Fourteenth Note: A Hot Debate
Being jealous for no reason is confusing. I am nobody to you. But why do I get upset when other people start to like you.
Am I being weird?
—Semenanjung Biru
*
Girls (4)
Kemarin
Risa
|Yang belum bayar uang kas tinggal Gwen sama Eka.
|@ Gwen @ Eka
|Ditunggu sampe siang ini.
Biru
|Emang yang mau belanja siapa?
Gwen
Send a picture.
|Udah gue TF.
Risa
|Thanks.
|Eka, bayar, Ka. @ Eka.
Eka
|Boleh besok gak, Sa?
|Langsung cash aja nanti.
Risa
|Oke.
Hari ini.
Risa
List belanja bulanan.pdf
|@ Eka @ Biru, ini list-nya ya. Jangan lupa!
Biru
|Oke.
*
Sekarang, ada beberapa peraturan kecil yang dibuat oleh orang-orang penghuni flat; bayar uang kas, piket mingguan, dan juga jadwal siapa yang memasak makan malam. Sebenarnya, tidak ada peraturan siapa saja yang bakal pergi belanja bulanan—juga tidak ada yang meminta Biru untuk melakukan itu.
Tapi karena persediaan sabun deterjen telah habis, dan Biru punya banyak cucian yang mulai menumpuk, mau tidak mau dia harus berinisiatif mengajukan diri untuk berbelanja di saat Risa dan Gwen sedang praktek dan kunjungan ke Universitas Leiden selama sehari. Biru juga awalnya hendak berangkat sendiri saja ke supermarket, tapi Eka tiba-tiba datang dan mau menemaninya.
Jangan bilang kalau Biru ini tipe orang yang pemaaf, karena pada dasarnya Biru justru orang yang pendendam. Dia sudah mengusir Eka secara halus, kalau dia bisa melakukannya sendiri. Maksudnya, ayolah! Room mate-nya itu bisa saja pergi nongkrong dengan teman-teman hits-nya di UU yang nantinya pasti akan dia ceritakan dengan bangga ke orang-orang di flat. Bukannya iri, Biru terlalu bosan mendengar ceritanya yang templet setiap harinya.
“Gak apa-apa, Ru! Gue juga sekalian mau beli cemilan! Lu tau sendiri gue doyan nyemil!” Itu alasan yang diberikan Eka.
Meski Biru orang yang pendendam, tapi dia bukan orang yang kasar. Alhasil, dia membiarkan Eka ikut bersamanya. Sepertinya cewek itu sedang dalam mode normal, dan semoga saja begitu terus sampai mereka selesai belanja nanti.
“Eh Ru, lu ke Enschede waktu itu ngapain? Naik apa?” tanya Eka. Mereka sedang mencari stok beras, kebetulan mereka belanja di supermarket khusus orang-orang Asia.
Biru yang sedang mendorong troli, meliriknya sekilas. “Maen doang sih, naik kereta. Kenapa emang?”
“Kapan-kapan gue mau ikut juga dong Ru, kalau lu main ke sana lagi. Pengen tau aja gitu, di sana kayak gimana?” pinta Eka.
Mendengarnya, Biru mau tertawa sarkas. Ingin sekali dia menolak detik itu juga. Sebab, sepertinya berlama-lama—apa lagi sampai pergi ke luar kota—sama orang problematik kayak Eka, ngebayanginnya saja sudah bikin capek. Tapi nggak mungkin dong, Biru langsung blak-blakan bilang begitu? Bisa habis dia dimusuhi sama teman-teman satu fakultas. Sudah mana dirinya ansos, tidak punya banyak teman, bahkan tidak jarang terlihat sebagai anti-hero-nya Eka pula. Sudah pas sekali bukan, dirinya menjadi bahan rundungan orang-orang?
“Boleh sih. Palingan nanti sekalian ajak temen-temen yang lain juga, biar rame,” balas Biru, mencari jalan tengah.
Eka tersenyum. Kalau saja Biru tidak tahu bagaimana sikap aslinya yang kadang bikin hati empet, mungkin cewek itu bakal terpana melihat senyum menawan room mate-nya tersebut. Harus Biru akui, Eka itu memang definisi cewek Nusantara yang cantik dan manis. Orang-orang tidak akan bosan untuk melihatnya lama-lama.
“Nanti sekali-kali boleh kali Ru, nonton pertandingan Twente di sana.”
Biru berhenti tersenyum. Kepalanya langsung menoleh ke arah Eka yang ternyata juga sedang menatapnya. “Hah?”
Temannya itu menghela napas. “Nonton Hito main bola, Biruu. Masa lu temennya nonton dia di TV doang? Sesekali lah, nonton di stadion langsung.” Eka terkekeh. “Sekalian ajakin gue nanti. Hehehe.”
Baiklah. Dia memang sudah sering ditawari untuk nonton langsung ke stadion tiap kali Twente bertanding. Apalagi jika lokasinya di kandang, alias di stadion De Grolsch Veste. Bahkan pertandingan melawan Go Ahead Eagle kemarin di tanggal 6 saja Hito gencar-gencar memintanya untuk datang ke Enschede. Tapi Biru tolak soalnya ada kelas tambahan hingga malam hari. Padahal tiketnya sudah cowok itu siapkan jika memang dia mau datang.
“Oh.” Biru hanya merespon demikian. Entah kenapa mood-nya berantakan. Antara dia kepikiran sama ucapan Eka barusan atau karena dia menangkap sinyal aneh dari temannya itu yang tidak bisa Biru deskripsikan.
“Eh, Betewe. Dia juga udah sempet wawancara sama orang indo tahu! Kayak udah ditawarin gitu buat main di Timnas Indonesia!” celetuk Eka, tiba-tiba banget mengubah topik pembicaraan.
Biru mengerutkan keningnya. “Emang iya?” tanyanya.
“Iya! Dari dua tahun yang lalu kalo gak salah. Terakhir gue cek wawancara terbarunya itu di tanggal 1 Desember 2021.” Eka tertawa pelan. “Katanya doi lebih seneng masakan Indonesia ketimbang masakan orang-orang Belanda! Kocak banget deh!”
Nice info banget, sumpah!
“Eh tapi Ru, dia udah punya pacar belum sih?” tanyanya. “Tapi kayaknya sih belum deh. Soalnya gue liat di Instagramnya dia gak posting macem-macem. Cuma tentang bola doang. Following-nya juga nggak banyak, seperti kebanyakan atlet-atlet pada umumnya.”
Kini, Biru menghentikan langkahnya. Menatap Eka dengan tatapan tidak suka. “Lu stalking temen gue? Ngapain?” tanya Biru, tidak tahu pula kenapa dia merespon begitu. Tiba-tiba saja ada sesuatu yang gatal di hatinya, dan dia tidak suka itu.
“Ngh—nggak ngapa-ngapain, sih. Cuma gak sengaja cek aja,” jawab Eka.
Biru memutar bola matanya jengah. Mendengkus dan kembali berjalan mendahuluinya. Sekarang mood-nya bukan lagi berantakan, tapi hancur. Padahal kalau dipikir-pikir, Biru juga pernah stalking Hito, bahkan sampai klub FC Twente pun dia kulik. Tapi kenapa mendengar orang lain yang melakukannya, dia tidak suka?
Ngomong-ngomong apa tadi Eka bilang? Hito lebih suka masakan Nusantara? Itu info yang jadul sekali baginya. Dari Biru TK, dia sudah tahu kalau cowok itu lebih doyan makan nasi campur sop buntut ketimbang roti dan scramble egg!
Menyebalkan!
Eh, tapi bentar dulu. Biru kan, bukan siapa-siapanya Hito. Kenapa dia jadi cemburu dan kesal begini?
* * *
Di antara semua mata kuliah yang dia kontrak, ada beberapa yang paling males dia datangi. Salah satunya adalah kelas Sosiologi Keluarga yang diampu oleh Prof. Patrick. Tidak ada yang membuat Biru tertarik selain nama beliau yang mengingatkannya dengan temannya Spongebob Squarepants. Tapi kalau dilihat-lihat Prof. Patrick sedikit mirip karakter tersebut versi jeniusnya. Ada kan, episode di mana kepala Patrick tertukar dan mendadak berubah menjadi bintang laut yang jenius. Biru akui, karakter Patrick di situ terlihat membosankan. Dia lebih senang si Patrick idiot ketimbang si Patrick jenius.
Ini ada kemiripannya dengan kelas Sosiologi Keluarga hari ini. Prof. Patrick terlihat sedikit berbeda, dia lebih ceria dari biasanya. Pria tua itu bilang ke seluruh orang di kelas kalau dirinya sebentar lagi akan menjadi seorang kakek. Semua mahasiswa ikut senang dan mendoakan—walau Biru tahu, mereka begitu agar diberi keringan akan tugas paper darinya yang seabrek.
Tapi ajaibnya, kelas konvensional yang biasa pria tua itu terapkan justru dialihkan dengan debat. Kelas berisi 45 orang itu dibagi 3 kelompok. Pro, kontra, dan netral. Biru berada di kelompok pro bersama Lucas dan Simon. Sedangkan di sebelah ada Sven, Eka dan Jansen yang tergabung di kelompok kontra. Tersisa Jasmijn yang ada di kelompok netral.
Tema yang diambil adalah tentang isu ekonomi keluarga. Yakni; ‘Keluarga Miskin akan mewariskan kemiskinan untuk generasi selanjutnya.’
Bagi Biru, mau kelas biasa atau debat, sepertinya sama saja. Biru tidak tertarik. Lebih tepatnya dia males ngomong mengutarakan opininya. Pokoknya, jangan pernah berharap lebih pada Biru kalau urusan ambis-ambisan. Cewek itu orangnya santuy abis. Lihat saja, di saat yang lain sibuk dan mengutarakan pendapatnya dengan menggebu-gebu, Biru malah sibuk menguap dan menulis beberapa poin dari pendapat teman-temannya yang menurutnya oke untuk dijabarkan.
“Tidak. Menurut saya, mengapa mereka mewariskan kemiskinan karena dilihat dari berbagai aspek yang ada. Orang-orang miskin itu tidak memiliki kesempatan yang banyak seperti orang kaya. Fasilitas dan layanan yang mereka dapat begitu terbatas karena minimnya biaya yang mereka miliki. Belum lagi kondisi lingkungan orang-orang miskin yang tidak mendukung adanya perbaikan kualitas hidup. Sebagian besar dari mereka mendapatkan pendidikan dan kesehatan yang kurang. Hasil yang diperoleh rata-rata stagnan dan tidak akan berkembang seperti orang-orang dari keluarga kaya.” Itu salah satu opini yang dilontarkan oleh Simon, pihak pro.
“Interupsi! Saya izin menyanggah pendapat barusan.” Sven tiba-tiba berdiri dari duduknya. “Sebenarnya jika menarik kesimpulan yang ada, permasalahan utama mengapa kasus ini terjadi karena dimulai dari pola pikir yang tidak sehat. Tidak selamanya orang-orang miskin akan terus mewariskan kemiskinan tersebut pada generasi selanjutnya. Begitu banyak kesempatan dan peluang yang tersedia untuk mengubah nasib mulai dari adanya motivasi seseorang untuk mendapatkan kesejahteraan hidup yang layak. Orang miskin adalah pekerja keras, mereka akan berjuang mengubah derajat keluarga. Dengan begitu sedikit demi sedikit kemiskinan akan tertinggal, karena mereka tahu, betapa menderitanya untuk hidup miskin.” Sven si jenius. Apa yang harus Biru ekspektasikan selain jawabannya yang sangat bagus.
Tak lama setelahnya, salah satu anggota kelompok pro berdiri. Lucas, segera menyanggah kembali pendapat Sven barusan. “Perlu ku ingatkan kalau kau lupa, jika orang miskin adalah orang yang egois. Mereka melahirkan banyak keturunan dengan harapan kelak anak-anak mereka adalah penyelamat mereka dari kemiskinan. Nyatanya, mereka tidak punya pola pikir yang panjang untuk memikirkan kalau hidup di zaman sekarang, memiliki anak ketika miskin adalah tindakan yang kriminal! Mereka lupa jika anak itu perlu dirawat dan dibesarkan, dan itu bukanlah suatu hal yang murah. Alhasil apa yang terjadi? Kebanyakan dari mereka menyerah, tidak sanggup membiayai, dan menjadikan anak-cucu mereka berakhir miskin sepertinya.”
Biru menaikkan salah satu alisnya. Cukup terkejut dengan jawaban Lucas. Dia mengira cowok itu hanya orang songong yang naksir sama Eka. Sesuatu yang baru Biru lihat darinya. Cowok itu cukup kritis juga rupanya.
Berikutnya Eka berdiri. Seketika Biru penasaran, opini apa yang akan dia lontarkan. “Salah satu upaya untuk memutus rantai kemiskinan ini tentunya ada pengaruh besar dari peran pemerintah dalam mengelola bantuan pada orang-orang yang tidak mampu. Seperti bantuan kesehatan, bantuan pangan dan juga bantuan beasiswa bagi anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan cukup. Dengan begitu, peluang bagi keluarga-keluarga miskin untuk maju dan sejahtera akan tercipta.”
“Izin menanggapi!” Tanpa angin, tanpa hujan, Biru tiba-tiba berdiri. Mengangkat tangannya tinggi-tinggi, menatap Prof. Patrick, meminta izin mengutarakan pendapatnya. Merasa diizinkan, cewek itu langsung menatap Eka lekat-lekat. “Kau lupa, jika ada banyak negara lucu di dunia yang memikirkan keuntungan para pejabat negara ketimbang kesejahteraan rakyatnya. Kau lupa ada negara yang mayoritas penduduknya orang miskin justru tidak mendapatkan hak yang setara. Kau juga lupa jika rakyat-rakyat pun juga banyak yang tamak dan egois. Mereka menggunakan kata miskin untuk memeras bantuan sosial di saat kondisi perekonomian mereka berada di level menengah ke atas. Artinya apa? Bahwa banyak bantuan sosial seperti kesehatan dan pendidikan yang salah sasaran! Mereka yang hidup enak semakin enak, mereka yang hidup susah semakin menderita.
“Jadi kesimpulannya, bantuan-bantuan yang diberikan oleh pemerintah hanyalah obat pereda nyeri yang efeknya hanya sementara. Bantuan sosial itu bukanlah solusi, di saat kita bisa merombak dan membenahi konstitusi suatu negara yang sudah bobrok sejak awal. Untuk negara berkembang seperti negara tempatku berasal, ini adalah masalah yang sudah menjamur sejak dulu. Orang miskin menyalahkan pemerintah, pemerintah menyalahkan rakyatnya yang miskin. Semuanya kacau. Itu sebabnya sangat sulit untuk memotong rantai kemiskinan yang terus berlanjut dari generasi ke generasi. Jadi, menurut saya, jawaban anda barusan kurang tepat!”
Sedetik setelah mengatakannya, Biru kembali duduk. Mendapati Eka yang melotot tidak terima. Biru tersenyum miring. Jangan tanya kenapa? Cewek itu juga tidak tahu kenapa suka kelepasan sensi jika Eka sudah bersuara. Bukannya dia jahat, tapi apa yang keluar dari mulut Eka, baginya terdengar seperti omong kosong belaka. Tapi peduli setan! Ini hanya debat di kelas Sosiologi Keluarga. No heart feelings, right?
“Baiklah, cukup! Topik perdebatan ini semakin melebar ke mana-mana,” ucap Prof. Patrick, menenangkan suasana kelas yang tiba-tiba saja menjadi tegang. “Silakan, kelompok netral untuk mengutarakan hasil kesimpulan dari debat kali ini.”
* * *
Siang itu sekitar jam 1, ada kurir datang menekan bel unit apartemennya. Hito baru selesai mandi selepas melakukan jadwal gym, dan yang menerima paket tersebut adalah Daan.
“Dari siapa?” tanya Hito. Berjalan ke ruang tengah sembari mengelap rambutnya yang basah dengan handuk.
“Entahlah, cek saja sendiri.” Daan memberikannya kotak tersebut padanya.
Hito segera mengecek keterangan si pengirim yang tertera. Sedetik kemudian, ekspresinya langsung cerah seketika. Saat nama seseorang yang dia kenal ada di sana. Bukan dari Mama, bukan dari Siera, dan juga bukan dari Louisa. Tapi dari seseorang yang bernama Semenanjung Biru. Cowok itu segera mengambil pisau di dapur dan membuka paket tersebut tak lama kemudian.
Isinya adalah dua mangkuk keramik bewarna dasar putih dengan sedikit corak bunga kecil-kecil bewarna biru. Lagi-lagi biru. Semua hal tentang cewek itu, pasti bewarna biru. Hito tidak bisa berhenti tersenyum, saat mendapati ada secarik kertas di sana. Pesan singkat dari si pengirim.
Aku kepikiran dengan mangkuk yang sudah kupecahkan waktu itu. Jadi aku mencoba untuk menggantinya. Semoga kau suka.
—S. Biru
Tak lama setelah membacanya, dia mengambil ponselnya. Mengirim pesan pada kontak yang dia beri nama ‘Blauw’ di sana.
Blauw
Send a picture.
|Aku suka mangkuknya.
|Sebenarnya kau tidak perlu repot-repot menggantinya.
|Tapi terima kasih. Mangkuk satunya lagi akan ku simpan baik-baik.
Tak butuh waktu lama, muncul balasan dari Biru.
|Oh, paketnya sudah sampai rupanya.
|Lebih cepat dari yang kubayangkan.
|Yeah, barusan paketnya tiba.
|Baiklah kalau begitu.
|Senang kalau kau suka.
|Hey, Blauw!
|Kau lagi apa?
|Sedang mengirimimu pesan.
Hito terkekeh. Dia merasa deja vu dengan balasan dari cewek itu.
|Aku serius, Blauw. Kau sedang apa?
Send a picture.
|Menunggu kelas selanjutnya di perpustakaan.
|Biar kutebak, kau pasti baru selesai mandi sehabis gym.
|Benar kan?
|Seratus untuk sahabatku.
|Kau sendirian di sina?
|Aku bersama Sven.
Sedetik setelahnya, Hito mengerutkan keningnya. Sven. Teman kuliah Biru yang waktu itu pernah dia temui.
|Oh ya?
|Pasti kau sedang kasmaran dengannya.
|Hah???
|Apa maksudmu?
|Tidak. Bukan apa-apa.
|Ngomong-ngomong, coba tebak skor untuk pertandinganku besok.
|Tidak mau.
|Nanti berakhir buruk seperti saat kalian melawan Feyenoord 😞
|Jangan risau, Blauw.
|Itu hanya permainan.
|Bagaimana jika Twente menang?
|Bagaimana jika kalah?
|Jadilah orang yang positif, Blauw!
|Bagaimana jika menang?
|Kau tahu pertandingan besok adalah pertandingan terakhir di bulan November ini.
|Ya, terus?
|Aku punya banyak waktu libur.
|Kau bilang UU ada festival beer.
|Ayo kita ke sana.
|Ranjangku terdengar lebih menarik👎
Hito terkekeh. Sudah dia tebak Biru pasti akan menolak. Tapi biarlah, cowok itu punya banyak cara untuk membuat sahabatnya itu luluh nanti.
Atensi Hito tiba-tiba teralihkan ketika terdengar suara bel berbunyi. Daan yang posisinya paling dekat dari pintu, berinisiatif membukanya untuk melihat siapa di depan. Belum sempat temannya itu menyadari siapa yang datang, orang itu lebih dulu mendorong pintu dan main masuk begitu saja ke dalam.
“Louisa?!”
Baik Hito maupun Daan terkejut. Lebih terkejut lagi ketika cewek itu berjalan dengan langkah lebar ke arah Hito. Belum sempat Hito tahu apa maksudnya, Louisa sudah mengangkat tangannya, dan melayangkan satu tamparan keras pada wajah Hito!
PLAK!
“Dasar brengsek!”
* * *
Note:
Terima kasih, jangan lupa untuk tinggalkan jejak.
Sincerely, Nanda.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top