20 Kuntum

Blossoming

.

Aroma lembut seperti hujan rintik di dalam hutan menyerebak pelan di dalam kamar yang temaram. Silca merasa familiar, sehingga matanya yang sejak tadi terasa lengket mampu ia buka walau terpaksa.

Benar saja, ketika ia melihat ke samping ranjangnya yang nyaman, ada seorang wanita dengan rambut panjang sedang asik membaca buku di depan perapian. Sosok yang mungil dan misterius itu tampak bersahaja walau hanya dilihat dari samping.

"Gekko ...."

Gekko menoleh, melambaikan tangan pelan.

Silca menghirup udara panjang, menghidui wangi Gekko yang menyelimutinya entah sejak kapan. Ia pun menyingkap selimutnya, lalu berjalan menghampiri Gekko dengan bertelanjang kaki. Saat itu ia hanya memakai piyama putih selutut, kakinya yang jenjang terlihat mempesona walau dalam kegelapan.

"Sudah lama di sini?" tanya Silca pelan. Ia berhenti di samping Gekko, menundukkan kepala untuk mengecup sudut bibir wanitanya sekilas. Hal itu terasa begitu kasual, entah mengapa ia tidak merasa malu-malu seperti hari lalu.

"Baru saja," jawab Gekko singkat. Ia menutup bukunya ketika Silca duduk di sofa lainnya. "Apa tubuhmu masih sakit?"

Silca menggeleng. "Tidak. Entah apa yang dilakukan Yuki. Aku hanya ingat bahwa dia menyuruh Anie memapahku ke kamar dan membiarkanku heat sendirian. Saat bangun, kau sudah ada di sini. Aku merasa lega."

"Dia memberimu penawar saat kau sudah pingsan," terang Gekko.

Silca mengangguk seolah mendapat pencerahan. Senyumnya kecil walau terlihat agak terpaksa. "Dia bilang akan memberiku obat seperti itu sampai bulan depan. Aku harap aku tidak overdosis," ungkapnya seraya terkekeh.

"Tidak akan overdosis," sahut Gekko pelan. "Dia memberi obat yang sesuai dengan kemampuan fisikmu."

Silca mengangguk lagi. "Apakah semua Hakai selalu melakukan pelatihan seperti ini?"

"Ya."

"Kau juga?"

"Ya."

"Sejak kapan?"

"Bahkan sebelum aku mekar."

Kali ini Silca tersenyum canggung, merasa prihatin pada Gekko, tapi di sisi lain ia bangga dengan pencapaian kekasihnya. Hanya saja, kenapa sebuah keluarga begitu ketat dalam pendidikan penerus mereka? Apa yang keluarga itu lakukan sampai harus melalui latihan hingga berdarah-darah? Apa sebenarnya pekerjaan mereka?

"Semoga aku bisa bertahan hingga minggu depan," keluh Silca. Ia menyenderkan punggung dan kepalanya ke sofa, menyamankan diri di depan perapian yang hangat.

"Kau orang yang tekun dan teguh, pasti bisa bertahan."

Mendengar Gekko memujinya tanpa sungkan, Silca menegakkan punggungnya lagi. Tatapan matanya seperti lemur yang kebingungan. "Rasanya ini pertama kali kau memujiku."

Namun, Gekko tidak menanggapi. Wanita itu malah menolehkan kepala untuk melihat perapian. "Jika memang tidak kuat, aku yang akan melindungimu dari keluargaku sediri," ucapnya terdengar sungguh-sungguh.

Silca pun tersenyum tipis, memandangi Gekko dengan hikmat dan penuh perhatian. "Kalau kau berkata begitu, aku jadi tidak ragu untuk meneruskan pelatihanku. Terima kasih, Gekko."

Gekko akhirnya mau menoleh kembali, bersitatap dengan Silca seolah ingin saling menerkam.

Sayang sekali, momen yang indah harus berakhir ketika Anie mengetuk pintu, memberi tahu bahwa Yuki sudah menunggu di tempat latihan.

.

.

.

Tidak salah jika Gekko menyebut saudaranya sendiri sebagai orang gila. Di dunia ini memang banyak orang tidak tahu aturan, tapi Yuki memang berada di level yang berbeda. Terlebih, selain tidak tahu aturan, Yuki juga orang yang tidak punya belas kasih.

Lihat Silca sekarang, harus melakukan latihan fisik malam-malam setelah ia bangun dari pingsan. Yuki juga tidak membiarkannya memakai pakaian tebal, padahal saat itu udara cukup dingin walau belum sampai terasa menggigil.

"Bukankah sekarang memasuki musim panas? Kau tidak akan kedinginan," ucap Yuki percaya diri. Kedua tangannya berada di pinggang, sangat percaya diri seperti bos besar. Di malam yang berangin, ia hanya memakai kemeja tipis yang tidak dimasukkan ke dalam celana. Penampilannya terlalu awur-awuran, sangat tidak bermartabat.

"Lalu, sekarang aku harus apa?" tanya Silca pada akhirnya. Di ujung jalan yang biasa digunakan menaiki bukit, ia hanya bersama Yuki. Gekko yang ingin menemani, diusir paksa oleh kakaknya sendiri.

"Untuk permulaan, yang gampang-gampang saja. Ayo lari ke atas bukit, dan turun lagi, naik lagi, sampai matahari terbit. Bagaimana?" senyum lebar menghiasi bibir Yuki. Sinar rembulan yang menyoroti wajahnya bahkan membuat raut bahagia itu semakin menyeramkan. Padahal wajahnya tampan, tapi kenapa dia sekarang terlihat seperti setan.

"Sampai pagi?" Silca memastikan.

Yuki mengangguk cepat dua kali, cengirannya tetap lebar dan bahagia.

"Kalau aku pingsan di tengah jalan?"

Kali ini senyuman di bibir Yuki sirna perlahan. Ia menggosok-gosok dagunya pelan dengan bibir yang bergerak-gerak maju. "Oh iya. Orang sepertimu kan mudah pingsan, ya?" tanyanya seperti baru menyadari sesuatu.

Tentu saj hal itu membuat Silca ingin sekali menampar orang tidak tahu simpati di depannya saat ini, tapi jika dilakukan pasti ia yang akan masuk rumah sakit lebih dulu.

"Aku tidak sepertimu, Tuan Muda Yuki," jelas Silca tersenyum kecut. Ia tidak berani memasang wajah memelas seperti ketika bersama Gekko, karena Gekko bilang bahwa Yuki tidak suka orang yang berpura-pura lemah dan meminta dikasihani.

Memang setan perak itu pikirannya tidak mudah dimengerti.

"Ya sudah, kalau nanti kau pingsan, aku yang akan membawamu pulang." Ide itu diutarakan dengan wajah riang tanpa rasa khawatir.

Padahal, bukankah sudah tugas Yuki untuk mengurus Silca selama masa pelatihan? Kenapa orang itu berkata seolah-olah membawa Silca pulang adalah sebuah bentuk kebaikan hati?

Silca geleng-geleng kepala sendiri, prihatin dengan sikap Yuki dan nasibnya sendiri. "Benar kata Gekko, kau memang tidak punya perasaan, Tuan Muda," celetuknya tanpa sungkan.

Namun, Yuki malah mengangguk-angguk ringan. Wajahnya datar seperti ikan mas koki yang bosan. "Terserah lah. Sekarang mulai berlari dan jangan banyak bicara. Jangan mengulur waktu."

Silca mengambil napas panjang, dan ia mulai berlari pelan ke atas bukit. Yuki mengikuti di belakang, berjalan cepat dengan kedua tangan di saku celana, bahkan angin malam yang kencang menerjang tak membuatnya kewalahan.

.

.

.

Satu hari berlalu, seminggu berlalu, dan bulan baru pun tiba. Selama masa-masa pelatihan bersama Yuki, banyak sekali rasa sakit dan lelah yang mulai menjadi kebiasaan untuk Silca.

Pagi ia dipaksa menahan heat yang tiba-tiba datang, sore ia harus belajar tata krama dan membaca berita di koran, lalu saat malam Yuki akan menggembleng fisiknya seperti seorang militer yang siap berperang.

Sebagai omega, bisa saja ia jatuh sakit hanya dalam beberapa hari, tapi pengalaman hidupnya yang panjang di dalam hutan, membuat Silca mampu bertahan walau cukup bersusah payah.

Setidaknya, Gekko selalu mengunjunginya setiap malam. Perasaannya yang berat selalu menjadi lebih baik setiap kali Gekko memberi pelukan.

Hanya saja, ini sudah hari ke empat, dan Gekko tidak mengunjunginya sama sekali.

"Apa dia sibuk, ya?" gumam Silca seorang diri. Di ruang makan yang tidak begitu besar, ia sudah terbiasa dengan ikan mentah dan teh hijau yang terasa pahit. Bahkan caranya memegang sumpit mungkin lebih baik dari Yuki.

"Siapa yang sibuk?" Itu adalah Yuki yang entah datang dari mana sambil membawa setoples biskuit coklat. Ia duduk di depan Silca, dan mulai memakan biskuitnya, sama sekali tidak tertarik dengan sashimi yang tampak menggiurkan.

"Gekko, sudah lama tidak berkunjung," jawab Silca. Berada satu rumah dengan Yuki selama berhari-hari membuatnya tidak lagi khawatir menjaga ucapan. Sebab, meskipun sudah berhati-hari bicara, tapi jika Yuki sedang murung, ia tetap akan dilempar gelas, batu, dan terkadang vas bunga. Orang gila di depannya memang tidak pernah bisa diduga-duga, sehingga Silca lebih memilih untuk menikmati kondisinya tanpa harus mengkhawatirkan perilaku Yuki yang memang selalu tercela.

"Sepertinya dia sedang ke London. Kau tidak tahu, ya?"

Silca menggeleng. "Dia tidak mengatakan apa-apa."

"Francis Russell, sedang mengadakan pesta untuk putrinya. Dia juga sedang membuka pasar perjodohan di rumahnya," terang Yuki.

"Pasar perjodohan?! Untuk apa Gekko datang ke tempat seperti itu?"

Yuki mengedikkan bahu, cengirannya lebar sedikit ingin menggoda. "Jangan-jangan dia ingin mencari bangsawan omega."

Namun, Silca mengerutkan kening seraya menyela, "Jika dia mencari omega lain, dia tidak akan bersusah payah menyuruhmu melatihku."

Yuki terbahak dengan kencang. "Tuh tahu. Berlatih denganku ternyata membuat otakmu lebih sedikit bekerja, ya."

"Otakku memang sudah bekerja dari dulu." Sedikit menggerutu, Silca memakan potongan terakhir ikan di piringnya. Ia meneguk segelas air dan sedikit bir sebelum mengelap mulutnya dengan sapu tangan bersih berwarna putih.

Usai menghabiskan semua hidangan yang disajikan untuknya, tubuh Silca mulai merasa gerah. Tentu hal ini menjadi biasa untuknya. Walau belum terlalu ahli mengendalikan rasa panas yang dipicu oleh obat pemberian Yuki, setidaknya ia tidak bereaksi seburuk dulu.

Silca mengusap bahunya, lalu mengatur napas yang semakin hangat. Dipejamkan kedua matanya, menarik napas panjang, menjaga detak jantung, mulai mengosongkan pikiran-pikiran aneh dan fokus pada pengendalian dirinya.

Feromon Yuki yang sengaja ditebarkan masih terasa menggoda, tapi Silca tidak merasa menggelinjang ingin dikawini. Ah, wangi lemon memang sangat enak untuk dihirup, tapi aroma hutan hujan yang basah masih favoritnya.

"Bagus juga kau hari ini," celetuk Yuki masih dengan mulutnya yang asik memamah biskuit manis. "Kalau seminggu ini kau bisa bertahan selama lima jam, aku akan mengantarmu ke tempat Gekko."

Silca membuka matanya dan bertanya pelan, "Kau janji?"

Yuki mengedikkan bahu. "Tidak janji, tapi biasanya aku tidak berdusta."

Harapan itu menjadi lebih tinggi, Silca pun mengangguk bersemangat.

Seminggu lagi, ia hanya harus bertahan seminggu lagi untuk bertemu Gekko dan memperlihatkan betapa baiknya ia sebagai calon menantu keluarga Hakai. Ia pasti bisa berdiri di samping Gekko dengan percaya diri dan menghempas semua omega yang berusaha merebut kekasihnya.

Ah, Silca jadi semakin serakah.

TBC_

24-06-2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top