Tolong!
Mata ini sungguh jengah, suasana hati yang sudah membaik juga kembali merasa kesal setelah melihat orang yang tiba-tiba saja muncul di hadapan kami dan dengan entengnya meminta diary tersebut.
"Lo lagi, lo lagi. Nggak bosen, ya? Nggak punya malu? Nggak punya hati, masih berani muncul di depan gue, setelah apa yang lo lakuin ke sahabat gue?" Emosiku benar-benar tersulut hanya dengan melihat wajah Melody.
"Zoy, lo mau nuduh gue apa pun, nggak akan ngaruh. Polisi aja netepin gue nggak salah. Jadi, mau seribu kali pun lo nuduh gue yang nggak-nggak, percuma tahu, nggak?" Bukannya meminta maaf atau setidaknya bersikap baik, gadis itu justru makin memancing emosi melalui perkataannya.
"Jangan munafik di depan gue! Gue udah tahu siapa lo. Bahkan ... ada kemungkinan kalau lo juga yang udah bunuh Zahwa," tuduhku dengan nada rendah, menahan emosi yang lebih besar yang siap meledak kapan pun.
Melody awalnya terdiam, tetapi tuduhanku yang makin menyudutkannya, membuat gadis itu akhirnya menepis semua ucapanku. Matanya memerah dan mulai berkaca-kaca. Akan tetapi, aku tidak akan pernah merasa iba atau kasihan pada gadis licik seperti dirinya. Tak hanya itu, Melody juga berusaha menyerangku, beruntungnya ada Kak Alfa yang melindungiku.
Aku tersenyum sinis. "See! Lo yang ada di hadapan gue sekarang, nggak jauh beda dengan lo yang ada dalam buku harian ini." Kubuka halaman buku harian yang menuliskan tentang perilaku Melody, lalu kutunjukkan tepat di depan matanya. "Baca! Sekarang lo mau ngelak kaya gimana lagi? Lo mau bilang buku ini yang ngada-ada? Dari catatan ini aja, gue bisa, kok laporin lo lagi ke polisi, supaya polisi menyelidiki dua kasus kematian ini lebih jauh lagi."
"Omong kosong!" Mata Melody sudah mengalirkan air dari mata yang sangat merah, ia juga menyipit, lalu berjalan mendekat padaku. "Lo boleh tuduh gue apa pun, tapi sekarang gue tantang lo untuk cari bukti kalau gue yang udah bunuh May dan Zahwa. Kalau lo hisa nemuin bukti yang konkret, gue akan nyerahin diri ke polisi. Tapi, kalau lo nggak bisa buktiin itu dalam waktu satu bulan, lo harus minta maaf sambil sujud di kaki gue," ucap Melody perlahan dengan suara bergetar.
Setelah mengatakan hal itu, Melody pergi dari hadapan kami, setelah menekankan kembali tentang tantangan tersebut. Aku hanya tertegun, merasa apa yang gadis itu katakan bukanlah kebohongan. Sorot matanya menyiratkan sebuah kejujuran.
***
"Kalau Melody nggak bohong, berarti semua ini benar? May meninggal karena kecelakaan, dan Zahwa karena bunuh diri. Tapi, kenapa aku masih merasa ada yang janggal?" gumamku di kamar kos sambil berselonjor kaki dan satu tangan terlipat di depan dada, sedang tangan yang lain, memijit kecil kepala yang terasa pusing karena semua masalah ini.
Aku pun terbangun, hendak mengambil diary milik Zahwa untuk kubaca lebih jauh. Segera kubongkar tas dan mengeluarkan buku itu. Kuperhatikan buku itu dengan saksama, tetapi saat akan kubuka, timbul keraguan dalam hati.
Seketika bayangan tubuh May yang tergeletak di bawah tangga hingga berujung nyawanya melayang, terlintas begitu saja dalam benakku. Sesungguhnya hati ini sangat enggan menghentikan penyelidikan ini, tetapi aku juga tak ingin egois dengan mengabaikan keselamatan orang-orang terdekatku. Beberapa halaman yang telah kubuka, langsung kututup saat itu juga, setelah memikirkan semuanya baik-baik.
"Zahwa, kalau lo emang udah tenang dan nggak mau siapa pun ngusik itu, gue janji akan balikin buku ini ke tempatnya besok. Asal, lo jangan pernah usik gue dan orang-orang terdekat gue. Cukup May, oke!" ucapku sambil menatap diary yang kupegang dengan kedua tangan itu lekat-lekat.
Kuletakkan kembali buku itu di atas meja belajar, dan kembali ke atas kasur empuk untuk merelakskan tubuh dan pikiran. Tanpa terasa mata ini terpejam dengan sendirinya.
"Tolong, Zoy ...," teriak May dengan wajah pucatnya sambil mengulurkan tangannya padaku.
"May ...!" teriakku yang langsung bangkit dari tidurku dengan napas terengah-engah dan keringat yang sudah membasahi sekujur tubuh. "Ya Tuhan, ternyata cuma mimpi." Aku mengusap wajah dan kemudian menarik rambut ke belakang, menyatukan kepala dan lutut lalu menelungkupkan wajah di sana.
Tak lama, aku kembali bangkit dan mengusap wajah kembali. "Jam berapa, sih? Kenapa gelap banget?" Mata ini menoleh ke sekeliling kamar yang kondisinya gelap gulita. Bahkan, untuk sekadar mencari sedikit cahaya pun tak nampak.
"Oh, sial! Gue lupa nyalain lampu." Segera kucari gawai yang kuletakkan di sebelah bantal, lalu kunyalakan senter, untuk memberi pencahayaan guna menyalakan sakelar lampu.
Saat lampu kamar sudah menyala dan kembali menerangi kamar, aku segera masuk ke kamar mandi, membersihkan dan menyegarkan badan. Mimpi itu benar-benar membuatku mandi keringat dan tubuh ini menjadi lengket karenanya.
Selepas mandi dengan handuk yang masih berusaha mengeringkan rambut, aku kembali teringat pada mimpi itu dan membuatku menghentikan kegiatanku. "Maksud May apaan, ya? Apa ini pertanda? Atau ... emang peringatan kalau gue harus balikin buku itu?"
Sesegera mungkin aku menyelesaikan urusan rambut dan berganti pakaian. Setelah itu, kutengok jam yang tertera di layar ponselku, dan itu menunjukkan pukul 21.45.
"Mudah-mudahan Kak Alfa belum tidur." Aku mencari nomor Kak Alfa yang ada di gawai, lalu melakukan panggilan padanya.
"Ya, halo. Ada apa, Zoy?" tanya Kak Alfa dari seberang telepon.
"Kak Alfa udah tidur?" tanyaku balik.
"Nggak, belum. Aku belum tidur. Ada apa? Kangen, ya?" tanya Kak Alfa dengan nada bercanda. Jika kami sedang berhadapan, pasti saat ini wajah Kak Alfa begitu girang setelah mengucapkan kalimat terakhirnya. "Eh, iya. Dari tadi kamu ke mana? Chat-ku nggak dibales-bales. Telefon juga nggak diangkat."
"Ge-er banget coba jadi orang," dengkusku. "Ya maaf, tadi sore aku ketiduran. Ini baru bangun. Oh ya, Kak. Ada yang mau aku bicarain."
"Sepertinya penting sekali. Ada apa?" tanya Kak Alfa.
Kutarik napas dalam, dan mengembuskannya kasar. "Aku akan ngembaliin buku itu besok. Kakak mau, kan nemenin aku?"
Terdengar suara Kak Alfa yang begitu antusias di seberang telepon. Rasanya sungguh tidak wajar dan terlalu berlebihan. Terlebih, saat dirinya mengatakan sangat siap untuk menemaniku. Dari nada bicara dan suaranya, bisa kutebak jika laki-laki itu saat ini sedang tertawa.
"Kenapa dia jadi seantusias itu? Dan, kalau aku perhatikan, kemarin dia juga kelihatan seneng banget waktu aku bilang mau balikin buku itu, tapi ekspresinya berubah saat aku memintanya mengembalikan diary itu," tanyaku pada diri sendiri sambil mengingat semua tingkah yang Kak Alfa tunjukkan saat kami membahas buku harian milik Zahwa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top