Bab 1. Nick: Wanita Unik
Gue Nick si Bule tampan. Kerjaan gue, selain nulis, ya, tukang foto. Yaelah, murahan banget, ya, kerjaan gue? Eits, jangan salah, gue bukan sembarang tukang foto. Gue ini bisa dibilang fotografer profesional.
Saat ini gue lagi ada jadwal pemotretan untuk produk bikini. Wow, menggoda banget, nggak, sih? Laki-laki mana yang matanya nggak melotot kalau lihat perempuan berbikini. Surga dunia bangetlah jadi fotografer, terlepas dari susah payahnya usaha mendapat foto terbaik yang kadang harus rela tiduran di jalanan demi angle sempurna. Kali ini gue bawa Jery buat jadi asisten. Bukan tikus yang di kartun itu meski namanya mirip. Dia teman main gue dan Adhi di masa lalu. Dari main gundu sampe tamiya, kami selalu bertiga.
Di sinilah gue menunggu model yang belum juga datang. Di vila pribadi milik keluarga Adhi yang akan kami pakai untuk pengambilan gambar hari ini. Kebetulan kolam renangnya lumayan keren untuk latar foto. Sebenarnya klien minta latar pantai, tapi model enggak mau dan akhirnya kami terdampar di vila bernuansa hijau penuh rerumputan ini. Bambu hias mengelilingi bangunan. Kesan asri sekaligus sangat privat karena tingginya melebihi bangunan. Satu yang juara adalah sejuknya, gue benar-benar akan melewati hari ini dengan paru-paru bersih tanpa asap.
"Nick, modelnya mana, sih?" kesal Jery yang sudah selesai memasang peralatan pendukung sejak tadi.
"Nggak tahu gue juga."
"Sorry, gue telat," gumam sebuah suara. Suara lembut yang seperti enggak asing di kuping gue. Ah, gue ngigo kali.
Gue dan Jery kompak menoleh. Kami berdua yang sejak tadi duduk di sofa ruang tengah vila, langsung berdiri menyambut sosok seksi itu. Senyum miring gue terkembang, berbeda dengan perempuan berambut cokelat kemerahan itu yang nampak kaget melihat gue. Dia perempuan yang duduk sebelahan sama gue di pesawat kemarin. Namanya Diva.
"Hai, Div," sapa gue dengan senyum lebar, "bener kata gue kemarin, ya, kalau jodoh pasti ketemu," kelakar gue. Diva nampak kurang nyaman dan terkesan menghindar, beberapa kali bibir bawahnya digigit seperti menahan gugup. Model seksi seperti dia biasanya langsung nempel fotografer muda yang tampan macam gue, tapi kenapa Diva malah terlihat takut? Apa muka gue mirip Valak?
"Oke, gue ganti pakaian dulu," katanya.
Jery menunjukkan kamar ganti buat dia. Sudah tersedia lima setel bikini yang harus Diva kenakan untuk pengambilan gambar hari ini. Untung saja klien tidak rempong masalah latar, dia setuju hanya menggunakan satu lokasi asal angle sempurna. "Lo kenal sama dia, Nick?" selidik Jery.
Gue sengaja enggak langsung jawab, malah ketawa kecil yang bikin Jery kesal. Jery kepo banget jadi orang. Dia malah lempar gue pakai botol air mineral yang habis ditenggaknya, untung nggak kena bibir bisa-bisa hilang pesonanya nanti. "Gue bareng dia di pesawat kemarin," terang gue sambil berjalan menyusul Jery ke arah kolam renang, "duduk sebelahan selama satu jam lima puluh menit nggak bikin cewek itu naksir gue, Jer. Anjir, dia beda dari cewek kebanyakan yang langsung pasang muka terbaiknya saat dekat gue." Tiba-tiba kepala gue yang sudah dalam posisi dekat dengan Jery mendapat toyoran. Sialan Jery.
"Sok tampan, Ci,"* sungut Jery.
"Udah dari lahir," jawab gue enteng sambil duduk di kursi yang sudah gue siapkan untuk memotret. Saat itulah Diva keluar hanya dengan berbikini. Sexy woman is real. Sesaat jiwa laki-laki gue merasa terbius.
"Oke, gue siap," ujarnya singkat tanpa ekspresi. Diva menggelung rambutnya ke atas menampakkan leher jenjangnya yang jilat-able itu. Eh, ada tato di leher belakangnya gambar matahari. Keren.
Kami memulai sesi pertama. Diva memang sudah terlihat profesional terbukti dari pose-posenya yang mendekati sempurna. Bikini pertama selesai, lalu dilanjut yang ke-dua dan ... lancar. Kemudian bikini ke-tiga dengan potongan yang ... aduh, menggoda iman banget. Gue takut bakal jadi laki-laki brengsek kalau lama-lama lihat yang beginian. Semoga Tuhan memberi kelancaran dan setan-setan dipenjara.
"Diva, kakinya agak dibuka dikit!"
Dia seperti kehilangan aura profesionalnya yang selama dua jam tadi sangat terlihat. Apa mungkin karena bikini yang dia pakai dirasa terlalu seksi? Entah. Beberapa kali perintah gue seperti diabaikannya. Dia mulai menunduk dan menggigit bibir kemerahan yang mengundang hasrat itu. Dia gugup? Usaha gue mengingatkan dari jauh kurang berhasil. Gue mendekat untuk membantunya berpose seperti keinginan klien. Baru saja tangan gue sedikit menyentuh kakinya, Diva menepis kasar dan matanya menatap gue katakutan. Astaga, apa gue semenyeramkan itu di mata Diva?
"Minggir!"
"Sorry, tapi gue cuma mau bantu lo di pose sempurna seperti sebelumnya," ucap gue. Dia masih terlihat takut. Bahkan kalau gue enggak salah lihat, badannya sedikit gemetar. Apa, sih, masalahnya? Seingat gue, Jery maupun gue enggak macam-macam dari tadi.
"Jangan sentuh gue, please!" pintanya dengan masih menatap gue seperti ketakutan. Gue mengangguk meski bingung. Gue hanya berharap pekerjaan selesai dan terima honor secepatnya. Itu cukup.
"Oke, siap, ya!" seru gue sambil mengacungkan jempol kanan ke atas dari balik kamera. Badan gue sedikit membungkuk karena tripod memang dipasang enggak terlalu tinggi. Dari angle ini kecantikan Diva terlihat berkali-kali lipat. Sempat sedikit terpesona meski akhirnya segera sadar.
"Gue ke toilet, ya," bisik Jery yang sukses bikin gue kaget dan fokus berantakan. Sialan memang, di tengah debaran jantung yang lagi nggak menentu menahan gejolak malah dibikin kaget, kan, kampret! Melihat gue yang hilang fokus, Diva terlihat lebih kacau dari sebelumnya. Wajahnya mendadak pucat dan napasnya agak tersengal. Gawat, mungkin harus istirahat dulu. Sekalian gue juga menenangkan pikiran yang sudah mulai kacau. Bagaimana enggak kacau kalau pemandangan menggiurkan begitu terjangkau di depan mata, tapi harus menjaga pura-pura enggak lihat? Tahan? Entah.
"Kita istirahat dulu aja kalau lo capek," ujar gue penuh simpati. Diva hanya mengangguk dan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan berjari lentik itu, lalu berlari ke arah kamar ganti. Beberapa saat gue mengamati hasil jepretan dan enggak terlalu buruk hasilnya. Semoga klien puas.
"Diva itu aneh, ya?" Jery tiba-tiba muncul. Lumayan kaget, sampai-sampai jantung gue yang baru saja normal detaknya, sekarang mulai berpacu lagi. Mirip jurig memang sohib gue yang satu itu.
" Sedikit. Baru kali ini gue nemu model yang kayak dia. Di saat model-model lain berlomba menarik perhatian gue, dia malah ketakutan."
"Lo aja yang mupeng dan terlalu narsis, Bro!" semburnya sembari mengeluarkan sebatang rokok. Segera gue rebut batang laknat itu dan melemparnya sembarangan setelah patah jadi dua. Gue nggak suka asap, apalagi itu asap rokok. Nggak sehat buat badan dan kantong, Bro.
"Nope! Ini wilayah bebas asap," sengit gue sambil membuka botol berisi jus buah yang tadi gue bawa dari rumah Adhi, lalu menenggak setengah. Jery manyun dan akhirnya mengalah. Jery memang selalu begitu, enggak pernah protes sama nasihat teman-temannya.
Gue teringat Diva. Wanita itu belum juga keluar dari kamar ganti. Sebenarnya apa yang terjadi sama wanita bermata cokelat muda itu? Gue masuk ke ruang tengah dan duduk menunggu Diva di sofa.
"Diva, mulai lagi, yuk!" teriak gue. Pintu bergeming dan enggak nampak akan ada sesosok tubuh seksi keluar dari sana. Gue menarik napas dan coba menenangkan diri. Huft, sabar, Nick!
********
catatan:
*kamu, dalam bahasa sehari-hari (kasar) di Bali, biasanya digunakan untuk yang sepantaran atau teman main, kadang ada yang menyebut juga dengan 'cai'.
Maaf kalau cerita ini gaje ya, memang baru segini kemampuan menulisku saat ini. Kritik saran membangun aku tunggu, dan terimakasih yang mau menyempatkan baca.
Plot hole mungkin ada di mana-mana, boleh banget kalau berkenan bantu perbaiki.
Semoga lancar sampai akhir.
Tangsel, 1 Agustus 2018
Nofi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top