Fourth Note: I Can't Hold Back This Fear
As long as you can see, actually I’m freaking out. I can’t catch my breath. I can’t control myself. I always turn out to be an idiot when I start to remind you. Damn. You really are a scary past!
I want to kill you, if I can do.
—Semenanjung Biru
*
Ada tiga hal yang Biru paling tidak suka; keramaian, anak-anak, dan bersosialisasi. Parahnya lagi, dia memilih kuliah di jurusan pendidikan.
Bukan tanpa sebab. Ada beberapa alasan dia terpaksa mengambil jurusan tersebut. Pertama, dia tidak begitu pandai (bahasa kasarnya; nilai rapotnya pas-pasan). Kedua, dia tidak tahu jika kata pendidikan itu begitu kompleks dan rumit. Ketiga, dia tidak punya tujuan.
Bermodal UKT yang ada di golongan 1 membuat Biru masih bertahan sampai di semester 5 sekarang. Kampusnya pun dekat dari rumah. Semuanya terlihat sempurna sejauh mata memandang. Nyatanya, Biru kehilangan arah, dan tidak ada seseorang pun yang membantu menariknya kembali pada arus.
Dia juga tidak punya teman baik. Jika kucing-kucing liar di depan minimarket dekat rumahnya bisa dikategorikan sebagai teman, mungkin merekalah teman-teman baik Biru. Kelebihan yang dimilikinya adalah, dia seorang pengamat yang handal. Cewek itu tidak banyak bicara, tapi pendengar yang cerdas. Dia tidak peduli dengan sekitar, tapi dia tahu banyak tentang beberapa hal. Kebanyakan manusia tidak ada yang betah lama-lama dengannya. Makanya kali ini, dia berharap orang-orang asing yang dia temui di Utrecht bisa bertahan dengannya minimal sampai dia selesai dalam program pertukaran pelajar di akhir Januari nanti.
Memikirkan hal tersebut, tiba-tiba dia teringat dengan Hito. Ini cukup membuatnya bingung. Normalnya orang yang sudah tidak bertemu tanpa saling kontakan selama bertahun-tahun akan berakhir asing. Apalagi ini 12 tahun lamanya. Saat itu mereka masih kecil, Biru berpisah dengannya di usia 7 tahun.
Sekarang, di saat mereka bertemu kembali, muncul perasaan asing namun familiar secara bersamaan. Pria itu bertingkah seakan-akan mereka adalah sahabat sejati sejak kecil. Nyatanya tidak. Sulit bagi Biru untuk paham maksud cowok itu. Tapi sulit juga untuk denial jika Biru terhibur dengan kehadiran Hito yang selalu memenuhi notifikasi ponselnya.
Dia tahu ini menyedihkan. Tapi untuk pertama kalinya, ponselnya berisik bukan karena notifikasi pesan dari grup kelas, grup angkatan atau grup suatu projek. Melainkan dari seorang cowok bernama Mees Hilgers.
Drrt drrt drrt!
Notification bar
+62xxxxxxxxxxx
|Kamu online, kamu baca WA mama, tapi kenapa kamu gak bales?!
|Mama gak tahu loh, kamu udah sampe Belanda atau belum?
|Gini-gini saya masih mama kamu, Biru!
Biru berdecak. Mengunci ponselnya dan kembali fokus pada pembicara seminar di depan sana. Seperti yang Sven katakan, ada seminar kebudayaan di fakultas humaniora terkait transformasi budaya di era digital. Di mana topik pematerinya mengenai pengaruh teknologi digital dalam mengubah cara orang memahami dan melestarikan tradisi suatu budaya.
Topik yang seru, namun sayangnya Biru terlalu antusias sampai akhirnya dia bosan sendiri dan menahan kantuk karena pembicaranya yang membosankan. Ada kalanya bagi Biru untuk berhenti terlalu antusias dan berakhir kehilangan energi di tengah jalan seperti saat ini.
“Hey, jangan tidur!”
Sven yang duduk di sampingnya mencolek lengannya. Matanya yang barusan mencoba terpejam kembali terbelalak. Biru mendengkus, menegakkan punggungnya sembari memperhatikan orang-orang yang menjadi peserta seminar. “Ayolah, bukan aku saja yang tertidur sini!” ucapnya tertahan, takut suaranya terdengar oleh banyak orang.
Cowok itu menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu tak lama memberikan sebungkus permen kopi padanya. “Tetap saja, jangan tertidur, Biwu. Hargai dosen yang sedang berbicara di depan.”
Biru terdiam. Beberapa detik berikutnya menghela napas kasar. Sven itu orangnya tegas, namun bisa konyol dalam sekaligus. Tampangnya seperti pria Belanda kebanyakan. Tinggi, berambut pirang dengan mata hijau bercampur almond—persis seperti hutan di tengah musim panas. Biru masih ingat cowok itu yang pertama kali menyapa dia dan Eka di kelas psikologi pendidikan. Hingga akhirnya dia berteman dan juga berteman dengan teman-teman yang lain.
“Baiklah.” Biru menyerah. Mengambil permen tersebut dan memakannya. Kira-kira seminar akan selesai sekitar satu jam lagi. Dia masih bisa bertahan untuk mendengar materi tersebut.
Drrt drrt drrt!
Oh, siapa lagi yang mengirimnya pesan sekarang? Semoga saja bukan Mamanya.
Hito
Send you a picture.
Bukan karena permen kopi, atau materi seminar yang mulai menarik, tapi karena muncul pesan masuk dari Hito. Gesit, dia membuka aplikasi WhatsApp. Cowok itu mengirimkan foto random dirinya yang sedang senyum dari angel bawah. Senyum khas dirinya yang kalau dilihat-lihat terkesan konyol namun enak untuk dipandang.
|Tebak aku sedang apa?
|Apa?
|Aku sedang mengirimi mu pesan.
|Terserah.
Send a picture
Ya Tuhan, apakah Hito tidak malu mengirim foto wajahnya secara random? Apakah dia begini juga ke teman-temannya yang lain? Kalau iya, dia memang sudah tidak waras!
“Itu pacarmu?”
Tiba-tiba Sven bertanya. Posisi mereka bersebelahan, memungkinkan cowok itu dapat melihat layar ponselnya dari posisinya duduk. Biru langsung menggeleng, menutup layar ponselnya sejenak. “Bukan. Hanya teman.”
Sven terdiam, tatapannya tertuju pada cewek itu tanpa tahu apa maksud tujannya. “Jadi, kau berteman dengan Mees Hilgers?”
* * *
Tidak perlu heran bagaimana bisa Sven tahu siapa Hito. Cowok itu gila bola—sekiranya begitu dari penilaian Biru selama mengenal Sven. Beruntung, cowok itu tidak banyak bertanya bagaimana dia bisa kenal Hito.
Hito
|Besok klubku akan bertanding dengan AZ
|Kau mau menontonnya di stadion?
Hito kembali mengirimnya pesan. Sejenak dia melupakan Sven yang sedang memesan minuman di kafetaria dekat fakultas humaniora. Kabar baik, seminarnya sudah selesai.
|Aku menonton di televisi saja.
|Kejam sekali.
|Nanti aku pesankan taxi ke Alkmaar.
|Tidak usah. Masih banyak tugas yang harus aku selesaikan.
|Baiklah, mahasiswa Budiman.
|Kerjakan tugasmu dengan benar!
|Wkwkwkwk
Biru terkekeh. Tidak menyangka cowok itu menggunakan bahasa typing tersebut padanya.
|Fokuslah berlatih dan menangkan pertandingan.
|Well, tantangan diterima.
|Apa yang akan kau lakukan jika klubku menang?
|Aku tidak akan melakukan apapun.
|Tidak asik.
|Datanglah ke Enschede.
|Oh yang benar saja?
|Aku serius.
|Jika Twente menang besok, kau harus datang ke Enschede.
|Untuk apa?
|Jalan-jalan denganku.
|Aku yakin kau tidak punya pacar.
|Bagaimana jika aku punya?
|Apa? Kau punya pacar? Di Indonesia?
Biru tidak langsung membalasnya, lantaran Sven muncul sembari membawa dua cup minuman yang salah satunya adalah miliknya. Cewek itu mengucapkan terima kasih sebelum akhirnya menerima minumannya. Mereka hari ini sudah tidak ada kelas—kalau dipikir-pikir jadwalnya dengan jadwal Sven itu cukup mirip.
“Kau akan langsung pulang setelah ini?” tanyanya.
Cewek itu mengangguk, menyeruput minumannya dan kembali mengecek ponselnya. Ada balasan lain dari Hito yang berhasil membuatnya terkekeh geli.
|Bagaimana bisa kau tidak cerita padaku?
|Bagi aku kontak pacarmu!
|Untuk apa aku berikan kontaknya padamu?
|Agar aku bisa meminta izin untuk mengajak sahabatku mengelilingi Enschede.
|Tidak perlu. Aku hanya bercanda.
|Kau punya pacar atau tidak?
|Aku tidak suka merebut milik seseorang.
Biru hampir saja tersedak saat membaca balasan terakhir cowok itu. Sven yang sedari tadi memperhatikan, langsung bertanya. “Kau baik-baik saja?” tanyanya.
Cewek itu mengangguk seraya mengernyit, mengusap dadanya. “Yeah. Maaf sudah membuatmu kaget.”
“Santai saja.”
Biru mengusap bibirnya sejenak. “Aku boleh tanya sesuatu?” tanyanya. Merasa Sven memberikan gestur untuk mempersilahkan, Biru kembali melanjutkan. “Berapa jauh Enschede dari Utrecht?”
Sven mengernyit. “Well, mungkin sekitar 85 mil,” jawabnya.
“Jauh juga ternyata,” gumam cewek itu.
“Kau bisa menggunakan kereta kalau kau mau,” jelas Sven. “Memangnya ada apa? Kau ingin mengunjungi temanmu itu?”
Tidak tahu kenapa, tiba-tiba pipi Biru mendadak panas. Buru-buru dia menggeleng dan kembali menyeruput minumannya. “Tidak. Bukan itu.”
Cowok itu hanya tersenyum kecil. Tidak bertanya lagi. Sven tidak ingin mengorek lebih jauh privasi temannya.
Biru kembali mengecek ponselnya. Ada pesan baru dari Hito.
|Aku tidak suka merebut milik seseorang.
|Blauw ayolah, apa aku mengganggumu?
|Tidak.
|Kau belum menjawab pertanyaanku.
|Pertanyaan yang mana?
|Kau punya pacar atau tidak?
|Aku sudah menjawabnya tadi.
Cukup lama Hito mengetik. Biru sampai menunggunya. Saking lamanya, dia keluar dulu dari aplikasi WhatsApp.
“Kau jadi pergi ke pesta itu bersama Eka?” tanya Biru, mencoba basa-basi sembari menunggu balasan dari Hito.
“Yeah. Ikutlah dengan kami. Kau mau?” tawar Sven. Setahunya, mereka berdua akan datang menghadiri acara pesta ulang tahun salah satu teman mereka dari jurusan ilmu politik.
“Aku tidak suka keramaian.”
Sven mengangguk paham. “Kalau begitu, kau mau menemaniku mencari buku Jhon Dewey?”
“Buku yang mana?” tanya Biru.
“Pendidikan dan Demokrasi.”
Biru terdiam, terlihat sedang menimbang-nimbang. “Kapan?”
“Kalau sekarang bagaimana, kau mau?”
Mendengar jawaban Sven, Biru terkekeh. “Bagaimana dengan pesta Jessica? Eka pasti sudah menunggumu,” sahutnya.
Sven mengangkat bahunya tak acuh. “Tidak ada pesta anak muda yang digelar sore hari,” jawabnya. Cowok itu tersenyum. “Jadi, kau mau atau tidak?”
Benar juga. Acara pesta ulang tahun itu diadakan di malam hari. Akhirnya setelah menimbang-nimbang beberapa detik, Biru akhirnya menghela napas sejenak sebelum akhirnya mengangguk setuju. “Baiklah. Aku mau.”
Drrt drrt drrt!
Akhirnya! Ada balasan dari Hito. Lama sekali cowok itu mengetik. Buru-buru Biru kembali membuka pesan tersebut.
|Oke.
Hanya oke?
|??
|Selasa tanggal 12 aku jemput kau di Utrecht.
|Memangnya kau yakin akan menang?
|100 persen yakin.
|Percaya padaku, Blauw.
|Yasudah terserah kau saja.
Send a picture.
|Jus strawberry dari kafetaria fakultas humaniora.
Send picture
|Aku dan temanku, Daan 😁
* * *
Sudah lama Biru tidak ke toko buku. Terakhir kali dia ke Gramedia itu beberapa hari sebelum keberangkatannya ke Belanda. Sebenarnya dia menerima ajakan Sven karena bingung mau ngapain di flat. Dia malas melihat ruang tengah dan dapur yang berantakan. Beberapa hari ke belakang Biru terus yang membersihkannya. Ketiga temannya itu sama sekali tidak ada inisiatif untuk sekedar menyapu atau mencuci piring. Ingin sekali Biru membuat jadwal piket, tapi itu terdengar sangat melelahkan saat membayangkan dia akan berunding bersama mereka nantinya. Lebih baik dia menunggu salah satu temannya marah-marah dan jadwal piket pun tercipta.
Prinsip seorang introvert benar-benar sangat melekat pada diri seorang Biru.
Bahkan menurutnya saat awal-awal tinggal dan tidur satu kamar bersama Eka, itu adalah waktu terberat baginya beradaptasi, dibandingkan dengan dunia perkuliahan itu sendiri. Dia nyaris ingin menangis saat tidak bisa menikmati waktunya sendiri di kamar. Itu sebabnya ada kalanya dia menolak ajakan bermain dari teman-temannya seperti nongkrong atau menonton bioskop, alih-alih Biru justru memilih untuk me time dan mengembalikan energi sosialnya yang cepat habis.
“Kau belum pernah ke sana, kan?” Sven bertanya saat mobilnya mulai melaju di jalan raya.
Sven barusan menjelaskan jika mereka akan ke Broese Bookstore, salah satu toko buku cukup terkenal di Utrecht. Cowok itu bilang, punya kenalan yang sudah menitipkan buku Jhon Dewey untuknya. Mereka tinggal mengambilnya, sekalian Sven juga akan membeli beberapa buku referensi lainnya. Dari sini, melihat Sven dia miris dengan motivasi belajarnya yang jongkok. Jangankan ke toko buku, membaca buku saja dia malas dan akan mengantuk. Lain halnya jika membaca buku cerita, Biru akan semangat, bahkan rela bergadang hanya untuk menghabiskan series buku Lima Sekawan karya Enid Blyton atau novel series Bumi karya Tere Liye yang sedang dia baca terakhir kali di Indonesia.
Biru suka karya sastra. Dia suka novel, puisi atau sajak-sajak kuno yang rimanya unik dan senada. Kalau mood-nya sedang bagus, terkadang dia menulis beberapa patah puisi singkat di buku catatannya untuk mengeluarkan ide yang tumpah di kepalanya.
“Belum. Aku belum pernah ke sana,” jawab Biru.
Cowok itu melirik Biru sekilas. Cewek itu tengah menyeruput minumannya yang masih sisa setengah. Rambut hitamnya dia gulung, tas ranselnya dia pangku di depan. Satu hal yang membuat Sven tidak menyangka, cewek itu berteman dengan seorang Mees Hilgers. Pesepak bola yang sedang naik daun belakangan ini. Namanya ada di list pemain Timnas Belanda U-21 dalam pertandingan sahabat nanti melawan Belgia. Setahunya juga, besok FC Twente ada pertandingan melawan AZ, apakah Biru akan menonton langsung di stadion Alkmaar?
“Sejak kapan kau kenal Hilgers?” tanya Sven. Sebenarnya dia bukan tipikal orang yang banyak bertanya tentang ranah pribadi seseorang, tapi untuk Biru, ada sesuatu yang tidak bisa dia tahan. Dia penasaran.
“Oh? Hito—maksudmu Mees?”
“Yeah. Dia temanmu kan?” ucap Sven, kembali bertanya.
“... Iya. Dia teman masa kecilku.”
Sven terdiam. Lagi-lagi dia hanya mengangguk, tidak bertanya lagi dan membiarkan dirinya menyimpulkannya sendiri.
Setibanya mereka di toko buku, Biru sengaja berpisah dari Sven untuk melihat-lihat novel Dutch. Barangkali ada novel ringan yang bisa dia baca untuk melancarkan kemampuan bahasa Belandanya. Tapi rupanya harganya agak mahal. Biru tidak yakin harus membelinya, di saat uang itu bisa digunakan untuk biaya hidup di Utrecht.
Biru mengerucutkan bibirnya. Membetulkan sejenak tas ranselnya dan berbalik. Namun dirinya justru terkejut di tempat kala melihat seseorang tengah berdiri melihat-lihat buku anak-anak tak jauh di depannya.
Waktu bagai berhenti, napas Biru tercekat. Kakinya perlahan mundur dengan tubuhnya yang mendadak bergetar. Entah karena pacuan adrenalin yang muncul secara tiba-tiba, Biru sampai mendengar suara detak jantungnya sendiri. Pria itu masih berdiri di sana, tidak menyadari jika dirinya sedang ditatap horor olehnya.
Tepat saat pria itu mendongak, cepat-cepat Biru kembali berbalik dan berlari mencari Sven.
Perasaannya campur aduk. Dia bahkan tidak sadar kalau air matanya sudah tumpah bersamaan dengan tubuhnya yang terasa dingin oleh keringat.
“Biru, ada apa?!” ucap Sven, saat cewek itu datang dan tidak sengaja menabrak dadanya.
Saat dirinya tersadar orang yang dia cari tepat di depannya, spontan tangis biru kembali luruh. Dengan kepala yang mendongak menatap mata hijau indah tersebut, Biru memohon. “S—Sven, a—aku ingin pulang—hiks! Aku takut!”
Jelas, Sven ikut panik. Cowok itu refleks memeluk Biru. Dia tidak tahu apa yang terjadi sampai cewek itu terlihat begitu ketakutan. Alhasil, dengan lembut, dia menuntunnya keluar dari toko buku. “Sshh, sudah, tidak apa-apa.”
“Aku ingin pulang ... Hiks—Biru takut!”
Sven tidak mengerti kalimat terakhir yang cewek itu katakan. Tapi cowok itu mencoba untuk kembali menenangkannya. “Baiklah, kita akan pulang.”
Biru pun pasrah dituntun oleh Sven kembali ke tempat mobil cowok itu berada. Mereka kembali pulang saat itu juga. Melupakan buku Jhon Dewey dan rencana temannya itu. Cewek itu merasa bersalah, tapi jika mereka kembali ke toko buku dengan orang itu yang masih ada di sana, sama saja seperti bunuh diri baginya. Biru menarik napas pendek akibat hidungnya yang terasa tersumbat dengan tangan kirinya yang sedari tadi memegang lengan kanannya. Menyentuh luka bakar tersebut erat-erat.
Biru takut. Biru takut. Hiks. Biru takut sama Papa ...
* * *
Note:
Karakter Sven adalah salah satu second lead favorit gue. He’s really my type. Kalau Hito dan Sven diibaratkan seorang anjing. Maka, Hito adalah adalah anjing herder, dan Sven adalah golden retriever. Tapi dengan pribadi dan sikap yang berbanding terbalik. Wkwkwk.
Let’s go ramaikan. Kalo bisa sharing ke temen2 sesama pembaca WP wkwk, asal jangan share ke IG atau Tiktok! Aing sieun, euy! Dua cerita gue (Wonderwall & Jellyfish) aja udah dihapus tagar utamanya. Wkwkwk.
Well, sekian. Terima kasih udah mau baca. Jangan lupa untuk tinggalkan jejak berupa vote atau komen. Terima kasih.
Sincerely, Nanda.
Btw, visual Sven menurut kalian siapa yang cocok?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top