First Note: After 12 Years Old
You know what? This isn’t really bad when I step around this place. Especially when we look each other for the first time since I left you so many years ago.
Well, to be honest, you look cute though.
—Semenanjung Biru
*
September 2022.
Ini terhitung nyaris 12 tahun Biru tidak pernah lagi menginjakkan kaki ke Amersfoort. Selain karena dia pindah ke Indonesia saat itu, dia juga tidak akan pernah bisa lagi mengunjungi luar negeri. Kalau bukan karena program pertukaran pelajar yang disponsori oleh program MBKM, dia juga tidak akan menyangka bisa mendapatkan kesempatan untuk merasakan pengalaman berkuliah di universitas ternama seperti Utrecht University selama 1 semester.
Siang itu Biru berpisah dengan teman-temannya sejak mereka selesai makan di salah satu restoran Masakan Padang. Rencananya, dia akan ke daerah Amersfoort untuk bertemu salah satu teman. Namanya Diandra, Biru kenal cewek itu saat dia trip ke Desa Baduy beberapa tahun yang lalu.
Hari ini dia tidak ada jadwal kelas apapun. Laporan minggunya pun sudah dia buat, tinggal submit saja di akun MBKM-nya besok. Teman-teman room mate-nya kompak pergi menonton film. Biru merasa kurang worth it jika menghabiskan waktu hanya pergi ke bioskop. Lebih baik dia pergi ke kota-kota di Utrecht yang belum dia kunjungi.
Drrt drrt drrt!
Biru menyempatkan diri untuk menghentikan sejenak sepedanya saat merasakan ponselnya bergetar. Cewek itu cukup syok membaca pesan terbaru dari Diandra.
Diandra
|Biruuu, sori bangett.
|Gue barusan abis nabrak mobil orang 😭
|Ya ampun Diaann😭
|Kok bisa?!
|Sori bangeeet.
|Gue kudu ngurus sampe ke polisi.
|Ketemuannya lain kali aja ya, Biru?
|Iya Dian, gapapa.
|Mau gue susul gak, temenin lu?
|Gak apa-apa, Ruu. Aman.
|Gue udah nelpon Papi gue.
|Maaf yaa.
|Gapapa, Diaan.
|Santuy.
Biru menghela napas panjang. Menaruh kembali ponselnya ke saku dan kembali menggowes sepedanya. Rencananya batal, tidak ada seseorang yang akan dia temui hari ini di Amersfoort. Terlalu awal juga baginya untuk pulang. Berkeliling sejenak dan menikmati wisata masa kecil sepertinya tidak terlalu buruk. Walaupun memori tentang masa kecil Biru tidak begitu baik (sebab dia telah melewati begitu banyak hal yang traumatis), tapi satu atau dua hal yang manis masih tersimpan rapih di kepalanya.
Harus Biru akui, 70 persen jalanan dan bangunan serta fasilitas hingga taman di daerah tersebut banyak yang berubah dan dialihkan fungsikan. Namun tidak untuk bentuk dan arah jalan. Tepat 20 meter di depan sana, ada belokan menuju jalan Scheltussingel. Dulu, Biru tinggal di salah satu deretan rumah yang ada di sana, menghadap sungai Eem.
Nyaris saja Biru ngerem mendadak kala melihat toko roti dan juga toko alat tulis langganan Biru yang masih berdiri dengan nama, bentuk dan cat yang sama. Dulu kalau dia diberi uang jajan lebih, dia akan membeli pensil atau stiker-stiker lucu keluaran terbaru, atau kalau dia lapar setelah bermain dengan temannya, dia akan membeli satu sampai dua lembar stroopwafel andalan mereka. Alhasil, Biru memarkirkan sepedanya dan masuk ke dalam toko roti tersebut.
Suara dentingan bel berbunyi, disambut oleh aroma roti yang baru saja diangkat dari oven. Ada seorang wanita tua yang berjaga di meja kasir, memakai celemek, dan bandana merah yang menutupi sebagian rambut kelabunya. Itu Oma Doortje. Dia terlihat cukup awet muda untuk usianya yang mungkin sekarang sudah menyentuh angka 80.
“Hello, can I have a stroopwafel for two slides and a cup of tea?”
Wanita tua itu mengangguk, menyiapkan pesanan Biru. Ekspektasi cewek itu hancur saat pemilik toko roti tersebut tidak mengenalinya. Well, sebenarnya itu hal yang wajar sih. Itu sudah lama sekali, memori seseorang pasti terbatas, belum lagi untuk seorang lanjut usia seperti Oma Doortje.
“It’s € 4,5.”
Biru mencabut katu debit-nya dan menyelesaikan pembayaran. “Thank you.”
“Tunggu, maaf kalau kau tidak keberatan. Tapi ... kamu terlihat seperti—kurasa aku mengenalmu.” Oma Doortje memicingkan matanya, tepat sebelum Biru berbalik meninggalkan toko.
Respon cewek itu langsung tersenyum. “Iya, ini aku Biru, Oma Doortje. Semenanjung Biru.”
* * *
Mengagumkan. Oma Doortje rupanya masih mengingat si anak kecil dengan tas Doraemon yang selalu membeli stroopwafel lengkap tambahan sirup yang banyak dari porsi pada umunya. Wanita itu cukup terkejut dan antusias melihatnya yang sudah tumbuh dewasa. Karena itu, dia mendapatkan beberapa potong ontbijtkoek (sejenis bolu) secara percuma. Mereka duduk di meja depan toko, berbincang-bincang banyak hal.
“Jadi, apa yang kau lakukan di sini? Di Belanda?” Itu salah satu pertanyaan yang dilontarkan oleh Oma Doortje. Bahasa Inggris dengan aksen Belandanya begitu kental.
Satu informasi yang Biru tahu sejak dulu, hampir 90% orang-orang di Belanda bisa berbahasa Inggris. Bahasa itu sudah menjadi bahasa kedua bagi mereka. Itu sebabnya Biru pede ikut program pertukaran pelajar ke Belanda meskipun bahasa Belandanya jelek banget.
“Pertukaran pelajar selama satu semester.”
Oma Doortje mengangguk-angguk. “Di mana?”
“Utrecht University.”
Wanita itu tersenyum sembari mengelus lengan Biru. “Apa kau masih ingat Hito? Putra Lita. Tetanggamu dulu?”
Hito?
“Dulu kau selalu bersama dengannya. Di mana ada Hito, selalu ada Biru. Begitupun sebaliknya,” ucap Oma Doortje sekali lagi.
Biru menggaruk belakang lehernya canggung. Dia mulai ingat siapa Hito yang wanita itu maksud, tetangganya sekaligus teman sekolahnya. Mereka dulu dekat sekali, sayangnya harus berpisah karena Biru dan keluarganya mendadak pindah di awal bulan Desember.
“Aku tidak terlalu mengingatnya. Itu sudah lama sekali, Oma Doortje,” jawab Biru sopan.
“Dia pindah ke kota lain—aku lupa di mana tepatnya. Tapi sekarang dia menjadi pemain sepak bola.”
Biru terdiam. Itu adalah cuplikan percakapan mereka beberapa menit yang lalu. Cewek itu memutuskan untuk lanjut jalan setelah hampir setengah jam berbicara dengan wanita pemilik toko roti tersebut.
Pesepak bola?
Itu unik. Seingatnya Hito dulu salah satu anggota klub sepak bola di sekolahnya. Seperti apa dia sekarang? Mereka benar-benar lost contacts selama 12 tahun lamanya. Lagipun, apa yang bisa diharapkan dari pertemanan singkat mereka saat masih kecil dulu? Tapi Oma Doortje bilang, keluarga mereka masih tinggal di rumah yang sama. Hal tersebut membuat Biru berbelok di belokan pertama menuju lokasi tersebut. Sekali lagi, tidak banyak perubahan. Rumahnya dulu masih dicat dengan warna yang sama. Cewek itu bahkan memutuskan untuk turun dari sepeda dan menentengnya saja sembari berjalan mengenang masa lalu.
“Hanya aku dan Daan! Aku akan pulang sebelum makan malam!”
Biru berhenti kala mendengar sayup-sayup suara dari dalam rumah pintu berwarna hitam tersebut. Dadanya berdebar entah kenapa. Namun semua atensinya beralih saat pintu itu terbuka bersamaan dengan munculnya seekor kucing Himalaya berlari dengan cepat.
“Oh shit! Nala!!” Bersamaan itu pula, terdengar suara umpatan yang sepertinya memanggil nama kucing tersebut.
Kucing itu berlari menjauhi rumah pemiliknya, bertepatan menuju arahnya. Dengan gerak refleks, Biru menjatuhkan sepedanya dan menangkap kucing tersebut sebelum berlari semakin jauh. Biru paham bagaimana rasanya kehilangan seekor kucing, belum lagi ras Himalayan itu sangat mahal. Jika cewek itu jadi pemiliknya pun pasti akan panik gak ketolong.
“Nala—gosh!” Seorang pria mendekat, sepertinya si pemilik kucing. Buru-buru Biru menyerahkan kembali hewan tersebut padanya. “Terima kasih! Kucing ini memang benar-benar nakal!” ucapnya, yang kemudian mendongak menatap Biru.
Dia seorang pria, mengenakan kemeja lengan pendek berwarna krem serta celana baggy senada. Atensinya langsung tertuju pada deretan tato yang ada di lengan kanannya. Biru dibuat terdiam, beruntung cowok itu langsung menegurnya dengan sopan.
“Hello?” tanyanya.
Biru langsung berdeham, buru-buru mengangguk-angguk meminta maaf. “Aku minta maaf!"
“Kenapa kau meminta maaf? Kau sudah membantuku tadi,” ucapnya.
Cewek itu gelagapan. Orang di hadapannya berbicara dengan bahasa Belanda yang cepat, dia hanya mengerti beberapa kosa kata saja. “I’m sorry, Sir. I’m a tourist. I don’t understand.”
Cowok itu terdiam. Tak lama seorang wanita muncul dari dalam rumah. Wajahnya terlihat panik, namun saat melihat kucing Himalayan itu sudah ada di gendongan si cowok, dia bernapas lega. Wanita itu mendekat, berbicara dengan bahasa Belanda pada si cowok. Biru tebak, itu pasti anaknya.
Tiba-tiba dia teringat ucapan Oma Doortje. Jika keluarga Hito, temannya sekaligus tetangganya dulu masih tinggal di rumah yang sama. Artinya mereka ...
“Eh? Biru?!”
* * *
Jangan tanya bagaimana reaksi Biru, saat Tante Lita mengenali dirinya yang mungkin sudah banyak perubahan. Maksudnya—ayolah! Cewek itu mengakui waktu kecil dia jelek, kusam, giginya ompong, dan penampilannya sama sekali tidak menarik. Tapi dengan to the point, wanita itu bilang dia mengenalnya karena berteman dengan Ibunya di Facebook.
Setelahnya, cewek itu benar-benar canggung saat wanita itu mengajaknya masuk ke dalam rumahnya. Terlebih saat cowok yang Biru tebak adalah Hito (teman kecilnya) menatapnya skeptis. Dia duduk di sofa ruang tamu menemaninya sembari menunggu mamanya datang membawa minuman dan cemilan. Mereka saling diam, tapi Biru yakin cowok itu sesekali meliriknya.
“So ... Biru.” Hito akhirnya membuka suara, dia memanggilnya dengan canggung. Aksennya terdengar aneh kala memanggil namanya barusan. “Maaf, aku tidak mengenalimu barusan.”
“Tidak apa-apa. Aku juga tidak.” Biru mencoba untuk tenang, setelah merutuki keputusannya untuk melewati jalan tempat tinggalnya dulu. Dia benci situasi canggung seperti ini.
Hito menggaruk lututnya. Dia juga keliatan canggung sekali dan bingung bagaimana mencairkan suasana. Alhasil dia berdeham. “Jadi apa yang kamu lakukan di sini?” tanyanya, entah kenapa terdengar agak ambigu. “Maksudku, sudah hampir dua belas tahun sejak kau pindah ke Indonesia, dan sekarang kau di sini. Mungkinkah kau ada pekerjaan atau semacamnya ...”
“Pertukaran pelajar, lebih tepatnya.” Biru langsung menjawab.
Cowok itu sedikit terkejut. “Wow. Keren sekali. Di mana?” tanyanya.
Sebenarnya dia sudah bosan mendengar pertanyaan itu dari awal berangkat hingga dia sampai ke Belanda. Tapi karena itu pertanyaan basic, dia menjawabnya. “Utrecht.”
“Utrecht University? Itu dekat dari sini!” sahutnya.
Biru mengangguk. “Ya. Itu sebabnya aku pergi ke sini, hanya untuk melihat-lihat.” Sekarang gantian, cewek itu yang bertanya. “Jadi, apa yang kau lakukan sekarang?”
“Well, aku seorang pemain sepak bola.”
Rupanya benar apa yang dikatakan Oma Doortje. Cowok itu seorang pesepak bola. Belum sempat dirinya bertanya lebih lanjut, Tante Lita muncul sembari membawa minuman dan cemilan. Wanita itu duduk di sampingnya dan menatap putranya bingung.
“Apa yang ku lakukan? Kenapa kau masih di sini? Kau tidak jadi bertemu dengan Daan?” tanya Tante Lita, secara tak langsung mengusir anaknya.
Hito terkejut. Dia menepuk jidatnya dan langsung berdiri. “Oh shit! A—aku harus pergi sekarang!” Hito meraih pouch-nya dan memeluk mamanya. Lalu tak lama dia mengajak Biru bersalaman. “Senang bertemu denganmu lagi, Biru.”
Di dalam hati Biru membalas, ‘Nice to see you too.’ Tapi, sayangnya dia hanya mengangguk sembari memberikan senyum tipis.
Di rumah itu hanya ada mereka berdua sekarang. Tante Lita mengajaknya berbicara. Cukup lama. Hingga akhirnya tepat di pukul 5 sore, Biru memutuskan untuk pamit pulang kembali ke Utrecht. Awalnya dia hendak diantar oleh Tante Lita ke stasiun sentral, namun cewek itu menolak lantaran dia sudah menyewa sepeda di stasiun. Toh, lokasinya tidak terlalu jauh, dia bisa naik sepeda.
Setelahnya dia sampai di flat pukul setengah 7 karena mampir dahulu ke supermarket untuk beli beberapa makanan. Teman-temannya pun sudah pada kembali dari acara menonton.
Cewek itu merebahkan tubuhnya sejenak di ranjang setelah menaruh tasnya di lantai.
“Lo jadi ketemuan sama temen lu itu?” tanya Eka, teman sekamarnya.
Biru menggeleng. “Nggak jadi.”
“Terus lo ke mana? Tau begitu mending nyusul kita aja tadi,” sahut Eka ikut berbaring di ranjangnya yang ada di seberang.
“Kebetulan tadi ketemu sama tetangga gue yang waktu dulu, gue main ke rumahnya.”
“Hoalah.”
Hening. Eka sibuk dengan ponselnya, Biru sibuk melihat langit-langit kamar di atas. Atensinya buyar saat merasakan ponselnya bergetar. Buru-buru dia cek. Ada pesan di aplikasi WhatsApp dari nomor lokal yang tidak dikenal. Sepertinya teman sekelasnya.
+31xxxxxxx
|Biru, ini aku, Mees.
|Atau Hito.
Oh ternyata bukan. Pesan itu dari Hito. Kebetulan sebelum pulang dari rumahnya, dia sempat tukeran nomor dengan Tante Lita. Pasti cowok itu dapat nomornya dari mamanya.
|Hai Hito!
|Kukira kau masih lama di rumahku.
|Ngomong-ngomong, aku membelikanmu donat.
|Aduh, maafkan aku.
|Aku harus pulang sebelum malam.
|😁😁😁
|Tidak apa-apa, Blauw. Kau ingin aku mengirim donat itu ke tempatmu?
|Aku menghargai itu.
|Tapi, tidak, terima kasih.
|Berikan saja pada Ibumu atau kakakmu.
|Siera tidak ada di sini.
|Mama tidak begitu suka makanan manis.
Biru terdiam. Dia bingung mau bales apa. Cowok itu membelikannya donat dan mengira dia masih stay lama di rumahnya. Agak aneh mengirimkan makanan tersebut ke tempatnya. Itu terlalu berlebihan.
|Makan saja donatnya kalau begitu.
|Wkwkwk.
|Aku seorang atlet, Blauw.
|Aku tidak makan makanan mengandung gula.
|Berikan aku lokasimu. Aku akan mengirimkannya kepadamu.
Sial. Biru jadi tidak enak menolaknya.
|Oke. Wait.
Akhirnya untuk menghargainya, Biru mengirimkan alamatnya dan juga mengirim share location-nya ke cowok itu. Mungkin sekitar 30-40 menit jasa tukang antar akan datang menekan bel.
Ting nong!
Mata Biru terbelalak saat kurang dari 20 menit, bel apartemen sederhana itu berbunyi. Cewek itu baru selesai mandi, bahkan dia baru saja mengeringkan rambutnya yang masih basah akibat keramas.
“Biruuu! Ada yang nyariin lo!” panggil Risa, membuka pintu kamarnya tiba-tiba.
“Siapa?” tanya Biru. “Tukang paket?”
“Bukan! Cowok, temen lu katanya.”
Hah?
* * *
Note:
Dulu pengen banget ikut program IISMA. Tapi denger kalau ngurus berkas dan lain-lain ribetnya paket banget, membuat jiwa males gue meronta-ronta. Wkwkwk.
Bab pertama segini dulu. Masih butuh banyak-banyak riset. Kalau ada kesalahan boleh banget buat komen. Aku terbuka untuk itu.
Mohon untuk meninggalkan jejak berupa vote atau komennya.
Terima kasih.
Sincerely, Nanda.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top