Psikopat

“Kesimpulan tentang Tristan dari hasil pengamatanmu sendiri bagaimana?” tanya Kak Alfa saat kami sudah mulai menurunkan ego masing-masing.

Aku mulai kembali menjelaskan dan menyatukan satu per satu puzzle tentang Tristan. Kemudian menyimpulkan bahwa apa yang dikatakan Kak Alfa memang ada benarnya. Lalu, memutuskan untuk tak berurusan dengannya lagi. Kini fokusku hanya untuk mengungkap kematian Zahwa.

Walaupun, Kak Alfa kembali menentang, tetapi laki-laki yang ternyata suka pergi ke tempat gym di hari minggu itu tak seperti biasanya yang menggebu-gebu memintaku mengembalikan buku itu seperti biasanya. Dia hanya berpesan, untuk lebih berhati-hati, karena tidak mengetahui kapan kesialan akan menghampiri. Aku pun hanya mengangguk pelan, yang kemudian diikuti dengan kepergian Kak Alfa ke kelasnya, mungkin karena telah lelah berdebat denganku.

Wajah dan pikiran ini terasa kusut walau hawa sejuk pagi hari masih terasa. Kuputuskan untuk ke toilet guna mencuci muka da sedikit membasahi rambut, agar pikiran ini kembali segar.

“Lo mau ke mana, Zoy? Bentar lagi bel masuk, loh,” tegur May saat kami berpapasan di pintu masuk kelas.

“Gue mau ke toilet. Lo baru dateng?” Aku balik menanyainya karena merasa aneh, dirinya baru saja tiba di sekolah. Yang kutahu, May adalah siswi yang rajin, dan tiga puluh menit sebelum bel berbunyi, sedangkan hari ini, bel akan berbunyi lima menit lagi, dan dia baru tiba. Oh ayolah, ini bukan dirinya.

“Iya, gue baru dateng. Tadi ban motor kakak gue bocor. Makanya gue baru dateng. Ya udah, lo buruan kalau ke toilet. Karena jam pertama ini gurunya killer. Bisa-bisa, lo dipermalukan lagi.” May tertawa lepas setelah mengingatkan tentang bagaimana Bu Atikah telah mempermalukanku tempo hari.

Ralat ... bukan, bukan Bu Atikah yang mempermalukanku, tetapi akulah yang mempermalukan diri sendiri gara-gara Tristan. Laki-laki itu memang pembawa sial untukku. Mudah-mudahan, aku tak ‘kan pernah melihat mukanya lagi, karena kalau tidak, aku akan terus mendapat kesialan.

Segera kulangkahkan dengan cepat kaki ini, agar bisa kembali tepat waktu, sebelum Bu Atikah datang dan mulai melakukan presensi. Sudah bisa dibayangkan, bagaimana beliau akan menegur jika sampai aku terlambat. Tak lupa, aku juga membawa diary itu, takut jika Melody tiba-tiba ke kelas dan kembali berusaha mengambil buku milik Zahwa ini.

Aku membasuh muka beberapa kali di wastafel toilet. Lumayan sedikit menyegarkan wajah dan pikiran. Namun, saat aku mengangkat kepala dan melihat ke cermin yang ada di depan wastafel, aku dibuat terkejut dengan keberadaan Melody yang berada di belakangku sambil melipat kedua tangannya di depan dada sambil menyender di tembok toilet. Gadis itu mengangkat salah satu sudut bibir, tersenyum seperti serigala yang senang melihat mangsanya ada di depan mata.

“Akhirnya lo sendiri juga. Di sini, jangan harap lo bisa lolos dari gue. Karena, bodyguard lo, si Alfa sekali pun nggak akan bisa nyelametin lo kali ini.” Melody melangkah makin dekat padaku. Tangan yang semula dilipat di depan dada, kini berayun bebas, sambil salah satunya menyibak rambut panjang yang melewati pundaknya.

Aku tak menampakkan sedikit pun ketakutan di wajah. Bahkan, seolah menantang, mata bibir ini tetap tersenyum bak menyambut langkahnya yang kian mendekat.

“Lo pikir gue takut? Tanpa bantuan Kak Alfa pun, gue sebenernya berani kalau cuma ngadepin lo!” tantangku.

Tanpa menjawab, Melody makin mendekat dan saat tepat berada di hadapanku, gadis berpenampilan girly dengan mata belonya langsung menjambak rambutku. Refleks saja mulut ini meringis, karena rasa sakit di pinggang yang belum juga mereda, kini bertambah di kepala akibat Melody menjambak rambut ini dengan sangat keras.

“Lo psikopat, ya? Lepasin, nggak? Sebelum gue bales.” Aku tetap berusaha tegar saat tarikan di rambutku terasa makin kencang.
Seniorku itu tetap tak mengindahkan peringatanku. Dia justru mengambil kesempatan untuk merampas buku harian itu, saat kedua tangan ini berusaha melepaskan jambakan Melody dari rambut.

Melody menghempaskan kepalaku dengan keras, beruntung ada pinggiran wastafel yang menghadang tubuh ini terhempas ke lantai.

Kukepalkan tangan ini dan memukulkannya ke pinggiran wastafel tersebut. “Sial!” gumamku sambil menatap Melody yang kini tengah tersenyum puas melihat diary itu ada di tangannya.

“Tunggu! Mau ke mana lo? Balikin buku itu ke gue!” bentakku sambil menahan langkah Melody yang hendak pergi dengan memegang erat lengannya.

Gadis itu tersenyum sinis. “Jadi lo berani sama gue?” tanyanya.

Tiba-tiba saja May datang dan memiting tangan Melody, dan menekuknya ke belakang. “Eh, senior rese! Selain lo suka playing victim, rupanya nggak punya malu juga, ya? Beraninya sama junior!” geram May sambil menekan tangan Melody, hingga si empunya meringis akibat ulah May. Tak lama, Melody pun melepaskan diary itu hingga terjatuh ke lantai.

Tak membuang waktu, aku langsung merunduk dan mengambil buku itu. “Jangan main-main sama gue!” tegasku sambil menunjukkan mata melotot dan buku harian itu di depan mukanya. “Lepasin dia, May. Kita balik ke kelas aja. Rugi waktu kita kalau masih ngeladenin orang stres kaya gini.”

May mengempaskan Melody dengan keras hingga gadis itu terjatuh. Setelah itu, kami pun pergi dengan meninggalkan senior rese itu terduduk di lantai toilet.

“Kok lo bisa tiba-tiba muncul di toilet tadi?” tanyaku sambil berjalan beriringan dengan May menuju kelas.

“Bel udah bunyi, dan lo belum balik. Padahal, jarak ke toilet, kan nggak sampai sepuluh menit. Dua menit doang udah nyampek. Untung, kan Bu Atikah udah kirim pesan ke si Aksa, kalau beliau datang agak telat, coba kalau nggak, udah pasti disetrap, tuh di depan kelas. Dan ... ya, gue ngerasa aneh aja, udah sepuluh menit lebih, tapi lo belum balik. Makanya gue samperin, khawatir lo pingsan di sana, kan,” jawabnya.

“Sembarangan aja kalau ngomong! Gue nggak akan semudah itu pingsan, ya,” protesku sambil memukul pundak May agak keras.

“Eh, Zoy, gue heran, deh. Apa, sih yang diincer Melody dari lo? Apa ada hubungannya sama diary lo itu?” tanya May sambil menunjuk ke arah buku harian yang berada di tanganku, dengan dagunya.

“Bu Atikah telatnya lama, nggak?” tanyaku, menghentikan langkah kami berdua dan memperhatikan sekitar.
“Kenapa lo tanyain itu?” tanya May penuh selidik.

“Gue mau ceritain banyak hal ke lo. Sekalian mau kepoin tentang lo yang tadi ngasih pelajaran ke si Melody.” Aku tertawa saat teringat tentang kejadian di toilet tadi. May yang kutahu pendiam, tiba-tiba muncul, dan bak kuda lumping kesurupan, dengan berani sahabat baruku itu memberi peringatan sekaligus pelajaran pada Melody.

“Bu Atikah telat satu jam pelajaran, kok. Lo mau cerita soal apa? Dan, kenapa juga lo kepo soal yang tadi?” May menatapku dengan tatapan yang aneh. Terlebih melihat tanganku yang berada di bahunya, lalu mengempaskannya.

“Ish ... kenapa, sih lo? Kaya jijik gitu sama gue,” keluhku.

May menoleh ke kiri dan kanan, kemudian menarik tanganku ke lorong di area ruang kosong itu. Kini, giliran diriku yang memperhatikan sekitar. “Lo ngapain malah narik gue ke sini?” tanyaku.

Akhirnya May menceritakan kisah SMP yang membuat gadis itu trauma. Hati ini langsung merasa takut sekaligus empati karena ceritanya. May, yang awalnya gadis periang, tiba-tiba berubah. Gadis itu memiliki seorang sahabat akrab, yang hampir setiap saat selalu bersama. Dulunya, dia juga tak pernah diantar-jemput ke sekolah. Namun, sejak kejadian itu, orang tua dan kakak May menjadi over protective.

“Tapi, dari mana lo tahu dia begitu?” Aku sedikit merasa aneh akan pernyataan May. Namun, saat hendak melanjutkan cerita, seorang penjaga sekolah memergoki kami, dan menyuruh kami kembali ke kelas.

Mau tak mau, kami pun kembali, dan kesialan kembali terjadi tatkala Bu Atikah sudah duduk manis di bangku kebesarannya. “Kalian dari mana?” tanya Bu Atikah dengan nada tegas khas dirinya.

“Ma-maaf, Bu. Kami tadi baru dari toilet,” jawabku terbata sambil menunduk, merasa takut, karena memang kami bersalah.

“Ya sudah, silakan langsung kembali ke bangku kalian.” Kami pun langsung melangkahkan kami dengan cepat dan duduk di bangku kesayangan kami, lalu menyimak penjelasan Bu Atikah dengan saksama.

“Lo punya utang penjelasan cerita sama gue,” bisikku saat Bu Atikah sedang menuliskan contoh soal di papan tulis.

“Kapan-kapan gue ceritain,” jawab May sambil berbisik juga.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top