9 Kuntum
Silca meregangkan tangannya ke atas, meredam rasa lelah karena bekerja sedari malam hingga dini hari. Entah sekarang jam berapa, syukurlah pesta sudah berakhir.
Sebagai pelayan yang diletakkan di dapur belakang, Silca memang tidak begitu banyak mondar-mandir. Ia dan beberapa omega lain sengaja ditempatkan di bagian paling tidak terjangkau para tamu, kepala koki bilang untuk menghindari hal-hal tidak diinginkan.
Meskipun begitu, pekerjaan di belakang juga melelahkan. Semalam suntuk Silca hanya mengupas kentang, mencuci piring dan gelas, menggosok buah-buahan, dan seterusnya, dan seterusnya. Kemudian setelah semuanya usai, Silca tidak kunjung ke kamarnya, duduk di kursi dapur dengan kepala tergeletak penat.
Mengantuk sekali. Ingin segera tidur tapi tidak punya tenaga kembali ke kamar.
"Gila! Gila! Gila!"
Tiba-tiba seorang pelayan yang ditugaskan di bagian depan datang membawa kehebohan sewaktu memasuki dapur. Pelayan lainnya mengernyit, bertanya-tanya.
Pelayan itu pun duduk di samping Silca tanpa permisi, dan segera dikerubungi yang lainnya. "Ada berita heboh."
Mendengar pembukaan yang begitu bersemangat, semua pasang mata pun membuka lebar-lebar telinga mereka. Tidak sabar mendengar ada gosip apa gerangan dari ballroom mewah di depan sana.
"Ada seorang laki-laki omega yang datang ke pesta!"
Ooh, hanya lelaki omega, batin Silca mencemooh.
"Delapan belas tahun dia seorang beta, dan baru tiga tahun lalu menjadi omega. Bayangkan betapa harumnya omega telat mekar yang satu ini. Terlebih ...." Pelayan itu menggantung kalimatnya, menatap satu demi satu mata yang menyorot penasaran padanya. Kemudian dengan lebih dramatis, dia melanjutkan. "Terlebih, dia adalah seorang ahli waris dan bangsawan dengan gelar. Betapa luar biasa seorang omega yang bisa mempertahankan gelarnya. Bayangkan itu!"
"Waaah."
"Saat dia berjabat tangan dengan Master Gekko, mereka benar-benar seperti lukisan malaikat dan iblis. Tapi, tapi kukira keduanya cocok. Seperti yang sering Master bilang, 'kan? Yin dan yang."
Sebagian besar pelayan mengangguk-angguk.
"Tahu siapa namanya? Julius Turner, Marquess of Dumfriesshire, putra Duke of Queensberry. Kalian tahu, 'kan bangsawan penguasa Dover yang sering mondar-mandir ke rumah ini?" Cerita sempat terhenti karena mengambil napas sangat panjang, kemudian dilanjutkan dengan suara berbisik yang penuh praduga. "Dan kurasa, dia adalah calon suami paling potensial untuk Master, mengingat betapa cocoknya mereka jika bersama."
Semua orang mengangguk lagi, tapi Silca tidak ingin melakukannya. Entah mengapa, dia tidak setuju dengan ucapan pelayan tersebut. Tidak setuju dalam hal apa, Silca 'tak tahu.
Ia pun tanpa sadar menunduk, melihat jemari kasarnya sendiri yang bertautan di atas paha. Perasaannya mendadak tidak terasa baik, dan Silca tidak tahu alasannya.
.
Blossoming
.
Pukul empat pagi, Silca tak kunjung pergi ke kamarnya. Masih betah bertahan di dapur, beralasan membantu koki untuk mengelap buah apel yang akan dihidangkan sebagai sarapan nanti. Rasa mengganjal dalam hati adalah alasan lain ia tak ingin cepat-cepat kembali ke kamar.
Akan tetapi, di dapur bersih yang hanya terisi dua orang itu, tiba-tiba ada yang datang. Ketika melihat ke pintu, ternyata ada Gekko yang sudah berganti pakaian dengan kimono hitam sederhana ber-obi putih gading.
Silca mendesah kecewa. Dalam hati, ingin juga melihat Gekko mengenakan gaun cantik seperti di pesta. Apa daya, ia bahkan tak diizinkan keluar dari dapur selama pesta berlangsung.
"Master Gekko? Ada yang bisa saya bantu?" Seorang koki pria berdiri usai mengelap tangannya menggunakan serbet bersih, menghampiri Gekko yang masih betah di ambang pintu.
"Bisa tolong ambilkan beberapa botol anggur? Dan siapkan camilan untuk sepupu-sepupuku."
Koki tersebut mengangguk, lalu pergi begitu saja ke luar. Mungkin ke tempat penyimpanan anggur di bawah tanah.
Masih di ambang pintu, mata kelam Gekko melihat Silca yang tak balik memandangnya, tampak asik sendiri dengan buah-buah apel yang harus digosok mengilat.
Akhirnya kaki pucat itu melangkah, mendekati omega yang pagi ini aromanya tercium lelah bercampur gundah. Usai duduk di kursi yang berseberangan, tak urung sebuah pertanyaan meluncur cepat. "Tidak istirahat?"
Sayangnya hanya ditanggapi gelengan.
"Suasana hatimu sedang buruk?"
Tangan yang menggosok lemah itu pun berhenti, kepala mendongak, memperlihatkan iris hitam keruh yang tampak lesu dan berkaca-kaca. "Sepertinya," jawab si omega.
"Karena?"
Omega itu hanya menggeleng, kepala kembali menunduk, tangan menggosok-gosok apel lainnya.
"Besok tamu yang datang akan lebih banyak. Sekarang pergilah istirahat."
Lagi-lagi menggeleng. "Tidak ingin istirahat."
Gekko mengernyit mendapati tanggapan tanpa semangat itu. Ia mencondongkan tubuhnya, tangan terulur untuk menyentuh kening di balik poni hitam berantakan.
Mendapat kejutan demikian, Silca reflek mendongak dengan mata membulat.
Mata sehitam onyx dan keruh arang saling betatapan. Mencipta gelenyar aneh yang merambat dari ujung kaki, tengkuk meremang seperti terembus angin musim dingin. Sejenak, suasana di sana seperti membeku.
"Tidak panas."
"Eh?"
"Tubuhmu tidak panas. Hanya sedikit hangat. Sebaiknya cepat kembali ke kamar."
Kebekuan yang lenyap itu menimbulkan rona merah pada pipi Silca. Ia memalingkan wajah ketika Gekko menarik tangan dan duduk seperti semula.
Untung saja, sebelum semuanya menjadi lebih canggung, koki yang tadi pergi sudah kembali dengan beberapa wine di atas troli.
Kesempatan, Silca pun beranjak berdiri. "Aku sudah selesai. Selamat malam." Usai meletakkan lap kotor, ia berlari meninggalkan dapur.
.
oOo
.
Tidak tahu bagaimana perasaannya sekarang, baru kali ini Silca merasa sesuatu seperti menghimpit jantungnya. Dia jarang sakit hati, tidak juga sering bersedih atau merasa iri. Namun, sejak pembicaraan terakhir tentang Gekko dan seorang omega bangsawan yang diagung-agungkan para pelayan, sebuah gelombang pekat seolah meluap dari jantungnya. Terus meluap hingga karang yang tinggi pun tidak sanggup membendungnya.
Ia iri, sakit hati, dan benar-benar merasa sedih.
"Sial!" Tangannya yang mengepal sedari tadi, meninju tembok berlapis kayu jati. Tiba-tiba ia ingin menangis, tapi, untuk apa? Jika menangis pun, apa ada gunanya? Apa air matanya bisa mengubah ketidakberdayaannya sekarang?
Mendebas kasar, Silca kembali berjalan lemah menuju kamarnya.
Di saat yang begitu kusut, datanglah Harry Gray dengan aroma alphanya yang menakutkan. Di lorong yang panjang dan remang-remang, semerbak gairah dan perasaan ingin memiliki terhirup kuat, Silca menggigit bibir dan ingin saja berteriak minta tolong.
"Kau, Silca?"
Sialnya lagi, Harry Gray mengenalnya. Tidak juga membiarkan Silca segera pergi dari hadapan. Terlebih, tidak peka akan keadaan omega yang sudah mulai pusing kepalanya.
"Benar, Tuan." Suara yang dikeluarkan agak merintih.
Seingatnya, Silca tidak pernah punya trauma dengan alpha. Ia tidak pernah tersudut atau dilecehkan secara jasmani. Hanya saja, setiap seorang alpha mengembuskan berahi yang kuat, ia akan mengerut dan berkeringat dingin.
Sering kali sebuah ingatan menari bagai kilat. Menyambar-nyambar lalu menghilang. Tubuhnya seakan membentuk pertahanan sendiri, seperti teringat sebuah perlakuan yang tidak mengenakkan semasa kecil. Namun, perlakuan apa? Oleh siapa? Kapan dan bagaimana? Sampai di sana, Silca tidak pernah menemukan jawabannya. Hal itu juga salah satu alasan mengapa ia mengasingkan diri usai kematian orang tuanya.
Hampir dua tahun ini juga Silca tidak pernah bertemu seorang alpha. Buruknya, di rumah Gekko mulai berdatangan para alpha yang tidak bisa seperti Gekko.
Berhadapan, bisa Silca hirup aroma kuat dan mendominasi. Kentara sekali jika Harry menaruh minat lebih padanya.
"Apakah kau pelayan baru Gekko?"
"Iya, Tuan." Tak berani menengadah, Silca mengalihkan perhatian dengan memandangi ujung sepatu Harry yang berkilau.
"Hmm ... pantas saja aku tidak pernah melihatmu sebelumnya." Tangan yang besar tidak tahan untuk merengkuh rambut belakang Silca, lalu mendongakkan wajah yang sedari tadi tertunduk. Tanpa sadar, jemarinya juga ikut mengelus tengkuk tanpa pelindung baja. Tiba-tiba saja ada selongsong hasrat yang terbuka, ingin menggigit, ingin menandai. Gejolak berahi merembes memenuhi udara.
Betapa lemah omega di depannya, betapa pekat aroma manis yang disemburkan. Harry tahu jika kondisi seperti itu tidak bisa dikontrol, tetapi, aroma omega memang seperti dupa perangsang. Seolah-olah omega perawan di depannya memang sengaja menggodanya. Siapa yang tahan? Alpha mana yang bisa bertahan?
"Tu-tuan, maaf saya harus segera pergi." Silca mencicit, berusaha sekuat tenaga membuka mulut di saat tubuhnya gemetar ketakutan.
Aroma dominan Harry Gray sangat menakutkan. Sama sekali tidak seperti Gekko, sangat berbeda jauh dari Gekko. Silca benci aroma alpha yang berahi. Mereka seperti predator di padang savanna, seperti singa kelaparan yang mengincar kelinci pingsan. Siap melahap dengan sekali gigitan.
"Sa-saya permisi, Tuan ...."
Usaha yang sia-sia. Ketika kaki yang gemetaran milik Silca berusaha melangkah pergi, tangan Harry Gray yang sekuat beruang telah lebih dulu mencengkeram pergelangan tangan si omega.
Sentuhan tangan Harry di pergelangan tangannya membuat Silca tiba-tiba ingin muntah. Takut sekali, takut sekali.
Apa yang diinginkan alpha ini? Ingin pergi, ingin pergi jauh sekali.
"Tidak ... tidak mau. Jangan menyentuhku!" Suara Silca yang biasa selembut permen kapas, kini melengking seperti jeritan.
Sulung Gray tiba-tiba tersadar. Tubuh memucat di depannya tampak tidak wajar. Memandang seolah Harry adalah predator dari hutan belantara.
"Hei, tenanglah, tenanglah. Aku tidak akan melakukan apa-apa denganmu." Di situasi yang membingunkan ini, Harry tidak bisa mengatakan hal yang lebih baik lagi.
Namun, seseorang yang ketakutan itu tidak mau mendengarkan sama sekali. Tangan Silca meronta-ronta, mencoba melepas cengkeraman yang tak kunjung melonggar.
"Hei, hei, tenang."
Tiba-tiba saja, satu tangan Silca yang lain melayangkan sebuah tamparan ke pipi kanan Harry Gray.
Mata alpha yang sebelumnya mulai tenang itu, kembali membara. Kini dengan rasa marah yang entah datang dari mana. "Beraninya. Omega sialan!" Harry pun mencengkeram kerah kemeja Silca, tangan yang satu lagi seolah ingin membalas tamparan yang pernah ia terima.
Sebelum semua hal menjadi lebih tidak kondusif, tangan kecil Gekko menghentikan tindakan gegabah Harry Gray. Menyelamatkan Silca dari tamparan balasan yang mungkin lebih menyakitkan daripada yang ia berikan.
"Harry, kau mabuk. Kembalilah ke kamar, aku akan menyuruh pelayan menyiapkan teh untukmu." Suara tenang dan dingin Gekko seketika menyadarkan Harry yang nyaris kalap.
Putra Elaine itu melepas cengkeramannya, lalu memandang nanar pada Silca yang berurai air mata dan kedua telapak tangannya sendiri yang ikut gemetar. Hampir saja, hampir saja ia menyakiti seseorang karena tidak bisa mengontrol diri. Betapa memalukan. "Ya, kau benar. Aku sebaiknya kembali ke kamar."
Tanpa meminta maaf, Harry segera melenggang pergi. Sepanjang jalan kembali ke kamarnya sendiri, tangannya masih gemetar.
Melihat betapa menyedihkan keadaan Silca, Harry benar-benar merasa bersalah. Tentu saja, Harry sangat tahu kekalutan Silca. Feromon yang menyebar terhirup kuat sedang ketakutan. Awalnya, ia pikir itu hanya rasa kecemasan biasa, seperti omega-omega polos yang beringsut ketika didatangi alpha tidak dikenal.
Namun, semakin Harry mendekat, aroma gelisah terasa begitu kuat. Harry pernah sekali menghirup raksi yang sama. Mirip seorang kawan yang dulu pernah mendapat trauma mendalam, dan sekarang dipasung di dalam rumah karena menjadi gila.
Sebelum semua terlambat, suatu hari ia ingin meminta maaf.
.
oOo
.
Pada akhirnya, karena tidak mampu kembali ke kamar sendiri, Gekko mengantar Silca bahkan tanpa diminta.
Sebuah lilin menyala di tengah kamar yang gelap, memperlihatkan siluet seorang wanita muda yang duduk tenang di tepi ranjang. Bayangan di dinding menampilkan pertunjukan opera kecil yang tidak pernah diketahui siapa pun.
Seorang wanita alpha berwajah murung, menggunakan tangannya untuk mengusap-usap dahi omega yang tertidur. Sebelum lilin padam karena terembus angin, sebuah kecupan ringan mendarat di dahi yang sama.
.
TBC
Diperbaharui 2 Desember 2018
Diedit pada 03 Maret 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top