14. Kuntum
Ada beberapa cara seorang alpha dapat meninggalkan jejaknya kepada seorang omega. Paling mudah adalah dengan mengusapkan feromon yang ada di pergelangan tangan kepada omega pilihan. Bisa juga dengan sentuhan yang lebih intim seperti pelukan maupun kecupan.
Baiknya, Gekko sudah melakukan semua itu. Bahkan, ia terlalu sering meninggalkan jejaknya pada Silca meskipun dalam taraf yang tipis dan tidak berlebihan.
Namun, setipis apa pun tanda yang ditinggalkan, alpha di sekitar sudah paham betul bahwa omega perawan beraroma jambu biji itu tidak sepatutnya didekati. Sudah ada yang punya, walaupun belum resmi.
Bukan hanya para alpha yang sadar, omega-omega pun tahu bahwa aroma Gekko sudah tercampur dengan wangi orang lain. Wangi seorang omega yang kental dan segar. Tidak heran jika ada yang menduga-duga, Miss Hakai mungkin sudah punya kekasih. Apalagi aroma tersebut selalu terhirup dari pagi sampai malam. Kesimpulannya, Miss Hakai pasti sering menemui kekasihnya. Mungkin sudah bermesraan sedemikian rupa meskipun belum sampai mating.
Salah satu yang sadar akan hal itu adalah Julius Turner.
Sejujurnya, Julius sempat berpikir bahwa wangi seperti buah segar itu memang aroma samar Miss Hakai. Namun, setelah diresapi, ternyata aroma sang perempuan alpha tidak lebih dari empat jenis sensasi; apel, mawar, embun, dan kayu manis. Selain itu, berarti milik orang lain.
Wangi asli feromon Gekko adalah embun pagi, segar dan menenangkan. Sedangkan wangi lainnya disebabkan karena Gekko memang gemar dengan hal-hal tersebut.
Julius sering melihat Miss Hakai mengudap apel usai sarapan. Tehnya pun kerap ditambahi kayu manis sebagai penyedap. Sedangkan wangi mawar itu ada karena kebiasaan Miss Hakai yang menyematkan mawar asli pada gaunnya.
Namun, satu yang agak kurang wajar, tubuh Miss Hakai juga beraroma guava. Kadang kental, kadang memudar. Esensinya sulit diprediksi. Satu yang Julius ketahui, semerbak guava itu selalu menguat usai Miss Hakai bertemu seorang pelayan omega beriris hitam arang.
Dari bertanya pada pelayan yang ada, Julius tahu bahwa nama lelaki omega itu adalah Silca. Namanya aneh, dan tidak bermarga. Statusnya rendahan, kurang pendidikan, apalagi tata krama. Julius tidak tahu di mana kelebihan omega rendahan itu sehingga Miss Hakai sampai terjerat begitu. Padahal dengan dirinya, yang jelas-jelas dari kalangan atas, bermartabat, bergelar, juga masih perawan, Miss Hakai sama sekali tidak menampakkan minat.
Apa yang kurang darinya? Julius masih sering memikirkannya.
Bukannya Julius semudah itu jatuh cinta, hanya saja Miss Hakai sangatlah menarik. Seorang alpha yang sanggup terang-terangan menolak kehadirannya, memandangnya seperti memandang orang pada umumnya. Fenomena itu menggelitik hati Julius. Ia ingin mengenal Miss Hakai lebih dalam, sampai-sampai tak sadar bahwa terlalu sering memperhatikan diam-diam.
Hingga akhirnya, malam ini Julius berhasil mengajak wanita favoritnya itu untuk berdansa. Hanya waltz pembuka, dengan musik yang tidak terlalu pelan dan gerakan yang lumayan menghasilkan keringat. Julius tahu, jika tidak di dansa-dansa awal, Miss Hakai pasti akan menghilang lagi seperti dua pesta kemarin.
"Anda tampak bahagia, My Lord," ujar Gekko mengawali percakapan usai masing-masing memberi salute sebelum memulai dansa.
"Mungkin karena saya kembali merasakan dansa bersama wanita. Anda pasti tahu, setelah menjadi omega, saya selalu melakukan bagian perempuan."
Kemudian keduanya sama-sama diam, menikmati dansa dengan gerakan-gerakan yang sudah hafal di luar kepala. Dimulai dari langkah ringan, lalu berputar pelan, berputar, melangkah, berputar hingga rok-rok para lady mengembang dengan riang.
"Apa Miss Hakai merasa jika kita menjadi pusat perhatian?" tanya Julius ketika dansa mulai sedikit lebih pelan.
"Semua ini karena saya berdansa dengan omega paling diminati tahun ini," jawab Gekko.
"Bibi Anda juga tampak bahagia. Mungkin beliau mengharapkan saya sebagai calon keponakannya."
"Tidak hanya Bibi saya, My Lord."
Mendengar itu, raut muka Julius tak tampak bahagia. "Bolehkah saya mengeluh ketika ada terlalu banyak ibu yang mulai mendekati Mama saya demi mendapatkan saya?"
"Saya tidak ingin ikut campur. Namun tidak ada yang salah dengan itu."
Julius tersenyum tipis. "Benar."
Dansa mulai lebih cepat dan intens. Beberapa kali Gekko harus berputar, langkah digerakkan seirama dengan kaki Julius. Berputar, berputar, diangkat ke atas, berputar seraya melangkah. Bisa Gekko rasakan sensasi wangi dari tubuh Julius yang mulai berkeringat. Dalam hati, Gekko tidak menyangkal bahwa aroma itu sangat menyengat, cepat sekali memengaruhi berahi, lebih sulit ditangkal daripada ketika berlama-lama berduaan dengan Silca di perpustakaan bawah tanah.
Pantas saja jika alpha-alpha kasmaran di sana cepat tersulut gairah jika sudah terpapar feromon Julius Turner.
Ketika dansa usai, Julius mengembalikan Gekko kepada Elaine Gray, meskipun hal itu sebenarnya tidak terlalu penting dilakukan mengingat kelakuan Gekko yang suka berkeliaran sendiri.
Sebelum berpisah, Julius sempat memberi kecupan ringan di punggung tangan. Tampak ingin menandai Gekko dengan caranya. Mungkin saja, berdansa adalah salah satu metodenya untuk menempelkan feromon pada alpha perempuan itu. Mungkin saja, dia mulai menetapkan pilihannya. Lagi pula, Julius pun tidak tahu, kapan lagi ia bisa kembali bertemu dengan Miss Hakai.
.
oOo
.
Akhirnya pesta selesai. Para tamu pulang dengan wajah lelah tapi semringah. Pelayan yang didatangkan langsung dari rumah Earl of Meopham dipulangkan, supaya bisa kembali mengerjakan tugas harian seperti biasanya.
Bibi Eli baru tidur subuh tadi, sehingga tidak ingin diganggu entah sampai kapan. William pun diurus pelayan.
Sophia tampak murung karena teman-teman sepantaran sudah pulang. Untung saja adiknya bisa dijadikan alasan untuk mengunjungi Gekko yang pagi ini pun sibuk selalu di ruang kerjanya.
"Gekko, kau sibuk?"
Kepala Sophia menyembul dari pintu yang terbuka sedikit, disusul kepala William yang ikut mengintip keadaan Gekko di dalam ruang kerja.
"Tunggu saja sebentar."
Sophia dan William berpandangan, sama-sama tersenyum lebar. Dua bersaudara Gray itu pun masuk ke ruang kerja seraya cekikikan--terutama Sophia yang selalu berisik. Usai pintu ditutup, Sophia melompat-lompat hingga rambut coklatnya memantul lucu seperti pegas. Gadis muda Gray itu juga melompat ketika duduk di sofa, lupa pelajaran sopan santun yang selalu ditekankan governess-nya. Berbeda sekali dengan saudara laki-lakinya yang punya tingkah laku lebih teratur.
"Gekko apa yang kau kerjakan?" tanya Sophia. Mata baby blue yang lebar menatap Gekko tanpa mengedip.
"Memeriksa laporan."
Sophia mengangguk-angguk. "Laporan tentang apa?"
"Pemasukan bulanan."
"Pemasukan bulanan dari usahamu yang mana?"
"Pabrik gula."
"Kau punya pabrik gula?"
"Ya."
Lagi, Sophia hanya mengangguk-angguk saja. "Boleh aku ke pabrik gula milikmu?"
"Boleh jika kau mau menyebrangi lautan berhari-hari."
Kali ini Sophia menelengkan kepala. "Pabrik gulamu ada di luar negeri?"
"Ya."
"Kenapa tidak mendirikan di sini saja? Ya, kan William?" Kepala menoleh cepat ke arah sang adik duduk, di sebelahnya.
William hanya mengedip kecil, lalu mengedikkan bahu. "Aku tidak paham."
Namun, Shopia segera menghardik dengan mata bulat yang tampak serius. "Kau harus paham. Supaya jika Gekko bicara dengan Ayah, kau mengerti apa yang mereka bahas."
Pipi William mengembung, alisnya menukik tajam. "Aku paham, kok. Ayah dan Gekko bicara sesuatu mengenai investasi, neraca keuangan, lokomotif, kesejahteraan buruh ... lalu, lalu ...."
"Kau mengerti apa itu investasi?"
Kali ini William terdiam, menunduk, lalu menggeleng lemah.
"Sophia, adikmu belum waktunya mengerti hal seperti itu," tegur Gekko.
Kepala Sophia kembali menoleh menghadap Gekko. Ditemukannya tatapan sang sepupu yang tajam penuh peringatan. Kelopak Sophia menyendu, lalu menunduk seraya berucap lirih. "Maaf."
"Kau pun tidak perlu memaksakan diri untuk tahu."
"Aku tidak memaksakan diri! Aku benar-benar ingin tahu!" Tangan mengepal kuat-kuat.
"Dan mengeluh sakit kepala setelah itu?"
Sophia merengut.
Gekko mengambil napas panjang yang samar, seolah diam-diam supaya Shopia tidak menyadari rasa lelahnya. "William, bisa kau jabarkan apa saja kemahiran kakakmu?" pintanya kepada si bungsu.
Mengangguk cepat, William mulai bicara seraya menghitung menggunakan jemarinya. "Menjahit ... berdandan ... memilih gaun yang cantik ... berdansa ... membuatkanku makanan enak meskipun dilarang Mama memasak. Dan ... dan banyak lagi?"
Gekko memberi senyum kecil. "Ya, dan apakah aku bisa melakukan itu semua?"
William menggeleng ragu. "Boleh aku mengatakan pendapatku?"
Gekko mengangguk mengizinkan.
"Sejujurnya kau payah dalam semua hal itu, Gekko."
Gekko menutup dokumennya, kaki beranjak berdiri lalu melangkah ke tempat Sophia dan William berada. Ketika sampai di depan satu-satunya putri Gray, Gekko menatap Sophia lama. "Kau adalah kau, jangan berusaha sepertiku jika itu membebanimu. Kau bisa tetap belajar berbisnis, tapi jangan memaksakan diri. Jika sudah saatnya, kau pun akan mengerti dengan mudah."
Sophia mengangguk kecil, lalu tersenyum manis ketika Gekko mengelus lembut pipinya. William hanya memandang seperti boneka, tak begitu paham apa yang terjadi.
"Ayo." Gekko mengulurkan kedua tangannya. Sisi kanan diraih Sophia, sisi lainnya dikuasai William.
Kaki-kaki mungil itu pun berjalan riang beriringan. Entah kali ini akan ke mana. Asal bersama Gekko, semua pasti terasa menyenangkan.
.
oOo
.
Di musim seperti ini, taman buah di samping kastil sedang menunjukkan pesona terbaiknya. Apel dan lemon berwarna begitu cerah, sampai-sampai setiap orang yang lewat harus menahan tangan jahil mereka untuk tidak memetik semua buah elok dan ramun tersebut. Mungkin takut diomeli Cherry, atau malah takut membuat Gekko kecewa karena sudah bertingkah seenaknya.
Seperti biasa, hari ini pun Silca bekerja tanpa henti. Ia tidak memiliki wilayah kerja khusus seperti pelayan lainnya, sehingga tiap hari ia berpindah-pindah, tergantung di mana Cherry menempatkannya. Ia tidak masalah dengan itu, sebab cara seperti ini pun bisa menjadi pembuktian diri bahwa Silca bisa melakukan apa saja, mulai dari pekerjaan ringan hingga yang paling berat dan melelahkan.
Mungkin berkat keuletannya itu pula, pelayan lain sering meminta bantuannya ketika ia tampak sedikit menganggur. Padahal sebenarnya dialah yang paling tidak punya waktu menganggur.
Kali ini, ia sedang sibuk dengan gerobak dan buah-buahan busuk yang menempel nyaman di tanah. Silca memunguti buah-buah yang berjatuhan, memilah yang layak dan tidak untuk dimasukkan ke dalam gerobaknya yang bersekat-sekat. Buah busuk untuk tukang kebun, katanya bisa dijadikan bahan membuat kompos. Sedangkan buah segar untuk penjaga istal, mereka bilang kuda-kuda suka makan apel segar.
Ia tidak berani memetik buah di pohon, itu bagian tukang kebun dan orang-orang di dapur. Mereka yang akan memilah dan memilih produk mana yang paling baik untuk dihidangkan di atas meja Gekko.
Yah, pada akhirnya semua hal di rumah ini akan berakhir pada Gekko. Para pelayan hanya terima sisa, meskipun sebenarnya Gekko selalu menyisakan hal yang baik-baik saja.
"Sepertinya, dia adalah tuan paling dermawan yang pernah kutemui." Tanpa sadar sebuah gumaman lolos dari bibirnya, ia bahkan tersenyum-senyum sendiri seperti wanita opera yang sedang jatuh cinta. Meskipun kedua tangan masih bekerja dengan rajin, tapi pikirannya sama sekali tidak menetap di sana. Hanya memikirkan Gekko, dan Gekko, dan Gekko lagi. Jika dia sampai kecanduan Gekko, dia akan menyalahkan Gekko.
"Lagi-lagi aku menemukanmu dengan ekspresi seperti itu."
Silca tersentak dari lamunannya yang panjang dan sedikit kurang ajar. Ketika menoleh, di belakangnya ada seseorang yang sedari tadi menguasai pikirannya. "Gekko! Kenapa kau selalu datang dengan cara seperti ini!" Jeritan itu bahkan tidak bisa ia tahan. Beberapa pelayan dan tukang kebun yang mendengar, langsung memelototinya jengkel. Namun, Silca tidak pernah peduli, tidak heran jika Gekko selalu berkomentar mengenai sopan santunnya.
"Aku datang dengan normal," sangkal Gekko tenang. "Kenapa kau terkejut sekali?" tanyanya lagi, seolah ingin menggoda, tapi dengan wajah yang terpasang datar seperti talenan. Sangat tidak sejalan.
"Kau memang datang dengan normal, tapi aku tidak bisa terbiasa," jawab Silca terdengar agak jengkel.
Namun, ketika Silca berbicara dengan nada sedikit tinggi dan terdengar kurang sopan, ia tiba-tiba mendapat serangan.
"Pelayan! Beraninya ngomong begitu pada Gekko! Di mana sopan santunmu?!"
Silca tersentak, kaget dan merasa de javu. Rupanya, saat diperhatikan sekali lagi, ada dua kurcaci berpakaian bangsawan yang muncul dari belakang tubuh Gekko. Yang satu adalah William, dan Silca sudah kenal. Namun, yang satunya ... mirip anak perempuan Bibi Eli. Namanya siapa ya? Shopia?
"Maafkan saya, Lady Muda Gray." Silca menunduk dalam, meminta maaf secara pantas. Para pelayan di penatu yang sering bergosip selalu bilang bahwa Nona Shopia cukup keras kepada bawahan, berbeda dengan si bungsu William. Oleh sebab itu, ada baiknya bersikap lebih sopan dan berhati-hati. Silca beruntung bisa mendengar berita seperti itu, jadi dia pun dapat menempatkan dirinya dengan lebih bijaksana.
Oh, apakah sekarang ia sudah lebih bijaksana? Sepertinya hal itu tidak begitu penting, karena Nona Shopia entah kenapa malah mulai berbicara lebih banyak.
"Kau tahu siapa aku?" tanya Shopia seraya bersedekap dan dahi yang mengernyit dalam. Namun, kernyitan itu hanya bertahan sementara, sebab ia lantas tersenyum lebar dengan wajah penuh kebanggaan. "Oh, tentu saja kau kenal aku. Siapa juga di rumah ini yang tidak kenal padaku."
Senyum di bibir Silca tertarik ke atas, hanya sedikit dan lumayan terpaksa. Tidak ingin berurusan dengan Shopia yang sepertinya sulit ditangani, ia pun mulai menyingkir perlahan. "Kalau begitu saya permisi. Saya harus kembali bekerja," ucapnya ringan.
Sayangnya, kehidupan Silca memang tidak bisa dilalui dengan tenang. Lihatlah dia sekarang, seorang pelayan yang sedang asik mengambili apel di atas tanah, yang bekerja keras memilah-milah apel-apel rusak dan harus dilemparkan secara tepat ke dalam gerobak. Namun, pelayan yang ingin bekerja dengan gembira ria ini, malah harus menahan emosi karena selalu dibuntuti majikannya sendiri.
Paling menyebalkan, bukan hanya sang majikan yang sedang terang-terangan mengawasinya, melainkan juga antek-antek kecil yang senantiasa berceloteh hingga membuat telinga Silca gemetar karena gatal.
"Gekko, kenapa kita harus mengawasi pelayan yang ini? Pekerjaannya tidak begitu penting, dan sepertinya tampak mudah. Siapa pun bisa melakukannya tanpa harus diajari. Seharusnya, jika mau mengawasi, lebih baik mengawasi pekerjaan orang-orang di perpustakaan atau karyawanmu yang mengurusi berkas-berkas bisnis. Kurasa hal itu lebih masuk akal."
Ah, Shopia Gray, mengapa omonganmu begitu pedas. Jika bukan seorang bangsawan dan bocah kecil yang bahkan belum debut dipergaulan, sudah pasti Silca tidak akan ragu menjejalkan apel-apel busuk di tanah ke dalam mulut gadis itu.
"Mereka tidak menarik perhatianku."
Dan, Gekko, kenapa jawabanmu ambigu begitu. Rasanya Silca pun ingin membungkam mulut yang satu ini. Tapi tidak dengan apel busuk tentu saja, dengan mulutnya akan lebih baik.
Apa yang kupikirkan?! Silca menampar pipinya sendiri, mencoba waras di pagi hari.
"Lihatlah Gekko. Pelayan itu menampar pipinya sendiri. Kurasa akalnya sudah meninggalkan kepalanya yang kecil itu." Lagi-lagi Shopia menyemburkan kalimat sepedas merica.
Silca benar-benar tidak sabar untuk melempar apel-apel busuknya ke wajah nona muda yang imut-imut seperti landak berduri itu. Aaah, betapa geramnya.
"Hm? Begitu, kah? Kukira dia sangat lucu."
Lucu, lucu katanya?! Lucu?! Gekko, tahukah bagaimana wajah Silca sekarang ini? Jika dibandingkan dengan apel masak yang menggantung merah di pohon, wajah omega di sana bahkan lebih ranum warnanya.
"Gekko! Kenapa kau berbicara yang aneh-aneh di depan dua anak kecil?!" Silca berbalik, meraung di depan wajah Gekko yang datar dan tampak naif.
Namun, bukan Gekko yang menjawab raungan itu, melainkan Nona Muda Shopia dan adik kecilnya.
"Ya ampun! Jaga ucapanmu, Pelayan!" seru Shopia sembari melotot seperti ikan kembung.
"Silca! Kau berlebihan! Jangan membentak Gekko!" Bahkan si kecil William ikut menghardik. Bocah lugu itu berdiri di depan Gekko seraya merentangkan tangan, seolah-olah tingkahnya itu bisa melindungi Gekko dari serangan mendadak Silca yang berbahaya.
Tidak bisa membalas, Silca hanya diam mematung. Ikut terkejut dengan keadaan yang tiba-tiba menjadi kacau.
Namun, Gekko yang hanya menjadi pengamat, dan sebenarnya biang dari segala kerusuhan ini, akhirnya mulai bergerak. Ia menenangkan William dan Shopia dengan menepuk kepala keduanya pelan-pelan, lalu mendekati Silca seraya mengusap lembut pipi omega favoritnya itu.
"Mereka tidak memarahimu, tenangkan dirimu," ucap Gekko lembut.
Meskipun begitu, wajah bersemu Silca tidak juga memudar, malah sepertinya lebih masak dan terbakar.
"Aroma feromonmu ke mana-mana, mau istirahat sebentar?" Gekko mencoba membujuk sekali lagi, tapi Silca dengan cepat memberinya gelengan.
"Ti-tidak apa, aku hanya kaget."
"Hmm, begitu ya. Lain kali, aku akan menemuimu seorang diri. Sepertinya anak-anak tidak begitu menyukaimu."
William dan Shopia yang mendengar pernyataan Gekko tersebut lantas memandang Gekko dengan mata membulat yang besar. Akhir-akhir ini Gekko sangat sering menemui pelayan omega yang ini, jika Gekko memutuskan untuk pergi berdua saja dengan si pelayan omega, kesempatan dua bersaudara Gray untuk bermain akan lebih sedikit.
Hal ini tidak bisa dibiarkan.
"A-aku tidak membenci pelayan ini. Aku mau kok main sama dia juga." Shopia menyahut cepat, wajahnya dipenuhi gurat khawatir yang imut. Di sampingnya, William mengiyakan dengan anggukan yang sangat kuat.
Sebenarnya, Gekko ingin tertawa, tapi seperti biasa, ia tidak bisa melakukannya. Sudut bibirnya hanya terangkat sedikit, sangat sedikit sampai sulit disadari.
Namun, Silca sadar. Sangat sadar. Ia bisa melihat Gekko yang usil itu tengah bersenang-senang. Ia pun hanya bisa melepas napas pelan.
.
TBC
Sudah lama nggak berkunjung ke watty, halo semuanya ... apa kabar?
Kalau punya dreame atau innovel, jangan lupa kunjungi akun saya ya, pepperrujak. Dan jangan lupa kasih love atau add cerita saya ke library :* i love you
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top