Terima Saja

"Kak Alfa, boleh tanya, nggak?" May membuka obrolan setelah kami mengisi perut hingga rasanya tak sanggup lagi untukku berdiri.

Kak Alfa yang berada di sebelah kananku, langsung memajukan tubuhnya, untuk menengok ke arah May yang duduk di sebelah kiriku. Satu tangan laki-laki itu menopang pipinya, sedang tangan yang lain, terlipat di atas meja kantin.

"Mau tanya apa?" tanya balik Kak Alfa.
May melirik ke arahku sambil tersenyum yang membuatku merasa bahwa akan ada kejahilan yang dibuat oleh gadis penyuka cokelat itu.

"Kak Alfa ...." Ucapannya menggantung, makin membuat hati ini merasa aneh dan tak tenang.

"Ngapain lo lirik-lirik gue? Awas aja ngajuin pertanyaan aneh-aneh tentang gue ke Kak Alfa," tegurku dengan nada sewot.

"Cih, GR banget, sih, lo. Lagian sepenting apa lo, sampai gue harus tanya sesuatu tentang lo ke Kak Alfa? Kan, bisa tanya langsung ke lo!" decih May, tak mau kalah sewot dariku.

Aku mencebikkan bibir, tak percaya pada apa pun yang keluar dari mulut gadis, yang pagi tadi sudah menolongku dari gangguan Melody. Akan tetapi, aku juga penasaran, apa yang sebenarnya ingin ditanyakan oleh May kepada Kak Alfa. Raut wajah sahabatku itu seketika berubah saat hendak memulai pembicaraan kembali. Tak ada senyum, dia memasuki mode serius kali ini.

Aku membiarkan May untuk menanyakan apa pun pada Kak Alfa, sedang diriku, mengambil gelas yang berisi es jeruk milikku yang masih tersisa, lalu hendak kuminum. Rasa pedas batagor dan siomay yang kumakan tadi, masih sedikit terasa, hingga membuat kerongkongan ini panas dan terasa kering.

"Kakak perhatian banget sama Zoya. Selalu sigap untuk bantuin Zoya. Apa Kak Alfa suka ... sama Zoya?"

Minuman yang belum sepenuhnya membasahi kerongkongan, kembali ingin keluar setelah telinga ini mendengar pertanyaan yang May lontarkan. Aku tersedak dan batuk, karena dengan susah payah menelan es jeruk itu, yang ternyata justru masuk ke saluran pernapasanku.

"Zoya, kamu nggak pa-pa? Nih, minum dulu." Kak Alfa langsung mengambil segelas air mineral kemasan kecil, lalu membuka dan memintaku meminumnya.

May tiba-tiba ikut terbatuk, tetapi suara batuk gadis berkucir ekor kuda itu terdengar seperti hanya pura-pura. "Aduh, nasib jomlo, tak ada yang perhatian, tak ada yang memberi minum, padahal juga lagi batuk," sindir May.

Kupelototkan mata pada May, melayangkan protes keras melalui tatapan tajam. Namun, gadis itu hanya tersenyum sambil menutupi mulutnya dengan satu tangan. Sedang tangan lainnya sibuk mengaduk minuman yang sebenarnya sudah dia aduk sejak tadi. Matanya pun enggan untuk melihat ke arahku lagi, seolah memahami bahwa aku telah melayangkan protes keras padanya.

"Pertanyaan lo nggak ada yang berbobot, May? Tentang pelajaran, kek atau apa gitu? Ngapain nanya-nanya kaya begitu? Gue tegasin, ya sama lo, Kak Alfa itu ng-" Ucapanku terhenti saat mendengar Kak Alfa mengatakan sesuatu yang membuatku lebih terkejut lagi dari pertanyaan May.

"Aku suka sama kamu. Aku akui, aku mulai cinta sama kamu," ungkap Kak Alfa.

"Tuh, kan, apa aku bilang? Kak Alfa itu ... cinta? Hah?" Mata dan mulut ini tiba-tiba susah untuk digerakkan, mengingat-ingat tentang apa yang laki-laki yang baru saja mengucapkan hal yang pertama kali kudengar.

"Yes, cinta! Kak Alfa cinta sama lo," jelas May perlahan setelah meneguk minuman yang sedari tadi belum habis juga.

"Zoy, Zoya, kamu nggak pa-pa, kan?" Kak Alfa menjentikkan jarinya tepat di depan mata hingga menyentuh bulu mata dan membuatku yang awalnya susah berkedip, kini langsung berkedip, menyatukan semua kesadaran yang semula sempat setengah hilang.

"Zoy, lo kena stroke? Atau kesambet?" tanya May.

Perlahan, aku menoleh pada May, kemudian berganti menatap lekat mata Kak Alfa. "Kak ... Alfa, bercanda, kan?" tanyaku penuh keraguan.

Kak Alfa memperbaiki duduknya. Memutar kursi juga badannya menghadap ke arahku. Tangannya terulur, lalu meraih tanganku dan digenggamnya. Kepala laki-laki itu yang awalnya menunduk seolah mengamati setiap ruas jariku, kini terangkat dan menatapku lekat.

"Aku serius. Aku nyaman sama kamu. Sejak kenal sama kamu, semangatku untuk sekolah, bangkit lagi. Dulu, aku ogah-ogahan untuk sekolah. Sering bolos juga." Mata Kak Alfa terlihat berair, ucapannya terdengar tulus. Namun, entah kenapa hati kecil ini terasa begitu sulit untuk memercayai perkataannya.

May merangkul pundakku, dan tangan satunya menarik daguku agar melihat padanya. "Terima aja," bisiknya.

Sejujurnya, tak ada sedikit pun rasa untuk Kak Alfa. Hanya kenyamanan sebagai Kakak. Aku juga sudah berjanji pada diri sendiri, bahwa tidak akan pernah menjalani hubungan yang namanya pacaran hingga lulus SMA. Bukan munafik, jika ada yang menanyakan apakah aku tak pernah menyukai seorang laki-laki? Jawabannya pernah. Akan tetapi, untuk menjalin sebuah hubungan, rasanya diri ini belum siap, terlebih tak ada perasaan apa pun yang kurasakan terhadap laki-laki yang beberapa saat lalu menyatakan perasaannya padaku.

Kepala ini kembali menoleh pada Kak Alfa, kemudian menunduk sambil membalas genggaman tangannya. Perlahan, aku mengangkat kepalaku, menghirup napas panjang, lalu membuangnya perlahan.

"Kakak tahu, kan, aku ke sini tujuannya untuk belajar. Bukan untuk ngurus cinta-cintaan. Kak Alfa juga pernah mengatakan hal yang sama, 'kan?" ucapku di tengah jantung yang terasa berdegup kencang.

"Iya, aku tahu itu. Aku mengungkapkan hal itu juga bukan berharap akan mendapat jawaban apa pun dari kamu. Aku hanya berusaha menjawab pertanyaan May tadi. Kamu boleh, kok nggak jawab atau membalas perasaanku. Tapi, kamu juga nggak bisa melarang siapa pun untuk mencintai kamu, atau memberi perhatian ke kamu. Aku ... mungkin contohnya," ujar Kak Alfa.

"Ouh, jadi lo cinta sama cewek ini? Bagus, deh segera lo jadiin dia pacar, biar kalian nggak ngerempongin Tristan lagi." Melody tiba-tiba muncul. Mengacaukan suasana yang tadinya terasa serius.

"Hadeuh, dasar jailangkung! Datang tak dijemput, pulang tak diantar," celetuk May sambil menggaruk keningnya tanpa menoleh sedikit pun pada Melody.

"Apa lo bilang?" gertak Melody setelah sebelumnya menggebrak meja di depan May. Membuat semua orang yang ada di kantin, menoleh ke arah meja kami. Menjadikan kami tontonan gratis.

"Nggak, gue nggak bilang apa-apa. Emang lo denger apaan?" jawab May santai.

"Terus maksud lo apaan bilang gue jailangkung?" bentak Melody dengan nada lebih keras.

"Yang bilang lo jailangkung siapa? Gue dari tadi diem aja." Kini May melawan Melody dengan berdiri. "Lo denger gue bilang dia jailangkung, Zoy, Kak Alfa?" tanya May mencari pembelaan.

Sejujurnya aku mendengar perkataan itu, tetapi aku juga tak ingin May terlibat masalah lebih jauh lagi dengan Melody. Alhasil, aku pun terpaksa berbohong dan menyetujui ucapan May, bahwa dia tidak mengatakan apa pun.

"Mel, lo ngapain, sih selalu ganggu mereka? Mereka punya salah apa, sih sama lo?" Kini Kak Alfa mencoba menengahi kami.

"Al, denger, ya. Gue nggak akan biarin siapa pun berusaha mengusik ketenangan di sekolah ini. Jangan belaga bego, deh, Al. Lo tahu, cewek lo ini ngambil buk-" Kak Alfa segera membungkam mulut Melody dengan tangan kirinya.

"Jangan lupa, rahasia lo juga ada di tangan gue. Sebaiknya lo jangan ganggu mereka, atau gue akan bongkar semuanya!" tegas Kak Alfa yang membuat Melody terdiam lalu memutuskan pergi.

"Rahasia apa, Kak?" tanyaku setelah kepergian Melody.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top