11 - The Two Face Queen

"Mbak Sahira!"

Aku menoleh ketika seseorang memanggil namaku. "Iya?" jawabku sambil tersenyum.

"Kemarin belum sempat foto bareng, Mbak. Gue fans berat lo," kata Kevin, pemeran tokoh utama lelaki di serialku.

"Serius?" Dia mengangguk. "Ayo, kita foto." Kevin mengeluarkan ponselnya dan kami pun mengambil swa foto beberapa kali.

"Dulu, cita-cita gue jadi suami lo, Mbak. Tapi, gue sadar diri, lo terlalu tinggi untuk gue gapai." Kevin terkekeh setelahnya.

Aku tergelak. Lelaki itu terlihat lucu. Usianya mungkin masih sekitar dua puluh tahunan. Kelihatan muda banget. "Lo naksir gue dari kelas berapa?"

"Dari SMP, Mbak." Kevin menyengir.

Mataku membelalak. "Udah lama banget! Sekarang umur lo berapa?"

"Dua empat, Mbak. Iya, gue cinta mati sama lo, Mbak. Makanya gue seneng banget, pas tahu ternyata serial ini bikinan lo, gue super proud to be part of this crew," jelasnya

Aku tersenyum tulus. Serius, ini membuatku terharu. "Kevin, makasih banyak, ya ... udah jadi penggemar gue. Semoga proyek ini bisa jadi memorable moment buat lo."

Lelaki itu mengangguk. Matanya berbinar. "Pasti lah, Mbak. Ini bakal salah satu best moment of my life!"

"Enak banget ini ngobrolnya, sampai nggak sadar berdiri di depan pintu," celetuk Devan.

Aku dan Kevin terkekeh kecil. Lalu, kami bertiga berjalan menuju tempat duduk yang ditata berjajar. Namun, sebelum aku duduk, Devan mencekal tanganku. Aku mengernyit heran. Lelaki itu malah mengulurkan tangannya dan merapikan rambutku.

"Berantakan dikit barusan," katanya dengan cengiran lebar di bibir.

"Thanks, Dev."

Tak lama, para aktor dan kru pun datang memenuhi kursi. Krystal jadi yang paling akhir. Kameramen pun sudah siap di tempat masing-masing. Seperti biasa, pasti akan ada proses dokumentasi di setiap langkah pembuatan serial. Sebelum acara pembacaan naskah dimulai, seorang perempuan, yang belum pernah kulihat berdiri di depan, menghadap kami semua.

"Selamat pagi semua," sapanya, "saya Greta, staf marketing RR Production. Jadi, selain kru dari RR Production, ada kru dari Bazaar magazine juga. Mereka bakal take foto or video di sini. Nanti, sebelum jam istirahat, para aktor, sutradara sama penulis skenario bakal diwawancarai sama Bazaar. Untuk pemotretannya akan dilaksanakan setelah konferensi pers. Edisi khusus serial Double Trouble, bakal dimuat Bazaar bulan September. Dua bulan lagi." Perempuan itu lalu keluar setelah menyampaikan pesan barusan.

Oh, aku nggak tahu kalau Bazaar bakal meliput kami. Boleh juga promosinya. Aku jadi teringat omongan Devan, kalau RR Production nggak sayang ngeluarin banyak duit buat proyek yang digarap.

Jantungku berdetak kencang, saat Devan membuka acara pembacaan naskah ini. Aku udah nggak sabar dan setengah percaya, setengah nggak, kalau naskah yang kutulis beneran bakal diproduksi. Sebelum para aktor membaca dialog dalam naskah, sesi wajib yang harus dilakukan adalah perkenalan diri.

"Selamat pagi, teman-teman. Gue Devan, sutradara serial Double Trouble. Terima kasih semua, atas kehadirannya. Semoga proses pra produksi dan produksi lancar semua."

Kami bertepuk tangan setelah Devan kembali duduk. Kini giliranku. Aku berdiri dengan membawa mikrofon, dan tersenyum sebelum memperkenalkan diri.

"Halo semuanya, gue Sahira Moelya Permadi. Seperti yang kalian tahu, gue udah lama berkecimpung di dunia seni peran, tapi ini pertama kalinya gue jadi penulis skenario. Jadi, gue mohon dukungan dan bimbingannya, Dev, Mbak Raina, Mas Zumi," aku menghadap ke arah mereka sambil terkekeh kecil. "Semoga serial ini sukses dan jadi langkah baik buat kita semua," kataku bersungguh-sungguh.

"Selamat pagi semuanya ... perkenalkan gue Krystal Hayes, berperan sebagai Julia. Jujur, gue excited banget akting di serial ini, karena banyak nama besar yang terlibat. Mohon bimbingannya para senior yang udah jago-jago," kata Krystal tersenyum manis sambil menundukkan kepalanya.

Wah! Serius, kemampuan gadis itu berakting emang nggak main-main. Bahkan, waktu nggak lagi main drama pun, dia udah akting aja. Jujur, Krystal memang kelihatan manis banget. Nggak heran kalau banyak yang jatuh cinta sama gadis itu, karena memang dia pinter banget ngomong. Buktinya, para staf laki-laki di sini, langsung tersenyum lebar sambil memandangi gadis itu.

Setelah sesi perkenalan selesai, akhirnya bisa masuk ke acara utama. Pembacaan naskah. Aku menikmati sekali proses ini. Para aktor pun kayaknya udah pada lihai menjiwai perannya masing-masing. Semuanya lancar-lancar aja.

Naskah Serial Double Trouble
Oleh: Sahira Moelya Permadi

Episode 16 - Sweet Chaos

Scene 134. EXT. Lapangan Fakultas Ilmu Sosial & Politik. Malam hari.

Situasi: Suara musik dan riuh penonton terdengar.

Kamera: Long shot ke arah panggung dan situasi sekitar yang ramai dan fade in close up ke Brian dan Lia.

Brian dan Lia duduk berhadapan di tanah lapang, dengan banyak orang di sekelilingnya.

Cut to

Scene 135. EXT.  Lapangan Fakultas Ilmu Sosial & Politik. Malam hari.

Situasi: Suara riuh teredam, fokus pada percakapan Lia dan Brian.

Kamera: Close up ke arah Brian yang menyalakan rokok dengan pemantik.

Brian mengeluarkan rokok dari saku jaket, menjepit rokok itu di antara dua bibir dan menyalakannya.

Cut to

Scene 136. EXT. Lapangan Fakultas Ilmu Sosial & Politik. Malam hari.

Kamera: Close up to Lia dan Brian. Static.

Lia yang melihat asap, langsung mencebik kesal. Menggeser duduknya menjauh dari lelaki itu.

Lia

(Wajah terlihat jengkel, terbatuk-batuk.)
"Kalau mau cepet mati, jangan ajak-ajak orang."

Brian

(Mengepulkan asap rokok ke depan wajah Lia sambil cengengesan.)

"Nyebat itu penghilang stres, Jul."
(Kepala lelaki itu menoleh ke arah panggung, melihat penampilan sebuah band.)

Cut to

Scene 137. EXT. Lapangan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Malam hari.

Kamera: Close up to tangan wajah dan tangan Lia, bergantian. Fokus pada ekspresi Lia.

Lia

(Menghela napas, mengambil bungkus rokok yang ada di samping Brian. Lia mengambil satu batang rokok, menyalakannya dan menunjukkan rokok di depan wajah Brian.)

"Kalau nyebat beneran bisa ngilangin stres, gue mau coba lah. Emang yang stres lo doang?"

(Lia bersiap memasukkan rokok itu ke dalam mulutnya.)

Cut to

Scene 138. EXT. Lapangan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik.

Kamera: Close up to Brian. Lalu statis menyorot Brian dan Lia.

Brian

(Wajah Brian menampakkan ekspresi terkejut. Matanya melebar.)

"Jangan, Jul!"

(Brian mencekal tangan Lia, memegang pergelangan tangannya.)

"Itu scene 137,  menurut gue Lianya harus super marah sih. Jangan cuma menghela napas," kata Mbak Raina, asisten sutradara. "Itu kan Brian baru nyemprot asap rokok ke mukanya, harusnya sih mencak-mencak."

"Oh, iya. Gue baru kepikiran," sahutku.

"Ditandai ya. Oke, lanjutkan," tukas Devan.

Aku terbawa suasana, mengikuti sesi pembacaan naskah ini seperti ikut kelas mendongeng. Tidak sabar sendiri untuk cepat-cepat ke akhir cerita. Namun, suara Devan yang memberitahu bahwa jam istirahat datang, membuatku menghela napas. Padahal baru jam setengah dua belas, kok cepetan?

"Biar makan siangnya nggak telat, kita istirahatnya dimajukan. Sekarang, akan diadakan sesi wawancara sama Bazaar," kata Devan menjawab pertanyaanku.

Aku, bersama para aktor diarahkan ke ruangan sebelah kiri, yang sudah disiapkan untuk corner wawancara. Ada kamera, lighting, dan kursi berjajar rapi.
Mas Edi—jurnalis Bazaar, menerangkan ada dua sesi wawancara. Pertama, wawancara akan dilakukan di sini secara bergantian. Sesi kedua, adalah wawancara pribadi, nanti akan diadakan secara bersamaan, di tempat yang berbeda. Jadi, setiap orang akan di dampingi seorang jurnalis atau kru dari Bazaar.

"Oke, pertama kita mulai dari Sahira," kata Mas Edi dengan semangat. "First, welcome back, Sahira. Kaget banget waktu tahu kamu kembali, bukan jadi aktris, tapi jadi penulis skenario. What do you feel about that?"

"Aku bersyukur banget bisa kembali ke sini untuk mencoba hal baru. Apalagi banyak teman-teman yang dukung aku. Dan, sebenarnya, yang berperan banget dan buat aku kembali ke dunia hiburan ini, Devan."

"Oh, kok bisa?"

"Aku sama Devan nggak sengaja ketemu di Newark beberapa bulan lalu, dan kita cerita-cerita aja apa yang dilakukan selama beberapa tahun ke belakang. Dan waktu aku bilang aku masih nulis cerita, Devan langsung minta naskahku. Padahal waktu itu, bentuk naskahnya belum jadi naskah film," terangku. "Dia juga yang bujuk aku pulang ke Jakarta, dan dia yang ngajarin aku gimana cara nulis skenario yang keren."

"So sweet banget. Ini benefitnya punya teman yang loyal," komentar Mas Edi.

"Ini proyek pertamaku jadi penulis skenario dan langsung dapat sutradara sekelas Devan, PH yang kompeten dan aktor serta aktris yang emang lagi hits karena talent mereka. I feel so grateful."

"Oke, udah tahu sedikit-sedikit soal gimana akhirnya our queen come back, kita tahan dulu Sahira, nanti bakal ditanyain lagi yang lebih detail di wawancara pribadi," ujar Mas Edi. "Sekarang kita pindah ke Krystal. Our female lead! How do you do, Krys?"

"Fantastic. Thank you." Krystal tersenyum cerah.

"Boleh dong, diceritakan awal mula kenapa kamu terima peran Lia?"

"Awalnya aku ditawarin sama Bang Devan, mau gabung sama proyek ini nggak. Dia juga bilang kalau penulis skenarionya itu Kak Sahira. Aku kaget banget, dan nggak pikir panjang aku langsung bilang, oke aku mau," jelas Krystal. "Aku tetap ikut audisi, karena ya emang yang ditawarin nggak cuma aku aja. Bang Devan orangnya perfeksionis, jadi ya aku nggak masalah. Tapi, yang namanya rezeki, nggak bakal ke mana."

"Jadi, karena Sahira bukan karena naskahnya?"

"Awalnya karena Kak Sahira. She's living legend. Siapa sih yang nggak mau kerja sama bareng dia? Jadi, aku pikir, ini mungkin kesempatan sekali seumur hidup bisa kerja bareng Kak Sahira, dengan dia sebagai penulis skenario," jawabnya santai. "Tapi, habis baca naskahnya, aku jatuh cinta sama karakter Julia. Dia kayak real banget. Keras kepala, egois, mau menang sendiri. Ini juga cerita lengkap banget. Ada thriller, romance, comedy, terus ada value-nya. Paket komplit aja."

Kalau saja aku nggak tahu gimana Krystal dan nggak dengar obrolannya sama Devan beberapa hari lalu, aku pasti tahunya dia ngomong dari hati. Senyumnya, ekspresinya, nada suaranya, alami. Nggak ada kesan dibuat-buat. Apa karena udah kebiasaan muka dua jadi bisa santai begitu? Dan, yang bikin aku lebih takjub, Krystal bisa muji-muji aku, padahal dia habis jelek-jelekkin aku di depan mukaku. Nyalinya memang patut diacungi jempol. Apa dia nggak takut, kalau aku buka suara di depan media? Apa dia terlalu percaya diri, kalau publik akan selalu memihaknya?

***

Menu makan siang hari ini benar-benar menggugah seleraku. Semuanya makanan Indonesia, yang memang aku kangenin. Ada garang asem, ayam sambal matah, tempe goreng, udang goreng, sama sambal terasi. Setelah kembali dari Newark ke Jakarta, aku selalu ngidam makanan Indonesia. Bahkan, kemarin aku beli banyak jajanan yang biasa ada di pinggir jalan, sampai bikin Naren kesal. Gimana nggak kesal, ya? Aku beli cilok, cireng, tahu gejrot, pem pek, es cendol, ketoprak, soto mi, pisang cokelat, dalam sehari. Aku nggak makan nasi, karena udah kenyang makan jajan itu. Dan, rencana Naren ajak aku dinner di luar pun, gagal.

Aku menepuk-nepuk perutku yang kekenyangan, sambil berjalan menuju toilet. Selesai buang air, aku cuci tangan di wastafel, sambil merapikan rambutku yang berantakan. Aku mengeluarkan cushion dan lipstik dari clutch-ku, siap untuk re-touch up riasan wajahku.

Ketika sedang mengaplikasikan lipstik, pintu toilet pun terbuka. Dari cermin, aku melihat Krystal yang berjalan ke arahku. Dia melakukan hal sama denganku. Memakai make up-nya kembali. Aku memasukkan lipstik ke dalam clutch, lalu berbalik bersiap pergi. Namun, langkahku terhenti saat Krystal memanggil namaku.

"Iya?" Aku menoleh ke arahnya.

"Selama ini, gue ngira-ngira, apa yang bikin Bang Devan mau ambil naskah dari lo. Padahal ini karya pertama lo dan nggak ada jaminan bakal bagus. Terus, lo itu udah nggak relevant lagi. Udah nggak ada yang peduli lo. Mereka udah lupa sama lo, Kak Sahira," tuturnya. Aku cuma diam, penasaran. "Tapi, setelah dengar penjelasan lo tadi Kak, gue paham. Lo punya hubungan sama Bang Devan?"

Aku terkekeh kecil. "Kenapa kalau iya, dan kenapa kalau bukan?"

"Kalau kalian emang pacaran, ya pantas aja Bang Devan nggak pikir panjang buat terima naskah Kak Sahira. Dia cuma mau menyelamatkan lo aja, bukan karena naskah lo bagus," ujarnya. "Dan, kalau bukan, pasti kalian ada something yang bikin Bang Dev mau mempertaruhkan nama baiknya buat lo. Atau, rumor empat tahun lalu, soal lo emang benar. Kalau lo selalu kasih servis, buat dapet peran atau award."

Aku tertawa. Dulu, mungkin aku bakal langsung pergi, karena nggak mau ada orang lihat aku nangis. Tapi, sekarang rasanya kok mulut gatal kalau nggak balas omongan kurang ajar begitu.

"Krystal, gimana kalau kita lihat aja reaksi publik waktu tahu gue kembali?" balasku dengan tangan bersedekap di depan dada. "Di mata lo, gue nggak emang udah relevant lagi. Tapi, hati-hati aja, tolong jangan jantungan, kalau nanti tahu siapa aja yang berdiri di belakang gue. Mereka adalah orang-orang yang sangat relevant di bidangnya."

"Kak Sahira mau sombong kalau punya backing-an gitu?"

Aku mengangguk. "Gue punya support system yang loyal sama gue. Mereka nggak peduli sama skandal gue empat tahun lalu. Mereka rela lakuin apa aja buat gue. Mungkin, lo udah ada ide siapa mereka, kalau lo mau mikir sedikit. Dan, Krys, kalau something bad happen to you, lo yakin punya tim yang bakal dukung lo selain orangtua lo? Tanpa lo minta, tanpa lo bayar. Dengan sikap lo yang terang-terangan bermuka dua begitu, kok gue nggak yakin."

Krystal mendengkus, rahangnya mengeras. "Harusnya lo nggak usah tanya itu, karena gue punya segalanya yang nggak lo punya. Hati-hati Kak Sahira, lo baru aja comeback ke dunia entertainment, lo nggak mau hancur lagi kan, karena bikin masalah sama gue?"

"Naren."

"Apa?" Matanya melebar.

"Lo nggak memiliki Naren."

"Maksud lo apa?"

"Di media, katanya kalian pacaran. Tapi, kemarin gue lihat sendiri, gimana sikap Naren ke lo. Dan, nggak perlu jadi orang pinter buat tahu, kalau kalian nggak ada hubungan. Dia udah sekasar itu, kenapa lo masih bertahan pengin jadi pacar dia?" tanyaku, ingin tahu apa jawabannya. Siapa tahu dia akan jujur.

"Itu bukan urusan lo," desisnya.

"Kalau lo emang punya segalanya, lo nggak butuh Naren. Gue nggak akan bertahan sama cowok yang nggak memperlakukan gue dengan pantas. Karena, harga diri gue tinggi. Nggak bisa ditukar dengan apapun. Termasuk, nama besar bersatunya keluarga Hayes dan Pradyanto," tukasku lalu keluar meninggalkan Krystal yang membeku di tempat.

TBC
***

PS: Penulisan skenario aku lihat contoh di beberapa website. Kalau ada yg salah, kurang tepat, dan kalian tahu, mohon dikoreksi ya 🙏🙏

Ini part favoritku, walaupun nggak ada momen Naren-Sahira hehe

Udah mulai sebel Krystal?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top