Bab 14. Diva: Awal yang Baru
Kami terdiam. Suasana dermaga senja ini makin sepi. Aku masih menimbang kalimat yang pria bule ini katakan. Dia mencintaiku? Apa itu benar? Bahkan aku masih nggak percaya kalau cinta memang benar ada. Kerapuhanku yang menyebabkan kepercayaan terhadap sesuatu yang namanya itu hancur.
"Diva, aku janji akan membuat kamu percaya bahwa cinta itu nyata," ujar pria itu.
"Aku takut, Nick," jawabku.
"Kamu takut sama aku?"
Aku menggeleng, lalu menatap wajah pria berambut pirang itu dengan penuh tanya. Hati ragu untuk mengatakan, apa benar aku takut padanya? Atau takut pada diri sendiri?
"Aku takut kamu kecewa. Karena aku bukan seperti perempuan lain," ujarku terus terang.
Terdengar embusan napas, begitu dekat. Pria itu sedikit mendekatkan wajah dan menatapku lekat.
"Aku tahu masa lalu kamu," jawabnya.
Sedikit remasan kurasakan di dalam dada. Sakit yang perlahan menjalar dan membuat buliran halus meluncur turun dari mata. Sedapat mungkin aku menyembunyikannya, dan alam yang begitu baik dengan suasana remangnya membuat pria itu sepertinya nggak mengetahui gerimis di mataku.
"Kamu yakin nggak akan menyesal?"
Dia hanya menggeleng dan sedikit menarik bibirnya ke atas. Angin membelai wajah dan tubuh kami, membuat rambut pirang pria itu teracak sempurna.
"Will you merry me?" tanyanya dengan wajah tenang.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Aku menumbuhkan harapan padanya. Tangan pria itu terulur ke arah jemariku, tapi reflek aku menariknya. Sedikit dengkusan kudengar darinya. Hatiku sakit melihatnya, memang sebaik apapun lelaki akan selalu meminta kontak fisik.
"Don't touch me, please! Not yet," cegahku. Aku menjauhkan diri dan memastikan jarak aman. Tapi dia berusaha mendekat yang membuat aku harus menahannya dengan isyarat kedua telapak tangan kupasang di depan dada.
"Why? Did I-?
"Maaf, Nick, untuk sementara tolong jangan sentuh aku," pintaku.
"Bahkan hanya tangan?" tanyanya heran dan mungkin bercampur kesal. Aku menghela napas demi meredam keresahan dan sedikit mengurangi rasa nggak enak di hati.
"Diva, maafkan atas sikap kurang ajarku. Aku janji ini nggak akan terulang," janjinya yang membuat senyum senangku terbit.
"Aku masih terlalu trauma dengan masa lalu, tapi aku akan berusaha untuk nggak bikin kamu kecewa."
Aku menatapnya penuh harap. Dia membuang pandangan ke sembarang arah, mungkin sedikit kecewa. Aku menghela napas dan merasa nggak enak. Pria itu sepertinya masih belum paham dengan kondisiku. Aku maklum dan berusaha berpikir positif.
"Kamu bisa pegang janjiku," katanya kemudian. "Sekarang kita cari makan, yuk, aku lapar!"
Kami berdiri dan melangkah bersama.
***
Malam tadi adalah peristiwa bersejarah dalam hidupku di mana seorang philophobia* berani menganggukkan kepala pada permintaan pernikahan dari seorang laki-laki.
Hari ini bahkan dia akan mengajakku ikut ke Bali. Nick ada pekerjaan di sana. Tante Ayu menyuruhku menerima ajakan Nick. Jadwal kerjaku juga kebetulan kosong.
Kami tiba di bandara pukul tiga sore dan langsung menuju penginapan. Kami menyewa vila di kawasan Ungasan dengan pertimbangan jarak tempuh yang nggak terlalu jauh dari lokasi Nick bekerja. Di sana juga suasana sejuk masih sangat terasa dan membuat kami merasa nyaman.
Bukan tanpa risiko aku menerima ajakan Nick, karena bisa saja kejadian buruk masa laluku akan terulang. Namun, dorongan Tante Ayu membuat aku berani melangkah sejauh ini.
"Kamu harus belajar percaya padanya," kata Tante Ayu semalam.
"Ini kamar kamu, ya," ujar Nick sambil membuka pintu berwarna cokelat dengan ukiran khas Bali dan langsung menampakkan ranjang berukuran sedang dengan seprai warna putih.
"Kamu?" tanyaku ingin tahu.
"Aku di sebelah, kalau ada apa-apa panggil aja."
Nick meletakkan koper milikku dan segera keluar. Aku masih menikmati sejenak suasana kamar nyaman ini.
"Kalau udah lapar bilang, ya, nanti kita keluar cari makan," ujar Nick dari arah pintu yang sedikit mengagetkan.
Aku hanya mengangguk dan mulai membereskan pakaian untuk ditata di lemari kecil.
***
"Aku besok berangkat pagi-pagi, kalau kamu masih ngantuk nggak usah bangun. Siangnya kamu boleh susul aku," kata Nick sambil mengunyah kentang goreng di mulut seksinya itu, eh ... kenapa aku jadi memikirkan kata itu? Bukankah aku takut padanya?
"Oke, ngomong-ngomong kamu ada pemotretan apa?"
"Produk fashion," jawabnya.
"Bikini lagi?" tanyaku sedikit menelidik.
Di tertawa.
"Kamu cemburu, ya?"
"Siapa tahu dia lebih menarik dari pada aku di mata kamu."
Aku tiba-tiba merasa kehilangan kepercayaan diri. Aku menunduk dan menyembunyikan rasa sakit yang mulai menjalar. Entah mengapa aku serapih ini.
"Kamu tenang aja, bukan produk bikini. Kalau pun bikini, aku janji nggak akan ada yang bisa merebut hati aku," ujarnya seraya menatapku lembut. "Kamu bukan model pertama yang aku nikmati kemolekan tubuhnya dari balik lensa, bahkan banyak yang berpose lebih vulgar dari kamu, tapi ... cuka kamu yang bikin aku penasaran dan akhirnya jatuh hati," lanjutnya dengan senyum.
Suasana restoran ayam goreng Amerika itu mendadak terasa sunyi meski hilir mudik orang di sekitar.
"Kamu sok puitis kayak penulis novel romantis, Nick!" ujarku menahan senyum.
"Aku memang ...," ucapannya terhenti begitu saja dan perlahan kunyahannya melambat sebelum tersenyum.
"Memang apa?"
"Memang puitis," ucapnya sambil tertawa.
Kami melalui malam dengan ceria. Berbagi tawa dan canda. Benar kata Tante Ayu, Nick memang makhluk ceria, bersamanya aku merasa kembali hidup. Benar-benar hidup.
Esok paginya aku terbangun dan segera menyambangi Nick ke kamarnya. Namun, kamar itu kosong pasti dia sudah pergi. Aku segera mandi dan mengecek ponsel, ada pesan dari Nick dan mendapati pesan. Sebuah alamat lengkap dengan peta.
Aku memesan taksi sarung dan melaju ke sana. Tepat di sebuah hotel kawasan Kuta, Nick terlihat bersama seorang wanita bule. Mereka asyik mengobrol dengan rapat.
Tangan Nick memegang kamera dan matanya nggak lepas dari wajah cantik di hadapannya. Diam-diam aku mengamati mereka dari jarak lumayan jauh. Nick terlihat bekerja sendiri tanpa asisten. Memang di hadapan mereka terdapat beberapa produk minuman yang sepertinya bermerek sama. Ada juga beberapa orang yang sepertinya dari klien Nick.
Mataku nggak lepas dari aktivitas Nick bersama perempuan itu. Sepertinya memang mereka cukup akrab, terbukti wanita berambut kuning itu beberapa kali terbahak. Satu yang membuat darahku mendidih adalah perempuan itu selalu bergelayut manja pada Nick setiap tertawa.
Mereka memang berdiri bersisian dengan jarak sangat dekat. Kupikir tubuh perempuan itu sengaja ditempelkannya pada Nick. Entah mengapa hatiku sakit melihat itu meski mereka berada di tempat umum dan mungkin dalam rangka bekerja.
Nick pasti senang diperlakukan seperti itu.
Niatku untuk mendekat pada Nick urung. Akhirnya aku melangkah cepat sambil menahan sesak.
Lebih baik aku membaca novel dan melanjutkan mimpi jadi Cinderella. Memang cinta hanya dongeng. Seperti itulah yang kurasa. Nick, nggak beda dengan laki-laki lain.
***
*fobia pada cinta (mencintai atau dicintai)
Mepet, maafkan emak rempong ini. Kritik saran boleh banget.
Salam,
Nofi
Tangsel, 14 Agustus 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top