03 - Okay, Face it Up!

Aku mematut diriku di cermin untuk memeriksa riasan di wajahku sebentar dan mengangguk puas. Rambut cokelatku yang baru dicatok pagi ini, kubiarkan tergerai lurus. Aku tidak mau terlihat mencolok, jadi aku memilih lipcream nude dan gaun kasual hitam selutut, untuk melengkapi penampilanku ke kantor RR Production. Berbanding terbalik denganku, penampilan Benita malah terlihat sangat menarik perhatian. Rambutnya kini berwarna merah terang, baru disemir kemarin. Sahabatku itu pakai celana jeans dan crop top putih. Nggak lupa kacamata hitam Gentle Monster bertengger di hidungnya. Kadang, kalau lihat dia, bingung sendiri. Siapa aktrisnya, siapa manajernya.

"Gimana kita mau diem-diem ke kantor Naren? Kalau lonya cetar begini," tukasku.

"Lo yang salah penampilan. Harusnya lo tuh dandan yang bener. Biar Naren terpesona. Kalau perlu sewa MUA sekalian," balasnya enteng. "Ayo, buruan, gue udah nggak sabar ketemu laki lo."

Benita berjalan menuju lift dan aku mengekori di belakangnya. "Dia udah punya pacar, Ta."

"We'll see, setelah ini status dia akan tetap jadi pacar orang, atau pacar lo."

Di dalam mobil, aku mengabari Devan kalau dalam perjalanan. Ternyata lelaki itu udah di sana dari tadi, karena memang ada urusan lain. Aku takut kalau aku telat lagi, kesannya jadi nggak profesional. Setengah jam kemudian, mobil Benita memasuki pelataran parkir PR Entertainment. Gedung ini jauh lebih besar dari empat tahun lalu, setelah direnovasi. Gila memang, mantan pacarku ini.

Aku menyadari banyak orang yang memperhatikanku dan Benita. Beberapa kali aku mendapati wajah terkejut dari para pegawai dan tamu di gedung ini. Kami langsung ke lantai enam, tempat pertemuan akan diadakan, tepatnya di meeting room 03. Baru ada Devan di sana. Lelaki itu tersenyum menyambutku dan Benita.

"Dev, ini Benita temen gue," kataku memperkenalkan Benita.

"Manajernya Sahira, sebelum nemu yang pas buat dia."

"Dia owner Ben Taylor sama Ben Beauty lho," kataku.

Mata Devan membulat. Betul, 'kan? Siapa yang menyangka manajerku ini seorang desainer kelas atas dan punya brand make up serta skincare. "Wow! Itu kan gede banget butiknya."

"Iya, gue bantu Rara aja. Kasihan dia belum nemu orang yang cocok buat jadi manajer," celetuk Benita.

"Permisi .... " Jantungku hampir melompat ketika mendengar suara ketukan pintu. Aku menoleh ke arah pintu dan mendesah lega saat bukan Naren yang muncul, tapi aku mengenalnya. Tentu, dia Dony, asisten Naren sejak enam tahun lalu.

Lelaki itu menutup mulut dengan telapak tangannya saat pandangan kami bertemu. "Sahira .... "

Aku tersenyum kikuk. "Hai, Dony .... "

"Kok bisa lo di sini?" Ia menoleh ke arah Benita. "Sama Benita juga?"

"Kerjalah! Emang di Jakarta nggak butuh duit?" sahut Benita.

"Lo sama Devan? Itu berarti mau tanda tangan kontrak yang serial itu?" Aku mengangguk. "Gila! Gila ... gila!"

Devan terkekeh. "Nggak nyangka, 'kan partner gue ternyata seorang Sahira?" Dia pahamnya Dony kaget lihat aku, sebagai seorang selebriti besar. Padahal, aku yakin Dony kaget bukan karena itu. Tapi, karena lelaki itu tahu persis bagaimana hubunganku dan Naren.

Telapak tanganku mulai berkeringat dingin. Aku mengetuk-ngetukkan kaki ke lantai karena terlalu gugup. Aku menoleh ke arah pintu kaca, dengan penuh kecemasan. Ketika seorang lelaki dengan kemeja hijau zamrud, celana bahan warna krem, berdiri di sana, jantungku berdetak cepat, seakan-akan bisa terlepas dari tempatnya. Aku sangat kenal punggung itu, punggung yang kupeluk tiap malam dulu.

Dia lalu masuk ke ruangan, dengan telepon yang masih menempel di telinga. Hal itu membuat Naren belum menyadari keberadaanku, karena fokusnya tersedot dengan si penelepon. Pacarnya, kah? Tubuhnya yang menjulang tinggi membuatku harus mendongak untuk memeriksa wajahnya.

"Eh, Dev ... Mas Zumi nggak bisa dat—" Kalimat Naren terpotong saat pandangan kami bertemu.

Lelaki itu masih tampan. Sangat tampan malah. Matanya membulat sempurna, mulutnya menganga. Tidak ada yang berubah dari Naren, kecuali matanya yang terlihat lelah dan kosong? Sok tahu banget sih, aku. Oh, tato? Ada tato di tengkuk lehernya. Aku belum lihat dengan jelas sih, apa tatonya. Bola mata cokelatnya yang jernih dan bibir manis yang dulu selalu berhasil membuatku terlena, menyedot perhatianku.

Dia mengambil langkah ke depan dengan hati-hati. Matanya masih belum meninggalkanku. "R-Rara?"

Aku mengangguk. Rasanya ada isakan di tenggorokan yang hampir lolos.

Naren menggelengkan kepalanya dan tertawa sumbang. Tangannya dengan kasar menyugar rambut. Tatapannya kembali terarah padaku. Kini tidak ada kebingungan di sana, tapi rasa sakit, kecewa, marah terpancar dari sorot mata lelaki itu. Napasku mulai tersengal, aku tidak bisa bisa lama-lama di sini.

"Gimana bisa?" tanyanya tercekat.

Mataku mulai berair. Aku ingin berlutut di kakinya, meminta maaf karena tindakan bodoh yang kulakukan empat tahun silam. Aku rindu lelaki itu, ya Tuhan ....

"Maksud lo gimana?" sahut Benita mengambil alih keadaan. "Kita di sini mau tanda tangan kontrak, lah."

"Loh? Kalian udah saling kenal?" celetuk Devan yang nampak bingung melihat interaksi kami.

"G-gue ... " lidahku rasanya kaku. Aku menarik napas dalam-dalam, berharap agar tak terlihat terlalu kentara.

"Kita pernah beberapa kali ketemu, habis main film bareng Kava." Benita menyelamatkanku lagi.

Benita tidak akan membiarkan aku terlihat lemah, di depan Naren sekali pun. Aku sangat berterima kasih pada sahabatku itu.

"Kava?"

"Anthonio Kava," jawabku. "Gue kenal Naren dari Kava."

Devan manggut-manggut. "Oh iya, Kava sama Naren temen lama."

Naren menatapku dan Benita bergantian. Aku tahu, lelaki itu hampir meledak. Dia pasti ingin berteriak, mencecarku dengan berbagai pertanyaan yang bercokol di kepalanya. Namun, dia menahannya. Bisa dilihat dari bibirnya yang terkatup rapat dan jemarinya yang mengepal kuat. Naren lalu menarik kursi dan duduk di sana.

"Mas Zumi nggak bisa datang. Nanti lo disuruh nelepon dia, buat jelasin isi serial ini. Atau lo mau ketemu sama Mas Zumi sendiri," kata Naren menatap Devan.

"Oke. Nanti gue telepon Mas Zumi sendiri," Devan menoleh ke arahku. "Mas Zumi ini direktor serial kita."

"Sebelum tanda tangan kontrak, coba jabarin secara lengkap, serial ini bercerita soal apa," tukas Naren. "Sahira, can you? Katanya ini tulisan lo, 'kan? Devan cuma bantu aja."

Aku mengangguk perlahan. Asing banget rasanya dia panggil aku dengan sebutan lo. Ini pertama kalinya Naren memanggilku begitu. Bahkan, sebelum kami resmi pacaran dulu.

"Serial ini punya genre young-adult. Sasarannya memang anak-anak muda. Ceritanya soal dua mahasiswa, yang satu vokalis band sekaligus ketua BEM dan yang satu jurnalis majalah kampus. Mereka nggak akur karena beda visi, misi. Tapi, karena ada kasus pelecehan seksual yang terjadi di kampus, mau nggak mau mereka harus kerja sama buat nyelesain kasus itu."

"Ini serial menurut gue fresh banget, Ren ... ceritanya soal anak kuliahan tapi nggak pasaran. Ada romantis, komedi, sama thriller juga," imbuh Devan. "Terus, gue udah mikir sih. Ini nanti mau cari lead male actor-nya yang bisa nyanyi sama main gitar."

"Gampang, lah. Nanti share audisi ke agensi-agensi buat cari pemeran serial ini."

"Oh, gue juga sebenernya udah kepikiran aktris yang cocok jadi lead female-nya."

Aku melirik ke arah lelaki itu. Oh, ya? Baguslah. Aku juga percaya sama penilaian Devan.

"Siapa? Mau pakai langsung dia, atau tetap mau cari lewat audisi?"

"Pacar lo, Ren. Krystal kan masih muda tuh. Aktingnya kemarin di serial Black Umbrella juga bagus. Gimana menurut lo?"

"Terserah lo. Masalah pemainnya siapa, bukan urusan gue," sahut Naren acuh tak acuh.

Aku mengamati raut wajah Naren, ketika Devan menyebut nama Krystal. Tidak ada perubahan yang terlihat. Ekspresinya masih sama. Aku tidak mau sebenarnya, membayangkan karya pertamaku, harus bekerja sama dengan perempuan yang berhasil memiliki hati Naren.

"Ra, coba lo searching serial Black Umbrella sama film Behind the Close Door. Lihat akting Krystal di sana, menurut lo cocok nggak," tutur Devan.

Aku terpaksa mengangguk. Nggak yakin, aku bakal nonton video-video itu. Hatiku tidak setangguh itu.

"Ini berkas kontraknya, dibaca baik-baik, kalau ada poin yang mengganjal bisa ditanyakan. Kalau udah clear, langsung tanda tangan," kata Naren menyerahkan dua map padaku dan Devan.

Aku membaca poin demi poin yang tertera di kontrak itu. Nggak ada yang ku permasalahkan. Bahkan, soal bayaran pun, aku puas. Emang bener kata Devan, RR Production kalau kasih dana berani jor-joran.

"Udah aku tanda tangani nih." Aku mendorong map itu ke arah Naren.

Tak lama kemudian, Devan pun menyerahkan kertas kontraknya. Setelahnya, lelaki itu berjabat tangan dengan Naren dan Dony. "Gue cabut duluan, ya ... ada urusan lain," kata Devan.

Naren tersenyum tipis dan mengangguk.

"Ra, Ben ... duluan, ya ... " dia menoleh ke arahku dan Benita, "lo ngobrol dulu aja sama Naren, ceritain poin-poin menariknya di cerita itu."

"Gampanglah," balasku. "Hati-hati, Dev .... "

Lelaki itu bangkit, menepuk bahuku dan melenggang keluar. Seperginya Devan, Benita menghela napas panjang dan tertawa. Aku mengernyit heran, kenapa dia malah yang kayak orang gila? Harusnya kan aku?

"Tegang banget, bray! Anjirlah," dengkus Benita. "Eh, Don ... di bawah ada kafetaria, 'kan? Temenin gue sarapan yuk." Wanita itu berdiri, menenteng pouch-nya.

Dony menyengir, menatap bosnya dengan ragu-ragu.

"Buruan lah, gue laper. Masa lo mau biarin cewek cantik kayak gue kelaparan." Benita menarik tangan Dony, membuat lelaki itu mau tak mau mengikutinya.

Sedangkan aku hanya terduduk kaku, tanganku mencengkeram ujung baju dengan kencang. Aku bahkan tidak berani mengangkat kepalaku untuk menatap Naren. Ya ampun, kenapa ruangan ini mendadak panas? Aku mengusap keningku yang mulai berkeringat. Ben, harusnya lo jangan pergi! Temeni aku di sini.

"Kamu pergi empat tahun yang lalu tanpa kasih alasan yang jelas. Dan sekarang pun kamu pulang, kamu nggak kasih kabar. Maumu apa, Ra?"

"Maaf." Lidahku terlalu kaku.

"Aku nggak butuh maafmu."

Mendengar jawaban Naren seperti ada panah yang ditancapkan ke jantungku dengan paksa. Sakit dan sesak. "Aku benar-benar minta maaf, Naren. It's okay if you wont forgive me, I understand clearly."

"Jangan minta maaf kalau kamu nggak bisa jelasin kenapa kamu tiba-tiba pergi waktu itu."

"Kamu tahu kenapa aku lakuin itu."

"No, I don't." Bibir Naren menipis.

"Ren ... kejadian empat tahun lalu itu bener-bener hancurin aku," bisikku tercekat.

"Aku tahu itu," tukas lelaki itu. "Yang terjadi sama kamu empat tahun lalu itu, incredibly terrible, Ra. Aku paham banget. Tapi, aku ada di sana buat kamu. I'll do anything for you. Aku bakal sewa pengacara terbaik buat kamu. Aku bakal sewa bodyguard buat kamu dan keluarga kamu. Aku bakal nemenin kamu waktu kamu down. Kita habisin waktu di rumah aja, tiduran ... aku nggak peduli kalau harus bolos sebulan cuma buat kamu. I'll do literally everything, buat kamu Ra. Yang aku nggak paham, kenapa kamu harus pergi, di saat aku rela lakuin apa saja buat kamu? I don't fucking care what other people say, Ra. I'll staying with you, when everyone turn their back on you. We ride or die together kan, Ra? Itu katamu dulu? Tapi, kenapa kamu pergi?!"

Badanku bergetar hebat setelah mendengar suara Naren meninggi. Air mata menusuk-nusuk mengancam keluar. Perutku melilit, aku tidak suka perasaan ini. Selama dua tahun bersama lelaki itu, aku tak pernah sekali pun mendapati dia semarah ini.

"Maaf .... "

"Stop apologize, Rara! Stop it!" Lelaki itu berdiri dari kursinya, berkacak pinggang, kemudian menendang kursi sampai terjungkal. Aku berjengit di tempat duduk, ketika suara Naren menggelegar memenuhi ruangan. "Kenapa diem aja, Ra? Kamu nggak mau kasih tahu aku?"

Mulutku terkatup rapat. Padahal, sebenarnya aku sudah gatal ingin cerita semuanya ke lelaki itu. Menangis di pelukannya. Tapi, rasanya sudah terlambat. Masa lalu menyakitkan itu biarlah jadi rahasia yang hanya aku tahu.

"Selamat ya, Ren ... aku udah lihat fotonya, she's beautiful. Kalau pun nanti Krystal jadi lead female actor di serial ini, tenang aja. Aku bakal profesional."

Mata Naren seketika menyipit. "Jadi, ini yang mau kamu omongin? Fine! I dont want to hear your bullshit!" Setelah itu, lelaki itu keluar dan membanting pintu.

Aku memejamkan mata dan mengembuskan napas perlahan. Air mataku menetes satu per satu. Aku meremas lututku dan menangis dalam diam. Dadaku rasanya begitu sesak. Satu per satu memori mengerikan itu kembali berputar. Kalau saja bisa kembali ke masa itu, aku berjanji akan jadi lebih berani.

TBC
***

Sudah mulai emosi ya Bund....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top