “Dulu sering, tapi mereka sudah tidak pernah melakukan itu lagi.”

Baiklah, Hito semakin merasa bersalah. “Baiklah, kalau kau merasa sedih dan butuh dicium, datang saja padaku! Aku akan melakukannya untukmu,” ucapnya. Lalu berbalik dan berjongkok.

Belum sempat bagi Biru untuk memproses kalimatnya barusan, dia sudah lebih dulu dibuat bingung dengan aksi bocah itu yang memberikan punggungnya. Tapi saat dia bertanya, Hito langsung memotongnya. “Ayo pulang! Kau pikir kau bisa berjalan dengan kondisi lutut seperti itu?” tanyanya.

“Ngh ... Memangnya kau bisa menggendongku? Aku berat loh, 25 kilogram!”

“Tentu saja aku bisa! Aku akan menjadi pesepak bola nanti! Fisikku harus kuat dan itu harus diasah mulai dari sekarang!” ucapnya.

Biru berdecak. Dia memang ingin pulang, tapi di sisi lain dia tidak yakin bisa berjalan sampai rumah. Apa lagi, jika nanti Mamanya marah saat melihat kondisinya seperti ini.

“Ayo cepat naik!”

Akhirnya Biru menurut, dia memposisikan tubuhnya di belakang punggung Hito, membiarkan bocah laki-laki itu mengangkat tubuhnya, dan mengantarnya pulang ke rumah.

“Hey, Blauw.” Di pertengahan jalan, Hito memanggilnya.

“Apa?”

“Ayahmu tidak berulah lagi, kan?” tanyanya.

Biru mengerucutkan bibirnya. Meletakkan dagunya di bahu Hito, lalu menggeleng. “Papa belum pulang sejak seminggu yang lalu.”

Hito berhenti sejenak, membetulkan posisi gendongan Biru di belakang. “Kalau ayahmu pulang, menginaplah di rumahku. Ranjangku cukup untuk dua orang.”

“Aku kapok tidur di kamarmu! Kau tidak bisa diam saat tertidur!”

“Sekarang sudah tidak kok!”

“Tidak mau!” tolak Biru.

“Yasudah, kau tidur bersama Siera saja! Atau kita tidur di ruang tengah kalau kau mau!”

Biru kembali mendengkus. “Kau jangan terlalu baik padaku Hito!” ujarnya.

“Tuhan suka anak yang sering berbuat baik!”

“Aku tahu. Tapi sesuatu yang baik, harus dibalas dengan yang baik juga. Aku takut tidak bisa membalas kebaikanmu!”

“Ya sudah, tidak perlu dibalas kalau begitu. Aku melakukan hal baik tanpa memerlukan balasan. Apalagi untuk sahabatku!”

“Memangnya aku sahabatmu?”

“Bukan. Kau musuhku!” Hito mendengkus. “Tentu saja kau sahabatku, apa lagi? Dasar bodoh!”

Itu adalah salah satu kalimat manis dari Hito yang masih dikenang baik oleh Biru. Bahkan hingga sekarang.

Hito seperti tanaman liar yang tumbuh di celah retakan hatinya yang hancur. Tumbuh subur tanpa pernah Biru prediksi, membuat hari-harinya yang dulu suram menjadi penuh warna. Kehadiran Hito seperti pendorong baginya untuk keluar sejenak dan melupakan badai yang ada di rumah. Dulu cowok itu adalah segalanya baginya.

“Biwu.”

Biru tersentak. Sven menyentuh bahunya. Cewek itu langsung tersadar jika mobil yang mengantarnya sudah sampai di depan gedung flatnya.

“Kau kenapa? Kau melamun sedari tadi.” Sven menatapnya khawatir.

Cewek itu buru-buru menggeleng. “Aku tidak apa-apa. Ngomong-ngomong, terima kasih sudah mengantarku. Besok—”

“Besok aku akan menjemputmu lagi,” potong Sven. Biru menghela napas.

Yaudah lah, terserah cowok itu saja. “Baiklah, kalau itu tidak merepotkanmu. Aku permisi.” Biru bersalaman sebentar dengan Sven, sebelum akhirnya keluar masuk ke lobi, meninggalkan Sven yang masih memperhatikannya dari dalam mobilnya.

Sesampai di unitnya, rupanya Gwen dan Eka belum tidur. Mereka masih duduk menonton Netflix di TV. Sesuatu yang baru pertama kali Biru lihat.

“Eh? Tumben kalian pake TV.”

“Nonton KKN Desa Penari, Ru. Join gak? Baru mulai nih,” ucap Gwen.

Biru menggeleng. “Nggak deh, gue capek banget. Mau tidur.”

“Oh iya, ada kiriman buat lu tuh, di meja!” Gwen menunjuk ke arah meja makan, yang memang di sana ada buket bunga matahari beserta paper bag di sampingnya.

“Dari siapa?” tanya Biru, berjalan ke arah meja.

“Gak tau tuh, tapi nama pengirimnya atas nama Hilgers.”

Hito? Untuk apa dia mengirim ini? Diraihnya paper bag tersebut yang isinya terdapat secarik kertas.

Blauw, aku sungguh minta maaf.
Aku mengirimkan kau ini sebagai perayaan debutku di Timnas sekaligus permintaan maafku. Kurasa kau menyukai sesuatu yang biru (sama seperti namamu), jadi aku belikan kau boneka Doraemon, kartun favoritmu dulu. Semoga kau suka.

—M. Hilgers.

“Ciee, dari siapa sih, Ru? Punya penggemar rahasia, nih?” goda Eka.

Biru tidak merespon. Dia masih sedikit empet sama Eka. Alhasil dia hanya tersenyum dan membawa bunga dan boneka tersebut ke dalam kamar.

* * *

Note:

Maaf ya lama updatenya. Semoga masih ada yang nungguin. Aku lagi sibuk ngurus cerita sebelah hehehe.

(Hito with Oranje)

Sekian, terima kasih sudah membaca. Jangan lupa untuk tinggalkan jejak berupa vote atau komen.

Sincerely, Nanda.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top