04. Alasan
Pagi yang tenang.
Tidak ada suara keributan yang menyapa pendengaran (Name) meskipun tempatnya berpijak adalah sarang kriminal.
Ketenangan inilah yang membangunkan gadis itu.
Matanya berkali-kali mengerjap supaya kesadarannya pulih. Netra obsidiannya menatap lurus ke atas, ia mendapati seorang pria jangkung dengan tato dilehernya.
"Oh, sudah bangun?"
(Name) cepat-cepat bangkit dan terduduk. Ternyata dirinya ada di sofa dan lagi bagaimana bisa ia tidur dipangkuan seorang pria seperti Haitani Ran?
Gadis itu memalingkan wajah ke kanan dan sebaliknya untuk mencari keberadaan seseorang.
"Apa wajahku terlalu menyeramkan sampai kau cepat-cepat berpaling?" Ran mengelus dadanya bersabar, kemudian ia menyesap segelas wine sampai habis sambil melihat kebingungan (Name).
Sosok Sanzu muncul dan itu membuat (Name) buru-buru menghampirinya sampai menepis kasar tangan Ran yang ingin menyentuhnya tadi.
Sanzu pun jadi terperangah kaget saat gadisnya─ralat mainannya tiba-tiba muncul dihadapannya.
"Sanzu!"
"Apa?" Sanzu sedikit meninggikan suaranya.
"Kau kembali."
"Ya, tentu saja."
"Sekarang─"
Ucapan (Name) terpotong sebab Sanzu tiba-tiba menangkup wajahnya hingga dirinya sedikit mendongak.
Sanzu sedikit membungkuk menyetarakan tingginya dengan (Name).
"Pejamkan matamu!"
"Huh?"
"Lakukan saja!"
(Name) mengangguk dan memejamkan matanya. Sanzu semakin mendekatkan wajahnya untuk memeriksa sesuatu.
Tentu saja perasaan aneh kemarin.
Tapi, Sanzu kali ini tidak merasakannya lagi.
"Sudah selesai?" Cicitan (Name) membuat Sanzu tersentak kaget.
"Hm, ya." (Name) kembali membuka mata dan wajah Sanzu terpampang jelas dekat dengannya. Mereka sama-sama terdiam cukup lama.
"Pandanganmu itu menganggu!" Seru Sanzu sambil mendorong kasar bahu (Name) ke belakang.
Bukannya jatuh, punggung (Name) malah bertabrakan dengan dada seseorang yang otomatis menahannya.
Ia menoleh ke belakang dan mendapati Kokonoi. (Name) sontak waspada dan sedikit menjauh.
"Tenang saja, aku tidak akan menyentuhmu lagi."
(Name) menajamkan tatapannya pada Kokonoi sebelum ia berlari menyusul Sanzu.
Sedangkan pria maniak uang itu menatap telapak tangan kanannya yang terperban dan kembali menatap kepergian (Name).
"Tidak kusangka dia pandai bermain pisau." Kokonoi menetralkan ekspresinya.
"Jika aku terlambat memukul tengkuknya, mungkin aku sudah mati."
***
Sanzu menghampiri Mikey. Sang bos tengah memakan Taiyaki sembari memandang lurus ke bawah entah apa yang dipikirkannya. Namun dengan kedatangan Sanzu, pandangannya beralih pada pria yang masih berbalut kemeja putih tanpa rompi.
Netra obsidian milik Mikey jadi beralih menatap (Name) yang tiba-tiba mengintip dari balik punggung Sanzu.
Karena hal itu, Sanzu pun jadi menoleh dan mencebik kesal pada (Name).
"Urusanmu dengannya belum selesai ya, Sanzu?" Celetuk Akashi Takeomi yang menyindir keberadaan (Name) didekat Sanzu.
"Urus saja masalahmu sendiri!" Balas Sanzu acuh, "Jadi, apa yang akan ku kerjakan kali ini?"
"Tangkap Asep dan Ucup, mereka telah memata-matai Bonten!"
"Oh begitu, lalu tempatnya?"
"Tenang saja, Mochi sudah menyudutkan mereka ke Shinjuku." Jelas Akashi, "Ingat! Tangkap hidup-hidup! Karena mereka anggota mafia."
"Hoo, omoshirre!" Sanzu hampir saja kelepasan tertawa jika Mikey tidak turun dari kursi dan menghampirinya. Ah tidak, lebih tepatnya Mikey saat ini menghadap (Name) yang masih di belakang Sanzu.
"Namamu?" (Name) enggan menjawab pertanyaan Mikey, ia hanya menatap netra obsidian yang nampak kosong seperti miliknya.
"Oi, jawab pertanyaannya!" Tegas Sanzu.
"(Name)."
"Tenang saja Mikey, aku tidak akan membiarkannya menghambat misiku," Ujar Sanzu.
"Begitu? Setidaknya, kau punya sesuatu yang ingin kau lindungi." Mikey kembali menatap (Name) sebelum ia benar-benar pergi meninggalkan ruangan.
"Melindungi? Kau bercanda?" Gumam Sanzu sambil menatap (Name), "Justru aku akan membunuhnya nanti."
"Hah?" Akashi yang masih di tempat jadi cengo akan interaksi rekan kerjanya.
"Oi penasehat, berangkat sekarang?"
"Malam saja."
"Baiklah." Sanzu mulai bersemangat, tak sabar menunggu hari berganti malam nantinya.
Tapi ya, para anggota yang lain juga sering mengerjakan misi dimalam hari.
Biar syahdu.
Seperginya Akashi, Sanzu memilih tiduran di sofa dengan kedua tangannya dibelakang kepala sebagai tumpuan. Sofa usang yang tadinya tempat duduk Mikey. Dirinya berniat untuk tidur namun tidak jadi sebab wajahnya tiba-tiba tersapu sesuatu yang lembut.
Bulu mata lentik Sanzu terbuka dan menangkap wajah (Name) tepat diatas wajahnya sehingga membuat rambut Sang hawa menjuntai ke wajahnya.
"Singkirkan ini!" Sanzu menjauhkan tubuh (Name) dan kembali duduk melempar tatapan kesal pada Sang gadis.
"Huh, kau terlihat sedikit senang?" Heran Sanzu, "Yah, meskipun pandanganmu itu masih mengganggu."
"Soalnya, kau mengingat janji itu."
"Oh janji, bagaimana kalau salah satu dari kita mengingkarinya?"
"Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi!"
"Cih, sikap percaya dirimu itu membuatku tak nyaman." Sanzu mengusap kasar rambut (Name) hingga berantakan.
"Kenapa kau tidak bunuh diri saja?" Tanya Sanzu.
"Tidak!"
"Hah?! Kau benar-benar ingin mati bukan?"
"Tuhan, tidak menyukai h-hal itu."
"Oi apa Tuhan akan senang jika kau seperti ini?" Mendengarnya, (Name) jadi terlonjak kaget.
"Aku tidak tahu."
Sanzu menghela nafas kasar, menambah dosa namanya.
"Apa sebenarnya alasanmu?" Tanya Sanzu dengan sedikit penekanan disetiap kata.
"Karena aku menginginkannya."
"Bukan itu! Berikan alasan yang bagus! Kenapa malam itu kau bisa berkeliaran di markas ini?"
(Name) tertunduk lesu membiarkan pikirannya larut, "Aku tidak mengingatnya."
"Oh, katanya kalau kepala dipukul balik itu akan mengembalikan ingatan."
"Benarkah?"
"Tetaplah menunduk!" Dan benar saja, Sanzu mengepalkan tangannya dan memukul kepala bagian belakang (Name).
Dughh!!
(Name) sampai jatuh tersungkur dibawahnya.
"Bagaimana kau ingat sesuatu?" Tanya Sanzu semangat. Sedangkan Sang gadis memegangi kepalanya yang nyeri luar biasa sambil berusaha bangkit.
"T-tidak."
"Cih, ajaran sesat!" Gerutu Sanzu setelah sadar dengan apa yang barusan dilakukannya.
(Name) mengusap pelan kepalanya yang nyeri dan ekspresinya semakin muram.
Bulan biru yang bersinar terang layaknya warna lautan tergambar jelas diingatannya.
Nafas yang memburu.
Bercak darah yang timbul dipakaian dan kedua tangannya.
Dan lagi, rasa putus asa.
Malam itu, tergambar jelas dalam ingatan (Name).
Ia mendongak menatap Sanzu yang masih duduk manis di sofa. (Name) membiarkan ekspresi muram terlihat olehnya.
Kemudian netra obsidian miliknya perlahan menyusut turun membiarkannya sedikit tertutup oleh kelopak mata.
"Alasan? Benar sekali..."
"I, don't deserve to live."
(Aku, tidak pantas untuk hidup.)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top