Rencana Penjebakan
Wajah yang kini terlihat tampan di mataku itu menunjukkan wajah keheranan. Mungkin saja dia tak menyangka, atau bahkan tak percaya jika gadis seperti mereka akan masuk dalam daftar tertuduh pembunuh Zahwa.
Aku terdiam sejenak, menimbang, apakah laki-laki yang sedang bersamaku saat ini dapat kupercaya untuk mendapat informasi penting seperti ini. Kutatap dalam mata Tristan, mencari celah kemungkinan dirinya akan berkhianat. Akan tetapi, sayang sekali, alih-alih mendapat apa yang kucari, aku justru merasa jika jantung ini berdetak lebih kencang dari biasanya, hingga pikiran ini memutuskan untuk menghentikan aksi menatap itu.
“Emang lo nggak tahu?” tanyaku dengan nada jutek setelah membuang muka dari Tristan, menghindari kontak mata karena tak ingin dirinya menyadari bahwa saat ini aku sedang merasa salah tingkah.
Tristan menggelengkan kepala. “Kalau Melody, kayanya nggak mungkin, karena dia kan sahabatnya Zahwa. Kalau Riana, aku tahu emang dia yang ambil diary itu, terus nyebarin isinya sampai seisi sekolah nge-bully Zahwa. Tapi, kayanya nggak mungkin kalau Riana yang ngebunuh Zahwa. Kaya impossible aja, kalau cewek sampai ngebunuh orang.”
Pernyataan Tristan bertolak belakang dengan pernyataan Kak Alfa yang mengatakan bahwa Riana adalah sahabat Zahwa. Jika disandingkan dengan pernyataan Zahwa yang tertulis dalam buku ini, pernyataan Tristanlah yang lebih sesuai.
“Tapi, dalam buku ini,” kutunjukkan buku harian berhias bunga mawar di sampulnya itu pada Tristan, “dua cewek itu bahkan selalu berusaha mencelekai Zahwa, bahkan Melody juga pernah ngancem akan ngebunuh Zahwa kalau dia nggak ngejauh dari lo!”
Tristan langsung menoleh padaku dengan wajah tercengang, seolah terkejut setelah mendengar pernyataanku barusan. “Kamu serius?” tanya Tristan dengan wajah yang masih syok.
“Lo kira gue tukang ngarang? Kalau gue pinter ngarang, gue udah jadi novelis terkenal, kali!” jawabku sambil meletakkan tangan di kedua sisi pinggang.
“Nggak ... bukan gitu. Maksudku, kok bisa gitu mereka melakukan hal itu? Perundungan secara verbal aja, bikin orang kena mental. Apalagi mereka sampai berusaha nyelakain Zahwa. Sumpah, aku baru tahu ini dari kamu.”
Di tengah percakapan, tiba-tiba terdengar suara bel masuk berbunyi. “Udah bel masuk, kamu nggak mau balik ke kelas?” tanya Tristan.
“Nggak. Kalau boleh, sih, gue mau numpang dulu di sini, soalnya ngantuk banget. Semaleman nggak tidur karena bacain buku ini sampai menjelang halaman terakhir,” ujarku yang lagi-lagi membuat Tristan terkejut.
Laki-laki itu memastikan bahwa apa yang dia dengar dari mulutku tentang aku yang tak tidur karena membaca buku itu benar adanya. Aku mengiakannya, tetapi Tristan lantas tersenyum yang kemudian tertawa, membuatku merasa kesal.
“Kalau nggak diizinin, ya udah, bilang aja! Nggak usah ketawa!” dengkusku lalu kuputuskan keluar dari ruangan, tempat para pengurus OSIS berkumpul untuk membahas sesuatu.
Tristan menahanku, memegang pergelangan tangan yang kemudian beralih ke pergelangan tangan. Laki-laki itu meminta maaf atas sikapnya dan memintaku kembali. “Jadi, kamu mau bolos?” tanyanya yang terlihat seperti mengejek.
“Emang nggak boleh? Kalau nggak boleh, ya udah, gue ke UKS aja, terus bilang ke petugas kalau lagi nggak enak badan. Beres,” putusku sambil mengempaskan tangan Tristan, tetapi nyatanya hal itu tak berhasil.
“Hobi banget bolos, ya? Dulu, waktu MOS juga kabur dari tugas terakhir, yang diminta untuk mengumpulkan tanda tangan seluruh anggota OSIS. Sekarang, berani minjem ruang OSIS untuk tempat bolos.” Lagi-lagi Tristan tersenyum padaku. Entah apa maksud senyumnya kali ini.
Kutunjukkan wajah jutek dan kesal padanya. Meminta laki-laki itu untuk melepaskan tanganku. Tak lama, akhirnya dia melepaskan tanganku, tetapi dia juga meminta agar aku tetap berada di ruangan itu. Bahkan dirinya mengatakan bahwa akan ikut bolos, karena merasa bosan dengan keseharian dia. Dan, bolos merupakan pertama yang memacu adrenalinnya.
Setelah itu, Tristan mulai menanyakan hal-hal yang berkaitan tentang buku itu, hingga dirinya menawarkan diri untuk membantuku menyelidiki semua ini. “Bukankah kamu nggak bisa nyelidikin ini sendiri? Kamu nggak bisa percaya pada siapa pun, Zoy. Ini juga misi yang berbahaya, kalau memang Zahwa beneran dibunuh, ‘kan?”
“Kalau gitu, lo juga nggak bisa dipercaya, ‘kan? Masalahnya, udah ada korban lain akibat diary ini, yaitu sahabat gue, May. Jadi, gue nggak bisa ambil risiko nerima tawaran lo untuk bantuin gue. Bisa aja, kan lo pengkhianat juga? Bukannya bantuin, malah nyelakain gue. Siapa yang tahu?” tanyaku dengan nada sinis.
Setelah pembahasan yang alot dan yakin bahwa Tristan dapat dipercaya, akhirnya aku menyetujui untuk menerima tawaran laki-laki itu membantuku menyelidiki kasus ini. Kami pun mulai membaca isi diary itu bersama sambil mengumpulkan clue-clue yang ada.
Pembahasan tentang isi buku harian itu berlangsung hingga melewati jam istirahat. Beruntungnya kami memutuskan untuk menyetel ponsel ke mode silent. Dan, betapa terkejutnya aku saat melihat puluhan panggilan tak terjawab dan pesan masuk dari Kak Alfa. Di gawai milik Tristan pun sama, bedanya, yang menghubungi laki-laki itu merupakan nomor tanpa nama. Dia menaksir jika yang menghubunginya adalaha salah satu gadis yang mengidolakannya di sekolah ini.
Namun, aku merasa hal itu aneh. Karena, setelah aku menanyakan pada Tristan apakah biasanya seperti itu, atau tidak, dia mengatakan hal itu baru pertama kali terjadi. Biasanya, jika ada nomor baru yang masuk, bukan dari satu nomor yang sama. Mengingat Tristan memang tak pernah menyimpan nomor ponsel gadis, kecuali adik, sepupu, dan juga aku.
Awalnya aku hendak menanyakan maksud Tristan, kenapa hanya menyimpan nomorku saja, tetapi buru-buru dia tepis dengan berdalih, agar fokus pada penyelidikan kami. Aku sejenak berpikir, dan menyetujui apa yang diutarakannya. Soal nomor, bisa kami bahas jika semua masalah ini selesai, bukan?
“Gue punya rencana,” ungkapku.
“Rencana apa?” tanya Tristan.
“Ada tiga target, dua cewek, dan satu cowok. Gimana, kalau kita bagi tugas?”
“Bagi tugas gimana?”
“Astaga, lo dibilang banyak cewek itu sebagai sosok yang cerdas, masa gini aja nggak paham? Ya, lo jalanin rencana untuk bagian cewek-ceweklah. Apalagi, si Melody, kan bucin banget sama lo. Pasti akan lebih mudah. Sedangkan urusan Kak Alfa, itu bagian gue.”
“Ya, tapi rencananya apa?” tanya Tristan dengan raut wajah yang tak bisa berbohong bahwa dirinya sedang penasaran.
“Kita jebak mereka. Kita kontak mereka pakai fake account, terus bahas-bahas aja soal Zahwa, siapa yang kepancing, kita akan lanjutin ke rencana yang selanjutnya,” tuturku. Kemudian aku menjelaskan secara rinci, apa saja rencana dan bagaimana tahapannya yang muncul di pikiranku. Tristan sangat menyetujui usulanku, dan berencana akan memulai penjebakan itu malam ini juga.
“Zoy, kamu yakin, kalau ini aman buat kamu? Kalau misal pembunuhnya itu Melody atau Riana, aku masih bisa jaga diri aku. Tapi, kalau ternyata Zahwa emang bukan bunuh diri, dan pelakunya adalah Alfa, bukan nggak mungkin kalau dia akan nyelakain kamu juga,” ucap Tristan sambil memegang pundakku. Terlihat jelas raut kekhawatiran di wajah laki-laki di hadapanku ini.
“Gue yakin. Kalaupun, gue kenapa-kenapa juga, itu artinya udah takdir. Tapi, ka—”
Tristan langsung menutup mulutku dengan jari telunjuk sebelah kanannya. “Jangan bilang gitu. Aku akan berusaha melindungi kamu, kalau sampai beneran Alfa ngapa-ngapain kamu.”
Sejenak aku terenyuh karena perhatian dan tuturan lembut Tristan. Akan tetapi, segera kutepis dengan menggelengkan kepala dengan kasar, mengembalikan setengah kesadaranku, yang hampir hilang karena ulah Tristan. Lalu, aku meminta Tristan agar membantuku menyiapkan semua yang kami butuhkan guna penjebakan nanti.
“Kira-kira ini bakal berhasil, nggak ya?” tanyaku yang dibalas dengan seulas senyum singkat oleh Tristan sambil melanjutkan persiapan kami.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top