Bab. 11 Nick: Selangkah Lebih Maju

Berbekal informasi dari Tante Ayu mengenai Yama akhirnya gue putuskan untuk mencari tahu tentang pria tua tapi penuh kharisma itu. Gue sebagai sesama kaum bisa merasakan besarnya aura jantan lelaki itu, meski tubuh tingginya nggak seatletis bule tampan ini. Nggak bermaksud sombong atau narsis tapi itu faktanya.

Sepeda motor gue pacu dengan kecepatan sedang, kebetulan hari ini pemotretan pre-wedding ambil lokasi kawasan Kota Tua dan Ancol, jadi nggak makan waktu banyak untuk sampai ke restoran Yama di Mangga Besar. Mata gue dengan gampang menemukan restoran milik Yama karena memang paling luas dan konsep yang beda dengan sekitar yang mayoritas menjual Chinesse Food dengan nuansa merah dilengkapi lampion warna senada.

Gue masuk ke area bernuansa tradisional Indonesia yang benar-benar nyaman. Menuju kasir dan bertanya, "sore, maaf mau tanya Pak Yama ada?" Seorang perempuan muda berseragam hijau muda dengan nama restoran terbordir di dada atas sebelah kiri mengangguk dan kemudian memanggil seorang temannya.

"Maaf, ini dengan siapa?" tanya perempuan yang baru saja dipanggil oleh si kasir.

"Ehm, bilang aja Nick teman Diva," ujar gue sedikit ragu.

Sejenak gue ragu dengan jawaban yang baru saja terlontar. Apa Yama kenal gue? Diva mungkin saja pernah bercerita tentang pertemuan kami, tapi mungkin juga nggak.

"Ada yang bisa saya bantu?" tegur sebuah suara yang terdengar sangat datar, tanpa emosi, atau ekspresi apapun di dalamnya. Gue yakin itu Yama. Suara itu sedatar tampangnya.

"Oh, hai, Bro. Kenalin gue Nick," sambut gue ceria dan mengulurkan tangan seraya bangkit dari kursi yang letaknya hanya beberapa meter dari muka kasir.

"Ada perlu sama saya?" Yama memberi gue isyarat agar kembali duduk, dan dia pun menyusul mengambil tempat di seberang meja. "Kalau boleh tahu, Anda siapanya Diva?"

"Gue ... fotografer yang tempo hari kerja bareng Diva waktu di Bali."

Yama mengangguk. Wajah bersih pria itu nggak punya ekspresi misalnya kaget, muak, atau apa gitu dengar laki-laki muda yang tampannya maksimal ini menyebut nama teman wanitanya. Kalau gue mungkin nggak segan menarik kerah kemeja terus menghadiahi bogem mentah ke pria nekat model begini.

"Ada apa dengan Diva?"

Elah, pertanyaannya bikin gue ingat film fenomenal enam belas tahun lalu di mana Nicholas Saputra nyosor Dian Sastro, semoga Nicholas yang ini juga sukses melakukan hal yang sama ke Diva Samaira. Gue senyum-senyum mirip orang sinting. Oke, gue coba mengabaikan otak yang mulai korslet.

"Sorry, sebelumnya apa lo nggak keberatan kalau gue panggil, Bro? Dan pakai lo-gue kayaknya lebih santai," berondong gue ke Yama yang masih duduk kaku di seberang meja dengan kemeja pink yang pas di badan. "Itu kalau ... lo nggak keberatan, sih," ucap gue sambil nyengir dan menggaruk kepala yang nggak gatal. Asli gue tegang, bukan takut, tapi lebih ke ... perasaan nggak enak.

"Santai aja, panggil sesuka lo." Senyumnya terbit meski masih dengan ekspresi datar. Apa memang dia sekaku ini setiap saat?

"Oke, gue takut dibilang kurang ajar, sih," ucap gue basa-basi, "tapi gue pikir usia kita nggak begitu jauh beda." Gue nyengir lagi, aduh gawat kenapa gue serba salah begini? Gue lebih suka pedekate sama Al dan Tante Ayu yang jauh lebih welcome sama kehadiran pria tampan musim ini.

"Usia gue tua, Nick." Terdengar sebuah tawa ringan meski singkat. "Ngomong-ngomong apa tujuan lo ke sini?"

"Gue ... mau tahu hubungan kalian bagaimana? Maksud gue, status kalian ... itu ... apa?"

Berat banget cuma mau tanya begitu. Payah, lo Nick! Sebuah tatapan intens gue dapat dari Yama, dan itu bikin kerongkongan terasa kering. Kayaknya gue butuh asupan cairan supaya nggak dehidrasi menghadapi kedataran pria ini. Benar-benar payah.

"Kami bersahabat, sudah lama."

"Yam, boleh gue pesan minum dulu?"

Dia tertawa, lalu memanggil salah satu karyawan dan menyuruhnya membuat minuman sesuai pesanan gue.

"Gue lihat kalian sama-sama tertarik," ucap Yama.

Gue kaget, sekaget-kagetnya.

"Gue nggak salah denger?" Badan gue condong ke depan memburu Yama yang terlihat santai di kursinya.

Dia mengangguk. "Lo mesti kerja keras untuk itu," tegasnya. Jus jeruk datang dan kami menyedotnya bersamaan. Yama menawari gue makan, tapi perut yang tadinya lapar mendadak kenyang dengan topik menarik kami.

"Apa yang mesti gue lakukan? Karena di mata gue, Diva nggak kayak cewek lain yang dengan gampang didapatin," berondong gue ke Yama. Pria itu tersenyum simpul dan mendekatkan wajah penuh kharismanya ke arah gue.

"Gue adalah orang pertama yang akan bikin perhitungan sama lo kalau Diva sampai terluka lagi," ancamnya serius.

Gue mundur sejenak mencerna kalimat itu. Tenang tapi mengerikan, itu Yama. Gue ngeri membayangkan apa yang akan dilakukan Yama jika benar sampai Diva terluka.

"Gue benar-benar serius sama dia, bahkan masa lalunya yang bikin perasaan ini makin dalam," aku gue jujur sambil menatap Yama penuh keyakinan. Yama mengangguk.

"Gue akan bantu, tapi tolong belajarlah jangan memaksa! Dia akan semakin sulit lo gapai saat merasa dipaksa."

Gue mengangguk setuju.

"Thanks, gue nggak nyangka lo sebaik ini. Tadinya gue takut lo marah-"

"Not at all. Gue selalu berusaha bikin dia bahagia."

Tatapan Yama menerawang ke luar.

"Sorry, apa lo benar-benar nggak punya perasaan khusus buat Diva?"

Dia hanya tertawa parau kayak menyembunyikan sesuatu. Ah, yang penting usaha gue didukung penuh sama dia, malah mau bantu segala. Kini giliran gue yang harus siap mental, mengingat Diva punya trauma dan fobia yang bahkan nggak pernah terbayang sebelumnya.

"Oiya, sorry to say, motor lo sepertinya mesti pensiun dini kalau niat dekati Diva. Dia nggak akan pernah mau lo bonceng apalagi meluk," senyumnya tertahan. Gue sedikit tercengang.

"Alasannya?"

"Dia nggak akan mau bersentuhan sama laki-laki. Nah, iya, kalau lo berpikir dengan jadi pacarnya akan bebas nyosor atau ngelonin dia, mending mundur dari sekarang!"

Deg! Eh buset, muka gue mesumnya otentik kali, ya, sampai Yama tahu pikiran gue yang ngeres?

"Siapa yang nggak pengin, sih, nyium pacar sendiri apalagi secantik dan seseksi dia, tapi lo nggak usah khawatir, iman gue masih lumayan kuat, kok. Gue janji sebagai laki-laki."

"Gue pegang janji lo, ya!"

Gue mengangguk setuju. Akhirnya, satu langkah berhasil gue lewati hari ini. Semoga semakin lancar dan gue bisa hidup bahagia sama wanita tato matahari itu. Ya, keinginan gue sesederhana itu.

Gue pulang dengan semangat membara. Bergegas mandi dan berganti pakaian meski hanya kaus dan jins pendek tapi setidaknya penampilan gue terlihat segar. Nggak lupa pemutar musik menyala dengan lagu 'Mawar Merah' milik Slank mengalun dan entakkan kecil yang sukses mendapat protes dari Ibu Ratu Ros di balik pintu.

Dengan sedikit kesal gue kecilkan volume dengan masih menyanyikan lirik-lirik jadul itu dengan semangat.

Memang penampilanku juga rupaku selenge'an
Memang gaya hidupku tak teratur pengangguran (kata orang sih)
Tapi kuyakin dia bahagia kar'na di mawar merahku yeahhh

"Turun dulu makan malam! Perempuan jaman sekarang mana mau sama laki-laki pengangguran?" Ibu Ratu Ros membacakan maklumat.

***

Aduh, babang tamvan selangkah lebih maju, ada yang senang ngga nih sama kemajuan usaha doi? Atau malah setuju Diva menjalani semua kenyamanan bareng Yama?

Sok atuhlah boleh komen, emak renjer terima semua komen.

Kritik saran, kripik pedes juga mau, apalagi gratis.

Salam, Muach

Nofi

Tangsel, 11 Agustus 2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top