01 - Challenge Accepted!
Gedung-gedung menjulang tinggi berdiri kokoh berdampingan, bunyi klakson kendaraan saling bersahutan, tak jarang juga terdengar dumelan di sana-sini dari para pejalan kaki, pedagang asongan, dan manusia lainnya yang menggantungkan hidup di bawah langit ibukota. Tidak banyak yang berubah ternyata dari Kota Jakarta, setelah kutinggal pergi empat tahun. Namun, udara yang kuhirup sedikit terasa asing, membuatku gugup. Jantungku juga berdegup lebih kencang dari biasanya. Entahlah, bisa jadi ini efek karena rindu pulang kampung, atau karena berbagai kecemasan yang tiba-tiba muncul.
Aroma harum kopi langsung menyapa indera penciumanku, ketika kakiku melangkah memasuki sebuah cafe. Hari ini aku ada janji dengan Devan Anggoro, salah satu sutradara kondang Indonesia. Kami akan membicarakan proyek yang sempat dibahas beberapa bulan lalu, saat aku masih di Newark. Aku tidak sengaja bertemu dia di sana, kami ngobrol banyak, kemudian aku cerita masih iseng-iseng nulis naskah serial. Karena penasaran, Devan baca naskahku dan ternyata suka. Dia mau kami bekerja sama buat produksi serial televisi.
"Dev, sorry I'm late. Little bit caught up with nostalgic feeling," kataku setelah duduk manis di depan lelaki 35 tahun, yang masih terlihat seperti anak kuliahan itu. Dia tampak manis dengan kacamata bulat berbingkai tipis.
Devan menggeleng, mengulurkan tangannya untuk menyalamiku. "Nggak kok, santai aja. Gue nggak nyangka akhirnya bisa ketemu lo lagi di Jakarta, Sahira. Nice to meet you." Lelaki itu tersenyum membuat matanya membentuk eye smile dan satu lesung pipit bersarang di pipinya.
"Ya ... udah saatnya gue pulang," jawabku terkekeh kecil. "Nice to meet you too, Dev."
Sahira Moelya Permadi. Aktris papan atas, pemenang Miss Universe satu-satunya dari negara ini, selebriti yang namanya nggak pernah sepi jadi bahan omongan. Itu aku. Dulu, setiap keluar rumah, aku selalu lihat fotoku di papan iklan, sepanjang jalan, di seluruh sudut kota. Hampir semua orang, dari Sabang sampai Merauke, mau kaya atau pun miskin, mengelu-elukan namaku. Aku dicintai begitu banyak orang. Tapi, sekarang sudah tak ada sedikit pun jejak-jejak yang kutinggalkan.
Setelah empat tahun melarikan diri dan bersembunyi dari kesalahan yang tidak pernah kubuat, aku memutuskan untuk kembali. Aku ingin memulai petualanganku dari awal.
New start, new rule, new life. I'll comeback stronger. Tidak ada lagi Sahira yang mau diinjak-injak, tidak ada lagi Sahira yang lemah, tidak ada lagi Sahira yang penakut. Mungkin, empat tahun bukan waktu lama bagi mereka yang menghakimiku. Bisa jadi, orang-orang itu belum melupakan tragedi mengerikan empat tahun silam, tapi aku tidak peduli.
Aku datang ke sini bukan untuk jadi pengecut. Well, I hope my heart is strong enough to face whatever coming to me.
"Nggak sengaja ketemu lo di Newark itu kayak dapat harta karun," tutur lelaki bersurai hitam pekat itu. "Gitu aja, masih dapat jackpot ternyata lo nulis a brilliant story!"
"Jangan lebay, deh!" Aku terkekeh. "I miss acting while I was there, but I can't did that because I need to stay hidden. So, I just doing random things, to funnel my passion."
"Non sense! You're did it so damn fine, Rara." Devan terlihat sungguh-sungguh. "Gue tertarik sama cerita lo. Lagian gue nggak cukup bodoh buat mempertaruhkan nama gue. Gue nggak akan terima naskah amburadul dan yang nggak sesuai taste gue. Seperti yang udah gue bilang di Newark, gue dapat tawaran salah satu rumah produksi yang lagi booming, buat bikin serial. Dijadwalkan tayang tiga sampai enam bulan lagi."
Aku menarik napas perlahan, lalu meneguk kopi susu, mengecap rasa pahit manis di lidah. "Lo tahu, I'll take that, Dev. Itulah kenapa gue balik ke Jakarta. But, I'm warning you, this is my first time doing this, so I apologize if I dissapoint you."
"Tenang aja, ada professional script writter yang bakal perbaiki naskah lo," balas Devan. "Tentu, lo akan diikutkan dalam segala diskusi yang berkaitan dengan naskah lo."
"Oke, deal."
"Deal." Aku dan Devan kembali berjabat tangan. "Gimana? Nervous? Akhirnya terjun ke dunia hiburan lagi setelah empat tahun? Ya, walaupun kali ini lo di belakang layar."
"Banget! Nggak usah ditanya." Rasanya ada beban di pundakku yang menghilang. Lega sekali.
Senyum mengembang di bibir lelaki itu. "Gue merasa bangga sama diri sendiri, karena berhasil bawa our national pride, back! Indonesia's Queen!"
"Udah masa lalu itu. Sekarang, gue muterin Tanah Abang nggak ada yang peduli." Aku mendecakkan lidah. Buktinya, tadi aku masuk ke cafe tanpa masker, tidak ada yang ngenalin tuh. "Gue udah nggak ada artinya bagi mereka."
"Mau taruhan? Lo itu masih terkenal! Wajah lo masih diingat dengan baik sama seluruh orang Indonesia. Dulu, mereka terlalu kaget aja. Kalau sekarang lo balik main film pun, yang nonton masih bejibun!"
"I wish, Dev. Gue aminin omongan lo aja, deh." Aku nggak tahu yang diomongin Devan benar atau nggak. Atau dia bilang begitu, cuma untuk membesarkan hatiku.
Devan menyeruput kopi hitamnya. "Nanti gue kabarin untuk agenda tanda tangan kontrak. Biasanya nanti ada CEO sama direktor."
Keningku mengernyit, aku baru sadar, kenapa semuanya udah terjadwal begini. "Kok cepet banget langsung taken kontrak? Stasiun teve sama rumah produksinya beneran udah fix?"
Lelaki itu tersenyum lebar. "Jadi, tahun kemarin, gue baru bikin film sama PH ini, PH baru sih. Tapi, berani kasih budget dan upah gede ke gue. Gue ambil lah. Kebetulan skenario seratus persen juga gue yang nulis. Jadi, gue bebas otak-atik tuh film. Dan, film itu pun meledak! Dapat tujuh juta penonton selama sepuluh hari. Gila nggak? Ya, efek aktornya juga, sih. Ada Anthonio Kava sama Diana Hutagalung."
Mataku melebar. "Gila! Dua top aktor Indonesia, lo pakai semua!" Aku kenal mereka, apalagi Kava. Dia sahabat Naren, yang juga jadi temanku. Ah, kenapa malah ingat lelaki itu, sih?
Devan mengedikkan bahu, sambil menepuk dada. "PH ini jor-joran banget dananya, Ra. Beberapa bulan setelah film itu beredar di bioskop, CEO-nya hubungi gue, tanya gue minat bikin serial nggak, waktu itu gue jawab nggak. Terus, dia bilang, kalau misal gue mau bikin serial, gue harus pakai PH dia!"
"Oh, gitu. Jadi, lo lewat jalur belakang gitu, ya?" Lagi-lagi aku terkekeh. "Eh, tapi mereka udah baca naskah gue belum? Kalau ternyata nggak sesuai ekspetasi, gimana?"
"Udah gue kirim versi mentahnya kok. Mereka approve."
"Lo nggak kasih tahu yang nulis gue, 'kan?"
"Tenang aja, sesuai permintaan lo, nama lo gue samarkan."
"Terus, kenapa lo udah tahu serial ini mau tayang antara tiga sampai enam bulan lagi? Emang udah dapet channel yang mau nayangin? Sponsor? Itu kan prosesnya lama, Dev!"
"Sponsor? Gue nggak tahu, ya ... itu kan tugas PH-nya. Kalau saluran tevenya, udah jelas sih, pasti bakal tayang di SBC TV."
"Kok bisa? Btw, nama PH yang handle serial kita apa? Coba gue search." Aku mengeluarkan ponsel dari tas.
"RR Production. Umurnya baru tiga tahun kayaknya."
Nama yang asing, aku nggak kenal. "Jujur, selama gue di Newark, gue nggak pernah cari tahu soal Indonesia. Move on itu susah, Dev. Jadi, gue juga banyak ketinggalan berita begini."
"Itu anak perusahaan dari Pradyanto Revolution Entertainment. RR Production ini, dibentuk sama CEO PR Entertainment, masih muda banget sih, tapi langsung sukses begini," jelas Devan semangat. "Dan, SBC TV ini punya kerjasama sama Pradyanto Revolution Entertainment."
Tanganku yang berada di atas pangkuan langsung bergetar hebat ketika mendengar nama perusahaan yang sangat kukenal. Aku menelan air liur, dengan gugup. Pradyanto? Astaga! Kepalaku mendadak pening. Kenapa di saat aku ingin membangun hidup kembali, ada sepenggal masa lalu yang harus mengiringi, sih?
"N-nama CEO-nya siapa?" Suaraku bergetar tanpa bisa dicegah. Cih, katanya mau jadi Sahira yang kuat, tapi tetap aja cengeng. Aku harus mendengar sendiri, siapa tahu ini hanya kekhawatiran tidak berdasar.
"Narendra. Anak pertama dari Pak Sulaiman Pradyanto."
Aku memejamkan mata sambil menghela napas panjang. Tanganku menyapu wajah dengan kasar. Haruskah secepat ini aku bertemu lelaki itu kembali? Aku belum siap. Perasaan bersalah yang berkubang terlalu dalam di dada, selalu menghantui langkahku sejak malam aku meninggalkan Naren. Lelaki yang akan melakukan apa saja demi aku, si wanita bodoh dan lemah ini.
"Ra? Lo kenapa?" Suara lelaki itu terdengar khawatir.
Jantungku berdegub kencang. "Ehm, Dev ... gue pikir-pikir lagi, ya?" bisikku tak yakin. Aku menggigit bibir bawah, karena tak enak.
"Lah? Kenapa?" Kedua alis lelaki itu menyatu di tengah.
"Gue ... " Aku berpikir, alasan apa yang harus aku berikan pada Devan? Apakah mimpiku harus tersendat di sini karena ketakutanku? Aku menggelengkan kepala, mengusir ragu yang mulai meracuni. "Ehm ... nggak, Dev. Lupain omongan gue barusan."
"Lo masih ragu?" Aku cuma bisa tersenyum kecut, terus mengangguk. "Gue nggak tahu apa yang bikin lo have a second opinion. Tapi, apapun yang ada di pikiran lo, buang jauh-jauh. You deserve this chance. Lo udah terlalu lama sembunyi. Berlian kayak lo itu deserve the best place, to shine brighter. Ya, walaupun berlian mau ditempatin di mana aja, tetep bakal jadi berlian. Tapi, sayang banget, Ra ... gue tahu lo takut orang-orang masih belum bisa nerima lo. Mereka itu cuma gengsi tahu. Kalau disodorin karya lo lagi, juga bakal ditonton."
Lelaki itu tampak berapi-api. Hatiku menghangat, perkataan Devan memberi sedikit kekuatan untukku. Jika saja, orang-orang di luar sana, berpikiran seperti Devan, pasti hidupnya nggak akan sesulit ini. Tapi, bukan hidup namanya, kalau semuanya selalu berjalan sesuai yang kita mau. Tanpa ragu, aku tahu, lelaki itu, memiliki hati yang baik. Dan, aku beruntung bisa bertemu dia, di dunia yang dipenuhi orang-orang nggak punya hati.
"Makasih banyak, Dev ... lo itu kayak sosok temen lama, yang gue kangenin gitu. Padahal kita baru ketemu beberapa kali."
Devan tersenyum, matanya berbinar. "My pleasure, Sahira. From now on, I'll be your bestie, if you insist." Lelaki itu tertawa dengan candaannya sendiri. "Gue tahu aja, lo itu orang baik, yang pantas dapet beribu kesempatan buat tampil lagi. No debat."
Oke, Devan benar. I deserve so much better. Lagian, kenapa juga aku harus menderita karena sesuatu yang nggak pernah aku lakuin? It was not my fault, if someone became a monster! Dan Naren ... akan aku pikirkan lagi soal dia. Entah, aku sendiri juga nggak yakin, apa lelaki itu masih mengingatku dan mau menerima permintaan maaf dari wanita yang sudah meninggalkannya.
TBC
***
Sampai jumpa di chapter selanjutnya!
Gimana, suka sama karakternya nggak?
Bakal coba update rutin tiap hari atau selang seling ya❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top