08 - Can We Make It? (2)
"Aku dijodohin sama dia."
Mataku melotot. "Jadi, yang diomongin dia bener?"
Naren berdecak. "Dijodohin, bukan berarti aku setuju."
"Tapi, dia ngomong sendiri sama media. Kalau memang kalian nggak ada apa-apa, kenapa kamu diem aja?"
Aku paham banget, trik-trik media yang suka bikin berita palsu, penuh klik bait. Aku pun pernah jadi korban waktu jadi aktris. Kadang, media kalau dapet skandal panas, biasanya bakal hubungin agensi-agensi, nanyain berita ini mau dipublikasi atau nggak. Kalau agensi merasa berita itu bakal merugikan aktrisnya, agensi bakal bayar media itu, biar mereka nggak publikasi. Hal itu pun berlaku sebaliknya. Kalau agensi butuh berita aktrisnya viral, agensi bakal bayar media buat blow up berita yang dimaksud. Tapi, kalau udah terlanjur kesebar, ya harus ikhlas. Nggak ada mediasi lagi antara agensi. Dan, media pun pasti lebih pilih nerbitin berita-berita yang viral, karena itu menguntungkan mereka.
Nah, ini masalahnya ada video wawancara Krystal yang bilang kalau cewek itu pacarnya Naren. Tapi, Naren malah nggak ngakui hubungan mereka. Drama apa yang mereka mainkan?
"Aku sama Krystal dijodohin. Papa pengin bangun kerajaan bisnis di dunia hiburan. Keluargaku punya agensi hiburan, keluarga Krystal punya stasiun televisi. Bayangin aja, Ra ... gimana berpengaruhnya kami kalau bergabung? Kalau cuma kerjasama perusahaan, udah banyak yang lakuin itu. Mereka tetap berpengaruh. Tapi, pandangan orang tetap bakal berbeda, kalau dua keluarga berpengaruh bersatu lewat pernikahan. Apalagi di Indonesia, pernikahan itu masih dianggap sebagai pemersatu keluarga dan sesuatu yang sakral. Di mata orang-orang, keluarga kami pasti lebih mentereng, lebih wow, kalau terhubung dengan pernikahan."
Aku setuju dengan penjelasannya. "Tapi, kalau kamu nggak setuju, kenapa diam aja?"
"Ya, aku harus ngapain? Ngurusin bocah itu ngomong apa aja ke media? Aku nggak punya waktu," jawabnya tenang. "Aku belum setuju dan mereka masih berusaha bujuk aku. Mau gimana pun, aku nggak cuma CEO, tapi juga share holder terbanyak PR Entertainment, karena ada RR Production. Semua keputusan ada di tanganku."
"Jadi, kalian belum pacaran?"
"Belum dan nggak akan pacaran," katanya mempertegas. "Itu cuma salah satu taktik Krystal aja, untuk menarik simpati publik. Dia tahu, dia punya banyak fans, jadi dia memanfaatkan itu. Meskipun masih muda, Krystal ini ambisius banget. Dia bakal melakukan apapun untuk menguntungkan dia. Kariernya sebagai aktris, akan lebih mudah kalau agensiku sama SBC TV kerjasama. Nama dia juga akan semakin terpandang. Satu-satunya yang menentang perjodohan ini aku. Tapi, nggak masalah, hasilnya juga ada di aku."
"Tapi, itu artinya keluargamu setuju kalian menikah." Aku tiba-tiba teringat perkataan Oma Naren. Ini pasti keinginan beliau. Naren bersanding dengan perempuan yang memiliki keluarga sepadan.
"Rara ... " Naren membelai wajahku, "pendapat mereka nggak berpengaruh dalam hidupku. Ini memang ide Oma. Tapi, kamu nggak perlu takut. Ada aku."
"Kalau orangtua kamu kecewa gimana? Ibu kamu pasti benci banget sama aku, karena aku pergi gitu aja. Apalagi kamu hampir aja meninggal karena aku."
Hubunganku dengan orangtua Naren, udah cukup dekat, meskipun kami baru pacaran dua tahun. Apalagi Tante Azela, mama Naren, yang super ramah dan baik. Om Sulaiman juga baik. Tapi, mereka pasti benci aku karena udah ninggalin anaknya dan bikin Naren melakukan percobaan bunuh diri.
"I'll handle this."
"How?"
"Tell them the truth."
"Maksudnya?"
Kali ini dia mengusap puncak kepalaku. "Bilang ke mama papa, kalau Oma yang nyuruh kamu pergi."
Aku menggeleng. "Jangan! Aku nggak mau mereka malah saling nyalahin nantinya."
"Biar mereka tahu semuanya," tukas Naren tenang. "Kamu nggak usah pusing mikirin itu. Aku bakal yakinin mereka, kalau pilihanku nggak salah. You're the path that I will always take."
Aku mendongak, menatap bola matanya yang jernih. "Can we make it?"
"We will make it." Dia menarik tubuhku dan mengecup pelipisku.
***
Jatuh cinta bikin orang jadi gila. Ya, mungkin istilah ini cocok buat aku sekarang. Aku nggak berhenti senyum dari tadi sambil curi-curi pandang ke arah Naren yang duduk di sampingku. Setelah ngobrol panjang lebar dari hati ke hati, aku sama Naren memutuskan buat pesan layanan kamar, makan siang. Nasi hangat, sup iga bakar, ayam bakakak, dan lalapan tandas dalam waktu setengah jam.
Harusnya aku sama Naren, nyusulin Clarine dan lainnya makan di luar. Tapi, aku nggak mau. Takut ketahuan. Dan, aku sama Naren kan baru aja balikan. Ya, berarti ini emang waktunya berduaan aja, temu kangen.
"Mereka balik ke sini lagi nggak kira-kira?" tanyaku, yang kini udah tiduran di sofa, dengan paha Naren sebagai bantal.
"Malah bagus mereka nggak usah balik."
"Kenapa?"
"Berisik. Males aku jawabin pertanyaan mereka satu-satu nanti."
Aku terkikik, tapi dalam hati menyetujui pendapat lelaki itu. "Ren ... "
"Hm?"
"Empat tahun pisah, banyak hal yang harus kita obrolin," tuturku.
"We have a time, Babe. Nggak usah terburu-buru. Aku nggak ke mana-mana kok." Dia membelai kepalaku, membuatku mengantuk.
"Kamu mau tidur?" tanyanya, waktu aku tutup mata. Aku merasakan tubuh Naren bergerak, lalu terdengar seperti suara laci ditarik, lalu disusul dengkusannya. "Ada kondom beneran."
Mataku langsung melek. "Eh, jangan macem-macem, ya!"
"Ukurannya salah pula. Mana cukup," gerutunya lalu meletakkan sebungkus kondom itu ke dalam laci kembali.
Aku mencebikkan bibir. "Lagian itu Rezky cuma iseng. Aku curiga mereka kasih CCTV di sini. Kalau kita jadi making love, nanti mereka asyik nonton."
Dia terkekeh. "Apalagi Benita."
"Dia pasti yang paling semangat. Kamu tahu, waktu di sana, Benita pernah hook up sama cowok, nggak pulang tiga hari. Dan, dia nggak kasih kabar ak—"
"ASSALAMUALAIKUM!" Suara lantang Benita terdengar dan tak lama ke empat orang sahabatku memasuki kamar.
"Kok kalian nggak nyusul?" semprot Clarine, perempuan itu memang nggak pernah santai. Bagus lah, ada aku di antara dia Benita, biar kalau mereka ngobrol nggak kedengeran kayak orang labrak-labrakkan.
"Takut dilihat orang," jawabku, bangun dari posisi berbaring dan bersandar pada Naren.
"Ya, lo kan bukan setan yang tembus pandang!" balasnya.
"Kok kasur masih rapi aja?" tanya Rezky yang sekarang sudah berbaring sambil memeluk guling. "Gue kira kalian udah tarung di ranjang."
Naren mendengkus. "Lo kalau mau beli kondom, lihat ukuran dong. Sia-sia, itu nggak kepakai. Apa itu seukuran lo?" Pacarku itu menyeringai, meledek Rezky.
Kava terkekeh, kini bersantai di single sofa sambil menepuk-nepuk perutnya. "Wis, jumbo berarti lo? Sahira, kecil kurus begitu, emang muat?"
"Ra, kalau fans lo tahu, lo kerjaannya ngewe mulu sama Naren, aduh ... pasti dihujat abis-abisan lo!" kata Benita yang duduk di depanku.
"Asal jangan hamil di luar nikah aja, aman," timpal Clarine, yang bergabung dengan Rezky di tempat tidur.
"Gue masih nggak ngerti, kenapa bisa bunting di luar nikah. Kayak nggak kenal kondom itu apa," celetuk Naren.
"Pakai kondom nggak enak, Bro," sahut Rezky.
"Ada kontrasepsi lain," balas Naren. "Gini lho, lo seks nggak pakai pengaman, terus pas dapet bayi, kaget? Emang lo expect-nya yang keluar apa? Teve?"
Aku mengangguk, setuju. "Ada suntik, pil, IUD, banyak jalan menuju safe sex."
"Tapi, nggak semua yang bunting di luar nikah itu, karena nggak pakai pengaman. Bisa jadi mereka kebobolan? Emang Tuhan yang kasih," tutur Benita.
"Ya nggak masalah, kalau mereka mau rawat anak itu. Nggak dibunuh atau dibuang. Banyak juga kasus begitu, eh pejantannya melarikan diri. Brengsek banget emang tuh makhluk berbatang," desis Clarine.
"Babe, berarti kamu anggap aku brengsek?" Rezky mencolek bahu Clarine dari belakang, sambil pura-pura merengek.
"Iya. Baru sadar?" balas Clarine datar. Dia tengkurap menghadapku dan yang lain.
"Tapi, banyaknya kasus itu, anak sekolah enak-enakkan wik-wik, di kebon pula, nggak elit. Terus, waktu ceweknya hamil, bingung. Bikin gue emosi," dumel Naren, "gue malah pernah baca berita, ada yang begituan, nggak bisa beli kondom, nekat pakai kresek. Gila apa? Kalau miskin ya, jangan banyak tingkah."
"Ish! Ngomongnya!" tegurku.
"Jangan songong lo!" tukas Kava, "Sahira bunting di luar nikah, baru tahu rasa."
Naren mengedikkan bahu. "Nggak masalah. Asalkan yang buntingin dia, gue."
Aku meremas lengannya keras sambil memberi pelototan tajam. Bisa-bisanya! "Kata siapa aku mau hamil di luar nikah?"
Hamil di luar nikah itu repot. Nggak cuma dapat hukuman sosial sama masyarakat, juga susah nanti urus anaknya kalau nikahnya telat. Soalnya, setahuku, kalau melahirkan di saat usia pernikahannya belum genap enam bulan, si anak nggak bisa bikin KK. Dia harus numpang ke KK orang lain. Aku nggak mau lah! Itu anakku, ya harus ikut KK-ku nanti.
"Ya kan nggak ada yang tahu," imbuh Benita.
"Udah deh, jangan bahas masalah hamil dulu," tutur Rezky. "Kalian udah punya rencana buat go public belum? Jaga-jaga aja, kalau Krystal tiba-tiba tahu. Bahaya itu bocah, mulutnya lemes."
Aku melirik Naren, bibirnya terkatup rapat. Baru aja balikan, masa harus mikirin go public kapan? Masih banyak banget urusan yang harus aku obrolin sama Naren. Memang sebahaya apa sih, Krystal? Kata Clarine, bocah itu ular. Terus, tadi Naren bilang dia ambisius. Ini Rezky juga wanti-wanti. Krystal, are you that dangerous?
TBC
***
Btw, udah selesai nih bahas galau-galauan masa lalu Sahira Naren.. Next part mulai perjalanan Sahira meniti karir dan hubungan di masa kini.. Bakal ketemu si Krystal juga kok..
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top