6 Kuntum

Silca menghirupi udara pagi dengan kedamaian sebagai pelayan baru. Meskipun dua hari ini sering disuruh-suruh para senior, tetapi karena sadar posisinya sekarang, ia pun takut mengeluh ketika diperintah.

Sebenarnya, ia juga tidak keberatan meskipun agak teraniaya. Baginya, yang paling penting adalah jatah makannya selalu cukup setiap hari. Dia pikir itu sebanding, kerja keras untuk makanan enak. Tidak ada yang salah.

Lagi pula, di rumah Gekko Hakai yang megah tak terkira ini, semua makanan disajikan dengan rasa yang luar biasa. Setiap kali Silca mengambil jatah makannya, kepalanya selalu ingin meledak karena terlalu lezat.

Jika koki di rumah Gekko bisa disembah seperti dewa, mungkin Silca akan menjadi salah satu penyembahnya.

Selesai merenung sejenak, Silca mulai menggerak-gerakkan sapu yang sejak tadi digenggam, menggiring dedaunan kering ke sudut di mana pelayan yang lain akan memasukkannya ke dalam kotak sampah. Ketika seembus angin datang, helai-helai kelam di depan dahi bergoyang pelan. Menebarkan aroma omega yang tidak kalah wangi dari kembang di bukit-bukit Hever.

Kemudian seorang bocah berseragam datang, berlari-lari kecil untuk berteriak di depan gerbang kastil. "Surat untuk Miss Hakai!"

Beberapa tukang kebun menoleh, tetapi tidak ada yang mau menghampiri. Semua orang sibuk pagi itu, hingga tidak ada yang terlalu memedulikan si pengantar surat.

Seorang senior pun akhirnya membuka suara. "Silca. Ambil surat itu, antarkan ke ruangan Master."

Seraya garuk-garuk kepala seperti monyet di pamflet sirkus, Silca pun mengambil surat dari bocah pengantar surat.

Sepanjang perjalanan ke ruangan Gekko, ia masih menggaruk kepalanya sesekali. Dalam hati sebenarnya agak khawatir, jangan-jangan di kepalanya ada kutu.

"Permisi, ada surat," ucapnya di depan pintu ruang kerja Gekko.

"Masuk." Suara Gekko menyahuti dari dalam.

Silca membuka pintu, nyengir sedikit sebelum akhirnya beranjak ke depan meja kerja sang majikan.

"Dari siapa?"

"Err." Lagi-lagi Silca menggaruk kepala. Ia pun menggeleng.

"Kenapa? Tidak ada nama pengirimnya?"

Tanpa berani menjawab, Silca serahkan surat itu kepada Gekko yang duduk penuh kuasa di kursi kerjanya.

Tangan pucat Gekko menerima surat bersetempel lilin, lalu membaca sekilas nama yang terukir di bagian depan amplop. "Nama pengirimnya tertera jelas,"ucapnya dengan mata menatap langsung ke wajah omega gugup di depannya.

Untuk menghadapi Gekko yang demikian mengerikan, Silca nyengir kecil. "He he he, aku kan tidak bisa membaca."

"Oh." Gekko mengangguk-angguk. "Kalau begitu nanti malam temui aku di Perpustakaan Besar."

"Untuk apa?"

"Untuk belajar baca tulis."

"Eh?!"

.

oOo

.

Beberapa kali Silca mendengar pembicaraan para pelayan, mengenai jadwal berkunjung ke perpustakaan atau bermalam di perpustakaan untuk menghindari istri yang mengomel.

Silca pikir, perpustakaan yang dimaksud adalah sebuah tempat terkenal di pusat kota. Namun, ternyata dugaannya keliru.

Pembicaraan itu menyangkut sebuah perpustakaan umum yang ada di dalam kastil milik Gekko. Letakknya ada di sayap kiri, paling ujung. Dengan luas cukup menakjubkan, dan koleksi buku yang tidak main-main.

Meskipun Silca tidak pernah datang ke perpustakaan umum, tapi ia yakin bahwa perpustakaan milik Gekko cukup bisa dikatakan agak berlebihan. Terutama dengan sebuah ruang bawah tanah, yang juga dipenuhi tumpukan buku.

Ketika Silca bertanya pada seorang pelayan, mengapa perpustakaan sebesar ini ada di dalam kastil seorang konglomerat. Jawaban yang diberikan membuat Silca garuk-garuk kepala.

Baru Silca tahu, jika Gekko adalah tipe orang yang memuja pendidikan.

Perpustakaan itu dibangun untuk para pelayannya--yang berjumlah sekitar dua ratus orang, belum termasuk pekerja di ladang-ladang. Pelayan dari kelas apa pun--entah itu kepala pelayan seperti Cherry sampai penjaga hutan yang jarang menjejakkan kaki di lantai kusam nan mewah--diwajibkan bisa baca tulis.

Satu bulan sekali pelayan harus menyetor kegiatan membaca, dan dicatat--tolong tulis kata dicatat dengan ukuran paling besar dan paling tebal--ke dalam sebuah buku kegiatan pelayan dan buku kelakuan baik.

Silca jadi menyetujui perkataan salah satu kenalannya dulu bahwa orang kaya memang cenderung agak gila. Untungnya, kegilaan Gekko berada di level yang bisa diterima.

"Kenapa kita ke bawah tanah?"

Dahi Silca mengerut ketika Gekko menggiringnya melewati tangga spiral menuju ruang yang lebih gelap. Meninggalkan perpustakaan atas yang cahaya lilinnya seterang ballroom para bangsawan.

"Di atas terlalu ramai. Aku yakin kau akan terus mengoceh selama belajar nanti."

Wajah Silca memerah. "Maksudmu aku akan mengganggu mereka, ya?"

Gekko mengangguk. Silca mengerucutkan bibir.

Ketika langkah kaki sudah mencapai ruangan gelap di bawah tanah, Gekko menyalakan korek api dan dibaginya kepada lilin-lilin di setiap wadah berkaki tiga.

Meskipun tidak seterang ruangan di atas sana, tetapi penerangannya cukup untuk melihat keadaan sekitar yang agak penuh sesak. Buku-buku berjejalan, beberapa ditumpuk di sudut atau di atas meja-meja. Satu dua tumpukan doyong, ada pula yang sudah roboh dan sepertinya tidak segera ditangani.

Pada salah satu kursi yang mengelilingi meja di tengah ruangan, Gekko meletakkan bokongnya.

Silca mengikuti. Ketika ia akan duduk di sisi yang berhadapan, Gekko menepuk kursi di samping. Menyuruh omega itu agar duduk berdampingan.

"Akan sulit mengajarimu kalau kita berhadapan."

Tentu saja Silca menurut. Ia duduk di samping Gekko dengan damainya. Sampai ia menyadari bahwa duduk di sebelah Gekko adalah sebuah ujian.

Aroma tubuh Gekko yang kuat menyerang inderanya. Meskipun bebauan itu sangat tenang tanpa sekali pun hasrat romantis, tetapi efeknya memang cukup mengganggu. Wangi buku dan kelembaban pun tidak sanggup menutupinya.

Silca yakin, Gekko pun sebenarnya bisa menghirupi aroma feromonnya. Terlebih sekarang ia sedang berdebar-debar, yang biasanya memicu produksi feromon lebih banyak. Namun, perempuan alpha itu memang terlalu dingin, dan mungkin tak acuh. Sebab tidak sama sekali terlihat terpengaruh.

Oh, bahkan saat Silca heat pun, Gekko memang tidak mengeluarkan reaksi apa-apa. Sangat aneh memang, hingga terkadang Silca meragukan jenis kelamin kedua Gekko itu.

Jangan-jangan dia bukan alpha. Sayangnya pemikiran seperti itu sering tertepis oleh aroma dominan Gekko yang menakutkan.

"Jangan memikirkan hal aneh-aneh. Kita di sini untuk belajar. Bukan berbuat asusila."

Silca ingin menenggelamkan wajahnya ke dalam lumpur. Semburat merah merambat di sana. "Maaf."

Pasti dia mencium aroma feromonku, batin omega itu malu.

Gekko menyiapkan beberapa kertas kosong, dan ada pula tumpukan kertas dengan tulisan abjad besar-besar. Sebuah pensil runcing diberikan untuk Silca, tetapi Silca tidak tahu bagaimana cara memegangnya.

Omega itu hanya memutar-mutar pensil di tangan, lalu tiba-tiba mulut jahanamnya nyeletuk. "Hei, kau ini benar seorang alpha, 'kan?"

Gekko diam, Silca yang baru sadar dengan ucapannya juga diam. Mereka berpandangan dalam hening, lalu Silca tiba-tiba merasa takut sudah salah bicara.

"Jika ingin bertanya, panggil namaku dengan benar." Untungnya Gekko segera mengalihkan pandangan, tidak tampak tersinggung.

Silca mengembus napas lega. "Maaf, Gekko. Dan maaf sudah bertanya yang bukan-bukan, tidak dijawab juga tidak masalah. Lupakan saja." Ia nyengir menutupi kebodohannya.

"Kenapa memangnya kau bertanya seperti itu?" tanya Gekko kemudian.

Aroma di sekitar masih tetap tenang, sehingga Silca tidak ragu untuk melanjutkan. "Urm. Soalnya kau terlihat sangat tangguh. Kau tahu, saat menghadapi omega heat. Bahkan ketika berdekatan dengan omega. Kau ini ... benar-benar berbeda dari beberapa alpha yang pernah kutemui."

"Hn. Sebenarnya itu bukan urusanmu."

Silca mencebik. Ia kira pertanyaannya akan dijawab dengan baik, tetapi ternyata tidak sesuai perkiraan. "Biar kutebak, kau mengonsumsi obat-obatan tertentu, ya?"

"Tidak."

"Urm ... kalau begitu jangan-jangan kau impoten."

Plak!

Sebuah gulungan kertas mendarat keras di kepala Silca.

"Hati-hati saat bicara. Mulutmu memang tidak punya tata krama."

Silca mengusap puncak kepalanya. Meskipun hanya menggunakan gulungan kertas, tetapi tenaga yang diberikan tidak main-main. Rasa sakitnya mengerikan. "Maaf," cicitnya.

"Memangnya kau mau aku menghamilimu? Sekarang pun bisa kulakukan. Tapi, aku masih memikirkan masa depanmu. Omega yang tercemar harganya sangat jatuh. Kau bahkan akan dipandang lebih hina daripada pelacur."

Kepala Silca menunduk dalam. "Iya, maaf."

"Lain kali, aku juga akan mengajarkan tata krama padamu. Terutama pada mulutmu itu."

"Iya, maaf. Kau pendendam sekali."

Namun, Gekko tidak lagi menanggapi. Ia pun memulai pengajarannya.

Ternyata benar keputusannya membawa Silca ke bawah tanah. Mulut omega satu itu lebih liar daripada yang diduga.

.

oOo

.

Pukul satu pagi, Gekko menyudahi kegiatan belajar-mengajar. Mata omega di sampingnya sudah beberapa kali tertutup, dengan kepala yang naik turun seperti kehilangan kekuatan leher untuk menyanggah.

Akhirnya Gekko membereskan kertas-kertasnya. Ketika ia akan mengajak Silca keluar, omega itu ternyata sudah menempatkan kepala di atas meja. Napas halus terdengar, dan poni yang jarang disisir ke belakang itu kini menutupi mata kanan.

Gekko terdiam. Memandang. Kepala ikut disandarkan ke atas meja, dan ia bisa meraskan napasnya yang bersahutan dengan Silca.

Dengan sadar, Gekko menggeser kursinya lebih dekat, hampir-hampir ia merasakan hidungnya akan bersentuhan dengan ujung hidung yang lain.

Satu lilin telah padam, sehingga suasana di dalam perpustakaan bawah tanah itu semakin temaram. Bisa Gekko lihat wajah Silca sedamai patung Bunda Maria di gereja -gereja.

Ternyata benar kata orang, melihat sesuatu yang indah memang dapat menentramkan hati. Baku Gekko pun lebih mengendur nyaman.

"Kau ternyata sudah sebesar ini."

Mata yang menyorot damai itu pun ikut terpejam.

TBC

Diperbaharui tanggal 17 Nopember 2018

Diedit pada 23 Februari 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top