Rahasia
Malam harinya, Kak Alfa benar-benar datang membawa makanan untuk kami santap sebagai makan malam. Ada satu set rantang susun tiga berukuran sedang yang dibawa oleh laki-laki tersebut. Di dalamnya berisi nasi, ayam goreng mentega, dan capcay.
Rasa lapar yang tak tertahan, membuatku segera mengambil dua buah; piring, sendok, gelas, dan sebuah teko berisi air untukku dan Kak Alfa, dan membawanya ke luar kamar kos. Kuletakkan semua peralatan makan itu di atas sebuah meja yang terletak di depan kamar kosku.
“Gercep banget, Neng?” ucap Kak Alfa sambil menata peralatan untuk kami.
“Kak, bentar, ada yang kurang,” ucapku setelah memperhatikan semua makanan yang ada di meja, menghentikan kegiatan Kak Alfa.
“Apa?” tanya Kak Alfa heran sambil ikut memperhatikan semua yang ada di meja itu. “Perasaan udah lengkap. Ada nasi, sayur, dan lauknya.”
“Kurang kerupuk,” ucapku dan itu sukses membuat Kak Alfa melongo di hadapanku.
Tak lama, dia pun tertawa keras dan berdiri, lalu melangkahkan kaki menuju motor matic miliknya. Dibukanya jok motor itu lalu mengambil sesuatu dari dalamnya.
“Ini yang kamu mau?” tanya Kak Alfa sambil menunjukkan sebuah toples kecil berwarna hijau yang berisi kerupuk. Aku mengangguk kegirangan.
Aku memang sangat menyukai kerupuk. Makan tanpa kerupuk, bagaikan lauk-pauk tanpa digarami, hambar, kurang nikmat. Biasanya aku selalu menyediakan kerupuk di kamar kos saat membeli makanan, tetapi karena Kak Alfa sudah terlebih dulu memintaku untuk tidak membeli makanan, aku jadi lupa jika persediaan kerupukku sudah habis.
Setelah semuanya lengkap, kami pun makan dengan lahap. Harus diakui, makanan yang Kak Alfa bawa sangat enak. Hati ini menjadi ragu untuk mempercayai bahwa laki-laki itu yang memasaknya. Namun, pikiran ini enggan mempermasalahkan hal itu sekarang, memberi makan para cacing yang ada di perut lebih penting, lagi pula kapan lagi bisa makan gratis seperti ini?
“Enak?” tanya Kak Alfa saat makanan yang dibawanya, kini bersih tak bersisa, hanya menyisakan wadahnya saja.
“Enak. Sering-sering aja, ya,” jawabku yang disambut gelak tawa oleh si pembawa masakan nikmat nan lezat itu.
“Boleh aja, sih. Asal kamu mau jadi pacar aku.”
Ya Tuhan, laki-laki di hadapanku itu rupanya masih mengharap kepastian dariku. Apakah makanan ini termasuk salah satu caranya, agar aku mau menerima cintanya?
Seketika aku terdiam. Memikirkan jawaban yang tepat tanpa harus menyakiti perasaannya. Karena, walaupun ada kenyamanan saat di sampingnya, tetapi untuk cinta .... Tidak, aku sendiri tak tahu, apa itu cinta yang sebenarnya. Hati ini juga takut, jika suatu saat hubungan kami bermasalah, kedekatan ini tak ‘kan ada lagi.
Kak Alfa tertawa, membuatku merasa heran. “Aku bercanda. Bisa, sih, bisa ... aku kasih kamu makan gratis setiap hari dan waktu, asal kamu siap cuci piring tiap hari juga di rumahku.”
“Emang ini beneran Kak Alfa yang masak? Palingan juga beli,” jawabku sewot sambil membereskan piring yang kami gunakan untuk makan tadi.
“Iyalah. Nggak percaya? Ayo ikut ke rumah. Kebetulan peralatan masaknya tadi belum aku cuci. Biar sekalian kamu kenalan sama mamaku,” tantang Kak Alfa.
Membayangkan berkenalan dengan mama laki-laki penyuka gym ini, aku sudah cukup ngeri. Seumur hidup, aku belum pernah mengunjungi rumah teman lawan jenisku. Apalagi, sampai berkenalan dengan orang tua mereka.
Aku menggelengkan kepala dalam diam, membuat Kak Alfa harus menepuk pundak untuk menyadarkanku.
“Kamu nggak pa-pa?” tanya Kak Alfa.
“Eng-nggak, aku nggak pa-pa, kok.”
“Aku cuma bercanda, jangan dipikirin,” jelas Kak Alfa, kemudian merapikan kembali rantang miliknya dan memasukkannya ke dalam jok motor. “Ya udah. Udah jam setengah sembilan malam. Kamu masuk, gih. Cuci piring, terus istirahat. Aku mau pulang. Nggak enak sama pemilik dan tetangga kosanmu ini. Nanti malah jadiin kamu bahan gosip, lagi.”
Aku hanya mengangguk, lalu hendak masuk dengan membawa piring kotor, bekas kami makan. “Kak Alfa ...,” panggilku saat laki-laki itu sudah bersiap untuk memakai helm berwarna biru miliknya.
Dia pun menghentikan kegiatan tersebut. “Ada apa?” tanya Kak Alfa dengan tangan yang masih menggantung di depan dadanya sambil mengangkat helm.
“Oh, anu ... itu, rantangnya taruh sini aja, biar aku cuciin dulu,” pintaku, tetapi Kak Alfa menolaknya dengan alasan, rantang itu merupakan kesukaan sang mama. Jika sampai dia meninggalkannya di sini, bisa dipastikan, bahwa walaupun tengah malam, dirinya harus mengambil barang itu, jika sampai ibu yang melahirkannya itu mengetahui rantang kesayangan miliknya tak berada di tempat.
Kak Alfa benar-benar pulang, setelah menjelaskan hal itu. Kemudian, mencuci semua piring kotor dan tempat tidur empuk yang ayah dan mama belikan. Sebelumnya, tak lupa aku menggosok gigi dan cuci muka. Malam yang begitu mengenyangkan, akan lebih nikmat jika dilanjut berlayar di pulau kapuk.
***
Setelah beberapa hari, aku dan Kak Alfa makin dekat, sesuai ucapannya, laki-laki itu benar-benar tak membiarkanku membeli makanan. Setiap pagi dan malam, dia akan mengirimiku makanan, sedangkan siang mentraktirku makan di kantin.
“Zoy, gimana hubungan lo sama Kak Alfa?” tanya May dengan berbisik saat kami berdua sedang berada di perpustakaan karena tugas guru Bahasa Indonesia.
“Ya, nggak gimana-gimana. Cuma deket kaya biasanya aja, dan ada tambahan, dia selalu sediain makan buat gue. Itu doang, sih,” balasku yang juga sambil berbisik dan membaca sebuah novel, sebagai bahan untuk tugas meresensi nanti.
“Lo jadian, kan, sama dia?” Ke-kepo-an May mulai kumat. Namun, sepertinya seru juga jika mengerjai sahabatku yang satu itu.
“Gu—” May langsung memotong ucapanku saat melihat sesuatu yang berada di sampingku. Sebuah buku dengan sampul berwarna hitam, dengan hiasan bunga mawar merah di sampulnya.
“Oh, itu diary,” jawabku singkat sambil tetap membaca novel yang sedang kupegang.
“Ini, kan buku yang waktu itu mau diambil si Melody, ‘kan?” Aku hanya mengangguk. “Terus ada kaitan apa, si Melody dengan buku harian itu, Zoy? Itu, kan punya lo.”
Nada suara May yang agak keras membuat kami mendapat teguran dari murid lain. Aku pun menarik May ke tempat yang sepi di sudut perpustakaan bagian belakang sambil membawa novel dan diary milik Zahwa tersebut.
“Lo ngapain, sih narik-narik gue ke—” Segera kubungkam mulut May dengan telapak tangan sebelah kiri, sambil memperhatikan sekitar, jaga-jaga, takut ada yang menguping tentang pembicaraan kami.
Aku mulai menceritakan semua hal tentang buku harian itu, dari awal menemukannya, hingga tentang kematian Zahwa.
May yang terkejut dan hendak berteriak, lagi-lagi harus kubungkam, sambil memelototkan mata pada gadis itu. “Lo bisa nggak, sih jangan berisik?” protesku.
“Ya, sorry, tapi maksud gue, kok bisa ada yang bunuh diri?” bisik May dengan wajah yang masih terkejut.
“Ya, mana gue tahu, makanya ini gue lagi baca-baca, kali aja ada petunjuk di sini. Tapi, feeling gue, ini bukan bunuh diri. Karena, cerita dari Kak Alfa, kayanya nggak masuk akal aja kalau si Zahwa bunuh diri. Kayanya dibunuh,” ucapku.
“Lo yakin?” tanya May yang terdengar ragu.
“Gue yakin. Apalagi sikap Melody yang beringas banget sama buku ini. Gue jadi yakin, kalau di buku pasti ada rahasia. Rahasia kematian Zahwa, dan rahasia tentang Melody.”
May membelalakkan mata saat aku menyebut nama gadis yang tak lain adalah senior yang sering bermasalah dengan kami. “Kalau beneran dia pelakunya, fix, dia memang psikopat, seperti kata lo. Dan, itu artinya kita harus lebih hati-hati lagi sama dia.”
Aku mengiakan semua yang May katakan. Namun, aku kembali mengingatkan, bahwa ini hanya asumsiku saja. Belum ada titik terang tentang hal tersebut. Bahkan, soal Melody, bisa saja aku salah.
“Zoy, gue jadi penasaran, boleh nggak kalau gue pinjem dulu bukunya? Siapa tahu, kalau kita bacanya berdua, akan lebih cepat menemukan kejelasan soal kematian Zahwa,” pinta May yang membuatku memikir tentang hal itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top