14 - Unexpected Visitor
Dibandingkan apartemen Naren, aku lebih suka menghabiskan waktu di rumah lelaki itu. Rumahnya memiliki halaman belakang yang luas, kolam renang, dan kebun anggrek yang sampai sekarang masih terawat. Akhirnya, setelah beberapa bulan di Jakarta, aku bisa menginjakkan kaki ke rumah itu lagi.
"Kenapa kita nggak tinggal di sini aja?" Aku duduk di kursi teras belakang, melihat berbagai bunga yang memanjakan mata. "Enak, nggak terlalu panas juga."
"Kamu mau?" tanya Naren setelah menyeruput kopi panasnya.
Aku mengangguk, tanpa pikir panjang. "Daripada tinggal di apartemen, aku lebih suka tinggal di rumah. Mau berjemur enak, mau renang enak, mau joging keliling komplek juga masih enak."
"Enak, tapi jauh. Kalau ada rapat pagi, harus berangkat dari sini jam lima subuh," cebik Naren.
"Ya, kalau ada kerjaan pagi jangan pulang ke sini, lah." Aku melahap sepotong mozarella stick. "Sejak kapan Mbak Arsih kerja di sini?" Selain Mbak Arsih, semua asisten rumah tangga di sini kenal denganku.
"Setahun. Gantiin Mbok Parinah."
"Padahal Mbok Parinah kalau masak rendang mantap banget."
"Udah tua, Ra. Udah pengin santai-santai di rumah, main sama cucunya."
Aku mengangguk. "Ya, benar juga, sih. Kadang, karena terlalu nyaman sama asisten rumah tangga, kita lupa kalau mereka juga punya keluarga."
Padahal, kita merasa udah kasih semua fasilitas dan nggak membeda-bedakan asisten rumah tangga sama keluarga sendiri. Tapi, yang namanya keluarga kandung, kehangatannya nggak akan terganti.
"Rumah mamamu juga enak, ya. Kompleknya besar, halamannya luas."
"Ya, pasti lah. Belum kota banget, masih banyak lahan kosong," sahutku.
Dua hari berkunjung ke rumah mama, cukup mengobati rinduku. Selama empat tahun kabur ke Newark, baru sekali ini aku menemui ibuku. Bukannya tidak ingin, tapi merasa bersalah karena sudah meninggalkannya tanpa pamit. Waktu itu aku cuma bilang butuh waktu menenangkan diri, tapi aku nggak pernah terus terang, kalau aku menetap di Newark. Tiga bulan pertama di sana, aku sama sekali nggak menghubungi Mama. Namun, di bulan selanjutnya komunikasi kami lancar.
"Ya ampun, Naren, kamu kok tambah kurus, ya?" tukas Mama setelah berjabat tangan dengan Naren.
Lelaki itu tersenyum tipis. "Kangen bikin nggak nafsu makan, Tante."
"Tenang, Tante bakal masakin yang enak-enak. Kalian di sini seminggu, 'kan?"
"Dua hari doang, Ma," jawabku. Sekilas aku melihat kekecewaan terpancar dari sorot mata mama. "Nanti kalau jadwalku udah kosong, aku bakal liburan di sini, lama." Pasti. Aku akan meluangkan waktuku untuk ke sini. Aku kangen banget sama mama sama adikku, sama nenekku juga. Hanya mereka keluarga yang aku punya. Kami bersama-sama mencoba bangkit, perlahan.
"Jangan keseringan ngelamun. Di halaman belakang, kata Pak Sugeng ada penunggunya." Naren menepuk bahuku.
Aku menghela napas panjang, mengurut dada, karena terlalu kaget. "Ngarang." Aku ikut berdiri, menggamit lengannya, berjalan masuk. Namun, langkah kami terhenti ketika melihat sosok yang berdiri di depan kami.
"Mama?"
Itu suara Naren, sedangkan aku membeku di tempat dan berusaha mengatur detak jantungku yang menggila.
***
"Mama nggak tahu kamu sebodoh ini, Naren," Tante Azela berdecak, memalingkan muka dari putra pertamanya. "Kamu kembali sama Sahira setelah apa yang dia lakukan ke kamu? Ke kita?"
Setelah kemunculan mendadak ibu Naren, lelaki itu langsung menbawa Tante Azela ke ruang tamu, sebelum dia meledak-ledak. Kini, aku bersama Naren, duduk menghadap calon ibu mertuaku. Telapak tanganku basah, dipenuhi keringat. Aku nggak sanggup menatap mata Tante Azela yang penuh kekecewaan. Dulu, dia adalah salah satu sosok yang selalu mendukungku. Selalu ada di sisiku jika aku mendapat masalah. Meskipun hubunganku dengan Naren baru berusia dua tahun, tapi lelaki itu sudah membawaku masuk ke dalam keluarganya.
"Mama tenang dulu, aku jelasin satu-satu biar Mama nggak salah paham sama Sahira," tukas Naren dengan suara tenang.
"Apa? Apa yang mau kamu jelasin?" Suara Tante Azela meninggi. "Demi Tuhan, Naren ... kalau kamu memang nggak mau sama Krystal dan pacarmu sekarang bukan Sahira, Mama rela."
Hatiku tercubit, aku menarik napas perlahan, mencoba menahan air matanya yang mulai menusuk-nusuk.
"Ma, jangan ngomong begitu."
"Kamu nggak ingat, gimana hancurnya kamu karena Sahira pergi tanpa pamit, hilang bertahun-tahun?!" Tante Azela melayangkan tatapan nyalang kepadaku. "Mama nggak akan lupa hari itu, Naren. Dikabari Kava lewat telepon kamu di rumah sakit karena percobaan bunuh diri. Mama nggak akan lupa hari itu!"
"Cukup, Ma!" bentak Naren.
Mata Tante Azela membelalak lebar. Mungkin terlalu terkejut, Naren baru membentaknya. Selama ini, lelaki itu tidak pernah berkata kasar dan meninggikan suaranya pada sang ibu. Mendadak aku merasa bersalah, karena jadi penyebab Naren melakukan itu.
"Maaf, Ma ... " bisik Naren, meraih tangan ibunya.
"T-tante, maaf," kataku terbata-bata. "Maaf karena udah ngecewain Tante dan Naren. Maaf karena jadi pengecut dan main kabur aja. Maaf, karena nggak cukup kuat buat menghadapi kejadian empat tahun lalu." Air mataku lolos begitu saja.
"Udah telat," desis Tante Azela. "Kenapa kamu harus kembali di saat Naren udah baik-baik saja? Kamu bikin hidup kita berantakan lagi."
"Itu karena Oma," tandas Naren. "Oma datang nemui Sahira dan memaksa Sahira pergi. Ini semua salah Oma."
Aku menoleh ke arah Naren dengan mata melebar. "Ren!"
"Nggak apa-apa, biar Mama tahu dan nggak seenaknya nyalahin kamu," tukas lelaki itu. "Karena Oma, Sahira pergi. Waktu itu dia down, dia depresi, dia bingung, banyaknya dukungan yang datang ke dia, hilang setelah dengar permintaan Oma."
"Oma? Oma nyuruh kamu pergi?" Mata Tante Azela memohon jawaban padaku.
Aku mengangguk pelan, tapi tak berani membalas pandangan matanya.
"Kamu nggak ngarang cerita, 'kan?" selidik Tante Azela.
"Ma!" tegur Naren.
"Oke, cerita. Ceritakan semuanya."
Aku menarik napas, menenangkan diri, tanganku yang di atas pangkuan, tiba-tiba digenggam Naren. Tangan besar dan hangat lelaki itu melingkupi jemari kecilku. Mengalirlah kejadian menyakitkan empat tahun lalu dari mulutku. Aku tidak berharap Tante Azela menerima sepenuhnya, tapi setidaknya aku ingin dia memahami perasaanku saat itu.
"Waktu itu aku berpikir apa yang dikatakan Oma, semuanya benar. Aku nggak layak buat Naren, aku terlalu rendah untuk masuk ke dalam keluarga kalian. Jujur, aku takut, Oma bakal ngelakuin sesuatu kalau aku nggak menuruti dia. Aku memang jadi pengecut saat itu."
"Terus, alasan kamu kembali karena ingin bersama Naren lagi?"
"Nggak. Aku ke sini karena ini duniaku. Aku nggak mau bersembunyi dari kesalahan yang nggak pernah kulakukan. Bukan salahku, papa jadi kriminal. Kenapa aku yang harus bertanggung jawab?" Aku mengulas senyum tipis. "Aku ditawari Devan dan sayang rasanya harus mundur, cuma karena rumah produksi yang menaungi serialku punya Naren. Kalau boleh jujur, aku belum siap bertemu Naren. Aku nggak tahu kalau dia mau memaafkan aku atau nggak. Dan aku nggak mau menyakiti diriku sendiri, dengan melihat Naren sudah bahagia dengan pasangannya. Walaupun aku tahu, pasangan Naren memang perempuan yang pantas bersanding dengan dia."
"Tapi, sekali pun aku nggak pernah anggap Krystal jadi pasanganku. Kapan memangnya aku setuju sama perjodohan itu, Ma? Mama pernah dengar aku ngomong setuju?" Sekarang giliran Naren menatap sang ibu lekat-lekat.
Tante Azela menunduk, terdengar dia mengembuskan napas panjang. "Mama nggak mau kamu terjebak sama masa lalu. Mama nggak mau kamu terus mengharapkan Sahira kembali. Jadi, Mama setuju sama rencana Papa dan omamu. Kalau tahu ternyata begini, Mama dari awal akan menentang rencana mereka."
"Krystal nggak sepolos yang Mama kira. Dia ambisius. Yang ada di pikiran dia itu gimana cara menguntungkan dirinya sendiri. Apa pun akan Krystal lakukan, kalau dia diuntungkan," terang Naren. "Oma sama Papa pun cuma mikirin uang. Mikirin gimana memperluas perusahaan. Padahal, tanpa pernikahan pun, bisa. Kenapa mereka nggak mikirin kebahagiaan aku?"
"Mama tahu perjodohanmu sama Krystal untuk keuntungan bisnis. Tapi, Mama berharap kamu bisa jatuh cinta sama Krystal dan kalian bisa hidup selayaknya pasangan suami istri."
"Mama salah besar. Gimana bisa aku jatuh cinta sama Krystal di saat semua yang aku lakuin untuk Sahira?" Naren mendengkus, "aku bangun RR Production buat Sahira, karena aku percaya dia pasti pulang. Dan, suatu saat nanti, aku bakal serahin RR Production buat Sahira."
"Maksud kamu?" tanyaku.
"Itu perusahaan kamu, Ra. Itu hak kamu. Aku bangun itu memang untuk kamu. Kamu pikir kenapa namanya RR? RR itu singkatan nama kita. Ra, Ren. Aku udah terlalu pusing handle PR Entertainment."
"Jangan gila dong, Ren ... itu punyamu, bukan punyaku. Aku nggak punya kontribusi apa pun di perusahaan itu."
"Kalau nggak ada kamu, rumah produksi itu nggak akan terbentuk," tukas Naren tersenyum.
Tanpa sadar aku dan Naren berdebat di depan Tante Azela. Saat mataku melirik ke arah wanita yang duduk di depanku, aku langsung menutup mulut rapat-rapat dan tersenyum canggung. "Ren ... udah," kataku sambil melirik Tante Azela, memberi kode agar masalah RR Production dibahas nanti.
"Sekarang kan Mama udah tahu, kalau aku nggak setuju sama perjodohan itu. Aku juga udah punya pacar sendiri. Aku masih nunggu klarifikasi dari papa atau keluarga Krystal soal hubunganku sama Krystal selama ini itu palsu. Kalau papa nggak mau buat klarifikasi, aku bakal klarifikasi sendiri," tandas Naren.
"Kenapa kamu nggak ketemu papa langsung aja? Kamu ngomong sendiri?"
"Ide bagus! Atur jadwal makan malam aja, sama oma sekalian. Biar Mama bisa langsung tanya sama Oma. Nanti aku ajak Sahira, gimana?"
"Kalau Mama sih, setuju." Tante Azela melirikku ragu-ragu. "Sahiranya sendiri mau nggak?"
Aku menatap Naren dan Tante Azela bergantian. "Ehm ... aku nggak bisa kasih jawaban sekarang."
"Nggak apa-apa," sahut Tante Azela. "Tapi, secepatnya kalian berdua harus ke rumah. Biar Papa sama Oma tahu, kalau kamu udah punya pacar beneran, Ren."
Aku mengangguk. "Makasih, Tante."
"Besok aku bakal ajak Krystal ketemuan. Yah, biar Krystal siap-siap kalau nanti aku kasih klarifikasi ke media."
"Terserah kamu," Tante Azela tampak menghela napas, "Tante minta maaf ya, Sahira. Selama empat tahun ini Tante benci kamu karena udah bikin Naren hancur. Tante hopeless banget, bingung gimana caranya biar Naren bisa kembali kayak dulu. Tante menyalahkan kamu tanpa tahu yang sebenarnya."
"Nggak apa-apa, Tan. Aku emang salah. Harusnya aku berani pertahanin Naren. Tapi, waktu itu aku kalut banget sampai nggak bisa berpikir jernih." Aku tersenyum lega, Tante Azela memaafkanku. Aku sama sekali nggak menyalahkan dia karena membenciku.
"Udah lah, jangan bahas yang sedih-sedih lagi," tutur Naren tak suka, "yang penting Mama siap kan, dukung aku di depan Papa sama Oma?"
"Mama selalu dukung anak-anak Mama, Naren .... kalau mereka bahagia," jawab Tante Azela lembut. "Kasih tahu adikmu, kalau dia tahu dari orang lain, pasti marah."
Aku meringis, mengingat Galen, lelaki yang usianya lima tahun di bawahku. Mirip kakaknya, Galen ini ahli banget kalau disuruh bermanis-manis di depan cewek. Dia orangnya sopan, selalu jaga penampilan, murah senyum juga. Kalau zaman sekarang disebutnya fakboi, kali. Tapi, kalau sama Naren bisa galak abis. Kadang, aku kasihan lihat Naren tertindas.
"Nanti, tunggu dia resign dari kantornya sekarang. Keluarga udah bikin perusahaan susah-susah, malah kerja di kantor orang," dengkus Naren. "Aku juga masih jengkel dia lari dari tanggung jawab perusahaan."
"Permisi, makan siang sudah siap, Bu," kata Mbak Arsih.
Tante Azela yang pertama kali berdiri. "Kita makan dulu, bahas soal Krystal, perusahaan, atau oma dilanjut nanti. Tapi, ingat, Mama dukung keputusan kamu, bukan berarti Mama akan beresin urusan kamu. Kamu harus bisa tangani sendiri. Bujuk Papa sama Oma sampai bisa," terangnya lalu melenggang pergi meninggalkan Naren dan aku.
Aku melirik lelaki di sampingku sambil membuang napas panjang. "Kita bisa, 'kan?"
"Bisalah, Sayang," jawab Naren tersenyum teduh, meraih tanganku, menggenggamnya erat dan membawa ke bibirnya, untuk dikecup. Seketika, hatiku menghangat. Ada orang yang memperjuangkanku sekeras ini.
TBC
***
So far, gimana perkembangan alurnya?
Maap banget kemarin lupa updateee🙏🙏🙏
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top