Chapter-03 : Terjebak!

"Sepi banget, ya ...," bisik Nia kepadaku. Meski begitu, aku tahu semua orang bisa mendengar bisikkan Nia karena memang suasana begitu hening. Bahkan desing nyamuk pun tidak ada.

"Ya namanya juga rumah kosong," jawabku seadanya.

Sudah setengah jam kami berada di dalam rumah besar ini, namun kami belum menemukan apapun. Suasana rumah ini begitu hening, sebagian besar sudah hancur berserakan. Meski masih ada beberapa furnitur yang masih utuh, namun tetap saja sudah berkarat atau lapuk.

Aku mengarahkan senter ke tangga menuju lantai dua. Sekilas tangga tersebut terlihat mewah, namun tidak setelah aku melihat banyak sarang laba-laba di setiap sudutnya.

"Mau ke lantai dua?" tawar Kevin dengan senyum nakal.

"Ayo," Dio mengangguk. "Tapi setelah ini, kita langsung keluar, ya. Di sini pengap sekali. Lagipula, enggak ada apa-apa juga, 'kan?"

"Ya makanya kita cek dulu."

Kami semua menaiki anak tangga demi anak tangga. Di sini, cahaya matahari sore tak sanggup menyorot lebih dalam, hingga suasana sekitar murni gelap. Hidup dan mati kami kini bergantung kepada lampu senter.

Di lantai dua hanyalah sebuah lorong panjang dengan banyak pintu di sisinya. Lorong ini juga memiliki banyak sekali cabang, entah mengarah kemana. Aku jadi penasaran, siapa yang mendesain mansion ini dulu? Siapapun itu, dia pasti memiliki selera yang rumit.

Kevin mengarahkan senternya ke sebuah pintu yang memiliki dua daun. Di sana, bertengger sebuah papan yang bertuliskan "my room" berwarna merah darah, nyaris pudar. Tanpa meminta persetujuan kami, dia sudah lebih dulu mendorong daun pintu dan memasuki ruangan.

Hani mencegah tangan Kevin, menatap cemas. "Jangan masuk."

Kevin mengangkat sebelah alisnya. "Kenapa?"

"Enggak sopan masuk ke kamar orang tanpa izin."

Kevin tertawa, disusul dengan tawa yang lainnya. Tapi aku tidak tertawa, karena memang tidak lucu. Terkadang, aku heran dengan selera humor anak kelasku. "Kita sudah masuk rumah orang tanpa izin, kok. Lagian, rumah ini kosong, enggak ada penghuninya."

"Tapi ..."

"Udahlah, Han," Dio mengibas-ngibaskan telapak tangan ke leher, mungkin dia kepanasan. "Biarin aja, biar cepet selesai. Gerah nih."

Dengan ragu, Hani melepas genggamannya di lengan Kevin. Kevin melangkah masuk, disusul yang lainnya--karena kami memang penasaran.

Ruangan ini lebih luas dari yang kukira. Ada satu ranjang berukuran king size dengan banyak renda lusuh yang mengelilinginya. Seprainya penuh dengan debu, begitu pula dengan bantal serta gulingnya. Ada almari kayu raksasa di sudut ruangan, juga sebuah meja rias, rak buku kayu lapuk, juga sebuah lemari penuh boneka.

Jejeran boneka porselen klasik tertata dengan rapi di lemari kayu yang pintu kaca. Kevin yang memang sudah bandel dari sananya langsung melengos mendekati lemari, membukanya, lantas meraih sebuah boneka porselen. Ia lalu menggendongnya seakan itu adalah anaknya sendiri. "Ululululu, aku berasa jadi seorang ayah!"

Lia terkekeh. "Terus ibunya siapa?"

"Kamu aja mau enggak?" Kevin menggoda, menaik-turunkan alisnya.

"Males."

"Dih, gitu." Kevin membuka ranselnya, kemudian mengeluarkan sebuah susu kotak kecil dari sana. "Anakku harus minum susu dulu, biar sehat."

"Apaan sih." Anak-anak yang lain mulai tertawa. "Kamu mau eksperimen sama boneka di sini? Ada-ada aja."

"Ya, siapa tahu bonekanya bisa minum, kan?"

Sudah kubilang, selera humor mereka memang aneh. Apa yang sebenarnya lucu dan pantas ditertawakan?

Kutatap boneka porselen yang ada di dekapan Kevin. Boneka tersebut adalah boneka seorang gadis berambut pirang, dengan gaun ala belanda. Renda putih kusam mengelilingi gaunnya yang mengembang anggun. Bibir merah segar mungil dengan mata yang besar.

Seharusnya, boneka tersebut terlihat imut. Namun, entah mengapa di mataku terlihat menyeramkan.

Boneka tersebut terlihat tersenyum kepadaku, melirik lewat ekor maniknya yang berwarna hijau permadani.

Aku membeku.

Tunggu dulu, mengapa boneka tersebut bisa tersenyum dan melirikku?

"Kevin, tunggu!" aku hendak mencegah Kevin, namun terlambat. Kevin sudah lebih dulu mendekatkan tangannya yang sedang menggenggam susu kotak ke mulut boneka tersebut.

Detik berikutnya, mulu mungil boneka tersebut terbuka lebar, memamerkan deretan gigi runcingnya. Boneka tersebut mengatupkan mulutnya, melahap jemari Kevin yang dekat dengan mulutnya.

Kevin menjerit, refleks melempar boneka tersebut. Ia menggenggam jemari kanannya yang kini sudah tak lagi utuh. Darah segar berdesakkan keluar dari sana, menghasilkan sebuah bau karat yang begitu menusuk hidung.

Jeritan mulai bersusulan. Kami berbalik, bersiap berlari keluar, namun tiba-tiba saja pintu ruangan terbanting tertutup begitu saja.

Para anak perempuan menjerit histeris, beberapa sudah menangis. Anak laki-laki mencoba mendobrak pintu, menendang atau meninjunya--melakukan apapun asalkan pintu tersebut bisa terbuka.

Namun sayangnya, hasilnya nihil.

Sebuah lengkingan tawa terdengar memekakkan telinga. Kami sontak menoleh ke sumber suara, yang ternyata berasal dari boneka porselen belanda yang tadi Kevin lempar.

Boneka tersebut tersenyum lebar, bahkan hingga mencapai daun telinga. Kepalanya bergerak, matanya melotot lebar ke arah kami. Deretan gigi tajamnya terlihat, begitu pula dengan mulut yang bersimbah darah. Kaki serta tangannya bergerak kaku. Perlahan, boneka tersebut beranjak berdiri.

Kami mundur teratur. Jantung berpacu begitu cepat seakan kami baru saja berlari mengelilingi dunia.

"Wah, wah ... coba kita lihat ...," suara nyaring kembali terdengar. Aku tidak tahu ini suara wanita atau pria, karena suaranya begitu bertabrakan. Seakan, dua jenis kelamin sama-sama menyuarakan suaranya di sini. "Kita kedatangan anak-anak nakal. Apa yang kalian lakukan di sini, hm?"

Kami semua membeku, bergetar hebat. Bahkan, aku sampai tak bisa berkata-kata. Lidahku terasa kelu. Aku takut. Ini pertama kalinya aku merasa takut terhadap sesuatu yang bersifat duniawi.

"Anak nakal harus diberikan hukuman, hihihi," suara tawa yang memekakkan telinga kembali terdengar. Boneka tersebut menggerakan kakinya yang kaku, melangkah mendekat. "Nah, pertama-tama, siapa yang harus kumakan, ya?"

"Boneka terkutuk!" Ali melangkah mendekati boneka tersebut, mengabaikan teriakkan anak-anak sekelas yang menyuruhnya berhenti. "Ini pasti bohongan, 'kan? Seseorang pasti sedang mengerjai kami, 'kan?!" Ali meraih boneka tersebut, kemudian membantingnya ke lantai berkali-kali, lantas menginjaknya.

"Ali, hentikan!" seruku.

"Apa? Kamu tiba-tiba jadi pengecut, An?" Ali tertawa sinis. Ia meraih boneka tersebut, menunjuknya. "Lihat, dia enggak berkutik lagi, 'kan? Pasti saat ini ada yang serang mengerjai kita!"

"Kalau begitu ...," Kevin masih menggenggam erat jemarinya yang berdarah hebat. Wajahnya pucat pasi, menahan sakit. "Kenapa ... jariku bisa dimakan olehnya?"

"Pasti ini mesin," sahut Ali lantang, "Pasti ini hanya--"

"ALI, AWAS!!"

Kepulan asap keluar dari boneka yang Ali genggam, kemudian membentuk sebuah makhluk yang belum pernah kulihat sebelumnya.

Makhluk tersebut berbentuk seperti manusia, namun memiliki tanduk dan sayap kelelawar. Ia memiliki banyak sekali mata di sekujur tubuhnya. Mulutnya tersenyum begitu lebar, memamerkan deretan gigi tajamnya. Matanya begitu hampa, hitam legam, menatap Ali dengan tatapan yang sangat buas.

"Kamu akan menjadi santapan pembuka, anak nakal."

Jemari runcing makhluk itu meraih tubuh Ali, lantas melahapnya mulai dari kepalanya. Darah terciprat kemana-mana. Bau karat besi menusuk indra, membuat asam lambung seakan naik.

Aku nyaris saja muntah melihatnya, namun kutahan. Beberapa di antara kami bahkan sudah memuntahkan seluruh isi perutnya.

Makhluk tersebut selesai memakan Ali, menjilat darah yang tersisa di sekitar mulutnya. Ia menatap kami dengan penuh minat. "Nah, selanjutnya siapa, ya?"

"... Tolong jangan!" Entah dari mana keberanian yang datang, aku berseru lantang dengan nada bergetar. "Tolong jangan makan kami! Beri kami kesempatan!"

Jujur, saat mengatakannya tubuhku bergetar hebat. Keringat dingin sudah membasahi tubuhku.

"Hm ... karena aku bosan, sekarang kita sedikit bermain." Makhluk tersebut memiringkan kepalanya, tersenyum. "Ayo kita bermain petak umpat, bagaimana? Aku akan diam di sini dan menghitung, sedangkan kalian bersembunyi. Bagaimana?"

Pintu sontak terbuka lebar, dan makhluk menyeramkan itu memejamkan matanya. "Kumulai, ya. Selamat bermain!"

Detik selanjutnya, kami segera berhamburan keluar dari ruangan tersebut.

***TBC***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top