16 Kuntum
Blossom 16
Secara tiba-tiba, Cherry yang akhir-akhir ini jarang terlihat di kerumunan pelayan, berdiri garang di hadapan Silca. Kaki tangan Gekko yang paling loyal itu hanya mengucapkan, "Ikut aku sekarang," kepada Silca tanpa mengulum senyum. Segaris pun, tidak Silca temukan keramahan dari paras rupawan Cherry.
Tentu saja Silca langsung mengikuti tanpa banyak pertanyaan. Ia sudah hampir terbiasa dengan gelagat Cherry yang sedang dalam masa sangat serius. Itu berarti, ada sesuatu sangat penting yang harus dilakukan tanpa sedikit pun Silca boleh komentar.
Di tengah perjalanan mengikuti Cherry dari belakang, jantung Silca sudah berdebar tidak keruan. Kecemasaannya tercium oleh beberapa omega yang tidak sengaja berpapasan. Seorang omega bahkan memberinya semangat secara diam-diam.
'Pasti aku akan mati' batin Silca menduga-duga.
Tepat di ruangan kerja Cherry, setelah keduanya duduk di masing-masing kursi yang tersedia, Cherry segera memberikan beberapa lembar kertas ke hadapan Silca.
"Baca itu dan lakukan. Jika kau malas, aku tidak akan menjamin kau bisa bersama Master selama sisa hidupmu. Keluarga Master mungkin akan menendangmu ke ujung dunia."
Silca mengangguk-angguk saja, meskipun dalam hati bertanya-tanya, memangnya ujung dunia ada di mana? Apa Cherry sudah pernah ke sana? Apakah itu tempat paling menyeramkan sehingga semudah itu dipakai untuk mengancam orang lain?
"Belajar mengelola keuangan, belajar berbisnis, belajar politik, tata cara makan, sopan-santun dasar, cara bicara yang benar, berkuda, bermain kartu, bermain piano, membaca puisi, bersajak ... wah banyak sekali yang perlu dipelajari, ya?" Dahi Silca mengkerut dalam.
"Jangan banyak protes. Lakukan saja."
Silca mengambil napas panjang. "Aku tidak ingin memprotes, hanya saja, kenapa tiba-tiba kau memberikan daftar latihan sebanyak ini padaku?"
Mata Cherry menyipit dan membuang napas pelan sebelum akhirnya menjawab. "Master Gekko hanya waspada. Jika suatu saat Master benar-benar dipaksa untuk memilih omega lain dari kalangan bangsawan, setidaknya Master bisa meyakinkan semua orang bahwa kau adalah pilihan yang tepat."
Mendengar itu, Silca hanya memandang Cherry diam. Kedua tangannya mengepal perlahan, lalu dengan tenggorokan yang serasa tercekik, ia berujar, "Aku ... meskipun sangat menyukai Gekko, dan mungkin saja tidak bisa hidup tanpanya, tapi aku juga tahu diri."
Cherry mengerti, sehingga saat ini ia hanya bisa memandang mata Silca dengan rasa iba yang dalam.
"Aku memang sering cemburu pada omega bangsawan di dekat Gekko, tapi aku tidak berani memintanya memilihku." Silca menundukkan kepalanya, melihat kedua tangannya yang mengepal di atas meja kerja Cherry. "Aku bekerja keras di sini karena ingin membalas budi ... dan ingin melihatnya meskipun dari sudut yang jauh. Gekko tidak perlu seperti ini ... dia tidak perlu begini."
"Jangan salah sangka." Tiba-tiba Cherry bicara. "Master melakukan ini bukan untukmu, tapi untuk dirinya sendiri."
Silca termenung, tidak bisa bertanya apa pun lagi.
"Jika kau ingin tahu, cobalah menemui Master sendiri. Tanyakan padanya, ingin seperti apa hubungan kalian di masa depan."
Kali ini Silca mengangguk. "Ya," ia menjawab dengan dada yang seperti terhantam gada. Denyutan itu terasa ngilu dan perih.
.
.
.
Usai pertemuannya dengan Cherry, yang dapat Silca lakukan hanyalah tetap bekerja seperti biasa. Ia pergi ke dekat sumur, membawa seember kain kotor yang harus dicuci sampai bersih.
Beberapa pelayan lain bersamanya, tapi bahkan di tengah orang-orang yang berceloteh menggosipkan skandal tetangga sebelah, telinga Silca tidak bisa mendengar apa-apa. Bukan karena semua suara itu lenyap, hanya pikiran Silca yang terbang entah ke mana.
"Ssst, Silca! Silca!"
Seorang gadis muda menepuk punggung Silca cukup keras, dengan wajah khawatir gadis itu menjelaskan tindakannya, "Master Gekko memanggilmu dari tadi."
Silca yang sudah tersadar, menoleh ke belakang. Seratus meter dari tempatnya menggosok kain, ada Gekko yang berdiri seperti tuan tanah—walau Gekko memang seorang tuan tanah.
Tanpa banyak bicara, Silca pun berdiri. Ia mengelap tangannya yang basah ke sisi kanan dan kiri pakaiannya. Ketika berada di depan Gekko, ia bertanya dengan senyum getir yang terlihat dipaksakan. "Ada apa?"
"Apa tadi kau sudah bertemu Cherry?" Suara Gekko mengalun dalam seperti biasa.
Silca pun menjawab dengan mengangguk, entah mengapa pikirannya sedang tidak terlalu baik untuk membuatnya bisa bicara terlalu banyak.
"Lalu kenapa masih di sini?" Gekko bertanya lagi. Mata yang sebening kaca, menatap setajam elang. Benar-benar perpaduan menakutkan yang sulit disangga orang biasa.
Bisa Silca maklumi jika teman-temannya di belakang sana, mengerut seperti pakaian yang belum disetrika.
"Apa kau mau mendengarkan keluh kesahku setelah ini? Aku akan menemuimu di ruang kerjamu setelah menyelesaikan pekerjaan," ujar Silca pada akhirnya.
Gekko tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia hanya menatap Silca lama, lalu tanpa pamit meninggalkan semua orang di sana.
Masih di tempat yang sama, Silca hanya bisa memandangi punggung kecil Gekko yang menjauh darinya. Punggung yang sebenarnya ingin ia rengkuh setiap waktu, yang bisa ia jadikan senderan kepala ketika merasa lelah, yang ingin ia usap ketika pemiliknya terlihat tidak berdaya.
Ternyata, Gekko sudah sedalam itu masuk ke inti pikiran. Silca khawatir tidak bisa mengendalikan diri dan menjadi serakah.
'Hari yang buruk. Sangat buruk'
.
.
Teroli dengan isi kudapan manis dan teh, didorong pelan hingga depan pintu ruang kerja Gekko. Bahkan belum sempat Silca mengetuk pintu, Gekko sudah membukakan pintu lebih dulu.
Wanita alpha yang selalu tampak seperti gagak kesepian itu menatap Silca sekilas, lalu berjalan ke sudut untuk tamu, dan duduk di atas sofa dengan elegan seperti biasa.
Silca terkekeh dalam hati, merasa jika Gekko sepertinya sedang merajuk padanya. Lihat itu tingkah majikannya yang tumben tidak menggodanya seperti biasa.
"Kau sedang marah padaku, ya?" Silca meletakkan cangkir ke atas meja di depan Gekko, lalu piring-piring kudapan, dan menuangkan isi teh perlahan ke dalam cangkir yang ia siapkan.
Di sisi lain, Gekko tidak lantas menjawab, hanya memandangi Silca yang asik bekerja dan terlihat cantik seperti hari-hari sebelumnya.
"Bukankah kita akan membicarakan hal ini? Kenapa sekarang kau merajuk?" Silca mencoba membujuk. Ia tersenyum manis dan bertingkah sedikit imut.
Gekko masih mengabaikan. Ia mengambil cangkir tehnya dan minum dengan pelan. "Duduk lah," perintahnya ringan.
Silca tidak membantah, ia pun duduk di sofa panjang dan memilih sisi yang paling dekat dengan tempat duduk Gekko. "Apa tehnya enak? Aku yang membuatnya sendiri."
Gekko mengangguk. "Belajar dari siapa?"
"Dari teman-teman di dapur. Bahkan kepala koki yang galak itu, meskipun sambil marah-marah, dia tetap mau memberitahuku cara menyeduh teh untukmu," jawab Silca tampak bangga.
"Kau bekerja keras."
"Tidak sekeras dirimu, kan?" sangkal Silca seraya terkekeh.
Gekko tersenyum tipis melihat kesayangannya tersenyum riang di depannya. Namun, setelah ia meletakkan cangkir teh, wajah pemurungnya kembali lagi. "Kenapa tidak mau berlatih dengan Cherry?" tanya Gekko tanpa basa-basi.
Sudut bibir Silca tertarik sedikit, tampak dipaksakan. "Bukan tidak mau, hanya belum mau. Aku masih belum menemukan alasan untuk melakukannya. Kau ... serius denganku?"
Pandangan mata Gekko seketika menjadi sangat menakutkan. Wanita itu menatap Silca langsung dengan sorot serius yang luar biasa tajam.
"Aku selalu serius dengan apa yang kulakukan dan apa pun yang aku pilih," tegas Gekko.
"Orang tuamu akan menentang. Keluargamu di sini juga pasti sudah menentang," ujar Silca tak kalah tegas.
"Orang tuaku tidak akan menentang." Namun Gekko menegaskan sekali lagi.
"Jangan ngawur. Aku bahkan bisa merasakan bagaimana Tuan Vincent menatapku dari jauh. Punggungku sampai merinding."
Gekko mengembus napas pelan, mengerti dengan rasa khawatir Silca. "Vincent memang tidak suka padamu, Bibi Eli dan keluarganya juga tidak setuju aku bersamamu, tapi tidak dengan keluargaku di Timur."
Wah, mulut Silca sampai terbuka lebar mendengar betapa panjang kalimat yang baru Gekko katakan. Wanita itu pasti sedang serius. Sangat serius sampai bisa sejauh ini.
Pada akhirnya, Silca harus menegaskan pikirannya. "Jika kau sekarang sedang tidak bermimpi, aku ini pelayanmu. Aku memang omega, tapi aku ini pelayanmu. Kau mau karirmu hancur karena memilih pelayan yang tidak berkedudukan?"
Mata Gekko menyipit, tapi sedetik kemudian tersenyum miring. "Kau sudah pandai bicara, ya?" ucapnya bangga.
Silca mendebas kecil. "Jangan mengalihkan pembicaraan. Sekarang aku yang sedang serius."
Gekko hampir menerjang dan mencium omega kesayangannya itu jika memungkinkan. Bagaimana bisa seorang pria semakin menggemaskan saat sedang marah-marah? Oh, mungkin karena Gekko hanya sedang menyukai orang di hadapannya. Jika orang lain yang melakukan, ia tidak akan sungkan meninju mereka sampai terkapar selamanya.
"Jadi kesimpulannya, kau sedang mengkhawatirkan masa depanku?" tanya Gekko lebih tenang.
"Ya, bukan hanya tentangmu, tapi juga orang-orang di dekatmu."
Silca yang bersungguh-sungguh, menatap mata Gekko lurus. Mencoba mengirim perasaannya supaya dimengerti dan tidak dianggap angin lalu.
Omega itu pun melanjutkan ucapannya, "Banyak orang bergantung padamu, Gekko. Pelayan-pelayanmu, anak-anak dan cucu mereka, orang tua mereka, kekasih mereka, semua tergantung kebijaksanaanmu. Mungkin kau akan gembira ketika memilihku, aku pun senang karena bisa bersamamu selamanya, tapi masa depan denganku bukanlah sesuatu yang bagus. Aku tidak bisa menjamin kebahagiaanmu selamanya."
"Di dunia ini, tidak ada kebahagiaan yang berlangsung lama," sahut Gekko.
Silca hampir tidak bisa mengatupkan mulutnya. Ucapannya yang panjang dipatahkan dengan cepat dan telak. Namun, ia masih belum ingin menyerah. "Kau benar, tidak ada kebahagiaan yang berlangsung lama. Sedetik senang, sedetik menangis. Tapi, ada yang namanya rencana masa depan, Gekko. Memilih sesuatu yang baik untuk masa depan yang lebih baik. Kau pasti lebih tahu, kan?"
"Ya." Setelah menjawab singkat, Gekko kembali mengukir senyum setipis rambut. "Kau pintar, ya?"
"Aku rajin belajar," sahut Silca cepat.
"Kau memang sangat rajin."
Pada akhirnya, Silca hanya bisa mengembuskan napasnya panjang. "Lihat itu, kau hanya sedang mempermainkanku. Bukankah sudah kukatakan bahwa aku sedang serius?"
Gekko melepas senyumnya. "Aku juga sedang serius. Aku mendengarmu dengan baik."
"Gekko, kuharap kau memilih sesuatu yang baik untuk masa depanmu," ujar Silca lagi. Masih mencoba meyakinkan Gekko yang kukuh pendirin.
"Kau adalah pilihan yang paling baik." Mata bulat berwarna hitam, berkilauan seperti kelereng yang dipulas setiap hari, menatap lurus pada omega yang sangat dikasihinya. Dengan tegas, Gekko pun mengucapkan, "Aku memilihmu sejak lama. Sangat-sangat lama. Jika kau mengharapkanku bersama orang lain, aku tidak akan mengikat diri selamanya. Apa kau tahu? Semua yang kulakukan sampai sekarang, alasannya adalah keberadaanmu?"
Sekujur tubuh Silca seketika membeku. Mata hitamnya yang seperti arang, tidak bisa lepas dari alpha di hadapannya. Sesuatu yang serius baru saja ia dengar, dan sesuatu itu tak pernah sekalipun ia duga.
"Sejak ... kapan?"
"Lama sekali, dan aku tidak ingin kau mengingatnya."
TBC
Sudah lama ya nggak nulis di sini? aku sekarang sedikit aktif di twitter, akunnya ada pepperrujak, cari saja bagi yang suka baca tweet Au BXB anak2 NCT. Aku lagi nulis jichen, dan emang sedang suka jichen wkwkwkwk
Terima kasih bagi yang masih menikmat cerita ini, sedang mencoba rutin nulis lagi.
Temui aku di twitter, trakteer : pepperrujak
Happy reading, dan selamat 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top