6. Ini Bukan Ciuman!

"Dara! Woy, bangun luh! Udah jam berapa, nih!" teriak Dyandra, adik satu-satunya Dara sambil menggedor pintu kamar kakaknya sekuat tenaga.

"Bilang Mama, gue berangkat sekolah jam tujuh!" sahut Dara yang masih bersembunyi di balik selimut tebalnya. Namun tiba-tiga dia teringat akan sesuatu yang penting baginya, "Oh iya, Dy! Bilangin Mama juga, sisain sarapan buat gue nanti!"

Bagi Dara, soal perut itu nomor satu. Pertama dan yang paling utama itu mengenyangkan perutnya. Tanpa peduli badan mungilnya akan melebar. Masalahnya itu tidak akan mungkin! Karena perawakannya memang sudah kurus dari kecil. Tapi bukan kerempeng, ya!

"Kalo nyisain lo, mah, yang ada gue gak kebagian!" seloroh Dyandra.

Meski usia mereka selisih dua tahun, gadis feminim yang memiliki nama Dyandra Stefanni itu tidak pernah menyebut nama Dara dengan embel-embel kakak. Mungkin karena dia lebih tinggi tiga senti dibanding Dara, membuat Dyandra merasa sepantaran dengan kakak mungilnya itu.

Setengah jam kemudian.

Kriiinggg

Cklek.

Kali ini Dara mematikan alarm tanpa merusak wekernya. Sambil mengumpulkan nyawanya, gadis itu duduk di pinggir ranjang dengan mata tertutup. Sekitar lima menit kemudian, dia menyambar handuk, lalu berjalan gontai menuju kamar mandi.

Rasanya sangat berat untuk membuka kedua matanya. Ini pasti karena semalam gadis itu tidur terlalu larut. Memikirkan kira-kira apa misi pertamanya untuk menyengsarakan sang Ketos. Malah, lebih bagus kalau dia berhasil melengserkan cowok angkuh itu dari segala jabatannya. Biar dia sadar dan tidak merasa berada di atas langit lagi!

Duk

"Aw-" lirih Dara sambil mengusap-usap jidatnya yang terasa nyeri. Barusan itu kepalanya sukses menghantam pintu saat hendak masuk kamar mandi, lantaran dia lupa membukanya lebih dulu sebelum masuk. Bodoh memang.

Tepat pukul tujuh kurang lima menit, Dara menuruni dua anak tangga di setiap langkahnya. Lalu mengambil dua tumpuk roti tawar yang sudah diselipkan selai cokelat di tengahnya. Pada pukul tujuh teng, dia baru bersiap untuk berangkat ke sekolah. Gadis itu sengaja datang telat ke sekolah, karena satu-satunya cara menantang sang Ketos yang selalu tunduk pada aturan, ya dengan melanggar aturan.

Yap, Dara bertekad akan melanggar setiap peraturan yang ada mulai hari ini. Dengan segala ulah yang dia perbuat, sudah otomatis akan menyeret sang Ketos ke dalam ruang lingkup masalah tersebut.

Ngomong-ngomong, pagi ini kondisi jalanan sangat macet. Hampir seluruh pengemudi berlomba menekan tombol klaksonnya masing-masing. Bagusnya gadis itu sudah biasa menghadapi situasi seperti ini. Dengan lincah dia menyelip bersama si Inem.

Bahkan, Dara nekat menanjak trotoar demi memperlancar perputaran roda Inem alias benda yang selalu dijaga Dara dari dulu. Sebab apa? Sebab, itu benda peninggalan Papanya yang sudah tiada sejak dia kecil.

Di luar prediksi Dara, ternyata yang ditugaskan untuk mengawas anggota penegak kedisiplinan sekolah hari ini bukan Andra, melainkan Thalia!!! Padahal Dara sangat antisipasi untuk berurusan dengan cewek yang satu ini. Karena itu artinya, semua bakal jadi runyam!

Yang ada di kepala Dara, Thalia pasti akan mempersulit dirinya untuk masuk kelas. Bukan cuma itu, Thalia bisa-bisa menjatuhkan hukuman yang di luar akal sehat manusia. Ah, iya! Satu lagi, jika mengadu ke Andra maupun ke guru BK soal Dara, pasti suka dilebih-lebihkan.

Pasalnya SMA Garuda sejak dulu mempunyai aturan yang ketat, sudah pasti tidak ada satupun murid yang berani melanggarnya. Termasuk pelanggaran ringan sekalipun. Dari ratusan murid, cuma Dara yang berani melanggar peraturan sekolah secara berulang-ulang.

"Kenapa telat?" ketus Thalia yang berdiri di depan Dara dengan jarak sekitar setengah meter, menatap Dara dengan tatapan laser.

"Macet, kak." Dara menyahut enteng.

"Sekarang lo push up lima puluh kali di lapangan!"

"Lima puluh kali? Di lapangan?" Dara ternganga masih belum yakin.

Thalia mengangkat sebelah alisnya. "Pendengaran lo gak bermasalah, kan?"

"Sadis!" gerutunya sambil memaksakan sendi-sendi tubuhnya berjalan ke lapangan. Sialnya, kali ini Thalia mengawasi dengan mata empatnya! Jadi dia tidak akan bisa kabur seperti waktu lalu.

"Waktunya cuma lima belas menit. Lewat dari itu, terpaksa gue bawa lo ke ruang BK."

"Tiga belas. Empat belas. Lima belas." Dara diam sejenak, mengelap peluh di dahinya menggunakan punggung tangannya.

"Lanjutin," ucap Thalia yang masih betah berdiri di sisi kanan gadis itu sambil memerhatikannya.

"Enam belas. Tujuh belas. Delapan belas. Sembilan belas."

"Waktunya tinggal sepuluh menit lagi." Peringatan Thalia setelah melihat arloji biru yabg melingkar di tangannya.

"Tiga puluh satu. Tiga puluh dua. Tiga puluh tiga. Tiga puluh-"

"Thal, lo ditunggu bu Rita. Kelas lo ulangan Matematika hari ini." Tiba-tiba saja Andra datang, dan suaranya berhasil memekakkan telinga Thalia dan Dara.

"Iya, sepuluh menit lagi." ujar Thalia dengan ekspresi yang berubah total jadi lebih manis saat berada di dekat Andra.

"Mending lo ke kelas aja. Ini biar gue yang urus."

"Oh, oke." Thalia percaya, Andra pasti tau betul bagaimana cara menghadapi murid semacam Dara.

"Bangun."

Dara menoleh. Dilihatnya Andra berdiri tegap menggantikan Thalia. Wajahnya terlihat memaparkan keangkuhan yang sempurna.

Gadia itu berdiri. Dan dengan terang-terangan dia menunjukkan ketidaksukaannya pada si Ketos. Kemudian dia mengibas-ngibaskan telapak tangan dan roknya yang dihinggapi pasir.

"Kenapa lo bisa dihukum Thalia?" Pertanyaan yang singkat diiringi dengan sorot mata mematikan.

"Telat."

"Kenapa bisa telat?"

"Kejebak macet."

"Lo tau jam berapa sekarang?"

"IQ lo sempurna. Prestasi lo banyak. Masa jam aja gak tau? Gue kasih tau, ya. Sekarang tuh baru jam-setengah-delapan-kurang-lima-belas-menit!" ucap Andara penuh dengan penekanan.

"Tau jam, tapi masih aja telat. Makanya, punya otak itu dipake. Biar gak karatan!"

"Kan gue bilang kejebak macet!" Gadis mungil itu masih tetap bersikukuh tidak ingin disalahkan, meski nyatanya sudah jelas kalau dia memang salah.

"Terserah lo mau alesan apa aja. Sekarang gue ganti hukuman lo lari keliling lapangan tiga kali." timpalnya tegas dan dingin. Tidak ada senyuman. Secuil pun.

"Gila! Tadi gue udah push up hampir empat puluh kali, dan lo mau gue lari keliling lapangan tiga kali?!" Dara terperangah. Kok masih ada, ya, manusia sekejam Andra?

Dengan santai cowok itu mengangguk.

Dara berusaha untuk bersikap tenang dalam menanggapi cowok robot yang satu ini, agar emosinya bisa teratur. "Gini, deh, kalo lo emang mau bunuh gue secara perlahan ngomong aja langsung. Biar gak ada dendam pribadi."

"Jangan banyak omong. Lakuin sekarang. Waktunya cuma sepuluh menit. Sebelum kepsek dateng." kata Andra to the point.

Ketika Dara sedang berlari dan Andra mengawasi di pinggir lapangan, sebuah avanza silver milik bu Zainab memasuki kawasan parkir SMA Garuda. Wanita berusia 50 tahun itu berjalan menjinjing tas kecil diiringi suara ketukan selopnya.

"Selamat pagi, bu." Andra menyapa ramah sambil tersenyum, lalu membungkukkan badannya.

"Pagi." balas bu Zainab. "Andra, kenapa masih ada aja murid yang telat? Sebagai ketua OSIS, kamu itu harusnya bisa mengarahkan murid-murid yang tidak patuh peraturan sekolah menjadi lebih baik!" semprot bu Zainab.

"Iya, bu. Maaf. Saya pastikan besok kejadian seperti ini gak akan terulang lagi." ujar Andra menjanjikan.

"Kalau gini terus bisa-bisa nama baik sekolah kita tercoreng."

"Iya, bu. Sekali lagi saya minta maaf." Hanya itu yang bisa Andra lakukan.

"Baiklah, saya percaya sama kamu." Wanita itu kembali berjalan menuju ruangannya yang berada di lantai dua.

Siapa, sih, yang tidak merasa dongkol jika ikut terseret ke dalam masalah yang tidak dia perbuat? Tidak terkecuali Andra. Dia bukan Nabi yang memiliki kesabaran berlipat ganda.

Langit terlihat mendung. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Benar saja, tiga detik berikutnya turun rintikan gerimis dari badan langit. Dara sempat bingung, hukumannya belum seleasai. Tetapi gerimis sudah mulai berganti hujan. Mengetahui Andra sudah berada di koridor, tanpa ba-bi-bu lagi Dara menghampiri cowok itu.

"Sialan banget, tuh, cowok! Masa ngebiarin gue kena ujan gini!" gerutu Dara sambil berlari menghindari air hujan yang bulirnya semakin membesar.

"Lo baru lari dua kali!" Andra berseru, tetap pada komitmennya. Tidak peduli dengan cuaca yang tidak memungkinkan.

"Eh, lo gila, ya? Masa gue mesti lari di tengah ujan gini!" protes Dara yang masih berlari ke arah Andra. Bersiap memaki cowok itu tanpa pandang jabatannya.

Namun lantai koridor yang licin, membuat kaki gadis itu tergelincir dan...

BRUKK

Tubuh mungilnya menubruk Andra. Napas keduanya tertahan seketika, saat tanpa sengaja bibir Dara mendarat tepat di atas bibir Andra. Waktu serasa berhenti mendadak. Apalagi ketika mata mereka saling bertemu.

Mau Andra ataupun Andara, dua-duanya langsung bangun. Bergegas menuju kelas masing-masing. Gelagat mereka berubah menjadi kaku seperti robot. Niatnya untuk memarahi Andra mendadak surut.

"Ini bukan ciuman!" Batin mereka terus menyangkal satu sama lain.

_____________________________________________________________

To be continue...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top