24 Kuntum

BLOSSOMING

.

Di kepala Silca saat itu hanya ada keinginan untuk segera menjumpai pujaan hatinya. Bahkan di pagi buta yang dingin, ia memaksakan diri untuk berdiri tegap menemui Yuki, mengatakan bahwa ia sedang baik-baik saja, bahwa feromon Yuki sudah tidak dapat memengaruhi tubuhnya.

Yuki yang sedang asik tidur, sampai melempar gelas dari meja nakasnya, lemparan yang keras itu mengenai pelipis Silca dan menimbulkan lebam sesudahnya.

"Antarkan aku pada Gekko, kau sudah berjanji," ucap Silca saat itu. Dia terdengar egois, seperti omega perawan di musim-musim harus dibuahi. Namun, ia tidak mau peduli, toh Yuki juga seperti itu padanya setiap hari.

Yuki yang kesal, akhirnya mengambil sebungkus kecil puyer di laci. Ia lempar obat itu pada Silca sebelum akhirnya berkata, "Minum itu dan bersiap pergi. Jika jam satu nanti kau belum siap, aku tidak akan sudi mengantarmu."

Tanpa berkata apapun lagi, Silca menggenggam bungkusan puyer itu sambil berlari kecil dengan wajah yang girang. Akhirnya, keinginannya untuk segera bertemu Gekko akan terwujud setelah berdarah-darah melewati hari-hari dengan Yuki.

.

Setelah itu, dengan perjalanan lebih dari enam jam menggunakan kereta kuda, Silca sampai di London, di depan rumah Francis John Russell yang sedang ramai dan gemerlap. Ketika ia ingin pergi ke pintu belakang usai turun dari kereta, Yuki malah mengajaknya ke dalam hall.

"Ikut denganku."

"Kenapa? Aku kan pelayan, mana mungkin bisa masuk ke ballroom."

Alis Yuki semakin menukik. "Memangnya siapa yang berani melarangku membawamu?"

Silca mencebikkan bibirnya. "Siapa yang mau berkelahi dengan orang gila sepertimu. Bahkan Yang Mulia Duke tidak akan mengambil risiko seperti itu."

"Tuh, tahu."

Walau sedikit enggan, tapi Silca akhirnya mengekor Yuki seperti seorang tangan kanan yang sangat dipercaya. Kadang ia merasa, selain menjadi seorang murid, ia juga seperti pengasuh. Tempramen Yuki yang sering tidak terkendali membuatnya harus memikirkan seribu cara supaya alpha berambut perak itu tidak lekas marah dan melempar barang padanya.

Lebam di tubuh Silca bisa menggambarkan segalanya.

Aku jadi khawatir dengan omega yang nanti akan bersamamu. Dia pasti sangat menderita.

Silca membatin prihatin.

Perjalanan dari halaman menuju hall utama tidak memakan waktu lama. Segera setelah Yuki mengeluarkan tanda pengenalnya pada penjaga pintu, ia dipersilakan masuk dengan mudah.

Tentu saja, Silca masih mengekor mirip anak itik di halaman rumah Gekko.

"Tuan Muda Yuki Hakai memasuki ruangan!"

Tamu yang masuk selalu diumumkan. Saat itu Yuki adalah orang paling terlambat, sehingga ketika pria itu masuk, seluruh mata menatapnya serempak.

Yuki itu seperti permata, bukan sembarang permata. Jika di dalam kotak ada sekumpulan permata, dan ada yang paling berkilau di antara mereka, itu pasti adalah Yuki. Bahkan jika ada gunung permata yang dikumpulkan seorang kolektor dari seluruh dunia, sudah pasti yang paling menarik perhatian juga adalah Yuki.

Itulah mengapa, di manapun Yuki berada, Silca tidak akan ragu jika orang itu menjadi pusat perhatian.

Hal yang lebih menjengkelkan adalah bahwa Yuki tahu nilainya, dan ia suka menjadi yang paling dilihat.

Berengsek sekali calon Kakak Ipar.

Lihatlah Yuki sekarang, berjalan dengan dagu terangkat tanpa menoleh ke sembarang orang. Rambut peraknya berkibar-kibar, lurus panjang seperti sutra mahal. Kulit yang putih dan bening bahkan bersinar di bawah lampu kandelir. Penampilannya itu bisa membuat seseorang mengira bahwa dia malaikat lewat yang ingin melihat dunia fana.

"Yuki Hakai." Seseorang memanggil, itu adalah Francis yang sedang berjalan pelan menghampiri Yuki. Di tangan kanannya ada segelas anggur, sehingga ia tidak perlu repot menyalimi Yuki. Lagi pula, dia memang tidak pernah menyalimi Yuki sepanjang hidupnya. "Kau membawa hadiah untuk putriku?" tanya Francis kemudian.

Yuki mengangguk pendek. "Kenapa kau jadi lebih tua, ya?" dan itu adalah kalimat pertama yang diucapkan setelah lama tidak berjumpa. Memang laki-laki kurang ajar.

"Kau menemuiku hanya untuk mengejekku atau promosi obat-obatan ibumu?" Francis menanggapi jengah. Walau begitu ia tidak bisa marah.

"Dua-duanya. Ibuku membuat krim untuk wajah, katanya bagus untuk mencegah keriput."

Francis tidak ingin berbasa-basi lebih panjang, sehingga ia menggiring Yuki ke tempat yang lebih privasi.

Silca mengikuti di belakang, mengekor terus-menerus walau tidak mendapat perhatian. Bukan sama sekali tidak diperhatikan, melainkan abai dari tatapan orang-orang. Bahkan, di tengah langkahnya mengikuti Yuki, ia bisa melihat seorang omega berpakaian putih sedang menatapnya dari kejauhan.

Ah, itu Julius Turner, seseorang yang rajin menempeli Gekko di manapun berada. Silca meliriknya sekilas, dan walau sedikit curiga karena raut wajah Juli yang tidak menyenangkan, tapi ia tidak berani mengambil angan-angan berlebihan.

Ia dan Juli tidak saling mengenal, tapi mereka sama-sama tahu jika mereka seperti tupai yang berebut berry terakhir di musim gugur.

Tanpa memperkenalkan diri, tanpa berdansa di keramaian, tanpa mencicipi sedikit pun anggur di gelas, Yuki dan Silca pergi begitu saja ke dalam rumah. Menyisakan pertanyaan untuk tamu undangan yang terheran-heran.

Siapa gerangan pria alpha berambut perak itu?

Siapa itu omega di belakangnya?

Walau Silca tidak mendapat perhatian sebanyak Yuki, tapi tidak bisa disangkal bahwa beberapa alpha sempat bertanya-tanya siapa namanya.

.

Bahkan Francis Russell yang terpandang itu juga merasa tertarik. Selain feromon Yuki yang berlebihan, samar-samar ia dapat menciup aroma manis seperti jus buah. Aroma yang membuat orang lain merasa haus dan ingin segera meneguk jus dalam gelas.

Ah, buah-buahan segar dari wilayah tropis, diminum di tepi pantai ketika musim panas dengan tambahan es batu yang dingin.

Francis kembali meneguk ludahnya lebih dari tiga kali selama ia berjalan menuju ruang tamu pribadinya. Omega di belakang Yuki sangat berbahaya.

"Di mana Gekko?" tanya Yuki ketika sudah duduk di sofa beludru bermotif bunga inggris. Francis ada di depannya, ikut duduk dengan menyilangkan kaki.

"Siapa yang tahu keberadaannya sekarang. Jika bukan di kamar, ruang kerja, mungkin di suatu tempat sunyi di rumah ini." Francis mengedikkan bahu, lalu meminta seorang pelayan untuk menyajikan minuman ke depan mejanya.

"Tapi Yuki, ngomong-ngomong siapa seseorang berbau harum di belakangmu?" tanya Francis tanpa basa basi. Senyumnya tipis tapi sangat manis, matanya menatap tajam tapi juga lembut. Pandangannya pada Silca seperti anak muda yang penasaran pada sebuah lukisan madonna bergaya romantisme, suci tapi juga indah nan menawan.

Melihat bagaimana Francis tertarik, senyum di bibir Yuki menjadi sedikit miring. "Kenapa? Kudengar kau sedang tidak mencari istri, kenapa tiba-tiba menanyakan dia?"

Francis menjawab ringan, "Tidak menikah lagi bukan berarti aku menjadi seperti kasim dari timur. Punyaku masih besar dan sehat, mana mungkin dianggurkan begitu saja."

Yuki ingin mencibir tapi dia mengurungkan niatnya. Pasalnya, walau keluarganya sangat bebas, tapi mereka sangat menaati aturan supaya hanya memiliki satu pasangan seumur hidup. Mereka tidak hidup selibat, tapi tidak juga sembarangan bermain ranjang. Jika dia mengatakan prinsip keluarganya pada Francis, ia merasa akan ditertawakan bahkan hingga bertahun-tahun lamanya.

Pada akhirnya, Yuki mendebas kecil sambil menyandarkan punggung ke sofa. Kepalanya mendongak untuk melihat Silca yang berdiri di belakangnya. "Sebaiknya jangan macam-macam. Dia punya Gekko."

Alis Francis terangkat satu. "Benarkah? Tapi kenapa malah baumu yang melekat padanya?"

Mendengar itu Silca secara spontan mengendus bahu kanan dan kirinya, memastikan apakah ucapan Francis benar adanya. Jika memang benar, bagaimana ia harus bertemu Gekko nanti?

Sial, gara-gara selalu bersama Yuki sepanjang hari, feromon mereka jadi menempel satu sama lain tanpa disadari. Bukan, bukan tanpa disadari, sepertinya hanya Silca yang memang tidak cukup mengerti. Yuki pasti sudah tahu hal ini sejak awal, tapi tidak mau memberi pengertian.

"Yah, ada lah. Akhir-akhir ini kami memang sering bersama. Dia cukup menghibur untuk menemaniku menghabiskan hari-hari di sini." Yuki berucap seenaknya, tanpa peduli jika ucapannya bisa menimbulkan banyak persepsi janggal.

Lihat itu, bahkan Francis Russell sudah memincingkan matanya hingga tinggal segaris tipis. "Apa yang bisa dilakukan seorang omega untuk menghibur alpha poten sepertimu?"

Yuki mengulum senyum miring. "Pikirkan sendiri, otakmu tidak sekecil tahi udang, 'kan?"

"Sialan." Francis memutar matanya. Ia kemudian berdiri dan berpamitan untuk kembali ke ballroom yang hangat. Bersama Yuki terlalu lama bisa membuat darah tingginya kumat. Lebih baik pergi dan menemui putrinya yang cantik dan terhormat.

Usai pintu ditutup dari luar, Yuki membaringkan dirinya di sofa, kembali bermalas-malasan seperti pengangguran.

"Kau akan tetap di sini? Bisakah aku mencari Gekko sekarang?" tanya Silca kemudian.

"Iya, iya, pergi saja. Sana, hus hus." Yuki melambaikan tangan, mengusir Silca secara frontal.

Mendapat perlakukan tidak sopan dari Yuki sudah menjadi makanan sehari-hari, sehingga Silca tidak begitu peduli. Ia segera melangkah pergi dengan sedikit berlari, berharap bisa cepat menemukan Gekko dan memeluk alpha-nya itu sepanjang malam ini.

.

Silca tahu jika rumah Francis Russell sangat besar, walau tidak lebih luas dari wilayah milik Gekko, tapi rumah perkotaan ini sebagian besar adalah bangunan tinggi nan megah. Bahkan taman pun semuanya tertata rapi, tidak begitu banyak pepohonan rimbun atau semak liar, sangat berbeda dengan rumah Gekko yang Silca kenal.

Rumah Gekko lebih klasik, lebih kuno dengan halaman yang lebih luas; pepohonan di mana-mana, dibiarkan menjadi hutan dan liar. Silca suka berada di tempat seperti itu, membuatnya merasa lebih aman dan leluasa bergerak. Berada di perkotaan, di rumah-rumah modern yang rapi, sedikit membuatnya kurang nyaman, entah mengapa.

Di rumah Francis Russell, Silca menggunakan kemampuan sosialisasi yang beberapa bulan ini ia pelajari. Ia menjadi pria muda yang sopan, tersenyum manis, dan tampak terpelajar. Jika bertemu pertama kali, mungkin orang-orang menganggap dia adalah anak orang kaya yang mendapat banyak pendidikan resmi; jalannya tegap, pakaiannya rapi, dan bahasanya halus seperti cendekiawan. Tidak sia-sia Gekko memaksanya belajar sampai malam.

"Permisi, Nona. Anda tahu di mana ruang kerja Miss Gekko Hakai berada? Saya datang dari Hever dan harus menyerahkan beberapa dokumen," ucap Silca ketika berpapasan dengan dua orang gadis pelayan yang mendorong troli makanan.

Seorang gadis dengan rambut coklat dan bintik-bintik di wajah sempat terdiam, memandangi Silca dengan mata membola dan wajah yang perlahan memerah. Namun, beberapa saat kemudian ia mampu menjawab walau sedikit gugup, "Ah, ruang kerja Miss Hakai, ada ... ada di sana. Di sana." jarinya menunjuk lurus ke arah berlawanan ia datang.

"Di sana?" tanya Silca seraya tersenyum manis.

Gadis itu mengangguk cepat. "Iya, iya. Di sana. Lurus dan belok ke kiri. Ada di sana."

Melihat temannya yang tidak bisa diandalkan, gadis pendorong troli satunya, yang berambut hitam dan sedikit lebih tinggi, akhirnya menyela, "Jalan ini lurus saja, sampai ada persimpangan pertama, Anda belok ke kiri. Lalu lurus sampai ujung sayap. Di sana ada pintu double dengan vas mawar di sisi kanan dan kirinya. Itu adalah ruangan Miss Hakai."

"Aah, begitu. Terima kasih banyak, Nona-nona. Saya beruntung bertemu kalian berdua. Kalau begitu sampai jumpa."

Namun, saat Silca sudah melangkah tiga kali, ujung belakang pakaiannya ditarik pelan. Itu adalah gadis dengan rambut coklat yang malu-malu saat bicara.

"Itu, maaf. Nama ... nama Anda siapa?" tanya gadis itu.

Tersenyum kecil, Silca menjawab, "Saya Silca."

"O-oh, Silca ...."

Teman si gadis rambut coklat sedikit menghardik, mengatakan bahwa tindakan temannya tidaklah sopan. Akhirnya, gadis rambut coklat pun membiarkan Silca pergi begitu saja, walau wajahnya tampak kecewa. Setidaknya dia sudah tahu nama Silca, kapan-kapan mereka pasti bisa bertemu lagi, 'kan?

Silca menghela napas kecil, bahkan walau sudah sedikit jauh, ia masih dapat mendengar pembicaraan singkat dua gadis itu.

"Jangan sembarangan menanyakan nama orang tidak dikenal. Bagaimana kalau dia adalah orang penting!"

"Tapi, dari pakaiannya, walau orang penting setidaknya dia bukan bangsawan, 'kan?"

"Bangsawan atau bukan, kau tidak sopan."

"Mau bagaimana lagi, dia tampan."

"Iya sih, dia memang tampan. Seandainya dia bekerja di sini, pasti akan banyak yang tertarik padanya. Sepertimu sekarang."

Setelah Silca berbelok, suara dua gadis di sana sudah tidak terdengar lagi. Silca pun menghela napas untuk ke sekian kali. "Ha ha ha, seandainya mereka tahu aku ini omega."

Ya, walau wajahnya disukai, tapi ketika seorang gadis tahu bahwa Silca adalah omega, biasanya mereka cenderung waspada. Mau bagaimana lagi, nilai omega bisa lebih tinggi atau lebih rendah. Hal itu kerap membuat para beta was-was, merasa tidak aman.

Apalagi, Silca adalah seorang pelayan yang bisa naik karena disukai seorang majikan kaya raya. Walau bukan bangsawan, tapi pelayan yang menjadi majikan adalah sesuatu yang selalu diimpikan. Lebih-lebih lagi, Silca bukan seorang selir, bukan istri ke dua, bukan juga seorang simpanan. Dia adalah satu-satunya, seseorang yang akan menjadi istri sah seumur hidup.

Ia hanya seorang yang tidak berpendidikan juga tidak punya marga. Saat nanti Gekko meminangnya, orang-orang akan mengatakan bahwa dia pasti berlagak menjadi juragan yang memerintah.

Memikirkan hal itu saja membuat tubuh Silca merinding sebadan-badan. "Untung Gekko bukan bangsawan, untung dia bukan bangsawan," syukurnya berulang-ulang.

.

Di depan pintu berdaun dua, Silca berhenti sejenak. Samar-samar ia bisa mencium aroma seseorang yang dirinduinya beberapa hari ini. Wangi segar dan suci yang selalu membuatnya merasa damai dan nyaman ada di balik pintu itu, mungkin sedang menunggunya, mungkin juga sedang menekuk wajah karena pusing memikirkan pekerjaan.

Namun, saat Silca mengetuk pintu, yang menjawab adalah suara laki-laki.

"Siapa?" tanya suara berat dari dalam ruangan.

Silca tidak lantas menjawab, mematung karena sedikit terkejut. Bukan karena Silca tidak tahu siapa yang sudah menjawabnya, tapi karena sudah tahu ia semakin enggan untuk mengeluarkan suara.

"Siapa?!" suara laki-laki itu semakin meninggi.

Silca masih tidak mau menjawab, yang ia dengar hanya suara langkah kaki. Ketepak sepatu yang dengan tenang dan mapan saat menjejak lantai.

Pintu pun dibuka, dan Silca terpana seperti biasa.

"Kau datang."

Silca mengangguk. Seseorang yang membukakan pintu tersenyum padanya, memberi rasa senang yang sangat berarti.

"Gekko! Siapa itu?!" laki-laki di dalam ruangan bertanya penasaran, nada suaranya lebih tinggi daripada sebelumnya.

Orang yang membuka pintu, Gekko, menengok ke belakang sekilas, lalu dengan suara yang dalam berkata, "Aku pergi. Kembalilah ke ballroom."

Laki-laki dalam ruangan, Vincent Keighley, melotot tidak percaya. Ia bahkan belum sempat berkata apa-apa ketika Gekko dengan cepat menutup pintu dan pergi begitu saja meninggalkannya.

Sedangkan di luar ruangan, Gekko segera menggenggam tangan Silca dan menyeret omeganya ke ruang pribadinya. Bukan ruang untuk bekerja, melainkan ruangan peristirahatan untuk dapat menempeli bunganya dan menghisap madunya.

.

TBC_

21-10-2023


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top