P R O L O G

Aku memperhatikan kerumunan awak media di depan kantor. Duniaku yang penuh warna, mendadak jadi kelabu. Tak cerah, tak pasti, tak bergairah. Tanpa sadar, air mataku menetes membasahi tangan. Sudah berapa kali aku menangis hari ini? Mungkin, dua kali lebih banyak dari aksiku menangis di depan kamera.

"Gue harus pergi, Ta," bisikku, tatapanku masih ke arah jendela mobil.

"Tapi, Ra—"

"Gue nggak bisa tinggal di sini lagi. Dengan keadaan kayak gini, gue nggak sanggup. Ini terlau sulit, buat keluarga gue. Gue harus bawa mereka menghilang, jauh, biar mereka selalu aman," kata-kataku mulai melantur, "gue bisa mempertahankan diri sendiri, tapi gue nggak cukup kuat buat melindungi mereka di sini."

"Oke, oke. Gue ngerti. Tapi, setidaknya lo harus pamit kan sama agensi lo? Mereka selalu dukung lo, Ra. Cecil, manajer lo, Luna, terus Naren? Lo udah pamit Naren?"

Astaga ... bagaimana aku bisa meninggalkan pria itu, kekasihku? Tangisku mulai berganti menjadi isakan. Napasku tersengal-sengal. Hancur sudah hidupku.

"Take a deep breath." Benita menepuk-nepuk punggungku. "Ke mana pun lo pergi, gue ikut lo. Gue nggak bakal biarin adik kecil gue sendirian di sana."

"Lo ngga—"

"Sahira Moelya Permadi, lo bisa ninggalin semua orang di sini, kecuali gue. Gue bakal nyusulin lo, apapun yang terjadi."

Aku tersenyum di sela-sela tangisan. Diriku sangat bersyukur memiliki seorang sahabat yang selalu ada di sisiku. Dulu, meninggalkan negara ini tidak pernah jadi masalah, karena aku tahu, aku bisa kembali kapan saja. Akan tetapi, sekarang ... bayangan untuk pulang ke sini setelah pergi nanti, terasa mustahil. Dadaku sesak saat memikirkan harus meninggalkan orang-orang yang aku cintai dan segala kenangannya.

"Lo harus pamit Naren, Ra."

"Tapi, dia bakal hancur, Ta. Gue nggak sanggup."

"Dia bakal lebih hancur saat lo pergi tanpa pamit."

Kata mereka, dunia ini panggung sandiwara. Namun, tanpa kepuraan-puraan pun, hidupku sudah penuh drama. Aku kadang penasaran, apa yang Tuhan pikirkan saat menulis skenario hidupku? Apa jalanku memang harus berliku seperti ini? Haruskah aku pergi? Tapi, bagaimana jika aku terlalu lelah dan lupa jalan pulang? Atau, terlalu takut untuk pulang?

***


Aku tersenyum masam ketika kekhawatiran tergurat jelas di wajah lelaki yang berdiri tidak jauh dariku. Naren, langsung mendekapku erat dan mengecupi puncak kepalaku. Lelaki itu terus mengucapkan maaf, membuatku semakin merasa bersalah. Bukan kamu yang harus minta maaf. Namun, aku yang tidak cukup kuat menghadapi ini dan memilih pergi untuk berlindung.

"Kenapa hape kamu mati, Ra? Aku mau ke apartemen kamu, tapi selalu dilarang Arga. Kata dia masih banyak media di sana," kata Naren.

"Aku cuma butuh kedamaian."

"Ayo, masuk. Kamu tidur di rumahku aja. Aku tahu kamu capek banget karena ini," tutur Naren membelai wajahku. "Maafin aku nggak bisa lindungin kamu dari mereka, maafin aku nggak bisa banyak bantu. Kasih tahu apa aja yang kamu butuhin, Ra ... aku bakal berusaha buat ngabulin itu semua."

"Kamu bener, Ren, aku capek. Nggak bisa tidur, takut ada orang yang dobrak kamar aku. Aku takut nyalain hape, karena tahu pasti ada aja chat masuk yang bakal bikin ketakutan. Aku takut keluar, karena aku tahu mereka ada di mana aja, dan tega lakuin sesuatu yang buruk ke aku," kataku tersengal. Aku heran, kenapa air mataku tak kunjung habis, padahal sudah kutumpahkan setiap hari selama seminggu ini. "Ke mana orang-orang yang dulu dukung aku, Ren? Mereka berubah. Mereka jadi jahat, m-mereka anggap aku monster. A-aku monster, Ren sekarang di mata mereka."

Naren menggeleng keras. "Kamu bukan monster, dengerin aku? Mereka nggak tahu apa yang terjadi sebenernya. Mereka cuma judge asal." Tangan lelaki itu menangkup wajahku yang basah. "Oh, Baby ... please don't cry."

"Tapi nyatanya, a-aku emang monster, Ren. Dan, aku nggak mau kamu terjebak sama monster."

Alis Naren mengerut. "Ra, apapun yang sedang kamu pikirkan di dalam sini, itu nggak bener." Lelaki itu mengusap keningku.

"Kamu pantas mendapat yang lebih baik. Kamu pantas dapat perempuan baik-baik, Ren. Kalau suatu saat kita ketemu lagi, kamu harus udah bahagia."

"A-pa maksud kamu? Kamu mau pergi?" Naren mulai panik.

Aku menangkup wajah lelaki itu dan mencium bibirnya. "I love you, Ren. Good bye."

***

Visualisasi Cast:

Sahira Moelya Permadi


Narendra Pradyanto

Pemeran Pendukung:

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top