BAB 2: Ernestine Young


°°°
Ketika aku kembali, beberapa orang sudah tiba di ruangan itu; menatapku sekilas sambil mengangkat alis. Kebanyakan adalah kelompok Kecil, yang mendapat giliran membersihkan tempat-tempat kumuh selagi orang-orang yang lebih dewasa melakukan pekerjaan keras di luar gedung. Mereka membawa pergi kaleng-kaleng makanan, mengelap kaca buram yang terlalu buram untuk dapat melihat keluar dan menggosok lantainya. Sejenak aku memperhatikan seberapa kotor pakaianku kali ini, sebelum pergi dengan sisa-sisa lendir hitam yang menetes di lantai besi.

Aku berjalan menyusuri lorong tidur menuju area pemandian, mengabaikan suara tawa dan teriakan histeris yang bergaung dari penjara di sudut terjauh, tempat bagi pelanggar peraturan. Aku pernah bermalam di sana sewaktu ayahku akhirnya terciprat darah. Tapi itu saat aku masih terlalu kecil untuk mengingat segala sesuatu, kecuali rasa takut yang mendalam.

Caden suatu kali pernah berkata padaku; "Ada banyak hal yang kelihatannya sulit dimengerti, tapi sebenarnya jawabannya persis di hadapanmu." Terkadang dia bisa sangat puitis, atau terlihat seperti banyak berpikir tentang isi dunia dan sebagainya.

Tempat pemandiannya sepi. Pada jam-jam seperti ini seharusnya para pekerja dari luar sudah berdatangan memenuhi tempat ini dengan bau terbakar dan gelak tawa. Aku tidak pernah suka mandi saat itu terjadi. Airnya selalu tampak lebih keruh dan bau. Dan air yang keluar akan jauh lebih panas.

Aku berhenti di sudut terjauh, menggantungkan pakaianku di pipa-pipa di dinding. Lalu mencari-cari pakaian bersih di antara tumpukan pakaian di ceruk-ceruk dinding. Aku menemukan satu yang tidak kelihatan terlalu besar dan tidak memiliki banyak lubang di tempat-tempat aneh dan mulai mandi.

Selagi mendengarkan kucuran air, aku mencoba tidak memikirkan tentang acara Pembarisan. Seberapa kerasnya PPP mencoba mengamankan ritual, pasti selalu ada yang terjadi beberapa jam sebelum dimulai. Jika tidak ceramah penolakan dari beberapa orang yang entah terlalu nekat atau sama sekali tidak punya otak, teriakan histeris anak-anak kecil atau bahkan jeritan dari sel-sel tempat para Yang Tertetes ditempatkan sementara, seolah mereka tahu akan ada satu lagi yang bergabung dalam kegelapan tanpa akhir. Jeritan mereka akan terdengar sangat nyaring, bergaung di setiap dinding besi seolah meneriakkan kematian. Saat itu terjadi, semua orang akan mematung. Bayi-bayi yang menangis akan diam. Dan kami semua ditelan kengerian.

Itu jarang terjadi. Dan setiap kali orang-orang itu menjerit, aku sudah nyaris terbiasa.

Aku pergi ke tempat Caden begitu selesai. Dia tinggal satu lantai di atasku, bersama Kelompok Besar di barak kecil berbau kotoran. Kami biasanya melakukan latihan di Ruangan Tertutup setiap pukul delapan pagi, menggunakan pedang berkarat untuk mengasah kemampuan. Caden selalu bilang bahwa, "Kau tidak akan tahu apa yang menyerangmu di luar sana. Jadi ambil pedangmu dan benarkan posisi kuda-kudamu." Lalu kami akan berlatih sampai bel makan berbunyi nyaring.

Caden melatihku sejak umur tujuh. Tepat setelah ayahku dibawa pergi oleh PPP. Aku masih ingat apa yang terjadi malam itu. Kami semua berdiri di atas bundaran melayang, semua orang, tanpa terkecuali, bahkan para PPP itu berbaris melingkari kami. Aku berdiri beberapa meter dari tempat Ayah, dia menunduk sewaktu melirik ke arahku, wajahnya pucat, kulit-kulit di tangannya menghitam dengan cara yang aneh. Tapi dia tersenyum saat pandangan kami bertemu, menampakkan gigi-gigi kuningnya dan luka memanjang di pipi kirinya. Ayah selalu bilang bahwa dia mendapat luka itu dari para Traxer, dan orang-orang akan mengolok-ngoloknya sebagai pembual.

Aku ingat bagaimana raut wajahnya saat tetes darah itu menyelubungi tubuhnya dengan warna merah pekat. Matanya mengerjap liar, tubuhnya berkedut aneh, dan teriakan yang keluar dari mulutnya memantul di dinding besi, nyaris terdengar tidak manusiawi.

Caden datang persis setelah acara Pembarisan itu selesai. Orang-orang yang percaya dengan Tuhan akan diam di tempat sambil menunduk dalam-dalam, membisikkan doa-doa yang bahkan kuragukan pernah terkabul. Pada saat-saat seperti itu seluruh tempat menjadi sunyi, bahkan sewaktu teriakan Ayah memantul di lorong-lorong gelap.

Aku ingat bagaimana Caden menatapku malam itu. Alisnya berkerut. Dia mengulurkan tangan sembari mengatakan sesuatu, hanya saja yang aku ingat adalah bagaimana dia menyentuh pundakku saat menuntunku menjauh, pergi dari tempat mengerikan itu dan udara malam yang menggigit.

°°°

"Kau semakin lambat," Caden berbicara dari seberang ruangan. Pedangnya dia tebas asal-asalan, bahkan sewaktu dia melakukan gerakan itu, aku tahu mendekat ke arahnya adalah pilihan bodoh.

"Dari sisi mana kau melihatku semakin lambat?" aku mengangkat alis, tahu benar konsentrasiku tidak benar-benar bagus kali ini. Cahaya matahari membakar lantai persis beberapa meter dariku, aku melirik celah yang semakin hari kelihatan semakin besar sebelum kembali menatap Caden.

"Kita masih punya dua kali acara Pembarisan sebelum tahun berakhir, Ern. Setelah itu kau enam belas dan seharusnya kau lebih cepat dariku. Sewaktu umurku enam belas, aku berhasil--"

"Menebas tiga lemparan lembing dari arah yang berbeda dengan sekali tebasan," aku menyelesaikan ucapan Caden sambil memutar mata. "Ayolah, kau tahu sendiri semua cerita hebatmu itu tidak lagi mengejutkanku."

Caden tertawa, suaranya memantul sejenak di ruangan itu. "Yeah, tapi tetap saja. Seharusnya kau mengalami peningkatan. Apa yang terjadi di Tempat Pembuangan pagi ini?"

"Kau tahu tidak banyak yang terjadi di sana," aku mengatakannya perlahan, berharap Caden tidak melihat ketegangan di mataku. "Leah marah besar pada Kelompok Sedang karena meninggalkan peralatan berharga kemarin, dan besi-besi yang kuangkut hari ini tidak bagus. Sebagian sudah nyaris rapuh bahkan sebelum aku berusaha menghancurkannya."

"Benarkah?"

Aku berdecak. "Yeah."

"Aku sudah tahu itu."

"Tentu saja." Aku mengangkat bahu.

"Bagaimana dengan temanmu? Aku tidak melihatnya sepagian ini. Seharusnya dia kembali bersamamu." Aku bisa melihat ke mana arah pembicaraan ini. Sudah kubilang itu bodoh, Caden akan berkata. Kau seharusnya mengikat janji ke banyak orang, dia pasti melanjutkan. Jadi alih-alih menjawab yang sebenarnya, aku mengangkat bahu. Berusaha kelihatan tidak peduli.

Cara itu biasanya berhasil. Tapi bukan Caden namanya jika dia tidak bisa melihat ke dalam diriku.

"Sudah kubilang--"

"Yeah, trims, Caden. Tapi aku tidak butuh ceramah itu."

"Kau yakin kau akan baik-baik saja?"

Aku memutar mata, mulai jengah dengan segala perhatian ini. "Tentu. Tidak pernah sebaik ini. Nah sekarang kenapa kita tidak melanjutkan? Kau mengatakan sendiri seharusnya aku lebih cepat daripada kau saat umur enam belas."

Kami melanjutkan latihan sampai ruangan itu terasa sangat panas. Caden menceritakan tentang para pekerja di Deret Tengah saat kami menuruni tangga, bermandikan peluh dan kelaparan. Aku hanya setengah mendengarkan, pandanganku mengikuti ukiran-ukiran di dinding besi, sekali lagi bertanya-tanya mengapa ada orang yang repot-repot melakukan itu. Sewaktu kami sampai di ambang pintu tinggi menuju Aula Makan yang setiap sisi-sisinya nyaris hancur, Caden pergi mengambil jalur kiri, bergabung bersama Kelompok Besar lain di antara tumpukan kayu lapuk. Tawa mereka nyaris mendominasi semua kebisingan di ruangan itu. Aku melirik saat Leah berdiri menaiki meja, memperagakan gerakan menebas dan tertawa terbahak-bahak.

Kuambil jalur kanan seperti para Kelompok Sedang dan Kecil lain, melewati pagar-pagar pembatas yang jika kau cukup berani menjulurkan kepala ke bawah, akan dapat melihat bagaimana orang-orang di Deret Tengah makan. Terkadang, jika suasana sedang sangat sunyi, lantunan musik akan terdengar dari sana, kasar dan mengerikan, seolah membisikkan kematian.

Tangga-tangga yang kunaiki diselubungi lendir hitam. Aku menunduk di bawah palang roboh, menyingkir sedikit sewaktu PPP berjalan lewat, aku mendengarkan suara keresek samar dari alat komunikasi yang mereka bawa; "Ada di lantai tiga puluh--" sebelum melihat Lucas dan teman-temannya tertawa di tengah meja bundar. Di sekeliling mereka orang-orang menjaga jarak, membawa makanan dengan kepala menunduk. Aku memperhatikan sejenak, berdiri di bawah bayangan tiang selagi mengantre mendapatkan buah. Kulit mereka sedikit gosong, tapi tidak ada luka yang tampak. Bahkan sepertinya sama sekali tidak ada yang terluka, entah Leah terlalu baik dalam memberi hukuman atau mereka memang sedang beruntung.

"Bekerja keras pagi ini, Ern?" Pria tua di balik meja bertanya, membuatku terpaksa menatapnya. Dia menyerahkan apel hijau padaku. Senyumnya tidak mencapai mata.

"Yeah. Besi dan karat."

Pria itu mengangguk, menelengkan kepala menyuruhku menyingkir dari antrean.

Kuputuskan untuk menghampiri Lucas, aku menggigit apel yang tidak berasa itu dan merangkul Lucas dari belakang saat cowok itu meronta.

"Sialan Ern!" dia meraih ke belakang, aku buru-buru melepaskan rangkulanku dan duduk di sebelahnya.

"Aku tidak pernah merasa lebih bahagia daripada sekarang. Bagaimana acara berjemurnya?" aku tertawa saat mereka semua mendengus. Satu, dua, tiga, kuhitung dalam hati jumlah orang-orang ini. Sebagian dari mereka duduk di akar-akar pohon mati, mengelilingi Lucas. Aku menyadari setidaknya ada dua orang dalam anggota mereka yang tak ada di sini, aku bertanya-tanya apa yang terjadi di luar sana sebelum kembali menatap Lucas yang kelihatan kesal setengah mati.

"Katakan itu sekali lagi dan aku akan mematahkan lenganmu."

"Astaga, aku takut sekali." Kataku datar. Semua orang di dekat kami tertawa. Mereka semua tahu rahasianya. Lucas takkan berani menyakitiku selama dia masih menganggap nyawanya lebih berharga. Semua tahu siapa yang akan menang jika kami bertanding dalam ring.

"Serius. Bagaimana acara berjemurnya?"

"Aku mendengar kabar," begitu kalimat itu keluar dari mulut Lucas, kelompok itu menegang. Si kembar Bert dan Dart mengetuk-ngetuk kayu di bawah kaki mereka lebih cepat. "Kami sedang menunggu kapan itu terjadi."

"Penolakan?"

Lucas mengangguk, saat melakukan itu aku menyadari luka baru di dahinya. Memanjang beberapa senti melewati telinganya.

"Ceritakan padaku," kataku, bertepatan dengan suara ledakan jauh di dalam gedung. []

a gif banner made by: @stardust24601

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top