07 - Can We Make It? (1)
Naren masih berdiri tak jauh dari pintu. Kedua tangannya dimasukkan ke saku. Dia nggak menoleh ke arahku sedikit pun. Aku bisa mendengarnya menghela napas beberapa kali. Bibirnya juga menipis. Pastilah, dia malas berduaan denganku di sini.
"Shit!" umpat Naren.
Aku nggak pernah dengar dia ngumpat, kecuali waktu di atas ranjang. If you know what I mean. Jadi, aku juga nggak bisa protes.
"I'm out from here!" desisnya berbalik, dan meraih handle pintu.
"Tunggu!" cegahku.
Aku nggak tahu dari mana keberanian ini datang. Tapi, aku tidak akan menyia-nyiakan rencana Clarine dan Benita yang ingin membantuku. Aku menarik napas pelan-pelan dan menatap Naren.
"Aku bisa ngomong sebentar?" tanyaku hati-hati.
Naren bergeming lalu mengangguk.
"Kamu nggak mau duduk?"
Dia menjatuhkan pantatnya pada sofa di hadapanku. "Mau ngomong apa?"
"Maaf—"
"Don't say sorry. Bukannya aku bilang, aku nggak mau dengar maafmu?" tukasnya ketus.
"Aku nggak minta maaf soal empat tahun lalu. Aku minta maaf soal kemarin," terangku. "Aku minta maaf kemarin nggak ngomong apa yang seharusnya aku omongin."
Satu alis Naren terangkat. "Dan, kamu mau ngomong sekarang?"
Aku menelan ludah dan mengangguk. Tatapan tajam Naren yang ditujukan padaku membuat tengkukku merinding. Udara di kamar pun mendadak terasa lebih dingin.
"I realized what I do four years ago is unforgivable. I know I hurt you. But, I have a reason. Maybe you would call me stupid because of that. I flew to Newark for the best for us. Well, at least that's what i think. You're better without me, Ren."
"Don't talk riddle."
"Your grandma visited my apartment."
Mata Naren melebar. "Kapan?"
"Seminggu sebelum aku ke rumahmu buat pamit."
"Dia ngomong sesuatu, 'kan?"
Aku mengangguk. Aku nggak akan berbohong lagi kali ini. "She loves you so much. She cares alot about your family, your identity, your company. So, I understand why she asked me to leave you at the time."
"Ra ... jangan bilang kamu pergi karena itu?" Aku cuma tersenyum. Tanpa menjawab pun, dia udah tahu jawabannya. "I don't care what people think!"
"But I care!" tukasku. "Image-ku hancur karena berita-berita soal papa yang terus-terusan muncul. Harga diriku udah nggak ada. Di mata orang-orang, aku cuma anak mucikari, anak pengedar narkoba! Mereka mulai menyimpulkan kalau prestasi yang aku dapet selama ini bukan karena kerja kerasku. Aku nggak bisa mengendalikan apa yang orang-orang pikirkan, Ren. Itu hak mereka.
"Sedangkan kamu ... kamu dari keluarga Pradyanto. Keluarga terpandang. Keluarga yang punya kerajaan bisnis besar. Nggak mungkin selamanya kita jalanin hubungan sembunyi-sembunyi. Suatu saat, kamu pasti dituntut untuk menikah. Nanti, apa kata orang kalau tahu calonmu itu aku? Anak penjahat? Aku nggak pantas bersanding dengan kamu, Ren .... Aku nggak mau hancurin image your family. Nggak mau bikin susah kamu." Kepalaku nunduk, nggak berani natap mata Naren. "Tapi, kamu malah, try to end yourself. Why?"
"Kenapa, katamu? I lost my self when I lost you!" bentak Naren. "If you aks me to jump, I'll ask you how high. This is how much I love you, Sahira. Can't you tell?"
Air mataku yang dari tadi kubendung, akhirnya leleh juga. Aku terisak dalam diam. Lihat dia hancur, membuat hatiku hancur. Kita sama-sama patah. Dan, siapa yang harus mengobati?
"Kita udah terlalu hancur untuk kembali bersama, iya, 'kan?" Aku mengusap air mata di pipi, mendongak memberanikan diri menatap Naren. "Lagi pula kamu juga udah ketemu sama someone better than me."
Naren mendengkus. "No. Mungkin kita memang terlalu hancur, Ra ... but we have each other. We can do more than this. Dan, aku nggak menjalin hubungan sama siapa pun. Someone better, katamu? Harusnya kamu tahu, yang ditayangkan media, nggak semuanya bisa dipercaya."
Lelaki itu bangkit dari duduknya menghampiriku dan berdiri tepat di depanku, membuatku mendongak.
"Tapi—"
"Kamu pikir aku buat RR Production buat siapa, Ra? Jadi, CEO PR Entertainment aja udah bikin kepala meledak. Tapi, aku tetap pilih bangun rumah produksi, karena aku tahu, one day you will come back to me. I don't fucking care what other people say! Their opinions don't matter for me." Dada Naren naik turun, terlihat jelas kalau lelaki itu mati-matian menahan agar emosinya nggak meledak.
Aku tergugu di tempat duduk. Aku bisa mendengar suaranya sarat akan rasa sakit.
"Kapan pun itu, aku tahu kamu pasti pulang. Dan, aku nggak mau kecewain kamu, waktu kamu memutuskan kembali. Aku juga ngerti banget gimana cintamu sama dunia akting. So, I prepare all of this just for you. Kamu mau jadi aktris? Gabung sama PR Entertainment, kamu takut nggak ada yang rekrut kamu jadi pemain? Aku punya RR Production. I'll keep you safe. Kalau bisa, aku mau punya perusahaan keamanan, media, stasiun teve, apapun itu, ya buat kepentingan kamu."
"Kamu nggak perlu lakuin itu semua buat aku, Ren ... iya kalau aku beneran pulang. Kalau nggak?" bisikku setelah beberapa saat.
Naren duduk di sampingku. Aku bisa melihat manik mata cokelatnya yang jernih. "Kalau kamu nggak pulang, aku yang bakal jemput kamu. Di mana pun itu." Dia menangkup wajahku, menyingkirkan helaian rambut yang menutupi wajahku.
"M-maaf," kataku tersengal. "Maaf udah egois. Maaf udah nyakitin kamu. Maaf nggak bisa jadi perempuan kuat. Maaf, Naren ... a-aku belum jadi pasangan yang pantas buat kamu."
Dia menarikku ke dalam pelukannya. Naren mengusap-usap punggungku. Bukannya berhenti, tangisku semakin keras. Bisa dipastikan baju Naren ada bekas ingusku. Tapi, sepertinya dia nggak peduli.
"Rara," bisiknya dengan suara rendah. "Tiap hari aku kangen kamu. Tiap hari aku berharap kamu di sini. Aku masih cinta kamu. Kemarin, sekarang, dan seterusnya. Jangan pergi lagi, ya?"
"Setelah rasa sakit yang aku kasih ke kamu, kamu masih mau terima aku?" Aku menatap Naren.
"Kamu juga sakit. Kita sama-sama sakit, Sayang." Naren memberikan tatapan sendu.
"Tapi, Krystal? Aku lihat beritanya, dia ngomong sama wartawan kalau kalian pacaran."
Wajahnya berubah masam, lalu dia menggeleng. "Aku dijodohin sama dia."
***
Suara ketukan pintu membuatku beranjak dari tempat tidur. Mbak Ayu, asisten rumah tanggaku berdiri di depan pintu. Aku, dengan wajah pucat keluar, bikin dia memperlihatkan ekspresi prihatin.
"Kenapa, Mbak?"
"Ada tamu di depan."
"Aku kan nggak terima tamu, Mbak. Kecuali temen-temen yang biasa dateng."
Wajah Mbak Ayu kelihatan bingung. "Tamu Mbak Rara, bilangnya dia omanya Mas Naren."
Aku membelalak karena terlalu kaget. "Neneknya Naren?" Aku masuk ke kamar, nyisir rambut, memakai sedikit bedak agar wajahku nggak kayak zombie.
Jantungku berdebar kencang, waktu aku lihat omanya Naren duduk di ruang tamu. Aku mengatur napas, mengusap-usapkan telapak tangan ke celana jeans dan berjalan menemui tamu tak terduga hari ini.
"Malam, Oma ... maaf udah nunggu," kataku gugup lalu duduk di hadapan wanita itu.
Oma tersenyum tipis. Senyum pajangan ala bangsawan, hanya untuk formalitas.
"Oma, sudah makan? Saya siapkan makan malam, ya?"
Wanita itu lagi-lagi tersenyum. "Nggak usah. Saya ke sini mau ngomong sama kamu."
Aku mengangguk, menggigit bibir bagian dalam, saking gugupnya.
"Saya nggak akan basa-basi, karena saya tahu kamu capek." Dia menatapku dengan tenang. "Apa rencana kamu setelah ini? Saya dengar kamu istirahat dari dunia hiburan."
"Saya mau menenangkan diri aja, Oma. Tapi, belum tahu di mana. Mungkin, mau ke Lombok."
Oma terlihat menarik napas. "Saya tahu kamu menjalani hari yang berat, karena masalah ayahmu. Tapi, boleh Oma minta tolong?"
Aku mengernyit bingung. "Minta tolong, apa?"
"Kamu sayang sama Naren, 'kan?" Meskipun belum tahu ke mana arah pembicaraan ini, aku mengangguk. "Saya sebagai omanya Naren, sangat peduli dengan cucu saya, keluarga saya. Naren, juga pasti mengalami hari yang berat, karena kamu terkena masalah ini. Dia sangat peduli kamu."
Aku cuma tersenyum canggung, nggak tahu harus merespon apa.
"Dulu, orangtua saya merintis Pradyanto Revolution Entertainment, dari dasar sekali. Awalnya cuma radio. Sempat besar, tapi kemudian kalah saing waktu televisi masuk ke Indonesia. Lalu, Ayah saya mengumpulkan orang-orang yang bisa bermain ketoprak, dan beliau yang mencarikan acara-acara di mana kelompok ketoprak itu akan manggung. Terus, waktu ketoprak nggak laku, ganti mengelola penyanyi dan presenter acara nikahan. Bisnisnya berkembang besar, tapi bukan jadi wedding organizer, seperti yang saya kira. Malah, jadi agensi yang menaungi banyak seniman. Mulai tahun 2000, PR Entertainment nggak cuma menaungi seniman-seniman berbakat. Tapi, juga melatih orang-orang yang ingin jadi aktris dan penyanyi," kata Oma panjang lebar.
"Perjalanan PR Entertainment panjang dan berat. Butuh perjuangan keras sampai Pradyanto jadi keluarga terpandang dan diperhitungkan. Sebagai penerus bisnis ayah saya, tentu saya berjanji akan menjaga nama baik Pradyanto. Hal itu pun saya tekankan pada Sulaiman—anak saya, dan Naren cucu saya, yang sekarang jadi CEO PR Entertainment," wanita itu menarik napas, mengambil jeda, "saya cuma wanita tua yang terlalu peduli sama keluarga saya. Mungkin, ini kelihatan kejam di mata kamu. Tapi, saya harap kamu mengerti, memaklumi. Saya minta tolong, Sahira ... tinggalkan Naren, demi kebaikan dia dan kamu sendiri."
Napasku tercekat di tenggorokan. Aku merasakan penglihatanku tiba-tiba buram karena dipenuhi air mata. Aku nggak pernah sekali pun memikirkan bisa meninggalkan Naren. D-dia segalanya bagiku.
"Oma ... " suaraku bergetar.
"Kalau kamu menikah dengan Naren, itu akan jadi boomerang buat kamu sendiri. Keluargamu dan keluarga Pradyanto akan dibandingkan. Omongan masyarakat juga akan memojokkan kamu," jelas Oma. "Sedangkan Naren, saya tahu dia cinta kamu. Tapi, saya yakin dia juga cinta dengan nama baik keluarga kami. Saya nggak mau, nama baik keluarga yang sudah kami jaga turun temurun, hancur karena emosi dan perasaan sesaat."
Air mataku luruh, aku nggak bisa menahannya lagi. Dia sumber kekuatanku. Kalau aku pergi, siapa yang akan menguatkanku? "T-tapi saya cinta Naren."
Oma menghela napas. "Saya tahu. Tapi, perasan cinta itu bisa dibangun, Sahira. Kamu bisa ketemu laki-laki yang lebih low profile, yang tidak menuntut kesempurnaan atau kamu bisa ke luar negeri dan membangun hidupmu ke sana. Dan, Naren ... dia pasti akan bertemu wanita lain yang lebih pantas untuk keluarga Pradyanto."
"Tapi, ini nggak adil, Oma ... kenapa saya harus menanggung kesalahan Ayah saya?"
"Ini juga nggak adil untuk kami, kalau nama baik Pradyanto tercemar karena ayah kamu," tuturnya. "Dan, kalau kamu menolak pergi baik-baik, maafkan saya Sahira. Saya akan melakukan segala cara untuk memisahkan kamu dan Naren. Jadi, sebelum saya pakai cara nggak baik, lebih baik kamu pergi sekarang. Kamu cinta Naren, 'kan? Kamu nggak mau keluarga besar Naren jatuh dan dia menyalahkan dirinya sendiri karena berhubungan dengan kamu?"
Aku kaget mendengar balasan Oma. Aku nggak punya alasan lagi, karena yang dikatakan oma benar. Apa ini akhir perjalananku sama Naren?
TBC
***
Nah, akhirnya kebongkar ini.....
Haha
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top