3 Kuntum
Musim semi, segala hal yang tertidur mulai melebarkan mata. Hibernasi panjang usai, dan saatnya kembang-kembang mekar dalam perkawinan.
Di musim seperti ini pula Silca sudah mewanti-wanti dirinya sendiri. Sebab, masa mekarnya tidak akan lama lagi. Meskipun bukan yang pertama kali, tapi hari-hari di mana feromon meningkat sangat tinggi sangatlah berbahaya untuk seorang omega sepertinya.
Apalagi, dia tinggal seorang diri, tanpa ayah atau ibu yang menjaga. Tidak ada pula teman beta yang bisa diandalkan untuk mengawasinya. Sudah dua tahun seperti ini, berarti sekitar delapan kali mengalami masa panas seorang diri. Entah mengapa, Silca merasa keberuntungannya sangat tinggi.
Ia masih ingat, nasib memalukan tetangganya dulu. Seorang omega yang tidak sengaja heat di tengah desa. Hampir digigit alpha asing yang kebetulan ada di sekitar sana. Untung saja beberapa warga bersikap sigap dan segera mengungsikan omega tersebut.
Inilah mengapa, Silca sangat rajin mencatat waktu-waktu ovulasinya tiap tiga bulan sekali. Semua dicatat dengan rinci menggunakan kerikil yang dimasukkan ke dalam toples pemberian sang ibu. Maklum, sampai sekarang ia tidak bisa membaca, tidak ada yang mengajarinya.
Selain mencatat masa ovulasi, kemungkinan-kemungkinan seperti heat yang terlalu cepat dari jadwal pun sudah diperkirakan jauh-jauh hari. Sehingga lima hari sebelum masa itu tiba, Silca memilih mendekam di dalam rumah.
Tidak lupa segala bahan pangan dipersiapkan sedemikian rupa. Pintu dan jendela digerendel supaya tidak ada sesiapa yang mengganggu. Meskipun ia sangsi ada yang berkunjung ke rumahnya, mengingat ia sudah dua tahun ini mengasingkan diri ke dalam hutan.
Benar, tinggal di hutan sendirian akan lebih baik daripada di rumahnya. Sebuah rumah dengan tetangga yang menganggu, dan orang-orang gila yang selalu menyarankannya menjadi pelacur supaya bisa hidup lebih baik.
Nasib omega kalangan bawah memang tidak ada bagus-bagusnya. Bagi keluarga, mereka adalah beban. Bagi masyarakat, mereka adalah calon pelacur kelas atas. Mau bagaimana lagi, tidak ada perlindungan dari pemerintah, dan karena tidak punya uang, siapa pun bisa memperkosa tanpa takut dipenjara.
Selalu saja feromon omega dijadikan alasan atas tindakan brutal alpha-alpha bajingan. Katanya, omega yang heat kerap memicu keliaran, tidak sesiapa mampu mengendalikan naluri kebinatangan, lalu berakhirlah menjadi cerita pergumulan yang begitu bejat penuh dosa.
Banyak ceritanya, omega miskin yang mengalami heat pertama, lalu diperkosa, lalu dinikahkan dengan si pemerkosa. Kehidupan pernikahan pun menjadi porak-poranda. Tidak ada cinta di sana, hanya segelintir yang berakhir dengan baik. Mungkin bisa dihitung jari.
Bahkan untuk beberapa omega kalangan atas, mereka yang tercemar sebelum menikah sudah pasti diasingkan dari pergaulan, meskipun uang mereka cukup untuk membungkam mulut-mulut berbisa ketika sedang berhadapan.
Untuk itulah Silca merasa hidupnya beruntung. Saat dulu kedua orang tuanya masih hidup, dia selalu dijaga segenap jiwa. Dihindarkan dari orang-orang berperangai buruk, dilindungi dalam sangkar penuh cinta kasih.
Ketika orang tuanya meninggal, pilihan Silca untuk mengasingkan diri juga dirasa hal yang tepat. Buktinya, sudah dua tahun dia mampu bertahan di dalam hutan. Memakan sumber daya seadanya, dan kadang bertemu orang-orang baik yang membantunya. Tidak apa-apa belum menikah di usia delapan belas, asal tidak dipertemukan dengan alpha berengsek yang hanya menginginkan tubuhnya.
Lagi pula, meskipun omega, tapi Silca juga seorang laki-laki, dan dia masih takut sekali untuk hamil. Laki-laki dan kehamilan adalah dua hal yang begitu mengerikan. Dia belum siap untuk itu.
Katanya, omega laki-laki selalu mengalami masa sulit saat proses melahirkan. Perut mereka akan dibelah untuk mengeluarkan bayi. Lalu dijahit hingga menyatu kembali. Membayangkannya saja, Silca sudah ngeri.
"Hoaam." Silca menguap. Mengingat-ngingat singkat kehidupannya ternyata tidak begitu efektif membuatnya terjaga. Padahal pagi ini sangat cerah, tapi rasa kantuk mendera seakan tidak berujung, sedangkan kail yang mengambang di sungai belum juga disambar ikan.
Matanya pun bergerilnya ke sekitar, mengamati aliran sungai yang tenang, daun-daun bergemerisik tertiup angin hangat.
Hingga ain itu memincing ke sebuah sudut. Ada semak-semak yang bergerak cukup hebat, lalu dari sana keluar seekor hewan berbulu yang merintih kesakitan. Di kaki depannya ada bercak merah, apakah itu darah?
Silca berdiri. Hewan berbulu yang dilihatnya ada di seberang sungai, itu seekor serigala.
Ah, firasatnya tidak enak.
Terburu. Silca menyeberangi sungai yang airnya hanya mencapai dada. Tidak diindahkan pakaian yang basah, karena ia lebih terpaku untuk memeriksa serigala abu-abu yang kesusahan berdiri.
Entah mengapa tak ada rasa takut pada hewan liar yang sebenarnya bisa mencabik itu, mungkin sudah terbiasa. Lebih tepatnya, terbiasa melihat segerombolan serigala di seberang sungai ketika sehari-hari ia memancing dalam damai.
Silca tidak tahu apakah mereka serigala liar atau bukan, tapi mereka tidak pernah menyerangnya. Kelompok kecil serigala itu sering kali beristirahat di dekat sungai, sekadar minum atau meringkuk tidur di atas bebatuan.
Kadang, ketika mendapat banyak ikan, Silca kerap sengaja meninggalkan tiga sampai empat ekor di tepian. Padahal ia sendiri tidak tahu apakah serigala memakan ikan atau tidak. Namun, karena sering bertemu, jadi merasa ada ikatan.
Mungkin, karena hal itu juga serigala di hadapannya kini tidak memberontak sama sekali. Tatkala Silca melihat luka di kaki depan yang berdarah itu, ia menyadari bahwa ada peluru menancap di sana. "Pemburu?" batinnya was-was.
"Wah, ketemu juga."
Silca mendongak. Menatap seorang pria dengan senapan besar di tangan. Meskipun takut, tapi secara naluri ia memposisikan diri di depan serigala yang terluka. "Anda mau apa?"
"Oh, halo, boy. Aku sedang ada urusan dengan seekor buruan di belakangmu. Bisa kau menyingkir dan biarkan aku membawanya?"
Sudut bibir Silca berkedut. Ingin menyalak tetapi tak tahu harus berkata apa. Ia tidak begitu pandai menghadapi situasi seperti ini, bersikap diplomatis juga bukan keahliannya. "Apa tuan yang melukainya? I-ini serigala milik saya! Tuan harus bertanggung jawab karena sudah memburu hewan peliharaan orang lain. Jika tidak, saya akan melaporkan Anda ke polisi."
Namun, pemburu berbadan besar itu malah terbahak. Matanya yang culas memandang Silca dari bawah sampai atas. "Jangan bercanda denganku, boy. Orang miskin sepertimu tidak mungkin bisa membawaku ke polisi."
Silca meneguk ludah. "Saya tidak bercanda. Jika tuan tidak segera pergi, saya benar-benar bisa membawa kasus ini ke pengadilan!"
"Keras kepala!"
Bak!
Gagang senapan yang keras sukses menghajar pelipis Silca. Pemuda omega itu pun terhuyung, perlahan-lahan merasakan nyeri, dan ketika tangannya mengusap kepala, ada darah yang mengalir.
"Aku tidak sedang ingin bermain bersama anak kecil." Lalu sebuah tendangan pun dilayangkan ke tubuh Silca dengan keras. Tidak lupa satu kali lagi pukulan menggunakan gagang senapan. "Maaf, boy. Tapi aku buru-buru, atau kalau tidak, pemilik hutan ini akan datang menangkapku."
Cuih!
Silca bisa merasakan kepalanya diludahi, lalu tubuh limbungnya digulingkan memakai ujung kaki.
Pemburu itu berjongkok di depan Silca, lalu menjambak rambut belakang si omega untuk melihat wajah nyalang tanpa daya di sana. "Kuperhatikan lagi. Sepertinya kau seorang omega, ya? Laki-laki omega? Wah, kebetulan. Mungkin aku bisa sekalian menjualmu ke orang kaya di luar sana."
Cuih!
Kali ini Silca yang meludah.
"Berengsek! Beraninya menghinaku!"
Jambakan di kepala Silca semakin keras, lalu kepala itu didorong kasar hingga menyusruk tanah. Ketika Silca melihat pemburu itu mempersiapkan senapan untuk diarahnya kepadanya, ia mempersiapkan hanya bisa mepersiapkan diri untuk mati. Namun, entah mimpi atau bagaimana, tubuh besar si pemburu tiba-tiba melayang dan terlempar ke dalam sungai.
Tunggu-tunggu. Apa Silca berhalusinasi? Apa dia baru melihat seseorang terbang? Tidak mungkin.
Menggunakan sisa tenaga, Silca akhirnya bisa duduk dengan benar meskipun kedua tangan digunakan untuk menopang. Di hadapannya, ada sebuah bayangan hitam berdiri, menghembuskan aroma dominan yang luar biasa mengerikan.
Silca berkedip. Itu bukan bayangan hitam. Itu manusia. Lebih tepatnya, seorang gadis dengan gaun hitam tanpa menutupi mata kaki. Angin sepoi musim semi menerbangkan helai-helai kelam sepanjang punggung.
Ah, cantik sekali. Perpaduan antara sesuatu yang suram sekalius indah. Seperti malaikat maut. Silca tidak bisa berhenti memandang.
"Kau baik-baik saja?"
Kepala Silca mengangguk sendiri dua kali. Sedangkan matanya tidak henti-hentinya memperhatikan si malaikat maut. Dipantaunya dengan saksama malaikat maut yang berjalan tenang menghampiri pemburu di tengah sungai.
Bagai menonton opera desa di musim panen raya, Silca melihat dengan antusias ketika gadis berbaju hitam itu menghajar pemburu dengan ganasnya. Si pemburu diseret ke tepian, lalu kepala dibenturkan ke batu besar berujung runcing.
Anehnya, Silca tidak merasa ngeri dengan kebrutalan di hadapannya. Mungkin pikirannya hanya dipenuhi oleh kekaguman pada malaikat maut yang terlalu menawan.
Silca bahkan tidak peduli ketika si pemburu berteriak kesakitan, lalu pingsan dengan tubuh hancur tidak keruan. Oh, mungkin sudah mati.
"Kau terluka?"
Silca mengangguk lagi ketika malaikat maut menghampiri lalu bertanya padanya.
"Balut sendiri lukamu. Aku harus mengurus sesuatu dulu. Bisa bersabar?"
Sebuah sapu tangan putih disodorkan. Silca menerimanya, lagi-lagi sembari mengangguk. Seraya mengusap pelipis yang darahnya sudah mulai berhenti mengalir, Silca memperhatikan gadis bergaun hitam yang tengah menghampiri serigala abu-abu.
Gadis itu tampak mengeluarkan pisau kecil dari dalam saku gaun, lalu mengorek borok di kaki si serigala. Sebuah peluru yang menancap berhasil dikeluarkan. Gadis itu pun menyobek ujung gaunnya, digunakan untuk membalut luka yang menganga. Penuh kasih, gadis itu memeluk dan mengusap pelan binatang malang yang mendengking kesakitan.
.
oOo
.
Entah bagaimana ceritanya, segerombolan orang dengan perkakas medis sudah berkerumun di sekitarnya. Lebih tepatnya, berkerumun untuk mengurusi sekelompok serigala yang terluka. Sedangkan Silca sendiri hanya duduk tepekur di tepi sungai seraya mengusapi lukanya dengan sapu tangan putih.
Tidak disangka, rupanya banyak juga serigala yang tertembak. Pemburu tadi ternyata tidak sendiri, ia datang bersama beberapa orang, satu komplotan. Namun, alih-alih mendapat buruan, mereka kini terikat kencang, dimasukkan ke dalam kotak berjeruji. Mungkin sebentar lagi dibuang ke penjara.
Hah, Silca merasa lega.
"Master! Apa perlu mereka dibawa ke penampungan?" Seorang lelaki bertanya pada gadis berbaju hitam.
"Tidak. Mereka punya rumah sendiri. Kalian pantau saja luka mereka selama beberapa hari. Memanjakan hewan liar hanya akan membuat mereka terlalu lembek."
"Baik."
Setelah itu Silca menegakkan diri, karena gadis bergaun hitam menghampirinya dan duduk di hadapannya. Sekotak obat-obatan diletakkan di samping.
"Maaf karena mengabaikan Anda. Serigala-serigala itu tertembak, sehingga harus segera ditangani." Gadis itu berkata tanpa sedikit pun memberi kesan ramah, wajah datar tanpa berniat ramah tamah.
"Eh? I-iya. Tidak apa." Silca menjawab tergagap. "Lukaku juga berhenti berdarah," lanjutnya.
"Mari, saya obati luka Anda."
Silca tidak kuasa menolak. Ia biarkan tangan kecil pucat itu membersihkan lukanya dengan telaten. Lebih tepatnya, menangani tanpa basa-basi. Tidak mengindahkan ketika Silca mengernyit kesakitan. Tidak bertanya juga dengan keadaan Silca yang berantakan. Meskipun begitu, Silca tidak peduli, karena matanya terus saja terhipnotis pada sebentuk kehidupan asing di depannya kini.
Apalagi gadis itu mengeluarkan aroma yang menyenangkan. Seperti kayu manis, atau embun pagi, atau apel? Mungkin bunga mawar. Oh, mungkin aroma mawar di perkebunan apel yang masih ditempeli embun. Lalu, darimana kayu manis itu berasal?
Percampuran aroma yang unik, sedikit aneh. Tidak memabukkan, tetapi tidak membosankan.
Tunggu dulu. Mengapa gadis ini beraroma sangat kuat begini? Apakah dia alpha? Seorang perempuan alpha? Ah, ini pertama kali Silca bertemu dengan perempuan alpha. Mungkin karena itu dia bisa sebegini terpana.
"Terima kasih."
"Eh?" Silca mengedip-ngedip. Tidak lekas paham mengapa gadis alpha itu mengucapkan terima kasih. "Untuk apa?"
"Anda bersedia melindungi peliharaan saya."
Silca mengangguk saja. "Kukira mereka serigala liar."
"Benar, tetapi secara hukum mereka milik saya."
Oh, oh, begitu. Silca tidak begitu paham, tapi ia tak lantas bertanya macam-macam. Entah mengapa, tubuhnya mulai merasa tidak enak. Mungkin karena separuh pakaian yang basah, sehingga semriwing kecil angin menimbulkan gelenyar sekujur-kujur.
Napas menghangat. Tersendat-sendat.
Pandangan mengabur, ada air mata di pelupuk yang tiba-tiba menggenang di sana.
Tidak kuat. Tubuh omega itu rubuh menghantam tanah yang basah.
Aroma dominan tercium begitu kuat dari gadis bergaun hitam, Silca ingin menghirupnya terus. Ingin menghidunya tanpa henti. Bayangan-bayangan erotis sebuah penyatuan berkelebatan mendadak dalam kepala. Pikirannya pun seperti teracuni.
Ah, ingin sekali didekap pemilik aroma itu. Ingin tidur bersama tumpukan apel yang baru dipetik kala pagi. Ingin menenggelamkan diri pada embun yang dicelupi kayu manis.
"Alpha ... alpha ...."
Mulut basah itu pun tak berhenti mengocehkan hal-hal tidak senonoh. Sedangkan buah di antara kaki mulai terisi, dan cairan syahwat sudah mengalir melalui lubang yang ingin dirasuki.
Di tempat yang terbuka itu, seorang omega tiba-tiba saja mengalami ovulasi.
.
TBC _
Diperbaruhi tanggal 20 Oktober 2018(update 27 November 2019)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top