Fifteenth Note: Utrecht Bockbier Festival

I met him again. I was shocked. Because he looks super fine, better than I thought.

But, at the moment when he didn’t recognize me, I was broken. Broken again.

—Semenanjung Biru

*

Akhir-akhir ini Utrecht sering turun hujan. Entah itu di pagi hari, sore hingga malam, atau parahnya sampai seharian. Tipikal cuaca peralihan dari gugur ke musim dingin. Jangan ditanya apakah suhu di sini dingin atau tidak, sebab melihat kondisi Biru yang sedikit mindeng, cukup mendeskripsikan bagaimana situasinya di sana.

Malam itu, walau dingin akibat sehabis turun hujan, Biru terpaksa keluar sebentar ke apotek. Sekalian ke salah satu kafe dekat flat untuk membeli segelas cokelat hangat. Cewek itu tadi melihat Risa beli minuman manis tersebut yang katanya sedang ada promo potongan harga 20% sebelum jam 8 malam. Biru kebita. Dia mau minum yang hangat-hangat selain teh seduh yang biasa dia bikin.

Beruntung ini belum jam 8 malam. Masih ada kesempatan bagi Biru untuk mendapatkan harga promo. Di kafe itu pun cukup ramai. Malam Sabtu. Sebagian orang ramai keluar untuk kumpul-kumpul meski udara di luar sangat dingin. Mengingat sekarang kondisi dunia berangsur-angsur pulih dari wabah virus Corona, kegiatan dan aktivitas di luar ruangan pun mulai kembali dilakukan. Bahkan Biru pertama kalinya mulai berani melepas masker pun di Belanda, karena rata-rata orang di sini sudah tidak lagi memakainya.

Tangan Biru yang tadinya hendak mendorong pintu, batal saat seseorang lebih dulu membukanya dari dalam. Cewek itu sebisa mungkin untuk tersenyum, masuk terlebih dahulu untuk mengucapkan terima kasih—sekedar formalitas saja. Tapi semuanya batal kala dia tersadar dan mengenali siapa orang yang membukakan pintu untuknya barusan.

Biru tidak tahu harus merespon seperti apa, ketika seluruh tubuhnya mendadak tegang. Terlebih ketika padangan mereka saling beradu. Cewek itu kaget. Pria itu pun tak kalah kaget. Tatapan mereka kemudian teralihkan ketika muncul seorang anak perempuan yang berlarian kearah mereka dan memeluk kaki pria itu dengan wajahnya yang penuh binar. Biru meneliti sejenak anak itu, rambut cokelat, kulit putih dengan rona merah di pipi dan hidung—tipikal anak blasteran Indo-Eropa.

“Ayo, Sayang. Aku sudah selesai.”

Belum selesai bertanya-tanya akan sosok anak kecil tersebut, Biru kembali dibuat bingung dengan seorang wanita berambut pirang yang datang dan berdiri di samping si pria. Wanita itu menatapnya bingung. Tidak. Mereka bertiga menatap Biru dengan tatapan yang membuatnya merasa dikucilkan.

“Siapa dia?” tanya wanita itu. Meski terdengar ramah, entah kenapa Biru merasa tersindir.

Seketika cewek itu lupa dengan responnya barusan yang tegang dan sarat akan rasa takut. Alih-alih kini dia penasaran. Siapa wanita dan anak kecil yang datang bersama Papanya?

“Bu—bukan siapa-siapa. Aku tidak mengenalnya,” jawab pria itu. Dia membungkuk sejenak untuk menggendong si anak kecil, kemudian merangkul pinggang wanita tersebut, sebelum akhirnya keluar dari kafe. Meninggalkan Biru yang terdiam mematung di tempat.

Biru masih menatap punggung pria tersebut lekat-lekat. Tak lama perasaan itu kembali muncul setelah beberapa waktu, saat dia terakhir kali menangis ketakutan dua bulan yang lalu. Padahal Biru sudah melupakan sejenak eksistensi pria itu yang mungkin sekarang satu wilayah dengannya. Di antara segitu banyaknya kota di Belanda, kenapa harus Utrecht?

Air matanya lolos begitu saja. Biru keluar dari kafe, tidak jadi membeli cokelat panas ataupun obat flu di apotek. Dia memutuskan untuk kembali pulang, meski di perjalanan pulang dia menangis sesenggukan. Bukan karena takut bertemu Papa, Biru juga tidak tahu tangisnya ini untuk apa?

Melihat Papa bahagia dengan keluarga barunya?

Atau, sakit hati karena pria itu tidak mengenalinya?

Padahal dia yakin, dari gelagatnya, dia mengenali Biru. Terlihat dari air mukanya yang terkejut saat pandangan mereka saling bertabrakan. Dari responnya barusan, sudah cukup bagi Biru untuk menyimpulkan jika pria itu mengenalinya, namun tidak ingin mengakuinya.

Apakah dirinya ini tidak pantas untuk diakui? Atau sejak awal kehadirannya ini memang sesuatu yang tidak diinginkan?

* * *

Dari yang Biru searching mengenai festival Bockbier di Utrecht, ternyata acara itu adalah acara musiman yang biasa digelar di musim gugur (Oktober atau November). Sesuatu yang baru, mengingat ini adalah kali pertama mereka kembali mengadakan acara setelah pandemi berakhir, dan berkolaborasi pula dengan dua organisasi besar di UU. Acara itu pun sudah lama ditunggu-tunggu oleh masyarakat provinsi Utrecht, sebab selain festivalnya, biasanya mereka juga akan mengadakan acara musik yang tak kalah spektakuler.

Kalau dari info yang diberikan Jasmijn, festival itu sebenarnya terbuka untuk umum dengan tiket seharga 5 Euro yang nantinya bisa dibeli langsung di loket pintu masuk atau secara online. Namun untuk konser musik perlu tiket tambahan seharga 10 Euro untuk mahasiswa UU dan 15 Euro untuk umum.

Seperti yang sudah ditebak, Biru tidak akan datang. Selain dingin dan takut nantinya akan turun hujan, dia juga tidak begitu tertarik dengan yang namanya bir. Cewek itu sudah terlalu muak melihat minuman itu setiap harinya karena Bapaknya yang tukang mabuk, membuatnya kerap kali membersihkan botol-botol bekas bir curah tersebut, serta muntahan orang-orang yang berceceran di lantai. Membayangkannya saja, dia sudah muak duluan.

Tapi siapa yang tahu jika Tuhan maha membolak-balikkan hati seseorang? Alias dia berubah pikiran saat Hito lagi-lagi membujuknya untuk ikut. Terlebih saat melihat artis-artis yang akan tampil. Salah satunya ada The Vamps dan New Hope Club, band asal Inggris favoritnya sejak SMP.

Alhasil di sinilah dia. Mengenakan jaket parka berwarna abu-abu, serta rambut panjangnya yang dia urai untuk meminimalisir rasa dingin di leher. Dia berpisah sebentar dengan Jasmijn untuk membeli tiket pada panitia.

“Untuk berapa orang?” Lucas—panitia yang Biru maksud barusan—bertanya padanya.

Biru mengusap sejenak hidungnya yang sedikit mindeng. “1 orang. Untuk umum.”

Cowok itu memutar bola matanya jengah. Mengambil sesuatu dari balik jaket kulitnya, sebundel tiket yang mungkin belum terjual. “20 Euro.”

Kening Biru seketika mengernyit. “Mahal sekali! Bukankah 15 Euro untuk umum?”

“Ini tiket yang terbatas. Kalau kau tidak mau, ya sudah, lupakan.” Lucas melepehkan permen karetnya ke tanah dan menatap Biru dengan malas.

Ditatap seperti itu, membuat Biru sedikit kesal. Tapi dari pada jadi ribut dan dia juga malas lama-lama berinteraksi dengan cowok itu, akhirnya dia mengalah. Mendengkus sebentar, sebelum akhirnya mengeluarkan dompetnya dan memberikan 20 Euro untuknya. “The Vamps ada di jam berapa?” tanya Biru.

“Jam 4. Usahakan masuk ke dalam venue 1 jam sebelumnya untuk mendapatkan tempat yang strategis.”

“Oke, terima kas—” Kalimat Biru terpotong kala ponselnya bergetar, ada panggilan masuk dari orang yang menjadi alasan kenapa harus bertemu Lucas. “—Kau di mana?!” tanyanya sedikit sewot, melupakan sejenak cowok yang ada di hadapannya tersebut.

“On my way!” balas Hito di seberang sana. “Bagaimana? Kau sudah dapat tiket untukku?”

“Sudah, dasar cerewet! Padahal kan aku sudah bilang, datanglah di jam 12! Bukannya berangkat jam 12!” Biru berbalik badan, meninggalkan Lucas untuk kembali ke salah satu stand makanan yang menyediakan tempat duduk.

“Kau tidak bilang kalau ada The Vamps! Kalau aku tahu, aku sudah membeli tiketnya dari jauh-jauh hari!”

“Tch, alasan saja! Cepatlah datang! Parkir mobilmu di depan toko onderdil sepeda! Di kampus ramai sekali!”

“Oke, oke! Aku sebentar lagi sampai!”

“Hati-hati!”

Panggilan pun dimatikan. Biru sempat tertegun sebentar kala ternyata di stand makanan tempat Jasmijn menunggu sudah banyak teman-temannya yang lain ikut berkumpul juga di sana.

“Hai, Biwu!” sapa Sven. Cowok itu seperti biasa, terlihat berseri-seri sembari melempar senyum manis padanya. Cepat-cepat dia berdiri dari duduknya dan memberikan kursinya untuk Biru. “Ke mari, duduklah!” katanya kemudian.

Biru tersenyum. Cewek itu berjalan mendekat, hendak duduk di sana. Namun batal ketika Eka tiba-tiba muncul sembari mengeluh dan bersungut-sungut.

“Menyebalkan sekali! Apakah dia tidak punya mata?! Kopinya sampai tumpah membasahi jaketku!” ujarnya, bergabung dengan gerombolan mereka. Penampilannya sangat modis (tentu saja) dengan rok mini berdalaman heattech hitam yang membalut kaki jenjangnya, serta crop top yang dipadu dengan jaket wol bewarna light nude. Sayang sekali ada noda seperti tumpahan kopi di bagian depannya. Mata Eka langsung tertuju pada kursi kosong yang barusan ditawarkan Sven untuk Biru. “Apa kursi itu kosong? Kakiku pegal sekali!”

“Tidak, itu untuk—”

Biru cepat-cepat melotot ke arah Sven. Memberikan dia isyarat untuk diam, dan membiarkan kursi itu diduduki Eka. Room mate-nya itu terlalu berisik, pikirnya. Biru tidak ingin membuat kepalanya pusing karena terus mendengar ocehannya.

“Kenapa? Kursi ini kosong, kan?” tanya Eka memastikan. Sven pun menurut, langsung mengangguk, dan membiarkan cewek itu duduk di sana.

Sejenak, Biru tersenyum penuh arti. Memperhatikan Eka yang masih bersungut-sungut, sembari membersihkan noda kopi di jaketnya dengan tisu basah. Sedangkan dia sendiri melipir untuk bersandar di tiang, mengecek ponselnya yang ternyata terdapat pesan baru dari Hito.

Kutu Beras
|Blauw, kau ada di mana?
|Aku sudah parkir mobilku.

|Datang saja lewat jalan biasa.

|Ada stand makanan Thailand di dekat pintu masuk Utara.
|Tidak jauh kok dari gedung perpustakaan.

|Oke. I’m on my way.

Cukup lama Biru memantau ke arah pintu masuk yang beradius 10 meter di depan sana. Mencari sosok Hito yang entah dia mengenakan pakaian apa. Tanpa dia sadari, jantungnya sedikit berdebar, terkadang dia menggigit bibirnya karena gugup sekaligus tidak sabar untuk bertemu sahabat kecilnya itu. Padahal mereka sudah bertemu sekitar 2 minggu yang lalu, bahkan tak jarang mereka video call saat cowok itu sedang senggang. Tapi entah kenapa setiap mereka bertemu langsung, Biru diam-diam merasa sangat antusias.

“Biwu, kau ingat tugas proyek sosial yang diberikan Prof. Ruben?” tiba-tiba Jasmijn mengajaknya bicara.

Biru menoleh, mengunci ponselnya. “Ya, tentu saja. Kenapa?”

“Apa kau menyertakan daftar RAB di proposalnya?” tanyanya. Sejenak Biru menaruh seluruh atensinya pada cewek itu.

Proyek yang Jasmijn maksud adalah tugas untuk mahasiswa secara berkelompok untuk melakukan proyek sosial. Satu kelompok ada 10 orang. Laporan hasil proyek tersebut nantinya akan dikumpulkan setelah UAS.

“Tentu. Itu memang harus dimasukkan di proposal.”

Jasmijn mengangguk-angguk.

Sven yang barusan memperhatikan ikut menimbrung, “Kau dan kelompokmu ambil tema apa?” tanyanya.

Biru mengangkat bahunya. “Donasi buku. Tapi lokasi dan targetnya masih belum ditentukan.”

“Itu menarik,” puji Sven.

Eka menghela napas. “Donasi buku itu terlalu mainstream, Biru. Kenapa kau tidak coba pikirkan sesuatu yang baru? Prof. Ruben pasti akan meminta kelompok kalian untuk mengganti temanya.”

“Memangnya tema kelompokmu apa?” senggah Biru, melipat dada menatap temannya itu penasaran. Bisa-bisanya meledek tema proyeknya itu mainstream, sedangkan Prof. Ruben saja sudah meng-acc tema proyek mereka. Bahkan beliau meminta proposalnya untuk cepat-cepat diselesaikan.

“Edukasi tentang pencegahan kekerasan di sekolah. Itu masalah yang cukup serius dan tidak akan pernah hilang di setiap angkatan. Bukan begitu?”

Biru tersenyum miring. Mengangguk-angguk. “Benar. Itu terdengar keren. Tapi apakah tema kelompokmu sudah di-acc oleh Prof. Ruben?” tanyanya sarkas.

Eka meringis sembari memainkan rambutnya yang dicatok bergelombang. “Well, sayangnya kelompok kami belum menghadap Prof. Ruben. Hari Senin kita akan menemuinya.”

“Oh, sayang sekali. Tapi kelompok ku—walau temanya mainstream—sudah di-acc oleh beliau. Bahkan hari Senin atau Selasa besok, kami akan mengirimkan proposal padanya.” Biru terkekeh sarkas.

Rasakan itu!

Eka terdiam, kicep. Alih-alih malah menatap Biru dengan tatapan tidak suka. Tapi siapa yang peduli? Salah siapa sudah memancing keributan?

Percakapan tersebut akhirnya berakhir. Biru membetulkan sejenak rambutnya, hingga tanpa dia sadari, tiba-tiba seseorang datang. Melingkarkan tangan kekarnya di sekitaran leher dan tulang belikat cewek itu, lalu menariknya mundur ke belakang. Biru kaget, nyaris memekik. Tapi tak lama dia tersadar saat melihat tato yang ada di lengan orang tersebut.

“Hito hentikan, ini tidak lucu!!” pekiknya.

Tawa cowok itu tak lama pecah. Hito terbahak-bahak seraya mengacak-acak rambut Biru. Beruntung, tidak lama setelahnya dia melepas kukungan tangannya. Cewek itu pun cepat-cepat berbalik, mengusap lehernya yang nyaris tercekik dan menatap galak padanya. Dia kesal, cowok itu tiba-tiba muncul tanpa aba-aba. Membuat jantungnya yang sebelumnya sudah berdebar karena menunggu kehadirannya, semakin berdebar tidak karuan!

Kini semua orang yang ada di stand makanan tersebut menatap mereka keheranan. Biru memang sudah bilang, kalau dia akan bawa teman dari luar UU. Tapi tidak berekspektasi kalau respon mereka justru seperti tidak percaya. Terutama di wajah Simon, Jansen dan Ruth.

Mereka bertiga kompak berdiri, menghampiri Hito. Jansen yang pertama kali bicara, “Kau! Mees Hilgers!?!”

Merasa terkenal mendadak, Hito seperti biasa langsung cengengesan. Menyambut tangan Jansen dan 2 orang lainnya yang mengajaknya bersalaman.

“Woah! Biwu, kau tidak bilang kalau temanmu ini pemain di klub Twente?!” kata Ruth kegirangan.

Biru mengangkat bahu tak acuh. Toh, mereka tidak bertanya. Ya sudah Biru tidak mengatakan apa-apa.

Sven satu-satunya cowok yang tidak bersalaman seperti cowok-cowok lainnya. Dia hanya melayangkan tatapan isyarat ke Hito sebagai sekedar sapaan.

* * *

Festival Bockbier. Dari namanya saja tema utamanya adalah bir Bock, atau Herfstbok dalam bahasa Belandanya. Salah satu bir tradisional asal Jerman yang memiliki rasa malt cukup kuat, dengan adanya sedikit rasa karamel, serta potongan-potongan buah kering di dalamnya. Kandungan alkohol yang dimiliki bir itu pun sangat tinggi dibandingkan bir biasa. Sekitar 6-7%.

Tenggorokan Biru terasa panas saat meneguk satu cup kecil tester di salah satu stand minuman bir merek Grolsch Herfstbok. Salah satu merek bir asal Belanda yang memproduksi bir bock musim gugur. Entahlah, Biru tidak begitu paham jenis-jenis bir. Terakhir kali dia menenggak bir itu yang merek Bintang sekitar setahun yang lalu. Rasanya tidak begitu buruk, tapi cukup sekali saja Biru mencicipinya.

Tapi kali ini berbeda, meski meninggalkan rasa panas, namun alih-alih menimbulkan hangat di tenggorokan dan dadanya. Rasanya pun sulit untuk dia jelaskan. Ada rasa caramel, bercampur cokelat dan juga ... Roti panggang?

“Itu ciri khasnya, Blauw! Kau mau lagi?” Hito menawarkan, yang langsung dipelototi olehnya.

“Tidak. Cukup,” balasnya. Tapi karena rasanya cukup enak untuk dirinya yang pemula, akhirnya cewek itu membeli satu botol kecil berisi 350 ml.

“Hanya satu? Harganya sedang promo 3 Euro untuk 2 botol!” Eka yang berdiri di samping Hito berceletuk.

Hito mengernyit. “Memangnya kenapa kalau beli satu? Aku juga hanya beli satu!” sahutnya.

Seketika Eka langsung tersenyum kecut, membetulkan jaketnya, sembari berkata, “Aku kan, hanya bertanya.”

Cowok itu mengendikkan bahu. “Kalimatmu barusan tidak seperti kalimat tanya Nona,” gumamnya, sengaja menggunakan bahasa Belanda agar tidak dimengerti oleh Eka.

Biru yang paham, langsung menyenggol lengan Hito. Memintanya untuk diam saja dan jangan tanggapi ucapan Eka barusan. Setelah membayar bir tersebut, mereka pun menyusul Sven dan Simon yang sedang membeli hotdog.

Tidak hanya menyediakan stand bir dari berbagai macam merek di eropa (khususnya Belanda, Jerman dan Austria), mereka juga menyediakan stand makanan seperti sosis, hotdog, waffle, dan pretszel.
Sven datang dengan dua hotdog di tangannya, yang kemudian memberikan salah satunya pada Biru. “Kau mau? Aku membelinya kebanyakan.”

Yang pertama kali merespon kalimatnya barusan adalah Hito. Cowok itu mengernyit, keningnya mengkerut, bahkan sampai ke hidungnya pun mengkerut. Dia bilang, “Membelinya kebanyakan ... Yang benar saja? Tch!”

Sven yang sesama berbicara bahasa Belanda menatapnya tersinggung. Tapi memilih tidak menanggapi dan memberikan makanan tersebut pada Biru. Untungnya Biru menerimanya dengan senang hati.

“Terima kasih,” katanya. “Kau mau mencobanya, Jasmijn?” tawarnya. Jasmin menggeleng. Menolak.

“Aku mau!” Tiba-tiba Hito berkata. Dengan wajah yang tidak tahu malu, dia menatap Biru lekat-lekat.

Ditatap seperti itu, Biru mendadak salah tingkah. Ayolah, dia tidak mau munafik. Biru mengakui dia menyukai cowok itu dalam diam, apalagi ketika mata cokelat khas hutan musim gugur itu menatapnya, rasanya ada gelenyar aneh di perut dan di dada. Alhasil, Biru tanpa berpikir panjang menyodorkan hotdog di tangannya pada Hito.

Biru mengira, Hito akan mengambil satu gigitan kecil di ujung hotdog-nya saja. Tapi rupanya, cowok itu tanpa rasa bersalah justru membuka lebar-lebar mulutnya dan mengambil satu gigitan super besar—nyaris menghabiskan sampai setengah hotdog-nya.

Cewek itu melotot. Respon salah tingkahnya langsung kembali ke setelan awal, yakni; emosi, melotot, dan berakhir memukul lengannya berkali-kali. “Kau lapar?! Kenapa kau tidak beli saja sendiri?!” kesalnya.

Hito yang mulutnya masih penuh, tertawa tertahan, mencoba kembali mengunyah makanan di mulutnya. Sedangkan Sven cukup terkena mental break down melihat tingkah teman Biru itu yang sungguh sangat menjengkelkan. Bagaimana bisa Biru berteman dengan orang aneh seperti ini?!

Selang beberapa detik, Hito akhirnya merangkul Biru. Mulutnya pun sudah kosong, nyaris setengah hotdog barusan sudah masuk ke dalam perutnya. “Maaf Blauw, nanti kubelikan lagi jika kau masih lapar. Ayo!”

* * *

Note:

Mayday mayday!

Gue kehilangan feel buat cerita ini. Toloonggg. Apakah aku harus main Instagram lagi buat mantengin Mees, mama Linda dkk?

🙃🙃🙃🙃

Terima kasih sudah mau membaca. Mohon untuk meninggalkan jejak.

Sincerely, Nanda.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top