Bab 22. Diva: Flash Back

Di sinilah aku, duduk menatap punggung seorang pria yang sedang sibuk dengan beberapa loyang adonan di depan oven besar. Tubuh menjulangnya terlihat meliuk ke atas bawah, kanan kiri untuk membuka pintu oven, memasukkan adonan, menyetel suhu, dan lain sebagainya. Beberapa laki-laki hilir mudik di sekitarnya dan terkadang mereka membicarakan sesuatu.


"Maaf Mba Diva, Pak Yama menyuruh Mba Diva untuk makan terlebih dulu, nanti beliau akan menemui Mba Diva setengah jam dari sekarang," kata seorang laki-laki berseragam putih dengan celemek dan topi koki yang berwarna sama.



"Oh, oke, saya duduk di depan aja."


Aku mengangguk dan meninggalkan dapur kue milik Yama dan menuju area Indonesian food.


"Ini, satu porsi nasi rendang dan jus jeruk serta air mineral. Silakan dinikmati," kata seorang pelayan berbaju hijau muda itu dengan ramah. Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Setelah beberapa menit kuhabiskan waktu berkutat dengan ponsel, aku mulai menyantap nasi rendang dengan sambal ijo yang sore ini terasa hambar di lidah.



Entah berapa lama waktu yang kuhabiskan untuk coba menikmati makanan favorit itu, tapi sama sekali nggak membuatnya terasa enak seperti biasa. "Kok, nggak semangat gitu makannya?" Sebuah suara lembut menggagetkan yang sepertinya berasal dari pria berkemeja biru di hadapanku.



Aku tergagap dan hanya bisa membuang napas resah. Yama beralih menjajariku dan menarik sebuah kursi dan mengempaskan bokongnya di sana. Menatapku dalam diam yang kutangkap dari sudut mata kiri. Pria itu mengalihkan pandangan ke arah makanan yang masih utuh dan mengambil alih, menyendoknya dan memaksaku membuka mulut.


Dengan sedikit enggan, aku membuka mulut dan menerima suapan lelaki di sebelahku itu.



"Aku kenyang," ujarku pelan saat makanan tersisa setengah, tapi si pria berambut hitam itu memaksa dengan tatapan. Aku yang paham dengan tabiatnya segera menurut.



"Makan sesuai porsi itu harus, nggak peduli seburuk apa pun suasana hati kamu," ujarnya.


Aku hanya mengangguk lalu meneguk air mineral dan menghabiskan setengah botol.


***

Senja di dermaga sedikit menentramkan dan membuat pikiran menjadi jernih, hingga sejenak meringankan beban di hati. Yama memang selalu mengajak ke sini saat suasana hatiku sedang sangat buruk, seperti saat ini. "Ceritakan semua yang perlu kamu ceritakan, dan simpan yang kamu rasa nggak perlu aku tahu."



Aku menceritakan semua, tentang hubunganku dengan Nick, tentang penolakan mamanya, tentang Nick yang ternyata penulis dan nggak pernah bercerita apa pun padaku, dan juga tentang keputusanku membatalkan beberapa pekerjaan yang melibatkan pria itu di dalamnya. Aku menceritakan semuanya, kecuali satu hal yang memang hanya aku dan seorang teman sengaja tutup rapat. "Aku nggak berani berharap banyak," kataku akhirnya. Pria di sampingku seperti menahan sesuatu, lalu meraih jemariku dan menggenggamnya.



"Diva, kalau boleh, aku ... pengen jujur ke kamu," ujarnya masih dengan menggenggam tanganku.


Aku menoleh ke arahnya mencoba mencari tahu, "apa?" Aku menanti kejujuran apa yang ingin dia utarakan, apa sebenarnya dia selama ini keberatan dengan semua keluh kesahku? Atau ada hal lain yang aku nggak tahu?




"Aku sakit dengar kamu disia-siakan seperti itu, padahal sebisa mungkin aku selalu memberikan apa yang kamu mau, semua, semampuku. Aku nggak tahu harus mulai dari mana, tapi ... aku cuma pengen kamu tahu, aku sayang sama kamu. Bukan seperti kakak pada adik, tapi layaknya pria terhadap wanita." Pria itu menatapku lembut, jarak kami begitu dekat hingga kurasakan embusan napasnya yang sedikit tertahan.



"Mak-maksud kamu?"



"I love you, with everything inside of me," bisiknya lembut, selembut angin senja yang membelai rambutku.


Rasanya duniaku mulai berputar kencang. Hubunganku dengan Nick yang belum tahu ujungnya, ditambah pernyataan cinta dari pria yang selama ini kuanggap paling mengerti diriku, semua membuat semacam gempa dahsyat dalam hati. Getaran-getaran yang mampu melumpuhkan apa saja, jangankan memberi jawaban pada Yama, berpikir pun aku merasa lumpuh. Otakku mendadak kosong.



Seperti ada yang kurang nyaman saat kenyamanan yang selama ini kudapat ternyata berdasarkan rasa lain.



"Aku bahkan nggak pernah memikirkan ini, Yam." Tanganku dilepaskannya, pria itu sedikit menjauhkan posisi dan pamit ke kamar kecil yang letaknya cukup jauh dari tempat kami duduk. Aku tahu, dia hanya ingin menenangkan diri sejenak di kamar mandi, karena memang itu yang selalu dilakukannya selama ini saat merasa gugup.




Sepuluh menit kemudian Yama belum juga kembali, aku sedikit gelisah dan berniat menyusul.




"Diva," seru seseorang dari kejauhan, saat aku menoleh ternyata Yama yang terlihat seperti habis menelepon seseorang. Pria itu meminta maaf karena terlalu lama. Aku mengangguk dan mengajaknya pulang.


***


Lagu Because Of You kembali mengalun lantang memecah keheningan malam, beruntungnya kamarku sedikit jauh dari kamar Tante Ayu dan Al yang berada di belakang.


Otakku penuh dengan memori tentang Nick, kenangan manis yang sungguh sulit kulupakan terus berputar dan membuat kepalaku seperti hendak meledak. Senyuman manis, kelembutan sikapnya, dan banyolan receh yang kadang membuatku marah terus terlintas di pikiran. Sakitnya penolakan Tante Ros menenggelamkan harapanku untuk bisa hidup bahagia dengan pria menyenangkan itu.



Sedangkan Yama, pria datar berhati lembut dan hangat itu sungguh membuatku terkejut atas pengakuannya petang tadi. Harusnya aku menyadari jauh-jauh hari, mengingat sikapnya yang manis memang sudah lama kuterima. Bahkan sikap manisnya sudah kurasakan saat dirinya masih terikat pernikahan dengan seorang wanita, dan tentu saja saat itu aku belum kenal Alex.



Menyadari kenyataan itu aku tiba-tiba merasa bersalah, apa benar perceraian mereka ada hubungannya dengan kehadiranku di hidup Yama? Aku memukul kepala berkali-kali, kesal akan ketololan diri sendiri. Aku merasa bagai perempuan jalang yang bahkan nggak tahu malu merusak rumah tangga bos sendiri, yang memberi gaji dan menopang perekonomian kami sehari-hari. Aku ternyata sebodoh itu.



Aku meringis menyesali semuanya, semua ketololan yang aku lakukan. Aku merusak rumah tangga orang tanpa sadar, lalu memberikan semua harta berharga milikku pada pria brengsek bernama Alex hanya karena pesonanya yang memabukkan. Wajah tampan, kaya, bersikap manis pada gadis yang diinginkannya adalah hal yang membuatku tergila-gila padanya.



Terjadilah peristiwa itu, di vila pribadi milik ayahnya, kami memilih untuk menghabiskan malam bersama.



"Kamu sangat seksi," bisik Alex di telinga yang diiringi remasan di beberapa bagian atas tubuhku. "Aku selalu cemburu saat mata lelaki lain menelanjangi tubuh seksi ini," ucapnya lagi, kali ini disertai remasan di bokong yang sukses membuatku semakin gelisah. Aku yang baru pertama kali melakukan hal seperti ini otomatis hanya mampu menikmati sentakan-sentakan listrik dari dalam tubuh yang nggak pernah kurasakan sebelumnya.




Alex kemudian membimbing bibirnya menuju tempat-tempat keramat yang ada di tubuhku.



"Alex," hanya itu yang mampu aku keluarkan dari tenggorokan kering ini. Alex semakin intens membelai seluruh bagian sensitif tubuhku hingga hanya menyisakan desahan dari masing-masing-masing mulut kami. Aku yang sangat naif bahkan nggak bisa mengingat lagi kesakitan Mama. Hal yang selama ini berhasil membuatku menjauhi kaum laki-laki.



Aku bahkan lupa menangis saat mahkotaku direnggut secara halus oleh Alex karena merasa sangat bahagia. Bangga karena menurutku, aku yang tampil menjadi pemenang dari sekian banyak gadis penggila Alex. Aku yang sangat polos nggak menyadari sedang dimanfaatkan, hingga hari itu tiba, "Alex, aku terlambat datang bulan, dan ini hasil tesnya ...," ucapku padanya di dapur vila tempat tinggal kami sambil menyodorkan semacam alat tes kehamilan yang kubeli tadi malam karena kecurigaanku tentang siklus menstruasi yang berubah. Ake memang sedang memasak sarapan dan Alex baru terbangun dari tidurnya, seperti pagi-pagi sebelumnya. Alex mematung, melirik sekilas test pack di tangan kananku. Dia biasanya langsung memelukmu dan —kami bisa menghabiskan pagi dengan—bercinta di dapur, kali ini aku merasa sedikit berbeda. Pria itu seolah nggak berminat menyentuhku.



Kemudian Alex mendengkus kecil seraya mendekat dan mengunci tubuhku seperti biasa, tapi kali ini matanya nyalang menatapku, "aku tidak siap jadi Ayah, jadi bunuh saja dia!" Langit serasa runtuh, masa depanku hancur sudah. Bayangan wajah Mama yang menangis, meraung dan membanting semua perabot dapur terbayang di mata, menyadarkan bahwa aku telah jatuh bahkan lebih dalam dari apa yang selama ini kutakutkan. Aku sungguh hancur, Alex memaksaku melayaninya lagi, bercinta di pagi hari, sebagai syarat untuk tetap bisa hidup bersamanya. Hidup mewah di Bali, dengan pria bule kaya raya, sebagai wanita yang dipilihnya merupakan impian hampir setiap gadis, tapi kenyataannya jauh dari harapan. Bahkan aku nggak lebih dari budak seks, bukan kekasih seperti yang selama ini dipamerkannya di hadapan teman-teman main sesama anak orang kaya. Mereka memang kebanyakan adalah anak-anak ekspatriat yang memiliki lahan luas di seluruh wilayah Bali, dengan meminjam nama warga sebagai pemilik di dalam pencatatan hukum agraria.


"Kamu jahat, Alex!" Tangisku meledak saat pria bule keparat itu beranjak pergi meninggalkan tubuhku yang lemas di meja dapur. Aku bertekad ingin mengakhiri hidup, jika saja Yama nggak menemukanku tanpa sengaja siang itu di jalanan ramai saat sedang melakukan percobaan bunuh diri. Mobil yang aku incar untuk menabrak tubuhku ternyata dikendarai Yama saat sedang menuju hotel setelah pertemuan dengan rekan bisnis. Dia yang membawaku kembali ke Jakarta, dan saat itu statusnya sudah berubah menjadi duda. Yama kemudian memberiku tempat tinggal sembari memberi kabar Tante Ayu tentang keadaan keponakannya yang menyedihkan ini.

***

Emak lelah, wew!

Ada yang mau mijitin?


Kritik, saran, sate, gule masih dinantikan. Hahahha emak maruk, maafkan!

Salam,

Nofi

Tangsel, 24 Agustus 2018.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top