05 - Please, Hear Me Out!
Hari itu Clarine batal ke apartemenku. Katanya, ada meeting mendadak. Aku maklum sih, sutradara papan atas seperti dia, jadwalnya pasti padat minta ampun. Jadilah Sabtu sore ini, seminggu kemudian, aku bersama Benita akan menemui Clarine di Bandung. Jauh memang, karena wanita itu sedang ada kerjaaan di sana. Itung-itung sekalian liburan, kata Benita.
Perjalan dari Jakarta Barat ke Bandung memakan waktu hampir tiga jam setengah. Laju mobil melambat ketika mendekati alamat hotel yang dimaksud. Aku fokus memperhatikan kiri jalan, membaca satu per satu nama bangunan yang ada.
"Ta, kayaknya ini, deh. Hotel Sawung Bening," kataku menatap bangunan berpagar kayu tinggi.
"Iya, nih." Benita membelokkan mobil ke sana.
Setelah mobil masuk ke pelataran hotel, aku cukup terkesiap dengan panorama di dalam sini. Aku dan Benita berjalan menuju meja resepsionis yang berada di bangunan paling depan. Hotel ini terbagi menjadi beberapa bangunan lantai dua berbentuk joglo dengan air mancur di depannya, yang terpisah dengan taman-taman yang cukup luas. Ada koridor-koridor yang menghubungkan antar bangunan dengan fasilitas hotel, seperti kolam renang, ruang gym, aula dan ruang makan bersama.
Hotel ini lebih cocok disebut villa menurutku. Mungkin satu bangunan bisa diisi satu sampai empat keluarga. Clarine tinggal di Pondok Kenanga. Bangunan nomor dua dari depan. Ada ruang tamu dan lorong-lorong di kanan kirinya.
"Kamar Clarine nomor berapa, Ta?"
"Nomor Kenanga 2. Kayaknya di belakang sana." Benita memimpin jalan dan berhenti di depan pintu bertuliskan nomor 2. Ia pun mengetuk pintu yang tak berapa lama langsung dibukakan Clarine.
"Masuk, girls."
Kamar Clarine dilengkapi ruang tamu yang cukup luas, menghadap ke kolam renang. Pemandangan yang apik. Mungkin ide ini bisa kucontek buat bangun villaku di Bali atau Lombok. Aku sadar betul, bekerja di dunia hiburan sebagai aktris bukan pekerjaan jangka panjang. Itulah mengapa aku mulai melakukan berbagai bisnis sejak bertahun-tahun lalu.
Aku punya tiga gedung yang disewakan di Jakarta Selatan dan Barat. Dua gedung memiliki delapan lantai dan satu gedung berlantai sepuluh. All booked alias nggak ada lantai yang kosong. Dikontrak jadi kantor, salon, kafe, dan lain-lain. Aku juga punya perumahan untuk masyarakat menengah ke bawah. Laku keras. Apalagi banyak pasangan muda yang mau pisah dari orangtua untuk berumah tangga sendiri. Terus, aku punya villa dan guest house di daerah-daerah wisata Indonesia. Jogja, Bandung, Lombok, Bali, Dieng, Solo, dan Malang. Indekos di daerah padat pekerja dan kampus. Belum lagi apartemen pribadi yang kusewakan dan saham-saham di berbagai hotel dan rumah makan.
Selama empat tahun nganggur di Newark aku makan dari uang hasil sewa propertiku. Untuk sementara, aku nggak punya usaha berbentuk barang. Karena aku nggak mau ribet.
Saking asyiknya membayangkan gimana villa baruku, aku bahkan baru sadar ada dua sosok lelaki duduk manis di sofa sambil menyesap kopi.
"What the hell?"
"Lo ngelamunin apa, sih, sampai nggak sadar ada mereka?" sindir Benita.
"Ngapain Kava sama Rezky di sini?"
"Biar ngomongnya sekalian," tukasnya Clarine. "Sekarang, buruan lo jelasin, kenapa dulu tiba-tiba ngilang."
"Kita tamu jauh dari Jakarta ini ... tawarin minum dulu, kek," cibir Benita.
Aku duduk bersebelahan dengan Benita menghadap Kava dan Rezky. Sedangkan Clarine duduk di sofa single, menatapku dan Benita bergantian.
"Itu ada air putih. Makan siang udah gue pesenin."
"Gimana kabar lo, Ra?" Kava membuka suara.
Aku tersenyum hangat pada lelaki yang sudah kuanggap sebagai kakak dan sahabat selama ini. "Baik, Kav. Gue sehat, gue masih hidup."
"Sedih loh gue, lo sekarang banting stir jadi penulis skenario. Nanti kita nggak bisa main film bareng lagi, dong .... "
"Emang gue masih laku jadi aktris?" Aku terkekeh.
"Masih laku lah, anjir!" sahut Rezky. "Aktris zaman sekarang masih anak-anak semua."
"Basa-basinya udah selesai?" kata Clarine tajam. "Sekarang, lo cerita ke kita, kenapa dulu tiba-tiba ngilang."
Aku menghela napas, melirik Benita sekilas. "Gue tertekan banget sama kejadian empat tahun lalu. Keluarga gue dapet ancaman. Rumah gue dikerubungi wartawan sama haters. Telepon nggak pernah berhenti bunyi. Semuanya hancur. Foto editan gue telanjang kesebar di mana-mana. Gue nggak kuat."
"Kita tahu Ra, lo hancur banget. Tapi, kalau lo minta tolong sama kita, kita bakal bantu," tutur Rezky. "Lo mau sembunyi di negara mana, kita cariin tempat yang enak."
"Apalagi kalau lo bilang sama Naren. Apa sih, yang nggak bakal dilakuin Naren ke lo?" kata Clarine. "Dia hampir mati karena lo, Ra."
"Rin .... " desis Kava sambil memberi lirikan tajam pada Clarine.
"Biar dia tahu kalau yang dia lakuin itu keputusan bodoh," tukas perempuan itu sengit.
"Maksud lo hampir mati?" tanyaku tak paham.
"Bunuh diri, lah! Naren coba bunuh diri tapi ketahuan Kava."
"Clarine, stop it," tegur Rezky.
"Dia potong pergelangan tangannya."
Badanku seketika berubah dingin. Dadaku terasa sesak. Bayangan Naren berlumuran darah, terkapar tak berdaya, berputar di kepalaku. D-dia sehancur itu? Aku nggak menyangka Naren sampai melakukan percobaan bunuh diri. Apa keinginannya untuk hidup ikut hilang saat aku pergi?
Aku terisak keras. Benita menyodorkan tisu untukku. Setelah tahu penderitaan yang harus Naren alami, aku semakin yakin memang tidak pantas dapat kata maaf darinya. Rezky lalu meletakkan botol air mineral yang sudah terbuka di depanku.
"Habis lo pergi, gue, Rezky, Kava ganti-gantian jagain Naren, karena kita tahu dia ada di titik terendahnya. Kita selalu gantian ke rumah Naren kalau ada waktu senggang," terang Clarine. "Hari itu, Kava ngecek kamera yang kita pasang diem-diem di rumah Naren. Dia curiga, soalnya Naren masuk kamar mandi udah setengah jam dan belum keluar juga. Kava langsung telepon Mbak Riri dan minta Mbak Riri—asisten rumah tangga Naren, gedor pintu kamar mandi. Tapi, pintu kamarnya dikunci dan nggak ada sahutan dari dalem. Kava, Rezky, gue langsung ke sana. Rezky sama Kava dobrak pintu kamar Naren, kita terus langsung ke kamar mandi, dan lihat Naren duduk di bawah shower. Darah di mana-mana."
Aku memegangi dadaku yang terasa nyeri. Clarine berhak marah padaku. Mereka semua pantas marah sama aku. Aku memang brengsek. Mereka mati-matian jaga Naren di sini, biar lelaki itu tetap hidup. Aku, perempuan yang dia perjuangkan, malah seenaknya kabur.
"Mereka berdua sama-sama hancur," tutur Benita. "Kalau lo mau bandingin siapa yang lebih sakit antara Naren sama Sahira, nggak akan selesai."
"Gini, lho ... gue cuma nggak paham sama Sahira, kenapa dia milih pergi di saat Naren, bakal lakuin apa aja buat dia?" tukas Clarine.
"Karena gue pengecut. Bokap gue mucikari, pengedar narkoba, dan gue ... " aku menghela napas, "kata mereka gue pelacur. Sedangkan keluarga Pradyanto, keluarga terpandang di sini. Nggak ada ceritanya, Naren dari keluarga terhormat punya menantu dari keluarga kotor begitu."
Oke, keluar sudah unek-unek yang selama ini kusimpan. Aku merasa nggak pantas bersanding dengan Naren yang terlalu sempurna. Sebesar apapun cinta lelaki itu padaku, sepertinya nggak akan berpengaruh sama pandangan orang-orang yang menilai hubungan kami nantinya. Aku akan tetap dianggap sebagai setitik noda di hamparan kain putih.
"Tapi, Naren nggak peduli sama itu semua, Ra .... " timpal Rezky.
"Gue sadar diri gue nggak pantas buat dia, Rez .... " Aku tersenyum tipis. "Dan sekarang, Naren udah ketemu sama perempuan yang sepadan sama dia. It's okay."
Kudengar dengkusan dari Clarine. "Sorry to say, nih ... yang tahu lo pantes buat Naren apa nggak, ya Naren sendiri. Dia udah tahu baik busuknya keluarga lo, and he choose to stay, Ra. Dan, please ... lo jangan bego-bego amat percaya sama berita di luar sana."
Kava terkekeh pelan. "Harusnya lo tahu, Ra ... kalau Naren nggak akan move on dari lo. Bahkan, kalau lo udah nikah pun, dia nggak akan pikir dua kali buat rebut lo dari suami lo."
"Setuju. Naren bucinnya ke lo itu udah mendarah daging plus menyumsum tulang." Rezky ikut tertawa.
Apaan, sih? Kalau mereka lihat gimana marahnya Naren beberapa hari yang lalu ke aku, pasti mereka nggak akan berpikir begitu. Aku pun sudah seratus persen yakin, dia nggak akan memintaku kembali padanya. Kurang cantik apa lagi, Krystal? Aku lalu teringat saat kemarin nggak sengaja bertemu perempuan itu.
"Oh? Ya, gue Sahira Moelya," kataku kaku.
"I'm your fans, Kak! By the way, Kak Sahira di sini ngapain, ya? Mau ada projek film lagi setelah sekian lama?" tanyanya tanpa terlihat canggung sama sekali.
Clarine mendecakkan lidah. "Permisi, we don't have a time to chit chat with you," tukasnya sebelum aku sempat menjawab.
"Oke, maaf ganggu waktunya Kak Clarine dan Kak Sahira." Krystal tersenyum manis sebelum melenggang pergi.
Aku masih terkejut dengan nada bicara Clarine yang ketus barusan.Wanita itu terang-terangan menunjukkan rasa tidak sukanya pada Krystal.
"Dia senyebelin itu?" tanya Benita.
"She's snake. Jangan tertipu sama senyum sok ramahnya."
Aku tersadar saat tangan Benita diayun-ayunkan di depan wajahku. "Lo denger apa yang kita omongin nggak sih, Ra?"
Aku tergagap. "Oh, sorry-sorry, apa?"
Clarine mencebikkan bibir. "Udah ah, capek. Mending lo nanti ngobrol pakai kepala dingin sama Naren." Dia beranjak dari kursinya, berjalan ke arah pintu, dan membukanya. "Mumpung orangnya ada di sini."
"Kava sama Rezky udah di dal—" ucapan Naren terpotong saat matanya bertatap mata denganku. "What the fuck? Kenapa ada Sahira sama Benita di sini?"
Lihat, 'kan? Naren udah se-alergi itu sama aku. Dia sampai ngumpat, karena tidak suka ada aku di sini. Dapat dipastikan nggak bakal ada obrolan apapun antara aku dan dia.
"Rin, mending gue balik aja," kataku menarik Benita untuk bangkit.
Clarine berbalik menghadapku. "Wait! Kalian berdua ini sama-sama begonya. Lo bego main ngilang gitu aja," dia lalu gantian menunjuk Naren, "lo bego sok jual mahal. So, I'm doing you favor here. You two, sit down and solve your problem. Thank me later."
Aku menatap Benita, Kava, dan Rezky. Tidak ada satu pun dari mereka yang kelihatan kaget. Jadi, apa cuma aku yang nggak tahu kalau Naren bakal dateng? Damn ....
"Ben, lo tahu kalau Naren bakal ke sini dan nggak kasih tahu gue?"
Wanita itu malah bangkit dan menyeringai. "Nggak usah sok menghindar. Masih saling pakai cincin couple aja belagu."
Mataku lalu memperhatikan jari manis lelaki itu, yang memang masih mengenakan cincin pasangan kami. Benita nggak berlebihan kali ini. Perasaan kami sepertinya belum selesai, atau memang cerita kami sebenarnya belum usai?
"Babe, ayo makan siang!" Rezky lalu merangkul Clarine dari belakang dan wanita itu tidak menghindar. Apa-apaan ini? Clarine sama Rezky pacaran? Dulu, sebelum sama aku, Naren pernah pacaran sama Clarine. Dan, sekarang Clarine pacaran sama Rezky, sepupu Naren.
"Kalian pacaran? Sejak kapan?"
"Setahun," jawab Rezky sambil mengedipkan salah satu matanya dan tersenyum genit.
"We'll catch up later kalau lo sama Naren udah selesai ngobrol atau melakukan hal lainnya. Btw, this room is yours. Feel free to use this as you want," tutur Kava.
"Bawa kondom nggak? Di laci ada tuh, udah gue beliin," imbuh Rezky.
TBC
***
Akhirnya ketemu lagi naren sahira🤣🤣
Jangan lupa komen.. I will really apreciate itu🙏
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top