Bab 29. Nick: Akhir Kisah

Saat seseorang sedang merasa begitu jatuh, tentu harapannya ada teman berbagi, minimal teman yang bisa berdiam barang sejenak untuk mendengar keluh kesah.

Rasanya saat ini gue memang butuh seseorang, tapi orang itu berniat meninggalkan.

Gue hanya bisa mencoba tersenyum di balik kesakitan yang sebenarnya begitu menyiksa.

Kami masih duduk berdua, sesekali tangan halus Diva mengelus pundak mencoba kasih gue semangat.

Padahal gue butuh lebih dari itu.

Dering ponsel terdengar nyaring, ada telepon masuk dengan nama seorang kenalan, "halo," sapa gue dengan mengatur napas sedemikian rupa biar suara serak bekas nangis nggak begitu kentara. Gue menoleh ke arah Diva dan dia tersenyum. Senyuman yang selama ini tersimpan rapi di ingatan gue.

"Selamat pagi, dengan Nicholas Dawson si Elang Timur?"

"Ya, saya sendiri, ada keperluan apa?"

Gue sebenarnya tahu maksud dari telepon itu, tapi demi formalitas jadi pertanyaan itu meluncur.

"Saya yakin kamu masih ingat tawaran dari kami tempo hari, ayolah, banyak penulis yang melakukan berbagai cara demi menembus kami, lalu apa yang kamu lakukan dengan menyia-nyiakan kesempatan emas ini?"

Tebakan gue tepat. Jadi, gue punya kenalan editor di salah satu penerbit mayor dan naksir sama salah satu cerbung yang gue post ke grup kepenulisan facebook. Dia menyarankan gue untuk mengembangkan jadi novel dan mengirimkan padanya.

Bukan nggak menghargai niat baiknya, bukan juga bermaksud menyia-nyiakan kesempatan emas, tapi waktu itu gue nggak mau identitas asli gue tersebar dan Mama pasti marah besar kalau anaknya jadi penulis. Makanya gue tolak. Kalau sekarang dengan dukungan penuh Mama, harusnya gue bisa mengambil keputusan cepat untuk mengambil peluang, tapi pada kenyataannya gue nggak bisa secepat itu mengiyakan, "saya minta waktu, tolong hubungi saya lagi senin depan jika berkenan!"

Terdengar derai tawa di seberang, "baiklah, Kawan, siapkan jawaban terbaik senin depan, ya!"

"Baik, terima kasih."

Setelah mengucap salam, sambungan terhenti, menyisakan gue yang terpekur sejenak.

"Tawaran dari penerbit?"

Suara Diva sukses mengagetkan gue, "kok tahu?"

"Nebak, tapi benar, kan?" desak wanita berambut cokelat kemerahan itu.

Gue mengangguk, dan dia tersenyum makin lebar, "kok senyum lebar banget?"

"Biarin, dari pada sedih," celetuknya ringan, "ambil aja, Nick, kadang kesempatan nggak datang dua kali," lanjutnya. Dia bahkan menggoyang-goyangkan paha gue dengan kedua tangannya demi sebuah jawaban yang memuaskan hati. Gue geli juga melihat tingkahnya yang mirip abege itu.

"Aku mau minta pendapat seorang sahabat dulu, tunggu di situ!"

Gue menghubungi Adhi untuk meminta pendapat, "halo, Bro, apa kabar? Sombong sekali, nggak pernah telpon aku, nok!" Adhi menyapa sekaligus memaki gue lantaran nggak pernah menghibunginya lagi akhir-akhir ini.

"Kabar gue masih tampan, jangan khawatir."

Gue tergelak, merasa geli sendiri dengan jawaban yang gue lontarkan. Diva bahkan berlagak seolah-olah pingsan mendengar kalimat penuh kontroversi yang keluar dari mulut gue itu. Norak mungkin di mata wanita itu, tapi biar sudah, toh banyolan receh gue sukses bikin hati merasa sedikit ringan.

"Orang tampan nggak ada yang narsis kalau kamu mau tahu, Bro!" desisnya menyakitkan.

"Ya, ya, gue ikut aja kalau gitu," sela gue akhirnya, "gue mau minta pendapat sebenarnya, Dhi. Ini masalah tawaran penerbit mayor tempo hari itu, barusan dia hubungin gue lagi dan coba ngelobi. Menurut lo gimana?"

"Nggak ada alasan lagi untuk menolaknya, Bro, ambil!"

"Terus gue nggak nyetak lewat lo lagi, gitu?"

"Masuk mayor adalah impian hampir semua penulis, dan itu akan lebih bagus untuk karier menulismu kelak, Kawan! Segeralah ambil, aku dukung penuh demi kesuksesan sahabatku."

"Thanks banget buat semuanya, Bro!" Mendengar dukungan penuh Adhi, gue terharu, dia memang betul-betul mengerti gue. Bahkan dia nggak mementingkan keuntungan pribadi.

"Aku ikut senang, Nick," ucap Diva yang beberapa saat lalu sempat terlupakan keberadaannya.

Gue mengangguk, dan Diva bangkit dari sofa pamit pulang.

"Aku antar?" Gue coba menawarkan bantuan, terlepas dari status hubungan kami yang sedang dalam masa kritis. Diva menggeleng dan memaksa gue untuk mengalah, ya, dia memang selalu nggak terbantah. Sifat itu yang bikin gue merasa tertantang untuk menakhlukkan, tapi gue rasa gagal.

Wanita itu tetap pada ucapannya yang benar-benar nggak menerima interupsi apa pun dan dari pihak mana pun.

"Hati-hati, Diva," pesan gue saat wanita itu memasuki taksi di depan lobi.

Setelah kepergiannya gue masih terus berpikir, menelaah semua peristiwa, dan membuat satu kesimpulan, manusia boleh berencana, tapi Tuhan adalah sang penentu.

Kini saatnya gue mulai merajut asa di ranah berbeda, yakni menapaki dunia literasi yang begitu menggiurkan.

Bukan finansial, karena studio foto gue bahkan lebih menghasilkan dibanding menjual karya berbentuk tulisan, apalagi dengan sistem royalti yang hanya sekitar sepuluh persen, dan masih dipotong pajak.

Gue lebih mencari kepuasan batin saat banyak orang membaca hasil pemikiran gue dan terinspirasi.

Untuk itu selalu ada pesan moral yang gue selipkam di setiap kisah yang gue tulis, tujuannya nggak lain adalah menginspirasi orang lain. Kalau gue nggak bisa menebar ilmu sebagai guru atau dosen, maka akan gue tebarkan nilai-nilai positif lewat kisah-kisah yang gue tulis. Intinya, menulislah kisah apa saja, asal ada hikmah yang bisa diambil di dalamnya.

Mungkin gue akan menulis kisah hidup Mama dengan segala lika-likunya agar pembaca bisa mengambil hikmah dari sana. Lalu, kisah cinta gue yang jatuh bangun mengejar Diva dan berujung kayak gini, sakit, sih, tapi semua ada hikmahnya. Nggak ada cinta yang begitu besar melebihi cinta orang tua terhadap anaknya.

Cinta tanpa restu ibarat memaksakan makan saat perut sudah kekenyangan, karena yang terjadi adalah muntah.


^***^

Masih ada bab 30 dan epilog.

Makasih banyak untuk yang sudah mendukung.

Salam,

Nofi

Tangsel, 30 Agustus 2018.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top