Bab 30. Diva: Belajar Saling Melepaskan
Sudah seminggu sejak pertemuan kami di apartemennya.
Malam ini Nick mengajakku dinner katanya, sih, sebagai kenangan jika kelak kami memang benar-benar harus berpisah. Aku tahu pria itu belum sepenuhnya menerima kenyataan bahwa hubungan kami memang nggak bisa dipaksakan untuk terus berlanjut. Kendati demikian, aku tetap mengiyakan keinginannya, berharap kami tetap bisa berteman baik.
Dengan dandanan serba natural aku datang ke restoran tempat kami janji bertemu, dan hatiku tiba-tiba berdebar hebat karena tempat itu sungguh sepi. Benarkah tempat ini yang Nick maksud? Ponselku bergetar menampilkan sebuah pesan.
'Siapkan hatimu untuk sebuah kejutan istimewa, sekarang masuklah!'
Mataku menjelajahi tempat itu dari luar karena memang dinding kaca menyeluruh yang membuat tempat itu bisa dilihat dengan leluasa bahkan dari jalanan. Pandanganku masih menyapu setiap titik yang memang benar-benar lengang tanpa satu pun pengunjung, sementara beberapa pelayan terlihat sedang sibuk menyiapkan sesuatu di area lain. Aku melangkah ragu ke arah pintu masuk dan langsung disambut oleh seorang pelayan berpakaian serba hitam dengan setangkai mawar merah di tangan yang langsung diberikannya padaku, wah istimewa sekali. Lalu dia mengantarkanku ke area outdoor yang bersisian dengan kolam renang.
Pemandangan di sana sungguh indah, lilin-lilin kecil menghiasi kolam, dengan membentuk love besar di tengah-tengah. Ada sebuah meja dilengkapi dua kursi yang ditata berseberangan, mawar merah kembali terlihat di sana, kali ini satu vas penuh. Dia mempersilakanku duduk setelah menarik salah satu kursi. Jujur saja aku merasa ini berlebihan, atau jangan-jangan aku salah tempat?
'Nggak usah bingung, kamu berada di tempat yang tepat.'
Nick kembali mengirim pesan.
Apa maksud pria itu dengan menggiringku ke suasana penuh keromantisan seperti ini?
Saat itulah datang pria berpenampilan sangat rapi, memakai dasi kupu-kupu sebagai pelengkap penampilan sempurnanya. Tuxedo hitam membalut kemeja putih yang nampak pas di tubuh atletisnya, senyum manis terpasang di sana. Rambut pirangnya di sisir rapi dengan pomade dipercaya sebagai sentuhan terakhir yang memancarkan sejuta pesona.
Kalau seperti ini niat yang tadinya bulat dan solid bagai bola golf bisa tiba-tiba melempem melebihi kerupuk yang siap diolah jadi seblak. Penampilan Nick malam ini benar-benar beda dari yang pernah kulihat sebelumnya, sangat mengagumkan. Nggak terbayang seandainya saja takdir berkata lain dan kami bisa bersanding di kursi pelaminan, mungkin hatiku nggak akan berhenti mengaguminya. Dia benar-benar terlihat sempurna!
Nick menarik kursi di hadapanku, seketika lampu-lampu taman yang tadi menyala redup di sudut-sudut area ini mendadak mati menyisakan nyala kecil lilin di meja kami.
"Nick ...," seruku nggak percaya dengan semua ini.
Dia masih tersenyum dan melipat kedua tangannya di atas meja, menampilkan pemandangan yang sukses membuat jantungku sibuk mengendalikan iramanya.
"Kamu keberatan?" tanyanya.
Rasanya nggak mungkin aku mengatakan 'iya' di saat seperti ini.
"Tentu nggak, Nick, tapi kurasa ini sedikit berlebihan," kataku coba memberinya pengertian.
Dia menggeleng tegas masih dengan senyum tersungging di sana, menatapku penuh kelembutan.
"Malam ini memang malam istimewa, untuk kita," ucapnya lembut penuh penekanan di setiap kata.
"Apa maksudmu, Nick?" tanyaku penasaran, mencondongkan wajah lebih dekat ke arah meja, melipat kedua tanganku di sana hingga aku merasa seperti sedang bercermin dengan pantulan wajah dan tubuh berbeda. Nick menjentikkan jarinya dan seketika terdengar alunan lagu milik Ed Shereen berjudul Perfect mengalun lembut. Pria itu mengulurkan telapak tangan kanannya sambil berdiri di hadapanku layaknya pangeran yang mengajak putri berdansa. Aku terkesiap, nggak menyangka akan seperti ini.
Akh menggeleng ragu, tapi tatapan memohon pria itu mengalahkan penolakan yang kuajukan.
Aku menerima permintaannya dan meletakkan telapak tangan kiriku di atas telapak tangan kanannya yang sudah menunggu. Nick menarikku keluar dari kursi, lalu dengan lembut tubuhku ditariknya agar mendekat padanya, seketika aroma maskulin pria itu melemahkan pendirian. Meski menurut, tapi dalam hati aku terus mencari cara menghentikan semua ini.
"Bisakah kamu katakan sekarang bahwa kamu akan baik-baik saja tanpa aku?"
Nick berbisik di telinga kiriku, sedikit merinding hingga gemetar dan keringat dinginku keluar.
"Aku akan baik-baik saja tanpamu, dan kamu pun akan begitu," jawabku setelah berhasil menata ulang pendirian yang sudah sejak lama kubangun, meski aroma maskulin tubuh pria itu terus menggoda indra penciumanku. Rasanya ingin melemas bersamanya dalam dekap hangat, tapi logikaku menolak, "sekarang bisakah kita akhiri ini?"
Nick mengangguk, tangannya saat ini sedang melingkari pinggangku, sedangkan matanya tak lepas menatap dalam hingga diriku hampir melemas karenanya.
Tanganku sengaja menempel di dada bidangnya, mengantisipasi sentuhan yang lebih dalam, "tutup matamu!" bisiknya, kali ini tepat di hadapan bibirku hingga napas hangatnya menyebar dan ikut bercampur dengan aroma tubuhnya.
"Nick, tolong hentikan sekarang!" ucapku tegas, tapi gerakan kaki kami masih tetap berlanjut mengikuti musik yang masih mengalun lembut. Dia menggeleng sambil tersenyum, dalam suasana gelap yang hanya mengandalkan nyala lilin kecil di meja kami sebagai penerangan membuat hawa mendebarkan makin meraja. Meski begitu, Nick sama sekali nggak melakukan sentuhan yang berlebihan, bahkan tubuh kami masih tetap berjarak. Bibirnya pun sama sekali nggak menyentuhku, itu cukup untukku terus mengikuti kemauannya sejauh ini.
"Tutup matamu, aku akan mengikatkan ini," katanya sambil melepaskan kedua tangannya dari tubuhku dan memperlihatkan sebuah penutup mata bertali warna hitam.
"Jangan bercanda, Nick!" geramku, karena tiba-tiba sesuatu yang mengerikan terlintas di pikiran.
"Nggak sampai lima menit, berdansalah dengan mata tertutup, dan akan ada sebuah kejutan manis pada akhirnya," katanya lagi. Meski geram tapi aku penasaran, kejutan manis apa yang akan dia berikan untukku, akhirnya kubiarkan dia melakukan keinginannya. Mataku ditutup dan sedikit membuatku limbung, tapi sebuah tangan meraih tubuhku, merengkuh pinggangku dengan sedikit tekanan mirip sentuhan pria posesif yang bahkan nggak rela wanitanya disentuh pria lain.
Tubuhku ditarik ke depan hingga menempel dengan tubuh milik si penarik, memangkas jarak, dan sempat membuatku ingin mundur sebelum akhirnya hidungku mencium aroma lain menguat dari tubuh itu. Aroma yang berbeda dengan milik Nick. Ini aroma citrus segar yang sangat kukenal. Apakah tubuh di hadapanku adalah pemilik aroma segar yang kumaksud? Lalu, ke mana Nick?
"Nick di mana?" tanyaku masih dengan mata tertutup, wajahku mendongak seakan sedang menatap lawan bicara.
"Apa kamu merasa terganggu dengan kehadiranku?"
Benar, itu suara yang sangat kukenal. Aku menggeleng, "tapi dia yang membawaku ke sini," sanggahku merasa nggak enak hati mendengar pertanyaannya. Tiba-tiba saja aku merasa bingung dengan semua ini.
"Nick yang menyiapkan kejutan ini untuk kita," bisik suara itu tepat dihadapanku hingga napas kami bertukar karena jarak yang begitu dekat. Detik berikutnya aku dikejutkan oleh sebuah ciuman hangat yang mendarat dibibir, tanpa desakan, tanpa paksaan aku mengikuti iramanya. Saling meluapkan rasa yang mungkin terpendam selama bertahun-tahun.
^***^
Manis nggak bab ini?
Aku sukanya yang manis-manis, masih ada epilog, ada epilog, epilog.
Salam,
Nofi
Tangsel, 30 Agustus 2018.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top