Bloody Night


🌸🌸🌸






Sekelebat kilat berwarna jingga kemerahan tiba-tiba datang dari balik sebongkah batu persembunyian, menghantam sekaligus menghanguskan apa saja yang dilewatinya. Pokok-pokok kayu dan rerumputan yang tersulut, seketika dilalap habis tak bersisa. Menyisakan kobaran api yang menjalar ke mana-mana.

"Sudahlah, menyerah saja. Kau tidak akan bisa membunuh kami," salah seorang asing berjubah putih dengan corak khusus berbentuk belah ketupat di bagian punggung, berdesis tajam pada lelaki yang baru saja terempas jauh ke belakang.

Makhluk itu tersenyum miring. "Kau terlalu lemah hari ini, jadi ... biarkan aku yang membunuhmu."

"Jahanam!" lelaki beriris hitam bak obsidian itu menggertak keras tak terbantah. Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Elvern pun bangkit dengan candrasa penuh darah sebagai penopangnya. "Dasar iblis! Jangan pernah berpikir bahwa aku akan menyerah begitu saja!"

Jarak kembali terbentang lebar saat pedang Elvern menghantam keras perisai transparan milik lawannya yang kedua. Fireballs dengan ukuran sedang kembali dilemparkan, diikuti embusan angin dahsyat yang langsung dikerahkan saat itu juga. Kekuatan dari Invisible Shield sangatlah hebat, tiupan pawana dari pusatnya bahkan sukses membuat tubuh Elvern memar karena terbentur bebatuan besar.

"Bagaimana? Kau sudah lihat, kan, siapa yang paling kuat di sini?" tanya Fire User itu sembari bersedekap angkuh. "Seharusnya kau yang mati, bukan kami."

Elvern membisu, tangannya mencengkeram kuat tanah yang bergumpal bersama darah. Bibirnya bergetar hebat menahan umpatan serta emosi yang bergejolak. Sungguh, rasanya dia ingin menyobek habis kulit mereka detik ini juga.

"Tamatlah riwayatmu!"

Tangan sang Fire User kembali terangkat, jari-jemarinya bergerak lihai di udara. Detik-detik terlewati, kilatan memerah itu kembali tercipta dari sela-sela jarinya. Namun, belum sempat kobaran api itu lolos dari kendalinya, lengkingan seorang gadis ternyata lebih dulu memecah konsentrasinya.

"BERHENTI!"

Lidah api yang menjulur dari tangan Fire User sontak padam, tergantikan dengan asap hitam yang membumbung. Tiga pasang netra itu pun beralih, menatap seorang gadis yang sekarang sudah berdiri tepat di hadapan Elvern.

"Kalian tidak boleh menyerang yang lemah!" teriak gadis itu yang sentak membuat Elvern melebarkan matanya. Berbeda dengan pemilik Invisible Shield yang tampak tenang, sang Fire User justru tertawa mendengar seruan itu.

"Lemah?" Fire User tetap terbahak, kali ini lebih kencang. Tatapan tak percaya yang sengaja dia perlihatkan saat ini, membuat aura keangkuhannya terasa semakin menjadi-jadi. Tentu saja dia terkejut. Dia tidak menyangka gadis ini mau melindungi sosok kejam yang sebenarnya bukan siapa-siapa.

"Apa kau kira dia selemah itu?" tanya Fire User dengan nada tandas dan penuh penekanan. Mata penyihir itu memicing. Air mukanya mendadak berubah drastis. Tawaannya seketika lenyap dilahap kuasa yang teramat kuat. "Seharusnya dialah yang musnah demi eksistensi kami di bumi!"

"Tidak akan kubiarkan!" pekik Allerya keras. Bagaimana pun juga, dia harus menghentikan perselisihan ini demi mencegah terjadinya pertumpahan darah. "Kalian bisa berdamai tanpa perlu bertarung!"

"Berdamai? Kau kira semudah itu, hah?" Kali ini Fire User mendekat, mengikis jarak yang terbentang seraya menatap Allerya dalam. "Dia dan kami, memiliki alasan untuk saling menyakiti. Jadi ... jangan pernah ikut campur."

Pita merah muda yang mengikat sebagian rambut Allerya melayang tertampar angin. Kata-kata yang baru saja terucap itu, dia biarkan mengalir tanpa balasan. Seharusnya dia sudah kebal, seharusnya dia bisa menerima itu. Namun entah mengapa, rasanya ada sesuatu yang menyakitkan  sengaja menjatuhkannya begitu saja.

"Menyingkirlah, kami tidak ingin melukaimu." Pemilik Invisible Shield turut melangkah, mensejajarkan posisinya dengan Fire User---rekannya.

"Yap! Kami hanya ingin membunuh lelaki itu," sahut Fire User seraya memperlihatkan senyum liciknya lagi. "Tujuan kami hanya satu, kok."

"Apa itu?" tanya Allerya curiga, namun senyuman Fire User justru tampak lebih menyeramkan entah mengapa.

"Mengakhiri semua ini secepat apa yang kami bisa."

Bagai petir yang datang menyambar, pergerakan Fire User mendadak gesit. Dengan gejolak api sebagai senjatanya, dia berlari menuju Elvern yang masih terbaring lemah. Namun, belum ada tiga meter sang Fire User mengikis jarak yang membentang, nampaknya Allerya lebih dulu siaga melindungi Elvern.

Fire User dibuat panik, fireball yang nyaris saja menyentuh rambut Allerya langsung saja dialihkan ke arah lain.

"Apa yang kau lakukan?!" teriak Fire User marah.

"Melindunginya!"

"Kau tidak seharusnya ada di sini! Lebih baik kau menyingkir!"

"Tidak akan!"

Fire User menggeram keras, kepalanya terasa panas mendengar kekeraskepalaan Allerya yang semakin menggila. Kalau sudah begini keadaannya, mau tidak mau dia harus menggunakan cara lain untuk segera menuntaskannya.

"Kalau begitu, akan kubunuh kau sekalian!"

Baru saja teriakan itu terlepas, sebuah lingkaran bercahaya seketika tercipta tepat di depan mata Allerya yang terbuka. Pusaran angin tiba-tiba datang, berputar cepat mengelilingi mereka berempat. Kepanikan yang melanda dua makhluk asing itu pun kembali memuncak, terlebih lagi pada saat di mana cahaya itu mulai melahap tubuh mereka sedikit demi sedikit.

Mata Elvern tentu saja ikut membola. Kenyataan besar yang sama sekali tidak terpikirkan sebelumnya, ternyata sudah terpampang di depan mata. Berbeda dengannya yang tampak terkejut, Allerya justru membeku di pijakannya. Gadis itu berusaha memutar otak, memikirkan bagaimana caranya lingkaran tersebut bisa hilang bersamaan dengan musnahnya dua makhluk tadi.

"Apa ... itu?"

Percayalah, wajah Allerya kini tampak pucat. Di matanya, lingkaran cahaya itu terlihat seperti pintu ajaib yang menghubungkan bumi dengan dimensi lain. Kalau boleh jujur, memang baru kali ini dia melihat fenomena itu secara langsung.

Sadar bahwa mungkin ada seseorang yang membutuhkan pertolongannya, Allerya meraup wajahnya frustasi. Persetan dengan dua orang tadi, persetan dengan lingkaran cahaya itu. Yang seharusnya dia lakukan saat ini adalah ... membantu dia yang terluka.

"Kau tidak apa?" tanya Allerya khawatir saat tiba di tempat Elvern berada. Dalam sedetik, matanya yang bulat kembali melebar. Dia terkejut melihat cedera Elvern yang ternyata lebih parah dari perkiraannya.

Elvern hanya berdeham. Sebagai respon, Allerya membalasnya dengan senyuman. "Mari, ikut bersamaku. Aku akan mengobati semua lukamu."

"Ke mana?" tanya Elvern tampak siaga. Bagaimana pun juga, gadis ini juga patut dicurigai.

"Ke rumahku." Lagi-lagi, Allerya memperlihatkan deretan giginya yang rapi. "Kau mau, 'kan?"


🌸🌸🌸


Malam tampak pekat. Hawa dingin pun semakin bengis menusuk nadi. Jika saja binar dari lampu minyak itu enggan menyinari, sudah pasti kegelapanlah yang akan menyambut kehadiran mereka di pondok kecil itu.

"Sedikit lagi kita akan sampai. Kau masih kuat, 'kan?" tanya Allerya dengan intonasi rendah. Meskipun terasa kebas, tangannya yang mungil masih berupaya keras menuntun Elvern yang terseok-seok.

"Masih," ujar Elvern tidak enak hati. Kalau saja kakinya masih mampu menopang tubuhnya sendiri, tentu dia tidak akan mau merepotkan Allerya seperti ini. "Maafkan aku, ya? Gara-gara aku, kau jadi---"

"Tidak masalah!" potong Allerya cepat seraya memberikan senyuman lebar pada Elvern yang kebetulan menatapnya. "Aku membantumu atas kemauanku sendiri, kok. Jadi, jangan khawatir."

Sembari terus melanjutkan perjalanan, Elvern hanya membalas perkataan itu dengan senyuman. Beberapa detik mereka habiskan bersama kesunyian, hingga akhirnya suara dari Elvern-lah yang berhasil memecahkannya.

"Ini rumahmu?" tanya Elvern ketika Allerya baru saja mempersilakannya duduk di kursi dengan bantalan busa yang cukup empuk.

"Iya," jawab Allerya sambil terkekeh pelan. Dia berdiri sejenak di depan Elvern, sebelum akhirnya pergi untuk mengambil sebuah cawan dan obat-obatan. "Maaf jika membuatmu risi. Rumahku memang seperti ini."

"Tidak masalah," timpal Elvern ramah yang sontak membuat Allerya terkejut saat berbalik. Sungguh, dia tidak percaya Elvern bisa tersenyum semanis itu. Awalnya, Allerya berpikir bahwa Elvern adalah tipe lelaki dingin yang hanya mau berbicara saat butuh saja.

"Apa kau tinggal sendirian?"

Allerya terdiam sejenak.

"Iya." Gadis itu mendengus kasar selama beberapa detik, sebelum akhirnya memutuskan untuk menghampiri Elvern lagi. "Sebenarnya ... aku juga tidak ingat apakah aku masih punya keluarga atau tidak."

Elvern tertegun saat mendengar penuturan itu. Namun, dia sama sekali tidak berniat menanyakannya lebih dalam.

"Ngomong-ngomong, namamu siapa?" tanya Allerya yang baru saja berlutut dengan secawan air di pangkuannya. Setelah selesai membersikan luka yang membekas di lengan Elvern, segera saja dia mengobatinya dengan Aloe vera.

Elvern meringis sesaaat, sebelum akhirnya menjawab, "Elvern. Kau sendiri?"

"Namaku Allerya!" jawab Allerya penuh semangat. "Salam kenal, ya ... Elvern."

Seakan disuguhkan pemandangan yang berbeda dari biasanya, Elvern terdiam cukup lama mendengar respon tersebut. Air muka itu, suara itu, senyuman itu, merupakan sesuatu yang benar-benar baru baginya.

"Ah, iya. Dua orang asing tadi siapa? Mengapa mereka menyerangmu?"

"Aku tidak tahu." Elvern membalas tepat saat napasnya kembali berembus. 

Allerya berdeham singkat, sebelum akhirnya kembali menanyakan sesuatu, "Kau ke sini sendirian?"

"Ya, karena tidak ada yang mau mendekatiku."

Gadis itu tersentak. "Kenapa?"

"Semua orang membenciku." Elvern bergumam, berusaha menahan diri untuk tidak menceritakan semuanya lebih dalam.

Seakan mengerti dengan apa yang dipikirkan Elvern saat ini, Allerya hanya bergeming di tempatnya. Ya, sebagai dua asing yang dipertemukan secara tak terduga, sudah sepantasnya dia sadar akan batasannya.

"Oh, ya. Atas dasar apa kau mau membantuku?"

Gerakan tangan Allery lagi-lagi terhenti, netra coklatnya kini beralih memandang iris sehitam jelaga milik Elvern yang tampak menyelidik.

"Hanya ingin," balasnya singkat. Kalau boleh jujur, Allerya sebenarnya tidak seberapa nyaman membahas topik seperti ini. Senyuman dan kekehannya sudah dipastikan akan meluruh bersamaan dengan suasana hatinya yang tiba-tiba memburuk.

"Tanpa berniat mengetahui akar masalahnya lebih dulu?"

Allerya kembali tersentak ketika pertanyaan itu terdeteksi oleh indra pendengarannya. Kepala yang semula menunduk, kini kembali mendongak---menatap Elvern dengan sorot terkejut, hingga kemudian dia alihkan begitu saja.

"Entahlah, aku hanya ingin ... melindungi mereka yang lemah."

Keheningan menyambut mereka dalam sekejap. Bersamaan dengan desir angin yang berembus dari jendela, Elvern tiba-tiba merasakan kehadiran sosok asing yang baru saja melintas di depan pintu.

"Ada apa?" Allerya memiringkan kepalanya, heran melihat Elvern yang mendadak bungkam.

"Tidak ada," balas Elvern yang tampak lihai menyembunyikan kewaspadaannya. Bersamaan dengan gerakannya membenarkan posisi, alis Elvern juga turut terangkat ketika netranya tak sengaja menangkap sesuatu di wajah Allerya.

Elvern mendekat. "Ada sesuatu di sudut matamu."

"Eh?"

Tubuh Allerya kontan membeku saat jari-jemari Elvern mulai menjamah kulit wajahnya yang dingin. Semburat kemerahan seketika menyebar pada pipi Allerya yang memanas. Dia kemudian membisu selama beberapa waktu, hingga berakhir saling bersitatap ketika manik keduanya bertemu.

🌸🌸🌸


Suara gemerencang pedang terdengar jelas menyibak kesunyian sore itu. Gadis berpita merah muda dengan surai coklat panjang sepunggung, terlihat sibuk berlatih dengan boneka jerami sebagai targetnya. Gadis itu nampaknya kembali menjalani aktivitas seperti biasa, setelah seminggu disibukkan dengan pembangunan pondok baru di samping rumahnya.

"Hei, Elvern!"

Keringat sebesar biji jagung menetes dari pelipis Allerya bersamaan dengan suaranya yang terlepas. Sembari menyeret pedangnya, gadis itu melambai-lambai pada sosok jangkung yang baru saja keluar dari balik jajaran bambu kuning di depan sana.

"Aku baru saja menguasai teknik baru, lho! Ayo, kita berduel!" teriak Allerya antusias.

Siluet tubuh Elvern perlahan tampak nyata ketika lelaki itu berpindah posisi. Namun, alih-alih mengiakan, dia justru menggeleng.

"Maaf, Al. Aku butuh istirahat sekarang," terang Elvern setelah tiba tak jauh dari tempat Allerya berada. "Mungkin lain kali. Maaf, ya."

"Oh, baiklah. Tidak apa-apa."

Ketika lelaki itu berbalik, mata Allerya tiba-tiba saja melotot. Pasalnya, gadis itu tidak sengaja mendapati sisa-sisa darah yang melekat pada pedang Elvern sekaligus beberapa cedera di sekitar kakinya yang masih terselimut jubah.

"El, tunggu!" Seruan itu lolos begitu saja dari bibir Allerya, si empunya nama pun berbalik.

"Ada apa?" tanya Elvern dengan alis yang terangkat.

"Kakimu ... terluka?" Allerya berlari untuk mempertipis jarak, matanya pun turut memicing saat melihat darah itu mengalir begitu saja. "Bagaimana bisa?"

"Ah, ini." Netra Elvern sekarang menatap lurus ke bawah, lebih tepatnya pada luka yang membekas nyata di mata kaki. "Aku tadi membantu seseorang berburu hewan, lalu terjatuh saat hendak menangkapnya."

Allerya meringis. "Ah ... itu pasti perih. Kalau kau mau, aku bisa mem---"

"Tidak usah. Aku bisa membereskannya sendiri," tolak Elvern halus yang kemudian disambut Allerya dengan gumaman lirih. Setelah melemparkan senyuman singkat pada gadis itu, Elvern pun kembali melanjutkan langkahnya menuju pondok untuk segera beristirahat.

Namun, belum sempat kaki kanannya menapak pada tanah, sesuatu yang sebenarnya sudah lama bersarang di pikirannya kembali melintas secara tak terduga.

"Oh, ya, Al." Elvern membalikkan badan---menghadap Allerya yang ternyata masih setia berdiri di sana.

Gadis itu memiringkan kepalanya. "Iya? Ada apa?"

"Kulihat langit tampak cerah hari ini." Elvern meraih bahu Allerya yang mendadak kaku, lalu tersenyum penuh arti. "Apakah kau mau keluar sebentar nanti malam?"

"K-ke mana?" tanya Allerya gelagapan. Entah kenapa, lidah yang biasanya mampu berbicara tanpa henti, kini tiba-tiba terasa keluh.

"Terserah," ujar Elvern yang lagi-lagi membuat napas Allerya tertahan. Kali ini, dia juga merasa ada sesuatu yang berterbangan di dalam perutnya. Terlebih lagi saat netra itu membidik pas di manik mata.

"Kalau begitu, bagaimana kalau kita pergi ke tebing selatan untuk melihat bintang?" tawar Allerya yang masih berusaha untuk terlihat biasa-biasa saja di depan Elvern.

"Ide bagus."

"Baiklah. Nanti aku akan membawa pedang juga ke sana," putus Allerya yang langsung disambut Elvern dengan nada terkejut.

"Uh?" Dahi Elvern mengernyit. "Untuk apa?"

Tepat saat kalimat Elvern tuntas, suara gesekan candrasa milik Allerya berhenti. Gadis itu kemudian berbalik seraya meletakkan pedang---yang telah dimasukkan ke dalam selongsong baja---pada bahunya yang terbalut jubah.

Allerya tersenyum. "Hanya untuk berjaga-jaga." Meskipun demikian, bukan berarti dia mampu menyembunyikan kekhawatirannya semudah itu. "Aku hanya takut dua penyihir itu datang lagi."

Mendengar penuturannya, Elvern hanya mendengus. Entah hanya pikiran Allerya saja atau memang kenyataannya, gadis itu merasa Elvern juga khawatir mengingat kejadian itu. Terlebih lagi, kekuatan mereka saat ini bisa dibilang masih tertinggal jauh jika dibandingkan dengan kemampuan sihir dua penyihir tersebut.

"Ah, baiklah. Terserah kau saja."


🌸🌸🌸



Gerisik ranting menyambut kedatangan mereka, kilauan kartika megah di angkasa juga turut berpendar-pendar menimpa paras keduanya. Saat ini, mereka berdiri di tepian tebing seraya menatap langit yang indah. Mengharap akan secercah harapan yang tak'kan pernah sirna.

"Hei, Al. Apakah kau tahu, ada ramalan yang mengatakan bahwa akan ada seratus penyihir yang ingin menghancurkan bumi?" tanya Elvern tiba-tiba.

"Eh?" Allerya mendongak heran pada Elvern yang menatap lurus ke depan. "Kenapa kau tiba-tiba berbicara seperti itu?"

"Karena aku yang mendengarnya langsung dari kakekku," ungkap Elvern.

"Kakekmu?" Namun lagi-lagi, Allerya tak mengerti.

"Iya, beliau juga memberikanku kepercayaan untuk membunuh semua penyihir itu." Tepat saat Elvern menuntaskan kalimatnya, tubuh Allerya seketika membeku.

Elvern terkekeh. "Jangan takut. Aku tidak sekejam itu, kok," tuturnya tenang yang langsung dihadiahi Allerya dengan dengusan lega.

"Ah, syukurlah. Kupikir kau serius."

"Ini." Alih-alih merespon perkataan Allerya barusan, Elvern justru mengulurkan tangannya---memberikan sebuah hiasan tangan pada gadis itu.

"Eh? Untuk apa?"

"Boleh kupasangkan di tanganmu?" izin Elvern pada Allerya yang tampak merona. Beberapa detik memang sengaja dia gantungkan begitu saja, sebelum akhirnya kepala itu mengangguk mengiakan.

"Tentu saja."

Bersamaan dengan gugurnya beberapa bunga sakura di belakang mereka, mata Allerya yang menyipit mendadak terbuka sempurna. Tubuhnya seketika kaku. Dia terkejut bukan main saat Elvern tiba-tiba saja memelintir tangannya yang terulur sekaligus mendekap lehernya secara tak terduga.

"E-Elvern apa yang---"

"Kau ini sebenarnya pura-pura polos atau memang bodoh?" Napas Elvern berembus. Tangannya yang kekar semakin kuat memutar tangan Allerya hingga berbunyi. "Bisa-bisanya kau percaya begitu saja padaku, padahal aku sendirilah yang akan menjadi penyebab kematianmu."

"T-tidak mungkin," sergah Allerya sembari berusaha melepaskan diri.

Elvern meletakkan dagunya pada bahu Allerya sembari tersenyum penuh arti. "Apakah kau tahu? Dendamku sudah terbalaskan sore tadi. Dua penyihir yang menyerangku waktu itu, sudah mati di tanganku."

"Apa kau bilang?" Dengan sekuat tenaga, dia refleks membenturkan kepalanya pada pelipis Elvern bersamaan dengan gerakannya mengambil pedang.

"Kau membunuh mereka semua hanya untuk balas dendam atas kematian kakekmu? Kau gila!" seru Allerya selagi memperkuat pertahannya terhadap serangan yang tiba-tiba Elvern kerahkan. "Tidakkah kau sadar, El? Pemikiranmu itu terlalu sempit! Kau buta dengan sekitarmu sampai-sampai kau tega membunuh orang yang belum tentu bersalah!"

"Mereka jelas bersalah, Al!" seru Elvern angkuh di tengah-tengah pertarungan itu. Di benaknya, dia menganggap malam ini sebagai malam berdarah terakhir dalam hidupnya. Ya, karena setelah ini, bumi akan aman seperti semula. "Bukankah kau sudah mengetahui bahwa hutan utara musnah karena ulah mereka, pemukiman kecil yang ada di barat laut juga habis tak bersisa! Aku melakukan ini juga demi keselamatan manusia di bumi!"

"Cih! Jiwa kepedulianmu mekar pada prinsip dan tujuan yang salah! Seharusnya kau lebih cerdas dalam mengambil keputusan, kau terlalu gegabah!" Allerya menyeret pedangnya yang mendadak terasa berat bukan main. Dengan berbekal kekuatan yang ada, dia kembali menahan pedang Elvern yang nyaris saja menghunus perutnya. "Kau bahkan tidak ingin mencari tahu tujuan mereka yang sebenarnya. Kau egois!"

"Lalu, kau sendiri apa?" Dalam sekali hentakan, Elvern mengunci pergerakan Allerya di depan pohon sakura. Lelaki itu kemudian menancapkan pedang yang dia pegang tepat sepuluh senti di samping kepalanya. "Melindungi orang tanpa berusaha mengetahui akar permasalahannya lebih dulu? Bukankah itu konyol ... Allerya?"

"Aku menghentikan kalian karena aku tidak ingin ada yang mati!" gertak Allerya tak terbantah. Karena tidak punya pilihan lain, akhirnya dia terpaksa menyerang Elvern selagi otaknya memikirkan cara untuk mengakhiri pertarungan ini.

"Lalu, apakah kau tidak khawatir saat semua saudaramu berhasil mengambil alih bumi dan membunuh semua manusia yang ada di sini?"

Allerya tersentak. Dia tidak percaya Elvern mampu membalikkan semua kata-katanya. "Itu tidak akan pernah terjadi! Kau pasti berbohong tentang ramalan itu!"

"Bukti sudah ada di depan mataku, Allerya." Elvern menekan pedangnya lebih kuat. "Kau adalah penyihir terakhir yang harus aku bunuh."

"Aku bukan penyihir! Aku bahkan tidak punya sihir! Tolong berhenti memanggilku seperti itu!" Allerya masih berupaya keras mematahkan serangan Elvern. Dia bahkan tidak menyadari, bahwa siasat lelaki itu untuk membawanya ke ujung tebing sudah terlaksana dengan baik.

"Kau punya, Allerya." Elvern tersenyum licik. "Bahkan saudaramu sendiri tidak ingin melukaimu waktu itu."

"Jangan mengada-ada, Elvern!"

Dalam sekali gerakan, Elvern menarik tangan Allerya ke ujung tebing hingga membuat kakinya tak lagi menapak pada tanah. Gadis itu berteriak, terkejut melihat Elvern yang justru tersenyum bahagia di samping nyawanya yang sedang dalam bahaya.

"Elvern ..." Entah sudah berapa kali air mata itu menetes, gadis itu masih tak percaya Elvern tega membunuhnya dengan cara seperti ini.

"Maaf, hanya ini yang bisa kulakukan untukmu. Kita harus berpisah di tempat ini dan kau juga harus mati ... di sini," ucap Elvern lirih seraya melepaskan tautan tangannya begitu saja ... tanpa berat hati. Tubuh Allerya pun akhirnya terjatuh bersamaan dengan pandangannya yang menggelap seketika.

Sudah. Pupus sudah harapan Allerya yang dia rapalkan hari ini. Segalanya sudah berakhir di sini, di tempat ini, dan di detik ini. Suara manis itu menggema tanpa balasan apa-apa, meninggalkan sepintas luka yang akan membekas selamanya.

Di bawah naungan Everost, senyuman Elvern kembali merekah. Rasa kepedulian yang seharusnya mati, kini mekar bersamaan dengan lengkungan bibirnya yang mulai terpatri. Ya, hari ini dia berhasil. Dia berhasil membunuh seratus penyihir yang akan mengusai bumi. Bahkan, lelaki itu juga berhasil membalaskan dendamnya sekaligus membunuh dia ... gadis kesayangan yang dia cintai.

"Selamat tinggal ... Allerya." Lagi-lagi senyuman licik itu terbit. Bulir-bulir air mata yang sejak lama dia tahan, kini jatuh begitu saja membasahi pipinya.

"Aku akan merindukanmu ... selalu."

🌸🌸🌸



Terima kasih sudah meluangkan waktu membaca cerita ini.

Kritik dan saran sangat dibutuhkan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top