Tergeletak di Bawah Tangga
Kak Alfa masih berusaha menenangkanku. Namun, kebersamaan kami harus terhenti saat salah seorang teman Kak Alfa datang dan membisikkan sesuatu, lalu mereka pergi setelah laki-laki itu berpamitan padaku.
Selepas kepergian Kak Alfa, aku yang berniat masuk ke kelas, tanpa sengaja melihat Melody keluar dari kelas dengan membawa sesuatu di tangannya. Setelah kuperhatikan baik-baik, rupanya yang dia bawa adalah buku bersampul hitam yang tak lain adalah buku harian milik Zahwa.
“Melody!” teriakku memanggil Melody sambil setengah berlari, agar segera bisa menjangkau gadis itu.
Bukannya berhenti, Melody justru makin mempercepat langkahnya. Walaupun, dengan suara keras aku memanggilnya, dia seolah tak mendengar panggilan itu, atau lebih tepatnya sengaja tak mau mendengar panggilanku.
Kami terlihat seperti sepasang kucing dan tikus yang sedang berkejaran memperebutkan sesuatu. Semua mata yang ada di sekitar area tempat kami berkejaran pun melihat ke arah kami.
“Aduh ....” Suara Melody mengaduh saat dirinya menabrak seseorang, dan itu membuatku juga menghentikan langkah. “Tristan .... Tristan, tolong , dong lindungin gue. Nggak, nggak, lindungin kita semua dari gadis itu.”
Tristan seolah terhipnotis. Pandangannya terkunci pada satu titik. Mata ini memperhatikan ke mana arah pandang laki-laki itu, tetapi sialnya, hal itu justru tertuju padaku.
“Ngapain dia lihatin gue, sih?” gumamku yang merasa risih atas pandangan itu.
“Emang apa yang udah dilakuin Zoya sampai gue harus lindungin semua orang dari dia.” Tatapan Tristan masih tertuju padaku.
Kemudian Melody menarik bahu Tristan hingga si empunya menoleh padanya, kemudian gadis itu membisikkan sesuatu. Tak lama, Tristan kembali melihat ke arahku sambil menatapku dengan cara yang berbeda seperti tadi. Tak bisa kuartikan tentang semua tatapan laki-laki itu padaku.
“Sebaiknya kamu kembaliin buku itu, daripada kita semua kena imbasnya.” Tak ada paksaan dari suara yang begitu lembut itu.
Saat aku hendak menjawab ucapan Tristan, Kak Alfa sontak muncul dan langsung memosisikan dirinya di antara aku dengan Tristan.
“Ini ada apa, Bro?” tanya Kak Alfa pada Tristan sambil memegang pundak Tristan.
“Alah, lo nggak usah munafik, deh, Al. Lo tahu, kok tentang cewek itu yang udah bikin kita semua ada dalam masalah besar,” keluh Melody sambil berlindung di balik tubuh tinggi Tristan.
Kak Alfa tersenyum sinis pada Melody, lalu bergantian menatap mata Tristan. “Lo jangan dengerin omong kosong Melody. Lagian, Zoya dan gue lagi deket. Biar gue aja yang urus dua cewek ini. Lo boleh pergi dari sini,” ucap Kak Alfa yang diikuti senyum dan anggukan pada Tristan.
Tristan pun mengangguk, menyetujui ucapan Kak Alfa sambil menoleh padaku. “Ya udah, tolong urusin masalah ini. Lo tahu apa yang harus lo lakuin. Gue pergi dulu.”
“Loh, Tristan, bantuin aku, dong. Kenapa malah mau pergi?” sergah Melody yang mencoba menghentikan Tristan.
Laki-laki tetap pergi, dengan memberi Melody pengertian bahwa Kak Alfa bisa menyelesaikan masalah kami. Melody pun kesal mendengar hal itu, tetapi juga tak bisa berbuat apa-apa karena Tristan juga telah pergi, menjauh dari kami.
“Buku harian itu ada di dia, Kak.” Aku menunjuk ke arah Melody, berharap Kak Alfa akan melakukan sesuatu, agar gadis itu mengembalikan buku tersebut padaku.
Kak Alfa dengan nada tegas dan suara yang lugas meminta Melody mengembalikan buku tersebut padaku. Awalnya dia menolak, tetapi saat Kak Alfa kembali mengatakan tentang rahasianya, mau tak mau Melody menyerahkan buku itu padaku lagi, kemudian pergi begitu saja.
“Kamu nggak pa-pa?” tanya Kak Alfa sambil memegang bahu dan menatapku dari atas hingga bawah.
“Aku nggak pa-pa. Makasih, ya udah selalu bantuin aku dari Melody,” ucapku lembut sambil menampilkan senyum pada Kak Alfa.
Kak Alfa mengajakku kembali ke kelas. Tanpa penolakan, aku pun mengiakan ajakan tersebut. Dia mengantarku hingga duduk di bangku yang baru tadi pagi kutempati.
“Kenapa kamu pindah di sini? Disuruh guru?” tanya Kak Alfa sambil memperhatikan seisi kelas, seperti sedang mencari sesuatu. “May duduk di mana?”
Aku pun menceritakan bahwa aku pindah ke bangku tersebut karena keinginan sendiri. Maksud hati ingin memberi May pengertian, bahwa apa yang gadis utarakan pagi itu benar-benar keterlaluan, bahkan aku tak menjawab pertanyaan terakhir Kak Alfa.
Di luat dugaan, Kak Alfa justru memintaku untuk memaafkan May. Dia juga mengatakan bahwa aku tak boleh begitu saja memusuhi sahabatku sendiri. Laki-laki itu juga memintaku untuk pindah ke bangku lama, tempatku duduk dengan May.
Namun, mengingat May yang begitu keterlaluan pagi ini. Aku yang beberapa waktu terakhir dekat dengan Kak Alfa dan tak ada sikapnya yang menunjukkan bahwa dia adalah laki-laki yang tidak normal, dan dengan gampangnya sahabatku itu mengatakan semua omong kosong itu tanpa bukti. Kak Alfa pun mencoba mengerti hal tersebut, lalu keluar dari kelasku karena bel masuk telah berbunyi.
Selama dua mata pelajaran, aku tak melihat batang hidung May sama sekali. Perasaanku pun mulai merasa tidak enak, seperti merasa ada sesuatu yang terjadi sesuatu pada May, karena tak biasanya gadis itu membolos, apalagi tas miliknya masih berada di bangku lama kami.
Begitu bel istirahat berbunyi, tak membuang waktu aku berusaha mencari May. Ke semua tempat telah kucari, kecuali di area ruang kosong itu. Awalnya pikiran ini enggan untuk memerintahkan kaki untuk melangkah ke arah sana. Namun, entah kenapa hati kecilku seolah menarikku untuk terus mendekat ke area itu.
Kulihat sosok dua orang di sana, seorang gadis tengah terduduk sambil memegang tangan seseorang yang tengah berbaring di bawah tangga dekat ruang kosong itu. Aku terus mendekat, untuk memastikan siapa kedua orang tersebut.
“Melody.” Mata dan mulut ini terbuka lebar. Satu tanganku menutup mulut. Aku benar-benar tak percaya akan apa yang kulihat di depan mataku. “Lo apain temen gue?” lanjutku dengan nada sangat keras.
Aku begitu syok, lutut ini begitu lemas hingga membuatku terduduk, melihat May tergeletak di bawah tangga dengan darah segar mengalir dari hidung dan mulutnya. Di tambah Melody yang berada di sisinya saat itu. Sontak saja aku berteriak dan menuduh Melody telah mencelakai May.
Wajah Melody memucat. Suaranya begitu bergetar. “Bu-bukan. Bu-bukan gue. Gu—”
“Tolong,” teriakku dari sana sambil menangis, tak peduli apa yang dikatakan oleh Melody. Berharap orang lain akan datang dan membantu kami.
Terdengar suara Kak Alfa, kemudian dia menghampiriku dan juga terkejut saat melihat kondisi May dengan tangan Melody yang masih memegang tangan May.
“Melody ... lo ....” Kak Alfa juga tak sanggup melanjutkan ucapannya.
“Kak, tolong panggil ambulans. Kita harus menolong May,” ucapku panik.
Kak Alfa pun mengiakan ucapanku sambil berdiri dan berlari, mencari bantuan orang lain, setelah memintaku untuk tenang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top