my youth is yours.
Di pemakaman ini, yang dilakukan Changbin hanya menutup mulutnya.
Tidak ia ingat bagaimana rasanya dekap ibunda. Sang ibunda pergi tatkala Changbin belum sanggup mengenal rasa kehilangan. Pun saat sang ayah ditemukan tak bernyawa di kamarnya, Changbin tidak merasakan apapun termasuk rasa kehilangan. Justru sebaliknya. Pikiran bahwa ia tidak lagi akan menerima penindasan dan pemukulan membuatnya merasakan kelegaan yang teramat. Ini salah. Ia seorang anak yang kehilangan ayahnya. Mengapa ia tidak bisa merasakan kesedihan barang sekejap?
Itulah alasan mengapa Changbin terdiam tatkala diminta untuk menceritakan kebaikan sang ayah. Karena memangnya apa yang bisa ia ceritakan? Segala kebaikan yang diberikan sang ayah (menafkahi, memberikan tempat tinggal, membiayainya hingga lulus sekolah) telah terhapus begitu saja berkat penderitaan yang diciptakan. Satu-satunya hal yang diajarkan ayahnya ialah bahwa menjadi lelaki itu luka. Para pelayat kasak-kusuk. Sebagian mengasihani Tuan Seo karena memiliki anak pembangkang. Sebagian lagi bertanya-tanya, dosa apa yang dilakukan Tuan Seo semasa hidupnya hingga sang anak berlaku sedemikian rupa?
Tidak ada jawaban. Yang ada hanyalah keheningan. Di balik keheningan itu, Changbin tetap tenggelam dalam suka cita kurang ajarnya.
Ia senang. Akhirnya ia dapat bebas lepas.
.
.
.
"Jadi, Changbin, kamu bilang apa soal aku sama Felix?"
Dan seakan dapat membacanya kembali, Chaeyoung bertanya sengit. Tangan dilipat. Mata menatap lurus Changbin. Gadis itu jelas akan bertanya seperti itu—Chaeyoung melihat jelas bagaimana raut wajah Felix berubah mendung, mendengar jelas kata-kata Felix waktu itu. Ia berpikir, ini ada hubungannya dengan kejadian masa lampau dan kepengecutan Changbin. Atau firasatnya menyangka bahwa ini ada kaitannya sesuatu yang disembunyikan Changbin padanya. Apapun itu, itu pasti bukanlah hal yang baik.
"Bukan apa-apa."
Dan terlambat. Chaeyoung dapat melihat kilat matanya yang mencurigakan. Bau amis itu semakin tercium kuat, bau rahasia yang belum dapat ia tebak apa pastinya. Changbin mengkerut, mengindikasikan bahwa prasangkanya benar. Nada berikutnya terdengar lebih tajam.
"Kamu enggak bisa bohong."
Mungkin saat itu Chaeyoung hanya menggertak, atau mungkin Chaeyoung berkata demikian karena mereka memang berbagi kepala. Seperti dulu kala, Chaeyoung dapat membacanya begitu saja bagai menatap sebuah cermin. Changbin merasa ditelanjangi di depan publik, yang mana membuatnya memikirkan hal lain selain Chaeyoung yang menuntut jawaban darinya. Hal lain. Oh, ada Felix yang masih tetap di sini.
Di saat itu, sebuah bisik menggema di kepalanya. Sebuah pemikiran selintas lewat. Bisik yang lama kelamaan mengeras dan menggaung di kepala.
Ayahmu tidak ada dan Felix ada di sini. Apa lagi memangnya yang kau tunggu?
.
.
.
Nyatanya, berusaha memperbaiki sebuah hubungan itu tidak hanya membutuhkan sebuah niat.
Tetapi juga keberanian. Dan itulah yang tidak Changbin punya. Setelah kelakuan bangsatnya semasa SMA menghancurkan hati Felix, ia tidak yakin jika semuanya akan terobati oleh satu kata maaf. Mungkin juga karena ajaran sang ayah yang terlanjur mengakar begitu kuat. Dan sampai kapan Changbin berhenti menyalahkan pria tua yang telah dimakan tanah? Bukankah yang salah adalah Changbin yang kini tidak memiliki keberanian?
Karena hal termudah untuk dilakukan adalah menyalahkan orang lain atas apapun yang menimpamu. Selalu lebih mudah untuk menunjuk seseorang, menyalahkan mereka semua atas segala petaka yang menimpa diri. Selalu. Bukankah manusia selalu begitu?
Barulah Changbin mengatakan semuanya di hadapan Felix, satu hari sebelum keberangkatan Felix pulang ke Australia. Pemuda itu terkejut, jelas. Terlihat dari matanya yang membulat lebar, bibirnya yang bergetar menahan gejolak emosi. Felix memiliki hak untuk mengamuk dan menangis—Changbin yang menipunya mentah-mentah. Changbin yang mencampakkannya begitu saja tanpa mendengar opininya dan memberikannya kesempatan.
"Kasih aku waktu."
Ah, jelas.
Jelas saja kata maaf tidak semudah itu menghapuskan segala dosa.
"... oke."
Bahunya turun sebelum bergetar pelan, tanda bahwa ada emosi yang tengah Changbin tahan-tahan. Tetapi dibandingkan melampiaskan emosinya, Changbin berusaha untuk mengerti dan menelan semuanya. Ini buah yang ia tuai—atas semuanya.
Ia bisa memilih untuk mencoba berani waktu itu. Ia bisa memilih untuk menceritakan semuanya pada Felix sejak awal, dan mereka berdua akan mencari jalan keluar. Tidak akan mudah, tentu saja, tetapi setidaknya mereka dapat bersama. Ia dapat nekat mengikuti Tuan Lee menuju Australia, jauh dari sang ayah, memulai hidup baru. Ia dapat bebas sejak awal. Hubungan pertemanannya dengan Chaeyoung pun tetap baik-baik saja. Semuanya akan bahagia pada akhirnya.
Tetapi sejak awal, Changbin yang memutuskan membakar jembatan itu sendiri.
Changbin yang memutuskan untuk menghancurkan tanpa berusaha memperbaiki.
"Maaf, Kak. Kalau soal cinta, aku emang masih cinta Kakak." Felix mulai berkata. Changbin dapat mendengar suaranya bergetar. "Tapi di dunia ini, ada banyak hal yang lebih penting daripada cinta. Salah satunya hati aku. Hati aku belum sembuh, Kak. Aku takut. Aku takut bakal ngecewain Kakak lebih dari ini."
Dan itu lebih dari cukup untuk membuat Changbin berharap ia menyatu dengan trotoar saat ini. Tidak bergeming ia saat Felix selangkah demi selangkah menjauh. Pemuda itu terburu-buru. Pemuda itu iba padanya biarpun terburu-buru.
"Besok aku pulang sebentar ke Australia, jam 10 pesawatnya berangkat. Sebelum itu, aku mau Kakak jujur sama aku. Satu kali ini aja, ya?"
Sebelum Felix benar-benar berlalu, Changbin mendengar sebuah kalimat terakhir yang terlontar lirih.
"Tolong, bikin aku percaya lagi sama Kakak."
.
.
.
Di hari itu, Changbin benar-benar datang.
Dan berulang kali ia memeriksa jadwal penerbangan, memastikan pesawat Felix belum berangkat dan Felix belum masuk ke bandara. Berulang kali ia menatap sekitar, memastikan bahwa Felix ada di sana alih-alih berangkat. Bandara saat itu ramai, cukup sulit untuk menemukan Felix karena ada begitu banyak orang yang berjejalan.
Tetapi saat seorang pemuda melintas seraya menarik kopernya, Changbin dapat tahu bahwa itu Felix. Felix yang selalu, dan selalu memiliki hatinya. Felix yang akan kembali ke negerinya. Masa mudanya akan selalu menjadi milik Felix, tanpa peduli apapun jawaban Felix nanti. Dan di saat itulah, Changbin berteriak tanpa mempedulikan orang di sekitarnya.
"Aku cinta kamu!"
Terucap lantang membelah keramaian. Beberapa orang menghentikan langkah dan menoleh mencari sumber suara, termasuk Felix. Dilihatnya pemuda itu berbalik. Dilihatnya pemuda itu menatapnya lama sebelum berbalik, dipecah oleh panggilan keberangkatan pengeras suara. Felix berlalu, berlalu begitu saja tanpa menyempatkan diri mendekati Changbin.
Mungkin, itulah yang Felix rasakan dulu kala, bertahun yang lalu.
Adalah sorot mata sedih Felix yang terakhir kali Changbin lihat sebelum semuanya tenggelam dalam biru. Wajah itu pun kaku, ditelan biru. Biru yang sejak awal menghantui mereka berdua. Biru yang tanpa Changbin sadari, kini melingkupi seluruh jarak pandangnya tanpa memberi celah pada warna lain.
Biru yang terlalu mencintai Changbin dan Felix.
(yang mungkin akan luluh nanti, saat hati Felix sembuh kembali, saat Felix kembali memberikan masa mudanya kepada Changbin.) [***]
//
a/n: akhir kata, terima kasih untuk semua yang membaca karya ini hingga selesai, juga terima kasih pada semua yang menyempatkan diri untuk meninggalkan jejak.i'm so sorry because i changed many things in this ending (dan kayak buru-buru banget gak sih orz maafin i have to fight my dizziness and my urge to puke at finishing this ;----; i know i should rest but i can't rest, how can i rest? weekends are my only free time now and my head always screams at me everytime i took some rest, telling me that i am a loazyass author—which is true). i'm so sorry i disappoint you all.
i'm nothing without you. that's true.
thanks for everything and see you at other stories!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top