Bab 21. Nick: Terungkap

Mata gue mengerjap untuk beradaptasi, tapi ketukan di pintu makin kencang dengan suara teriakan Mama. "Nick, cepat keluar! Mama nggak ngerti ada apa di luar! Nick!" Gue dengan malas turun dari tempat tidur, masih mengenakan boxer dan kaus tipis warna putih.


Gue buka pintu dan mendapati Mama dengan wajah sedikit panik. "Ada apa, sih, Ma?"



"Itu, banyak wartawan cari kamu. Cepat turun, beresin!" Mama melengos dan begitu saja menuruni tangga meninggalkan penasaran tingkat tinggi, "wartawan?"



Gue menyempatkan gosok gigi dan cuci muka. Dengan sedikit muka tembok, gue semprot parfum di bagian atas tubuh. Ya, biar belum mandi, tapi wangi itu wajib.



Gue berlari menuruni tangga dengan penampilan setengah sempurna. Gosok gigi, cuci muka, basahin rambut, ganti baju semua check list cuma minus belum mandi. "Ada apa ini?"



Mereka berkerumun layaknya semut yang mengendus adanya gula, iya, kayak gitu. "Halo, Nick! Kami dengar kabar kalau Nick adalah si pemilik nama pena Elang Timur, yang buku pertamanya laris dan sekarang masuk ke cetakan ke-tiga?"


Kaget. Dari mana mereka tahu?



"No coment!"


Gue yang kaget dengan kedatangan mereka ditambah dengan pertanyaan yang sama sekali nggak terduga memilih kabur dan mengunci rapat pintu depan.


"Ada apa sebenarnya?" selidik Mama dengan sorot tajam.


"Ma, Nick nggak tahu mesti mulai dari mana, tapi yang jelas Nick minta maaf," ucap gue.



"Apa benar yang mereka bilang?"



Gue berpikir sejenak. Gue nggak mau Mama semakin marah. Otak gue mencoba merangkai kalimat sebagai jawaban, tapi gagal terlontar. Mama sudah begitu marah karena Diva dan masalah ini hanya akan membuatnya semakin kecewa sama gue.


"Iya, Ma...."


Sangat jelas terlihat amarah berkobar di mata beliau. Gue yakin, semua usaha gue akan sia-sia, usaha untuk mendapat restu dengan Diva, ataupun usaha gue dalam mewujudkan cita-cita menjadi seorang penulis. Tadinya gue berpikir biarlah dunia nggak mengenal wajah gue yang penting tulisan gue dikenal dunia.


Mama berlalu ke kamarnya, hal yang selalu akan dilakukan saat marah.



***

Terungkap, Inilah Wajah Pemilik Nama Pena Elang Timur yang Buku Perdananya Sudah Masuk Cetakan Ke-tiga


Menggunakan Nama Elang Timur, Inilah Wajah Bule di Baliknya



Elang Timur, Novelis Baru yang Bukunya Laris Ternyata Bule?


Itu hanya beberapa contoh judul di portal berita online hari ini. Otak gue buntu, sama sekali belum menemukan solusi terbaik untuk masalah ini. Saat gue masih termenung memandangi layar komputer di kamar, tiba-tiba ponsel berdering.


"Halo, Dhi!" sapa gue lemah.



"Heh, itu apa-apaan ada berita seperti itu?" cecar Adhi langsung.


"Gue nggak tahu, Dhi. Padahal cuma kita berdua yang tahu rahasia ini." Gue menarik napas, lalu mengembuskannya kencang sambil menjambak rambut dengan frustrasi.




"Jadi maksudmu, aku yang bocorin?"



"Nggak gitu, tapi ... gue nggak habis pikir, siapa yang tahu tentang ini selain kita?"



"Cewekmu?"



Gue terkesiap sejenak, apa iya? Apa alasan Diva melakukan ini, dan apa untungnya buat dia? "Nggak mungkin Diva, Dhi!" sergah gue. Gue nggak akan pernah percaya kalau Diva bisa melakukan ini. Wanita itu bahkan menyukai novel karya gue, itu berarti dia bukan haters yang punya alasan untuk melakukannya.




"Semua kemungkinan bisa terjadi, Nick!"




Gue mematikan sambungan dengan Adhi, dan mulai mengotak-atik ponsel. Banyak pesan masuk di messengger dan juga whatsap. Ada beberapa pemesan buku, ada beberapa juga yang kepo tentang berita hari ini di media daring. Gue buka pesan satu per satu, sekalian mencari clue siapa yang kira-kira berpotensi menyebarkan identitas asli gue sebagai penulis. Mata gue tertuju pada pesan dari 'Bunga', terakhir dia
mengirm pesan dua hari yang lalu saat gue masih di Bali.


Bunga: Elang, apa kabar?
Aku pengen ngobrol
Pengen ketemu
Aku penasaran
sama muka kamu

Elang: Maaf baru balas
Iya aku sibuk
Dan maaf juga
Aku punya cewek
aku nggak mau
jadi salah paham


Gue bahkan nggak menemukan satu pun tersangka, hanya Bunga yang berkali-kali mengajak ketemu, itu pun belum terlaksana. Kepala gue benar-benar pusing memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang entah. Suara gaduh di luar mulai berangsung hilang, tapi kuping gue menangkap sesuatu yang aneh.


Gue menajamkan pendengaran dan bergegas keluar saat menyadari sesuatu. Di teras rumah yang masih ada beberapa orang--yang mungkin jurnalis--terlihat pemandangan mengerikan. Mama dengan angkuhnya menatap wanita berpotongan bob yang ku kenal lemah lembut.


"Ingat, ya, kekayaan bukanlah sebuah obsesi bagi kami, camkan itu!"


"Kalau bukan karena harta, terus buat apa perempuan itu nempelin anak saya? Maaf-maaf, ya, anak saya itu banyak yang mau, ganteng, baik hati, dan yang paling penting dia masih perjaka ting-ting!" Mama berkacak pinggang, menaikan dagu runcingnya dan masih menatap lawan bicaranya dengan angkuh.



"Eh, Jeng! Kami memang miskin, tapi kami nggak pernah berniat memanfaatkan siapa pun," jawab wanita di hadapan Mama nggak mau kalah. Gue melihat beberapa kamera terlihat menyala dan langsung melempar tatapan membunuh, tapi mereka gampak nggak peduli.



"Miskin, mah, miskin aja, nggak usah sok!"



Langkah kaki gue sebenarnya sudah terayun ke arah beberapa orang yang masih bergerombol lengkap dengan kamera dan mikrofon saat tersengar teriakan kesakitan Mama.



"Ma, kenapa?" kejar gue dengan langkah seribu.


Terlihat Mama memegangi pipinya, mungkin beliau kena gampar lawan bicaranya yang geram dengan ucapan Mama barusan, "Nick, kamu lihat kelakuan Mama kamu," ucap wanita berambut bob yang mengenakan jin biru dan kemeja katun warna putih itu.



"Tan, atas nama Mama, Nick minta maaf," ucap gue demi meredakan emosinya, tapi Mama malag melotot ke arah gue. "Ma, tolong jangan menghina Diva dan keluarganya!"


"Kamu benar-benar, ya, Nick!"


Mama bergegas masuk dengan langkah cepat, sedangkan gue masih berusaha meminta maaf Tante Ayu.


"Nick, Tante sebenarnya nggak mau ngelakuin ini, tapi ...," ucap wanita itu menggantung, "Diva sungguh terluka dengan semua perkataan dan sikap Mama kamu."




"Untuk itu Nick memohon maaf atas nama Mama," ujar gue meminta maaf sekali lagi.



Tante Ayu mengangguk dan kemudian berpamitan. "Salam kangen buat Diva," ucap gue dengan menahan napas yang mendadak terasa sesak. Dalam situasi kayak gini, rasanya malu mengucapkan kalimat itu, tapi hati gue nggak bisa bohong. Gue kangen, merasa kehilangan, dan masih banyak perasaan lain yang bahkan nggak mampu dilukiskan satu per satu.


"Nanti Tante sampaikan," jawab Tante Ayu.


***

Wew part ini entah....

Kritik saran boleh, sate kambing juga boleh, eh....

Salam,

Nofi

Tangsel, 22 Agustus 2018.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top