𝘽𝙡𝙤𝙤𝙙𝙮 𝙈𝙖𝙧𝙮

Love is just a history that they may prove and when you're gone I'll tell them my religion's; you. When Pontius comes to kill the king upon his throne, I'm ready for their stones.

We are not just art for Michelangelo. To carve. He can't rewrite the agro of my furied heart. I'll wait on mountain tops in Paris cold.

"J'veux pas mourir toute seule." ("I don't want to die alone")

---- Sasara Nurude

.

.

.

Bloody Mary
"I won't cry for you, see. When you're gone, I'll still be bloody mary."

Pairing: Sasara Nurude x Reader
Genre: psychology thriller
Rating: R-18+

Note: Peringatan awal diberikan untuk para pembaca bawa fanfiksi ini mengandung unsur mengganggu, terutama deskripsi mengandung penjelasan detail mengenai thriller. Gore included. Permasalahan jiwa karakter disampaikan pada POV pertama maka karakter mengalami perkembangan sifat. Di mana topik sensitif mungkin akan membuat beberapa pembaca terpancing.

Be a wise reader.

.

.

.

Ha. Ha. Ha.

.

.

.

HAHAHAHAHA.

.

.

.

Jika aku bertanya kepadamu, apa saja yang membuatmu tertawa? Saat kau mendapatkan sesuatu berharga dan tidak mampu menahan kejayaan di dalam diri? Seseorang memancing gejolak sensasi geli melalui perkataan atau tindakan agar kau melepaskannya? Terakhir, mungkin saja kau sudah kehilangan kewarasan di dalam dunia fanah, tertawa dengan imajinasi yang menari dan melepas kuasa tentang kesenangan personal tanpa siapapun mengerti? Mau dengan alasan berbeda, aku percaya tentang hal ini; jika kita masih bisa tertawa, maka kita sendiri menyimpan naluri untuk tetap hidup! Kecuali saja kau tertawa karena mengasihani dirimu sendiri sebelum memasukkan condong pistol, membebaskan peluru sebelum benda tersebut sukses mengacak isi otakmu menjadi puluhan pecahan--- di mana masih memberi tanda kehidupan saat setiap bagian berdenyut berada di atas tanah, hingga berakhir tubuh dikubur pada dalam tanah dengan kondisi setengah kepala menghilang? Ayolah, teruslah tertawa terkecuali dengan alasan itu, kau akan terus hidup! Aku akan menjaminnya, dunia ini sudah menertawaimu, maka lakukan sebaliknya.

Namaku adalah Sasara Nurude. Lelaki yang terlahir di Kota Osaka, tetapi rasanya tidak ada pengaruh membagikan pecahan kisah kehidupan jika memang ditakdirkan menyimpan tragedi. Ayolah, semua orang memiliki hambatan dalam hidup, membagikan bisa saja justru menjadi kompetisi unggul atau mendapatkan simpatik sementara. Semua manusia selalu mementingkan diri mereka sendiri saat mereka menderita, percayalah, apa yang orang harapkan dari sesama saat mereka sudah kian dewasa? Janji lugu selalu bersama dan saling membantu selalu menyimpan benefit di dalam gelap. Hal konyol untuk memertahankan kebaikan di tengah kehidupan penuh drama melankolis. Di mana orang sakit pikiran sebenarnya tidak perlu dikasihani, KARENA SEPERBAGIAN DARI MEREKA MEMILIKI SIFAT BURUK RUPA!

Karena itulah mereka menjadi sakit atau justru memang hal-hal keras membuat mental lemah mereka bergejolak. Pernahkah kau berpikir seperti apa menanggapi orang berkelainan jiwa, memiliki sakit mental, tetapi mereka tidak pernah tau kapan untuk menghargai bahkan menginjak-injakmu? Tidak ada yang tahu. Orang sakit jiwa macam apa justru menyimpan tindakan manipulatif dan perauk keuntungan? Bahkan orang dengan kelainan demikian justru pantas mendapatkannya karena tidak tahu kapan harus bersyukur atau bertahan.

"Kau harus memperlakukanku selalu demikian karena aku memiliki hambatan kejiwaan."

Tetapi pada akhirnya ia tidak pernah ingin berusaha keras untuk sembuh. Bisa-bisa, kau yang gila, loh!

Hari ini, aku sudah lumayan sering melepas tawaan dan memang melakukan hal demikian selalu memancingku untuk terus merasakan apa arti kehidupan. Tidak hanya mementingkan diri sendiri--- aku mengajak pula seseorang agar bisa merasakan kejayaan bersamaku, diriku adalah penghibur unggul dan dia adalah pirsawan setia. Di mana orang semacamnya selalu memakai satu jenis pakaian sama dengan warna serupa, yaitu putih. Terkadang ia tidak bisa tinggal diam, membuatku dengan senang hati membantu agar ia tak lagi kesulitan untuk menyaksikan karena kegugupan tersendiri. Model rambut dengan radasi warna kehijauan, kubuat samping helai rambut terselip di belakang kuping, mengenakan jas formal selayak pakain formal pelawak di atas panggung, tetapi akhir-akhir ini aku lebih menyukai membawa warna hitam bersamaku. Kedua kelopak khas tertutup--- menyatukan telapak yang terbalut oleh sarung tangan putih. Mengulas sedikit senyuman miring--- aku sudah merasa tidak begitu nyaman untuk melakukan pertunjukkan pada posisi titik sama. Maka kedua kaki berkeliaran di dalam ruangan yang selalu meninggalkan atmosfer aneh; campuran antara bau tubuh, bekas obat-obatan, tetapi ada satu hal berbeda di bandingkan biasanya dan hal tersebut membuatku jauh lebih nyaman. Perfect!

"A person went into a library and asked for a book on how to commit suicide. The librarian said: 'Fuck off, you won't bring it back.'."

Kedua lengan terlipat pada belakang punggung, berjalan mengitari daerah ruangan selagi mulut dengan semangat mengeluarkan kalimat pengguncang. Sebuah hiburan tidak tertandingi! Aku tidak bisa menahan diri setelah dengan jenius mengatakan hal demikian, melepas tawaan menggelegar bahkan sukses memenuhi ruangan. Kedua kaki dengan cepat melangkah mendekat--- memberhentikan posisi pada salah satu keberadaan kursi di tengah ruangan, tepat di belakangnya. Membungkuk cukup dalam seiring melepas kekehan geli, memosisikan wajah tepat di samping pirsawan gadis muda dengan helai berantakan, aku mulai menghalangi satu sisi wajah agar bisikan terdengar jauh lebih jelas. Samar pergelangan tangan sang gadis yang telah terjebak oleh ikatan tali, memerlihatkan bekas goresan luka cukup dalam begitu pula bekas lingkaran pada sekitar permukaan lehernya. Tidak salah lagi, gadis muda ini salah satu sasaran yang sangat tepat untuk mendengarkan leluconku!

"You hear that, Miss? Fuck off~"

Aku tidak mengerti mengapa tubuh sang gadis satu ini justru kembali memberontak, menggetarkan seluruh bagian kursi yang cukup kokoh untuk mendiamkan. Sebenarnya tidak ada alasan agar pirsawan satu ini untuk tak tertawa--- ayolah, dirinya yang paling tahu jenis gurauan seperti ini! Rasa kesal menggorogoti secara cepat, saat dirinya berusaha berteriak dibandingkan tertawa, salah satu tangan di balik punggung kugerakkan dengan cepat--- menahan atas ubun-ubun sang gadis sebelum memberi cengkraman amat kencang. Ekspresi yang seharusnya terulas sebagai versi seorang Sasara Nurude telah musnah, kini digantikan sementara sebagaimana keseriusan mulai melekat sama seperti pada jaman di mana tangan bekerja di ranah kotor. Lagi-lagi pirsawan mulai berteriak saat merasa cengkraman tersebut, lebih memberi pemberontakan selagi mulut berusaha melempar rangkaian kalimat pada sela jeritan rasa sakit.

"Kau sangat kejam! Kenapa kau mengatakan hal seperti itu kepadaku? Aku hanya ingin---"

"Ssst."

Cengkraman berakhir berubah menjadi sebuah jambakan, kalimat tidak terselesaikan saat tergantikan menjadi teriakan memincing. Menarik arah kepala sang gadis selagi satu tangan bebas bergerak, meletakkan depan jari telunjuk di depan mulutnya; di mana aku bersumpah bisa saja mulut tersebut akan ditusuk berkali-kali jika berani menggigit. Untunglah gadis satu ini berfokus dalam menahan rasa sakit yang bergejolak--- kepala sedikit mendongak bersamaan kedua mata terpejam rapat, tubuh mulai bergemetar ketakutan, dan membuatku penasaran; bukankah ia sejak awal berencana hendak mencicipi kematian sepenuhnya? Memutuskan sedikit menaikkan tubuh yang masih membungkuk cukup dalam, kedua sudut bibir mengulas senyuman tipis setelah memandang ekspresi memucat. Lucu sekali, seberapa besar perbedaan seseorang hendak mati di tangan sendiri dan di tangan orang lain. Bukankah lebih baik dirinya membiarkan seseorang mengantarkan akhir tersebut? Selagi bukan karena tindakan sendiri, dosa tidak akan bertambah. Walaupun aku tak yakin gadis satu ini akan menyambut pintu surga.

Oh, well, manusia menyedihkan memang menyedihkan.

"Bukankah itu kesalahanmu? Memutuskan memelihara pemikiran seperti itu dan membuat permasalahanmu sendiri? Ayolah, kau tidak pernah berpikir seberapa repot orang tuamu atau teman terdekatmu saat terus melihat kondisimu seperti ini terus? Maka dari itu, tertawalah dengan gurauan itu! Kau sendiri bisa mempertahankan, apa namanya itu, depresi? Ya, ya, depresi! Lantas kenapa kau tidak mencoba tertawa terhadap lelucon tadi? Hei, aku menolongmu agar kau bisa sembuh. Setidaknya, cobalah!" Tanpa sadar, tangan bergerak agar kembali menjambak. Seakan memang seberapa besar dusta kusampaikan, tujuan mengatakan hanya untuk melampiaskan sebuah dendam; bahkan dendam di mana sebenarnya bukan berasal dari sosok gadis ini.

"Jadi, apakah kau hendak mencoba untuk tertawa?"

Sang gadis hanya memekik, kedua mata masih terpejam selagi laju napas mulai memberat. Aku bisa merasakan campuran ketakutan dan juga kebingungan, begitu pula suhu tubuh masing-masing bahkan sedang berlawanan--- dingin dan panas. Pucat menggambarkan dingin, sedangkan kondisi tetap menggambarkan kenormalan. Tetapi, selagi menjauhkan jemari seiring menunggu hampir semenit, gadis tersebut tidak merespon apapun; mulutnya hanya bergetar hebat. Bahkan tidak bisa memaksakan senyuman sedikitpun? Sangat tidak menghargai sekali. Kentara tak ingin berusaha pula. Menggambarkan ekspresi kecewa dan bosan, kedua sudut bibirku mulai bergerak turun; secara kasar melepas jambakan sebelum kembali menegapkan tubuh. Sang gadis terlihat lebih bebas bernapas, beralih sedikit menunduk, terutama menenangkan gemetar pada kedua bahu. Tetapi, seharusnya, pirsawan satu ini tidak perlu repot-repot menenangkan diri atau justru merasakan sedikit kelegaan.

Karena saat tanganku kembali bergerak, sebuah ujung pisau mulai menyentuh tengah permukaan kulit tengkuk sang gadis--- tepat di mana bekas percobaan bunuh diri berada, mulai memberi tekanan hingga tubuhnya sukses bergejolak, ia kembali berteriak lirih, berusaha memberontak dengan sisa tenaga, walaupun satu tangan bebasku telah bergerak guna mencekik depan lehernya; bergerak sedikit naik hingga ikut pula mencengkram bawah dagu. Sama seperti biasanya, aku tidak mendapatkan sebuah tawaan tulus, tetapi teriakan penderitaan seperti ini tampaknya tidak terlalu buruk. Maka goresan dalam mulai mengikuti bekas lingkaran, teriakan kian membesar, bahkan bisa saja merusak indra pendengaranku jika saja sensitif---- tetapi, tentu, aku tetap tenang, tidak ada siapapun yang bisa membantu gadis ini. Aliran darah telah menjadi lingkaran sempurna setelah goresan sudah berputar sejauh 360 derajat, deras cairan membasahi seluruh pakaian putih bersih; merubah warna secara alami, tetapi mengenaskan. Dengan kondisi kehilangan darah sebanyak dan secepat itu, tubuh sang gadis mengalami kejang luar biasa. Teriakan berubah menjadi suara tidak bermakna seiring batuk memuncratkan darah ke atas permukaan lantai. Maka saat tubuh berakhir mengalami shok berupa ketegangan total bersamaan kepala menunduk jatuh, diriku tentu saja mengetahui bahwa ia telah kehilangan kesadaran----

Dan tidak akan pernah kembali terbangun.

Tetesan darah terjatuh dari sisi samping kursi saat pakaian tidak mampu lagi menyerap pekat cairan, kedua kaki memutuskan berputar arah agar diri dapat memandang dari arah lebih tepat--- alas sepatu kubiarkan menginjak permukaan genangan, walaupun berhati-hati agar tidak tergelincir. Memosisikan tepat di depan, kedua kaki bertekuk hingga berada pada posisi berjongkok, mendongak guna menangkap ekspresi; mulut tampak masih dalam keadaan sedikit tebuka, di mana tercipta aliran darah pada sudut bibir. Ups, apakah aku menggoresnya terlalu dalam? Bahkan kedua mata dalam keadaan sedikit terbuka pula--- sebuah tetesan air mata sempat menurun sebelum bersatu dengan cairan dominan.

"Pft."

Ah, apa yang lucu? Seharusnya tidak ada kelucuan dari sebuah kematian seseorang, tetapi memandang saja membuat perasaan geli mendominasi, memutuskan menunduk dahulu--- senyumanku kembali melebar. Bibir terkatup bersamaan satu tangan bergerak, menghalangi depan wajah, sebelum kedua bahu bergetar, melepas tawaan berkelanjutan nan tertahan; menggema di dalam leher sebelum sebuah seringai terulas percaya diri.

Aku merasa puas.

Ya, benar.

Aku merasa sangat puas.

"Manusia seperti kalian sejak awal sudah tidak mampu lagi 'hidup'." Diriku berbisik setelah menenangkan kondisi, beralih bangkit selagi tubuh menegap sempurna. Walaupun kepala sedikit ditundukkan--- salah satu tangan bergerak ke arah depan. "Berhentilah merepotkan orang lain sebelum terlambat. Karena sangat disayangkan jika nyawa orang tersebut justru menghilang dibanding nyawa kalian, bukan?"

Jemari mengapit bawah dagu dari mayat seorang gadis, membuatnya mendongak, kedua mata kosong seakan menatap dalam menuju ragaku. Tetapi diriku mengulas senyuman tidak peduli dan justru menggambarkan keramahan pada amarah jiwa yang telah meninggalkan raganya, mendengus pelan, tangan lain bergerak guna mengotori bagian jemari dengan aliran darah pada leher sebelum mengarahkan; menciptakan ukiran senyuman, mahakarya dari sebuah cat alami, membuat mulut sang gadis pada akhirnya mengulas sesuatu yang berguna. Maka setelah sempurna, jemariku kembali meraih cairan darah, menggerakkannya menuju arah berbeda; hingga bagian jari telunjuk dan tengahku menyentuh depan bibir, menggeser pada arah berlawanan--- sampai melampaui kedua tepi sudut bibir, terus bergerak naik. Membentuk sebuah senyuman lebar.

"Jika kau bertemu dengan [Name], jangan berani-beraninya orang semacam kau membuatnya kembali menderita."

.

.

.

.

.

Kedua telapak tanganmu selalu senantiasa menghiburku. Mengucapkan kalimat-kalimat penenang, memberiku seribu alasan untuk terus melangkah maju--- walaupun sesederhana itu, aku merengek dan mengeluh seberapa banyak orang tidak mengerti tentang lawakanku saat diri membicarakannya secara empat mata. Tetapi, alasan itu saja, kau sudah merentangkan tangan, berbisik kalimat berulang bahwa aku telah melakukan yang terbaik. Kau adalah salah satu harapanku, dan aku tidak ingin mengecewaimu, saat dirimu kupercayai mengetahui sisi gelapku--- seberapa tragis kehidupanku saat mulai menginjak kedewasaan, kau selalu mengarahkanku agar diri tidak tersesat. Senyumanmu adalah penyembuh, sentuhanmu adalah berkah. Terlalu baik dan tidak pantas dihadapkan pada banyak orang.

Demimu, aku akan mencoba.

Demimu, aku akan berusaha.

Demimu, aku akan berubah.

Aku tidak ingin mengecewakanmu. Tak berkehendak membuatmu setiap malam selalu berpikir tentang kondisiku. Setiap momen, membuatku menghargai seberapa besar kau ada di sisiku. Tetapi, lagi-lagi, dunia memang tidak pantas memeliharamu, bukan? Kau terlalu baik dan mencoba membantu banyak orang. Tetapi setiap manusia memiliki watak dan latar berbeda, dengan kendala sama, pada akhirnya beberapa dari mereka tidak bisa mengerti seberapa besar kebaikan di dalam usahamu. Mereka perlahan mulai melunjak, masuk pada zona nyaman, mendapatkan perlakuan spesial, dan berakhir membuatmu menderita. Kentara kau tidak bisa menceritakannya, bukan? Kau berakhir menyiksa pikiranmu sendiri. Mengikis diri secara perlahan saat kau mengira seharusnya dirimu lebih kuat daripada mereka.

Lantas sekarang kau tiada.

Pemakamanmu adalah hal terpahit yang pernah kucicipi.

Tubuhmu beristirahat di dalam tanah, dan aku masih cukup waras untuk mengetahui bahwa kau tidak akan pernah mengunjungiku lagi dan membuat segelas minuman kesukaanku. Kau memutuskan untuk mengakhiri hidup, karena mereka. Bunga di atas tanah membuatku merasa alergi, batu nisan bertuliskan namamu hanya meninggalkan memori tidak berguna tanpa alasan jelas tentang kematianmu. Pertama kali berkunjung, aku hanya ingin di sana sendirian, memandang di bawah langit kelabu. Tubuh terbalut pakaian serba hitam. Wajah tidak mengulas ekspresi seperti biasanya, memandang dengan kekosongan seakan belum memercayai kebenaran. Merasa pertama kalinya kehidupan terasa hambar, aku hampir saja menangis.

Tetapi, tidak, aku tidak akan menangis. Setitik tetes air mata--- aku bersumpah untuk tidak mengeluarkannya. Maka kujauhkan telapak tangan dari depan wajah, kepala masih kutundukkan, memandang permukaan tersebut dengan kondisi mulut sedikit terbuka; mulai membayangkan seberapa indah sesuatu dari orang macam mereka mengotori tangan ini. Begitu pula puluhan lelucon menyenangkan datang pada benak, dan bisa kuperdengarkan kepada mereka. Maka diriku mulai tertawa bahagia, melepas sebuah tawaan besar--- kepala mendongak bersamaan tangan bergerak turun, seringai terulas seiring mata memandang kondisi langit.

"Karena kalian tidak berusaha benar, kalian berakhir membunuh seseorang."

"Dasar pemilik benak tidak berguna, bahkan tak bisa mencoba menghargai usaha seseorang dalam membantu."

"Apa yang kalian pikirkan? Jika keberadaan kalian adalah beban tetap, lebih baik matilah. Seperti tidak memiliki seseorang dalam mendukung."

"Sialan kalian."

"BRENGSEK."

"AKU AKAN MEMBUNUH KALIAN."

"KAU DENGAR?"

Diriku berteriak pada ruang terbuka kosong. Melempar deretan kalimat sebelum melepas sebuah tawaan maniak.

.

.

.

.

.

Ah, apa yang perlu kupersembahkan kepadamu?

.

.

.

.

Setangkai higanbana?

.

.

.

.

Mungkin saja orang-orang mengatakan bahwa diriku adalah sosok bengis dan sudah kehilangan kewarasan bahkan moralitas. Tetapi mereka tidak pernah menyadari bahwa sosok terkejam terkadang ada pada mereka yang justru terlihat lemah. Katakanlah, apakah aku salah? Aku telah kehilangan sosok wanita yang kucintai karena kekuatannya terkuras kepada makhluk berkedok lemah. Apakah aku harus memercayai orang semacam mereka lagi? Seharusnya aku tahu bahwa tidak semua dari mereka bermaksud demikian, bahkan mungkin saja masih ada yang berusaha keras untuk terlepas dari kesakitan tersebut. Tetapi, aku sudah merasakan kehilangan, amarah senantiasa menjadi pemanduku setiap saat. Orang-orang sakit jiwa berakhir membuatku muak; selalu membawa mereka pada komedi tragedi, tetapi mereka tak pernah mengerti. Antara mengasihani atau menyalahi diri sendiri--- pada akhirnya mereka sama saja, hidup untuk menderita. Dunia ini terlalu kejam, kau tahu, seberapa berat latar seseorang, mereka selalu dihadapi oleh tantangan sama saat mulai melangkah menuju ranah kedewasaan. Memiliki gangguan kejiwaan atau tidak--- seseorang menghadapi sesuatu yang amat berat. Bukankah begitu?

Diriku selalu tampil maksimal, seperti biasanya, di depan orang-orang normal pada pertunjukan. Menjalani aktifitasku sebagai pelawak ternama--- sejauh ini, identitasku belum terkuak akibat beberapa tindakan yang kulakukan dalam mengambil nyawa banyak orang dengan satu kendala sama. Banyak hujatan diberikan kepada sang pelaku, tidak lain adalah aku, dan tidak mengherankan seperbagian dari mereka melontar kalimat sama; mengenai seberapa tega pelaku merenggut nyawa orang yang sedang berusaha mempertahankan hidup akibat masalah kejiwaan, tetapi aku sendiri selalu beranggapan bagi mereka yang mengidap penyakit fisik parah justru lebih baik lebih dikasihani. Tetapi, aku tidak peduli, selalu berpikir mengapa kematian seorang wanita yang kucintai tidak juga dibela sampai titik darah penghabisan?

Maka aku membelanya.

Dengan kedua tanganku sendiri.

Menuju titik darah penghabisan.

Sampai diriku sadar bahwa sebenarnya lelucon gelap masuk pada seleraku atau justru ternyata perubahan membuatku menyukai hal demikian? Aku merasa sangat senang saat orang semacam mereka telah kehilangan sebuah nyawa. Seakan berhasil berkali-kali membalaskan dendam, aku selalu percaya bahwa [Name] akan ikut tertawa bersamaku. Satu per satu menjadi puluhan, menggetarkan media bahkan berbagai pihak pelurus kebenaran. Masyarakat mulai melakukan solidaritas untuk melindungi dan makin membuatku sulit melampiaskan dendamku dari waktu demi waktu. Tetapi, jika dipikir-pikir, walaupun aku selalu berhasil melakukannya setiap saat, maka tidak ada perubahan akan kualami. Apakah [Name] akan kembali? Tidak. Apakah manusia semacam mereka berkurang? Tidak. Mereka akan bertambah. Itulah sistem kehidupan sosial masyarakat.

Sampai diriku menyadari bahwa aku lelah dan juga rindu. Melakukan berbagai macam aktifitas maupun mencari kesenangan berbeda, atau melupakan, aku tidak bisa merasakan bahwa kondisi hatiku membaik. Aku selalu mengingat seberapa menyedihkan orang-orang di dalam dunia dan membuatku tersadar hingga menjadi kasihan kepada dunia itu sendiri. Maka diriku memikirkan hal brilian atau justru menjadi langkah terakhirku sebelum benar-benar menghilangkan perasaan lelah dan rindu.

Berjalan di tengah keramaian Kota Osaka pada siang hari, diriku mengenakan pakaian kasual, menutup identitas agar tidak terganggu--- memakai topi dan juga masker yang tertutup di daerah mulut. Memasukkan kedua tangan di dalam saku jaket tudung, kedua kaki melangkah lebih jauh menuju titik keramaian; melewati dengan sekuat tenaga, kedua mata di balik kelopak memandang tanpa ada hasrat untuk memerhatikan. Mempenasari seberapa lama lagi polisi dapat menemukan identitas pelaku, diriku berakhir menghiraukan saat kedua kaki memutuskan berhenti. Diam pada posisi tengah jalanan yang tidak begitu ramai, kedua mata mulai memandang ke arah sekitar sejenak. Sampai satu tangan merogoh saku, mengeluarkan ponsel layar sentuh. Menyalakan sebuah fitur dari aplikasi, satu tangan bebas mulai menurunkan keberadaan masker ke arah bawah. Setelah merasa posisi tepat--- diriku dengan percaya diri untuk menekan tombol siaran langsung.

Puluhan menuju ratusan penonton berlangsung dengan cepat. Membuatku mengulas senyuman lebar selagi memandang penampilanku sendiri di depan layar kamera, kedua mata tak terlepas dari angka penonton--- sebelum memutuskan membuka suara guna menyapa.

"Halo semuanya~ Sasara Nurude di sini. Apakah kalian bisa menebak di mana diriku berada? Ya, ya! Di tengah Kota Osaka yang padat dan panas. Sepertinya soda krim menjadi pilihan tepat untuk nanti? Hahaha!"

Diriku tetap berbicara dengan nada bersemangat, ratusan tidak lama menjadi ribuan. Sesekali diriku menyapa beberapa nama pemilik akun secara acak. Tampaknya mereka terlihat senang, begitu pula ada yang meminta agar nama akun mereka ikut pula disebutkan. Diriku hanya tertawa, mengulas senyuman selagi memerhatikan, tetapi beberapa dari mereka memiliki kepekaan tersendiri dan bertanya mengapa diriku hanya diam. Tidak seperti biasanya. Kedua sudut mengulas senyuman sebagai balasan awal seakan memang tidak melihat pertanyaan tersebut dan justru menertawai kalimat lain dari pengguna berbeda. Setelah lima menit terlewatkan, puluhan ribu pengguna akun telah sukses memasuki siaran langsungku untuk mengetahui apa yang sedang kulakukan. Diriku kembali membuka mulut, berkehendak bersuara.

"Sepertinya kita semua tahu, bukan? Tingkat angka bunuh diri di Jepang, memang cukup tinggi di antara negara lainnya?" Pertanyaanku terlontarkan dengan lancar di mana ulasan senyuman masih terlihat. Daerah fitur pesan dipadati dengan jawaban berlomba, beberapa dari mereka bertanya mengapa diriku mengatakan demikian dan ada juga yang justru menanyakan keadaanku karena melontarkan pertanyaan tersebut. Tetapi diriku tidak menjawab, memutuskan sedikit memiringkan kepala, masih mengarahkan ponsel di depan wajah dengan perbedaan jarak cukup. Melepas tawaan pelan--- memutuskan melanjutkan pengucapan.

"Aku akan mengatakan ini sekali. Jadi aku ingin kalian mendengarkan, baik?" Diriku memberi jeda beberapa detik. Suasana masih cukup ramai di sekitar, sama seperti para pengirim pesan pada siaran langsungku. Mereka menyetujui untuk mendengarkan, tetapi beberapa dari mereka secara bersemangat membuat kalimat apresiasi kepadaku. Tetapi, memang, untuk sekarang diriku menghiraukan dan beralih kembali fokus.

"Apakah kalian ingat kasus terakhir di mana terdapat seorang gadis dengan gangguan kejiwaan ditemukan meninggal di salah satu ruangan tak terpakai pada rumah sakit jiwa di dekat sini? Tubuhnya diikat pada kursi dan meninggal akibat pendarahan di mana luka ditemukan pada sekitar leher secara melingkar. Sama seperti bekas percobaan gantung dirinya pada tahun lalu? Jika kalian ingat. Baguslah, karena aku akan dengan berbangga hati mengatakan. Bahwa dirikulah yang melakukannya!"

Fitur pesan menjadi lebih tenang daripada sebelumnya. Mungkin terkejut setelah mendengar pernyataanku, tetapi beberapa dari mereka secara percaya diri melakukan kesimpulan bahwa diriku sedang bergurau. Tetapi beberapa dari mereka melampiaskan rasa amarah berbasis teguran, mengatakan bahwa tidak baik menggunakan hal sensitif tersebut untuk dijadikan topik.

"Tetapi, kau tahu, aku sangat senang melakukan hal itu dan tidak merasakan sebuah penyesalan sama sekali. Karena diriku yakin bahwa orang semacam mereka pantas mati." Diriku melepas tawaan kasual seakan sedang melontarkan lelucon sehari-hari. Tetapi tidak ada yang ikut tertawa bersamaku dari fitur pesan tersebut, membuat tawaan menjadi-jadi. Berubah menjadi tawaan heboh, menggelegar, bahkan sukses menarik atensi pejalan kaki. Seringai terulas, sebuah pernyataan atas dosa yang kulakukan di depan publik. "Walaupun sekarang, aku merasa lelah, dan cepat atau lama kepolisian pasti akan mampu menangkapku. Sang pelawak nomor satu di Kota Osaka."

"Percayalah, aku tidak akan melupakan seperti apa ekspresi mereka saat diriku menyajikan lelucon tentang diri mereka sendiri. Kau tahu, wajah mereka amat tersiksa, respon mulut merupakan keunikan antara memaki atau membalasku dengan teriakan. Mereka tidak tertawa! Tetapi, tidak masalah, teriakan mereka adalah salah satu pengganti paling ampuh. Apakah kalian bisa membayangkan seberapa nyenyak kalian tertidur dan pada saat itu juga terdapat seseorang yang sedang disiksa sampai mati? Menegangkan, bukan? Tragis, benar?"

Diriku mengusap mulut sejenak, menahan tawaan agar tidak menjadi berkelanjutan. Beberapa pejalan kaki sukses berhenti hanya untuk menangkap ucapanku dengan besar suara yang tidaklah pelan, begitu pula beberapa orang pada fitur pesan mengatakan bahwa mereka akan menghubungi pihak berwajib setelah menangkap sesuatu kesalahan dari siaran milikku. Maka tidak ada lagi waktu, seringaiku masih terulas selagi tangan diturunkan.

"Lalu aku akan mengatakan ini. Karena orang semacam mereka, yang kubunuh, mereka telah merenggut orang yang kucintai. Lalu setelah melampiaskan dendamku. Aku akan membawa beberapa dari kalian bersamaku. Karena kau tahu, aku tidak ingin mati sendirian."

Tanganku mengambil sesuatu dan setelah menampakkan diri dari dalam saku, beberapa pejalan kaki sukses berteriak. Fitur pesan menjadi amat ramai dan memberikan kalimat tidak jelas--- tak tertangkap karena dengan cepat berpindah. Diriku justru melepas tawaan seakan menanggapi reaksi tersebut adalah hal lucu; berakhir membelalakkan salah satu mata pada kondisi tertawa, tangan tersebut dengan cepat mengarahkan--- memasukkan condong pistol ke dalam mulut, tanpa perlu berpikir dua kali menekan pengaman. Berakhir menekan pelatuk, kesadaranku secara berkah menghilang jauh lebih cepat. Walaupun rasanya, bagian atasku terasa sangat ringan.

Dengan begini, kematianku akan menjadi rekaman abadi dan memancing nyawa orang-orang untuk menyusul. Cepat atau lama.

'DOR!'

.

.

.

.

.

Tampaknya aku harus mempersembahkan setangkai higanbana kepada diriku sendiri. Bukankah begitu? Haha!

.

.

.

.

End.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top