16 - Never Ending Gossip

[BREAKING NEWS: Sahira Moelya Permadi Terpergok Makan Malam Romantis di Bandung Bareng Devan Anggoro, Pacaran?]

Aku memijat pelipisku sambil membaca headline berita dari sebuah portal berita online, yang sekarang jadi trending topik. Helaan napas berkali-kali lolos dari mulut. Makan malam romantis apaan? Gila deh wartawan. Lebih parahnya, waktu berita ini keluar aku masih dalam perjalanan ke lokasi syuting iklan Maybelline. Pasti, para staf di sana bakal kepo dan nanya ini itu.

"El, gimana? Katanya gue masuk kelas diamond, bakal bebas dari gosip. Ini kok ujuk-ujuk ada gosip?"

Elok tersenyum garing. "G-gue nggak tahu, Mbak. Kata tim public relation, mereka bakal rilis statement secepatnya."

"Naren pasti uring-uringan ini. Mana dia nggak tahu gue pernah dinner bareng Devan lagi." Aku mengembuskan napas kesal. Padahal, alasannya menerima ajakan Devan makan malam karena ingin membalas kebaikan lelaki itu. Ia bahkan berjanji, akan menraktirnya lain kali. Tapi, ada aja orang kurang kerjaan yang mengabadikan momen itu dan melaporkan ke media. Nggak apa deh, lagian lobster bakarnya enak banget. Aku tersenyum mengingat santapan lezat itu beberapa hari lalu.

Jadwal meet and greet serial Double Trouble dari kota ke kota, terus berjalan. Kali ini, kami ada di Bandung. Aku bersorak dalam hati ketika acara akhirnya selesai. Perutku keroncongan. Jadwal makan selanjutnya di hotel lagi, padahal aku ingin wisata kuliner mumpung kembali ke Bandung. Ajak Elok aja kali, ya?

"Buru-buru balik hotel nggak?" tanya Devan yang tiba-tiba berjalan di sisiku.

"Kenapa?"

"Makan, yuk. Aku punya temen yang buka resto di sini."

Mataku langsung berbinar. Devan ini seperti jawaban dari doaku. "Boleh! Sebentar, gue izin Elok dulu."

Aku mengejar Elok yang beberapa langkah di depanku. "Mau ikut nggak? Dinner bareng gue sama Devan di resto temen dia."

"Aduh! Gue udah terlanjur chat pacar gue buat ketemuan di hotel lagi."

"Nggak usah panik." Aku menepuk bahunya. "Gue pergi sendiri aja."

"Tapi ... "

"Gue bukan anak kecil." Aku terkekeh menenangkannya. "Enjoy your night ya, El."

Ternyata Devan sudah pesan ruang VIP sebelumnya, jadi meskipun tempatnya ramai banget, aku sama dia, nggak perlu khawatir. Interior restaurannya, sederhana. Ruangan tertutup dengan bagian tengah terbuka karena ada kolam ikan yang cukup besar. Meja-meja tamu terletak sedikit berjauhan mengelilingi kolam. Jadi, nggak perlu khawatir privasi kita terganggu sama pengunjung lain. Ada ruang VIP juga di lantai dua.

"Gue mau lobster bakar saus padang. Menu yang lain, ikut lo aja. Lo yang lebih tahu mana yang enak."

Dalam setengah jam, semua menu yang dipesan sudah tersaji di atas meja. Aku agak curiga nih, kita diistimewakan karena pesanan datang secepat itu.

"Ya, gue udah bilang jauh-jauh hari, kalau gue dateng, kasih layanan ekstra," celetuk Devan.

Aku manggut-manggut, menarik gelas mangkuk es kopyorku mendekat, dan menyeruputnya. "Seger banget. Gue udah nggak sabar makan."

Lelaki itu hanya terkekeh dan melahap nasi dengan udang mentega. "Yang punya resto ini fotografer terkenal. Kenal Ilyas Dhinendra nggak? Bisnis keluarga gitu. Emang enak sih, nggak main-main. Gue nggak pernah mau digratisin di sini, karena emang seenak itu. Jadi, gue rela bayar, worth it banget."

Aku pernah pemotretan dengannya dulu. Tapi, ya nggak kenal, cuma sekadar tahu. "Kalau temen punya bisnis, dan emang cocok sama kita, seneng banget sih. Gue pribadi, bakal sering larisin barang dia, karena ya, kita tahu temen kita orang yang terpercaya. Kayak gue, yang naksir berat sabun mandi sama lulur punya Benita. Waktu gue di Newark pun, tetap beli di sana."

"Ya, kan? Emang lebih seneng kalau beli produk atau pakai jasa punya temen. Lebih percaya aja."

"Kalau bisa, gue penginnya ada temen gue yang punya resto, minimarket, produk kecantikan yang cocok sama gue, jadi nggak perlu ngeluarin duit buat orang lain. Tapi ke temen sendiri."

Devan menyeruput es asam jawanya. "Btw, what's your next project? Mau terjun jadi aktris lagi? Denger-denger banyak tawaran masuk."

"Masih diskusi sama agensi. Tapi, kalau buat film, kayaknya gue mau ambil punya Clarine dulu. Walaupun kalau ngomong pedes banget, sebagai sutradara, dia oke, sih. Mirip nenek lampir begitu, Clarine tetap temen gue sih," jelasku terkekeh. "Kalau yang udah taken kontrak baru iklan aja sih, produk kecantikan."

"Good. Nggak usah terburu-buru. Palingan, nanti kalau film lo rilis, mereka yang ngaku jadi haters lo juga nonton. Alasannya buat cari kesalahan lo atau kejelekan film itu. Aslinya mah, mereka penasaran. Nggak mau melewatkan film lo karena nggak ada tuh, sejarah film lo failed."

"Gue aminin aja ya, Dev." Aku tersenyum. "Jujur ya, Dev ... gue berterima kasih banget sama lo udah bawa gue ke Jakarta. Walaupun awalnya kelihatan menakutkan, gue yakin masih banyak hal baik yang menunggu gue di sini. Kalau nggak ada lo, gue nggak yakin bisa dapetin ini semua." Aku berhutang banyak pada lelaki di depanku ini. Bukan hanya karierku dunia hiburan yang kumaksud, tapi kesempatan bisa menghabiskan waktu bersama Naren lagi.

Devan tersenyum lembut. "Gue juga seneng ketemu lo, Ra. Gue yakin tempat lo itu memang di sini. Kalau lo butuh apa-apa, jangan sungkan bilang ke gue."

"Mbak!"

"Eh, apa?" Aku menoleh ke arah Elok yang duduk di sampingku.

"Ngelamunin apa? Ini tim PR udah rilis statement, tenang aja."

"Gue nggak akan tenang. Naren pasti belum tahu, dia belum telepon gue." Aku menyandarkan kepalaku di sandaran jok mobil. "Nanti, kalau gue udah mulai syuting, ada telepon diemin aja. Termasuk telepon dari Naren. Gue takut badmood kalau dengar dia marah-marah."

"Naren pasti stres banget, ya ... kemarin baru klarifikasi kalau dia sama Krystal nggak ada hubungan. Eh, hari ini pacarnya malah ada gosip sama cowok lain." Elok terkikik pelan.

Aku ikut tertawa. "Biar lah, yang penting bukan gue yang pusing."

***

"Oke, last look, ya ... " kata Mas Agung, selaku fotografer sekaligus konseptor pemotretan ini.

Aku mengangguk dan buru-buru berjalan ke ruang ganti untuk berganti baju. Di sana, tim wardrobe sudah siap, dengan pakaianku selanjutnya. Tatanan make up dan rambutku juga perlu diganti. Lipstikku yang berwarna merah menyala dihapus. Rambutku yang tadinya bergelombang kini dicatok lurus. Penampilanku, benar-benar berubah 180 derajat. Dengan rambut lurus, lipstik cokelat nude, blush on oranye terang, membuatku terlihat polos dan menyegarkan. Tak lupa perhiasaan dari brand Swan, melengkapi penampilanku.

Setelah syuting dengan Maybelline, aku lanjut melakukan pemotretan dan wawancara bersama Vogue yang bekerja sama dengan Swan. Aku telah menanda tangani kontrak untuk jadi brand ambassador Swan. Lewat Vogue, Swan akan mengumumkan kabar bahagia ini. Aku juga diberi kesempatan untuk jadi cover Vogue edisi bulan depan.

"Kepalamu ditidurin aja di meja. Kayak anak sekolah yang capek di kelas. Tangannya yang satu dilipat buat tumpu dagu, yang satu menjulur ke depan," terang Mas Agung memberi arahan. "Nah, good," imbuhnya lagi saat aku berganti posisi sesuai rekues pria itu.

Pemotretan hari ini berjalan lancar. Aku suka sekali bekerja dengan mereka. Semuanya profesional. Tidak ada yang menanyakan soal gosipku dengan Devan. Syukurlah .... Mas Agung juga fotografer yang oke banget. Walaupun ada beberapa pose, yang dia arahkan, tapi selebihnya dia banyak membebaskanku mengekspresikan diri.

Setelah ganti baju dan menghapus riasan wajah, aku berjalan ke mobil bersama Elok dan Prima—manajerku yang lain. Aku menjauhkan ponsel dari telinga, sedetik setelah menerima telepon dari Naren. Selama syuting, aku memutuskan mematikan ponsel. Dan, baru sempat kuaktifkan sekarang, pukul empat sore.

"Kenapa hape baru aktif?"

"Sengaja, males denger kamu marah-marah."

Naren menghela napas. "Aku tunggu kamu di rumah."

"Aku nggak pulang. Mau ke apartemen Clarine, kalau mau ngobrol dateng aja."

"Rara!"

"Apa?"

"Kenapa aku nggak tahu kamu makan berdua doang sama Devan?"

"Karena aku nggak kasih tahu."

"Ra, aku serius!"

"Aku juga serius, Sayang. Itu waktu fan meeting di Bandung. No big deal. Makanannya enak, besok kalau kamu free, kita ke sana bareng."

"Aku nggak minat sama restonya. Kenapa nggak ada kru yang lain? Kenapa cuma kamu berdua doang?"

"Soalnya Devan tahu aku nggak klik sama Krystal, jadi dia nggak ajak Krystal. Kalau Kevin, langsung balik Jakarta, soalnya ada acara lagi. Elok, telanjur janjian sama pacarnya di hotel," jelasku malas. "Udah jelas, Paduka?"

"Jangan ngeledek aku."

"Makanya berhenti posesif. Aku nggak ke mana-mana. Aku tetap jadi pacarmu. Kamu juga tahu, tipe ideal cowokku gimana. Yang mirip Kava, tapi tetap kan, aku cintanya sama kamu."

"Mau tidur di apartemen Clarine?"

"Belum tahu. Pokoknya ini aku balik ke apartemen dulu, mandi, terus langsung ke Clarine. Aku sama Benita mau makan di sana."

"Ya udah, have fun. Besok pagi, jangan lupa pulang."

"Iya, Sayang ... jangan lupa makan. Kamu beneran nggak mau nyusul?"

"Dan dijulidin sepanjang malam sama Benita? Nope, makasih."

Aku tergelak setelah menyelesaikan panggilanku dengan Naren. Sambil menutup mata, aku mencuri waktu sebentar setidaknya untuk menenangkan leher yang mulai kaku. Tidak ada yang bersuara di dalam mobil dan aku sangat menghargainya. Sepertinya mereka tahu aku kelelahan.

***

"Welcome, trending topic!" seru Clarine tersenyum lebar saat membukakan pintu untukku.

Aku mencebikkan bibir, melewatinya begitu saja, menuju ke living room yang menyambung dengan pantri. Di sana sudah ada Benita yang duduk santai di sofa, dengan mata terpaku ke layar ponsel. Aku menarik kursi pantri, menatap penuh minat pada lasagna yang mengepul. Aku menuangkan jus jeruk sendiri dan meneguknya. Sepertinya aku nggak dianggap tamu di sini.

"Gue ngiri banget sama lo, Ra!" ujar Benita.

"Kenapa?" Aku berbalik, menyandarkan tubuh ke meja pantri.

"Lo deket-deket di depan kameranya sama Kava, terciduk makannya bareng Devan, pacaran aslinya sama Naren. Anjir lah, maruk banget sih, lo." Benita bertepuk tangan heboh.

Aku berjalan ke arahnya lalu duduk di sebelah wanita itu, mendengkus sebal. "Sialan, lo!"

"Eh, tapi bener kata Benita," sahut Clarine. "Di mata netizen kan, lo udah menaklukkan dua cowok cakep dan berduit ya .... Kalau nanti lo go public sama Naren, tambah heboh."

Aku mengumpat dalam hati. Benar juga, ya? Aduh! "Image gue jelek banget nih, anjir!"

"Belum lagi, kalau ada netizen yang bilang lo penyebab putusnya Naren Krystal. Pecah banget, sih," imbuh Benita.

"Tapi kan, Krystal sama Naren nggak ada hubungan sebenarnya," elakku.

"Yah, lo jangan pura-pura naif dong, Ra ... mana ada netizen percaya. Yang ada itu kemarin habis Naren rilis klarifikasi, banyak yang ngatain pacar lo, katanya nggak gentle, nggak keren, nggak bersyukur punya pacar kayak Krystal kasih nggak diakuin," terang Clarine. "Ada juga yang nebak, kalau Naren udah dijodohin sama cewek lain, makanya Krystal kalah."

Aku mendengkus kencang. "Yang ada, Krystal yang dijodohin sama Naren, padahal Narennya nggak setuju."

"Makan dulu, makan dulu ... " Clarine membawa senampan lasagna dan piring berserta sendok ke meja depan sofa. "Biar ada tenaga buat marah-marahnya."

"Thanks, Rin." Aku langsung ambil lasagna ke piringku. Wangi keju dan saus bolognise-nya membuat perutku keroncongan.

"Tapi, Ra ... lo jangan khawatir. Kan keadilan sosial bagi seluruh warga negara Indonesia yang good looking dan punya bekingan," celetuk Benita mengundang tawaku dan Clarine.

"Bekingan lo kan nggak main-main." Clarine menepuk bahuku.

Aku meneguk jus jerukku. "Btw, gue tuh heran, ya ... gue makan bareng Devan udah lama. Tapi, kenapa yang punya video itu baru setor videonya ke akun lambe-lambean sekarang? Udah lewat berapa bulan, ya ampun .... "

"Masih untung bukan video lo sama Naren masuk hotel bareng," tukas Benita.

"Iya, juga, ya? Jadi, gue harus bersyukur?" Aku memandangi Benita dan Clarine bergantian. Mereka kompak mengangguk. "Oke, deh."

TBC
***

Kalau di bayangin kalian aktris yang cocok meranin Sahira siapa, nih?

Terus Kava?

Penasaran aja sih🤣🤣 siapa tau kan, siapa tau...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top